ADORABLE ADONARA
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
09:55
Santai sejenak di Pantai Watotena
Nama pulau ini terdengar indah di telinga.
Kenyataanya, pulau kecil ini memang
indah. Adonara nama pulau yang saya maksud. Sayangnya, keindahan Adonara
belum terdengar gaungnya, tidak seperti dua tetangganya (Flores dan Lembata)
yang sudah cukup terkenal. Saya yakin, belum banyak yang mengenal pulau ini
selain masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Begitu juga dengan saya. Saya baru
mengenal Adonara setelah tinggal di Kupang dan bertemu banyak orang yang
berasal dari pulau ini. Perbincangan dengan orang-orang Adonara membuat saya penasaran
dengan pulau ini. Apalagi teman saya yang asli Adonara, siap menjadi guide dan menemani saya keliling Adonara
kapan pun saya mau. Tentu saja, saya makin penasaran dibuatnya.
Berbekal informasi yang minim tentang Adonara, awal
Mei kemarin saya nekad berkunjung ke sana. Saya meluangkan waktu sehari penuh
untuk menjelajah Adonara, dari ujung barat hingga ujung timur. Di luar dugaan,
ternyata saya menemukan banyak keindahan dan keunikan di Adonara yang belum
pernah saya dengar sebelumnya. Mulai dari pantai perawan, laguna cantik, gunung
berapi yang masih aktif hingga sentra tenun ikat yang belum dikenal banyak
orang.
Sekilas tentang Pulau Adonara
Adonara adalah pulau kecil di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur, tepatnya di sebelah timur Pulau Flores. Letak geografis Adonara
sangat unik karena dikelilingi tiga pulau, yakni Flores di sebelah barat, Solor
di sebelah selatan, dan Lembata di sebelah timur. Secara administrasi, saat ini
Adonara masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di
Larantuka, Flores. Mengapa saya bilang saat ini? Pasalnya sebentar lagi Adonara
akan dimekarkan menjadi sebuah kabupaten tersendiri, terpisah dari kabupaten
induknya, Flores Timur. Dengan wilayah yang cukup luas (terbagi dalam delapan
kecamatan) dan sumber daya alam yang melimpah (terutama perikanan dan kelautan),
Adonara memang layak menjadi kabupaten tersendiri. Dengan menjadi kabupaten, Adonara
diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dari dua tetangganya, Flores dan
Lembata.
Menuju Pulau Adonara
Untuk mencapai Adonara, dari Kupang saya harus
terbang dulu ke Larantuka, kota terdekat dengan Adonara yang berada di ujung
timur Pulau Flores. Dari Larantuka, saya melanjutkan perjalanan ke Adonara dengan
perahu menyeberangi Selat Lewotobi hingga tiba di Pelabuhan Tobilota, Adonara. Dalam
perjalanan ini saya tidak sendiri karena ditemani Kak Edys, teman yang berasal dari
Adonara. Kami membawa sepeda motor dari Larantuka, agar lebih mudah dann
leluasa menjelalajah Adonara.
Perjalanan berperahu dari Larantuka ke Tobilota di
pagi hari sangat menyenangkan. Cuaca cerah, langit biru bersih, dan laut tenang
tanpa arus ataupun gelombang. Di atas perahu, mata saya dimanjakan oleh
panorama Kota Larantuka yang sangat menawan. Coba bayangkan! Sebuah kota berada
di antara laut dan gunung. Di depan Larantuka terhampar Selat Lewotobi yang
berwarna biru, dan tepat di belakangnya berdiri menjulang Gunung Ile Mandiri
yang puncaknya sering tertutup awan. Alhasil, tercipta panorama kota yang luar
biasa indah, di mana laut dan gunung berpadu dengan harmonis.
