Berfoto di Red Square dengan latar belakang Christ Church
Saya pun sangat tertarik mengunjungi Malaka. Sudah lama saya penasaran ingin menjejakkan kaki di Malaka dan melihat berbagai bangunan tua nan cantik di sana. Setelah beberapa kali gagal mengunjungi Malaka karena satu dan lain hal, untunglah awal April kemarin saya dan teman berhasil mengunjungi kota ini. Dari Terminal Bersepadu Selatan, Kuala Lumpur, kami naik bus selama hampir dua jam untuk mencapai Malaka.
Tempat pertama yang kami tuju di Malaka adalah Red Square (Dutch Square) yang berada di Bagian Kota Tua Malaka. Di sana terdapat sejumlah bangunan tua peninggalan kolonial dengan arsitektur yang unik dan masih dalam kondisi sangat terawat. Agar bisa menjelajah Kota Tua Malaka dengan leluasa, kami sengaja memilih hotel yang letaknya tak jauh dari kawasan tersebut. Dari hotel tempat kami menginap, kami hanya perlu jalan kaki lima menit untuk menuju Red Square. Tak perlu naik bus atau taxi sehingga lebih hemat waktu dan biaya.
Kapal Flor de La Mar yang difungsikan sebagai Museum Maritim
Dalam perjalanan menuju Red Square, saya terkesima melihat sebuah kapal kayu mirip pinisi cukup besar di pinggir Jalan Merdeka. Ternyata kapal unik tersebut adalah replika Kapal Flor de la Mar, Kapal Portugis yang tenggelam di Selat Malaka pada bulan November 1511. Sekarang ini, replika kapal tersebut difungsikan sebagai Museum Maritim (Muzium Samudera). Dengan membayar tiket masuk RM 3 (Rp 9.000,00), saya dan teman singgah ke