Pelabuhan Tobilota,
Gerbang Masuk Adonara dari Arah Barat
Lima belas menit kemudian, perahu merapat di
Dermaga Tobilota, Adonara. Sambil menunggu sepeda motor kami diturunkan dari
perahu, saya dan teman jalan-jalan di sekitar pelabuhan untuk memotret panorama
sekitar pelabuhan. Pelabuhan Tobilota merupakan pelabuhan kecil di ujung barat Adonara.
Meski kecil dan fasilitasnya sederhana, pelabuhan ini ramai sepanjang hari
karena merupakan salah satu pintu masuk utama Adonara dari arah barat. Setiap
harinya, dari pagi hingga malam, perahu-perahu motor hilir mudik dari Pelabuhan
Tobilota ke Pelabuhan Larantuka dan sebaliknya, mengangkut orang, sepeda motor,
dan aneka macam barang. Dengan tarif yang cukup murah, hanya Rp 5.000,00 per
orang dan Rp 15.000,00 per sepeda motor, perahu-perahu tersebut hampir selalu
penuh muatan.
Jalan sempit di Pulau Adonara
Dari Tobilota, petualangan di Adonara kami mulai.
Kami berencana mengelilingi Adonara dengan rute berlawanan arah jarum jam, dari
sisi barat, selatan, timur hingga utara pulau. Karena itu, saya mengarahkan
sepeda motor ke arah kanan/selatan, menyusuri pantai barat dan selatan Adonara.
Jalan aspal yang mulus tapi sempit, menyambut kami begitu keluar dari
pelabuhan. Lebarnya hanya sekitar 2 meter, dengan kondisi aspal yang cukup
mulus. Namun, aspal yang mulus hanya beberapa kilometer saja panjangnya, seolah
menjadi ucapan selamat datang di Pulau Adonara. Semakin menjauh dari pelabuhan,
jalan mulai rusak, aspal terkelupas di sana-sini. Di beberapa ruas jalan, aspal
sudah hilang sama sekali berganti menjadi jalan tanah berbatu. Kondisi jalan
mulai berkelok-kelok, naik turun bukit. Topografi Adonara memang
berbukit-bukit. Jadi, jangan harap, ada jalan lurus di pulau ini selain di
kota. Bagi yang biasa berkendara di Jawa mungkin akan kaget melihat jalan berkelok-kelok
seperti di Adonara. Namun tidak bagi saya yang sudah beberapa kali berkendara
di Flores, di mana kondisi jalannya lebih ekstrim, meliuk-liuk seperti ular
membelah gunung dan lembah.
Pulau Solor dilihat dari Adonara
Panorama indah yang kami temui sepanjang jalan,
memberi hiburan tersendiri bagi kami. Bukit-bukit hijau, laut biru, dan Pulau
Solor yang membentang di seberang pulau, membuat kami lupa sejenak akan jalan
rusak yang kami lalui. Beberapa kali kami berhenti untuk menikmati keindahan
alam Adonara dan mengabadikannya dengan kamera kesayangan saya.
Lamahala Jaya
dan Waiwerang
Setelah hampir dua jam berkendara, kami tiba di Desa
Lamahala Jaya yang berada di pesisir selatan Adonara. Jarak Tobilota - Lamahala
Jaya yang hanya 26 km harus kami tempuh selama hampir dua jam karena jalan yang
buruk dan berkelok-kelok penuh tanjakan dan turunan curam. Tidak seperti
desa-desa sebelumnya yang sepi dan penduduknya jarang-jarang, Desa Lamahala Jaya
sangat ramai dan semarak. Rumah-rumah penduduk sangat padat dan berhimpitan.
Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan dan pedagang. Tak heran
kalau toko-toko/warung-warung kecil berjajar sepanjang jalan, dan perahu-perahu
bertebaran di pantai. Di desa ini terdapat sebuah masjid yang cukup besar
karena seluruh Warga Lamahala Jaya beragama Islam. Lokasi desa yang berada di
pinggir pantai dengan kontur tanah yang miring dan berbukit-bukit, membuat Desa
Lamahala Jaya terlihat sangat unik. Bila dilihat dari laut, rumah-rumah Warga Desa
Lamahala Jaya yang bertengger di tepi pantai seperti mengapung di atas laut.
Kota Waiwerang dilihat dari pelabuhan ferry
Lepas dari Lamahala Jaya ,kami tiba di Waiwerang, ibu
kota Kecamatan Adonara Timur, sekaligus ‘kota’ terbesar di Adonara. Kota inilah
yang digadang-gadang akan menjadi ibu kota Kabupaten Adonara. Sama seperti
Lamahala Jaya, Waiwerang juga berada pinggir pantai dengan kontur tanah yang miring.
Rumah-rumah penduduk berjajar dan berhimpitan di pinggir pantai hingga ke arah
bukit. Karena statusnya sebagai ibu kota kecamatan, fasilitas hidup di
Waiwerang lebih lengkap dibandingkan Lamahala Jaya. Selain toko dan warung, di
kota ini juga terdapat kantor-kantor pemerintah, bank, puskesmas, penginapan,
dan pelabuhan ferry. Kak Edys mengajak saya mampir ke pelabuhan agar bisa
melihat panorama Kota Waiwerang secara keseluruhan.
Pantai Watotena
Berada di pulau kecil seperti Adonara, tak afdol
rasanya bila tidak mengunjungi ke pantainya. Salah satu pantai paling terkenal
dan paling indah di Adonara adalah Pantai Watotena. Nama pantai ini sebenarnya
adalah Neren Watotena tapi Warga Adonara biasa menyebutnya Pantai Watotena
saja. Pantai Watotena terletak di Desa Bedalewun, Kecamatan Ile Boleng. Dari
Kota Waiwerang, pantai ini hanya berjarak 11 km atau sekitar 20 menit
berkendara.
Pantai Watotena yang indah dan sepi
Tiba di Pantai Watotena, kami disambut debur ombak
dan pasir putih yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Air laut yang hijau
kebiruan benar-benar menyejukkan mata kami yang sejak pagi hanya melihat perbukitan
dan jalanan yang rusak. Suasana pantai sangat sepi, tak ada pengunjung maupun
pedagang asongan. Kami hanya melihat sebuah sepeda motor diparkir di pinggir
pantai, tanpa ada pemilik/pengendaranya. Mungkin pemiliknya sedang melipir atau
berenang di pantai.
Sisi kiri Pantai Watotena yang eksotis dengan hiasan batu-batu magma
Pantai Watotena sangat menawan. Dengan pasir putih
bersih dan air laut bergradasi hijau biru, membuat siapa saja jatuh cinta
terhadap pantai ini. Panorama di sekitar pantai juga sangat menarik. Anda bisa
melihat Pulau Lembata di sebelah timur, Pulau Solor di sebelah barat daya, dan
Gunung Ile Boleng yang menjulang tinggi di sebelah utara. Selain pasir putih
dan laut biru, daya tarik pantai ini adalah batu-batu magma aneka bentuk dan
formasi yang menghiasi bibir pantai. Kehadiran batu magma hitam yang diduga
berasal dari letusan Gunung Ile Ape tersebut semakin mempercantik Pantai
Watotena. Apalagi di atas batu-batu magma tersebut telah dibangun beberapa lopo-lopo
(sebutan gazebo dalam bahasa setempat) sebagai tempat melepas lelah dan
menikmati keindahan pantai. Sayangnya Pantai Watotena kurang terawat. Lopo-lopo
sudah banyak yang rusak dan banyak botol air mineral bertebaran di pinggir
pantai. Akses jalan dari jalan raya utama menuju pantai juga sangat buruk,
berupa jalan tanah berbatu. Jalan tersebut juga hasil swadaya masyarakat
setempat, bukan dari pemerintah daerah. Seharusnya pemerintah daerah setempat lebih
memperhatikan Pantai Watotena, agar semakin banyak dikunjungi wisatawan dan
menambah pendapatan daerah.
Pantai Deri yang berpasir coklat kehitaman
Pantai Deri
Dari Pantai Watotena kami bergerak ke ujung timur Adonara,
menuju Pantai Deri. Pantai berpasir coklat kehitaman ini berada di Desa Deri,
Kecamatan Ile Boleng. Pantai Deri merupakan salah satu pantai kebanggaan Warga Adonara.
Dari pantai ini, Anda bisa melihat Pulau Lembata di sebelah timur dengan jelas.
Di Pantai Deri sudah dibangun beberapa fasilitas untuk kenyamanan pengunjung,
di antaranya gerbang masuk ke pantai, toilet, dan sejumlah lopo-lopo. Sayang
berbagai fasilitas tersebut kondisinya tak terawat. Lopo-lopo sudah banyak yang
rusak, toilet juga sudah tak berfungsi. Sama seperti Pantai Watotena, suasana
di Pantai Deri juga sangat sepi tanpa ada pengunjung. Pedagang makanan dan
minuman juga tak ada. Menurut Kak Edys, pantai ini hanya ramai pengunjung pada
Hari Minggu dan hari-hari libur. Di hari-hari lainnya, pasti akan sepi
pengunjung. Apalagi sejumlah fasilitas di Pantai Deri sudah banyak yang rusak,
sehingga membuat pengunjung makin malas menyambangi Pantai Deri.
Perempuan Adonara sedang menenun
Desa Redontena, Sentra Tenun
Ikat Adonara
Dari keterangan Kak Edys, saya baru tahu kalau
Adonara ternyata mempunyai tenun ikat seperti pulau-pulau lain di wilayah NTT.
Pasalnya selama ini saya belum pernah melihatnya. Untuk melihat tenun ikat Adonara,
Kak Edys mengajak saya mampir ke rumah saudaranya di Desa Redontena. Desa yang berada di Kecamatan
Kelubagolit ini, merupakan sentra tenun ikat terbesar di Adonara. Hampir semua
perempuan di Desa Redontena bisa menenun karena sejak kecil sudah diajarai cara
menenun. Biasanya, sejak kelas IV atau V SD, anak-anak perempuan di Desa
Redontena mulai belajar menenun. Saudaranya Kak Edys yang bernama Kak Avin mulai
belajar menenun sejak kelas IV SD. Setiap harinya, dia meluangkan waktu untuk
menenun di sela-sela kesibukannya. Kak Avin dengan senang hati menunjukkan
seperangkat alat tenun miliknya yang diletakkan di teras belakang rumah. Saya
beruntung, saat itu adiknya Kak Avin sedang menenun selembar kain. Jadi saya
bisa melihat proses menenun secara langsung. Kak Avin juga menunjukkan
sarung-sarung cantik hasil tenunannya kepada saya. Motif tenun ikat Adonara ternyata
cukup sederhana, berupa garis-garis horizontal dengan diselingi motif
geometris. Walau motifnya sederhana tapi tetap indah karena warna-warnanya
menarik. Untuk menyelesaikan selembar kain, biasanya dibutuhkan waktu sekitar
satu minggu tergantung kerumitan motifnya. Kain-kain tersebut dijual dengan
harga mulai Rp 140.000,00 hingga jutaan rupiah tergantung jenis benang dan
motif kain. Yang termahal adalah kain tenun yang terbuat dari benang sutra,
biasanya dijual dengan harga di atas Rp 1.000.000,00.
Tenun ikat khas Adonara
Danau Kotakaya
Persinggahan terakhir saya di Adonara adalah Danau
Kotakaya. Danau kecil ini berada di pesisir barat laut Adonara, tepatnya di
Desa Adonara, Kecamatan Adonara. Untuk menuju danau ini, dari jalan raya utama,
kami harus belok ke kiri melewati jalan tanah berbatu sekitar 1,5 km hingga
tiba di sebuah perkampungan nelayan dengan rumah-rumah sederhana tak jauh dari
danau.
Langit mendung gelap saat kami tiba di Desa
Adonara. Kami disambut segerombolan anak-anak yang sedang bermain bola di
lapangan dekat danau. Saya pun mendekati mereka, untuk ngobrol-ngobrol sejenak.
Melihat saya menenteng kamera, anak-anak tersebut meminta saya memotretnya.
Saya pun menuruti kemauan mereka. Ketika saya tunjukkan hasil foto, mereka
tersenyum dengan gembira.
Danau Kotakaya yang berair asin
Setelah bercengkerama dengan anak-anak, saya dan
Kak Edys bergerak menuju danau. Kami berjalan di pinggiran danau yang sudah
dipagari dengan tembok rendah. Danau Kotakaya sebenarnya adalah laguna karena
letaknya di dekat pantai. Tak heran kalau danau ini berair asin. Suasana Danau
Kotakaya cukup asri berkat banyaknya tanaman bakau (mangrove) yang tumbuhi di
berbagai sudut danau. Sayangnya, hujan turun saat kami sedang asyik berkeliling
danau. Mau tak mau kami harus menyudahi acara keliling danau dan mencari tempat
berteduh hingga hujan reda.
Kunjungan ke Danau Kotakaya menjadi penutup
petualangan kami di Pulau Adonara. Dari danau tersebut, kami meluncur ke
Pelabuhan Tanah Merah untuk menyeberang kembali ke Larantuka. Sebenarnya masih
banyak tempat menarik di Adonara tapi kami tak bisa mengunjungi semuanya dalam
sehari. Semoga suatu hari nanti saya bisa kembali ke Adonara!
How to Get There
Untuk mencapai Pulau Adonara, Anda harus terbang
dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa
terbang dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa.co.id) menuju Larantuka di
Pulau Flores atau Lewoleba di Pulau Lembata, tetangganya Adonara. Dari
Larantuka, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Adonara dengan perahu sekitar 15
menit hingga tiba di Tobilota/Tanah Merah, Adonara Barat. Selain itu, dari
Larantuka Anda juga bisa langsung menuju Waiwerang, Adonara Timur dengan naik
perahu/kapal cepat. Kalau dari Lewoleba, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke
Waiwerang dengan perahu/kapal cepat. Lama perjalanan menuju Waiwerang baik dari
Larantuka maupun Lewoleba, sekitar 90 menit dengan perahu motor atau 45 menit dengan
kapal cepat, tergantung cuaca. (edyra)***
Where to Stay
Sampai saat ini, belum ada hotel yang representatif
di Pulau Adonara. Di Waiwerang, kota terbesar di Adonara, hanya terdapat
penginapan sederhana. Oleh karena itu, sebaiknya Anda menginap di Larantuka di
mana terdapat banyak pilihan hotel/penginapan. Berikut beberapa hotel di
Larantuka yang bisa Anda pilih sebagai tempat menginap.
Hotel Asa
Jl. Soekarno-Hatta, Weri, Larantuka
Telp. (0383) 2325 018
Tarif : mulai Rp 450.000,00
Hotel
Lestari
Jl.
Yos Sudarso No. 3, Larantuka
Telp. (0383) 2325 517
Tarif : mulai Rp 200.000,00
Hotel
Kartika
Jl. Niaga No. 4, Postoh, Larantuka
Telp. (0383) 21888
Tarif : mulai Rp 85.000,00
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
20 December 2015 at 21:01
adonara BAGUS
20 December 2015 at 21:01
adonara BAGUS
1 November 2017 at 14:31
bagus
4 May 2018 at 13:30
Tanah leluhurku...memang masih perawan. Rindu Bale Lewotanah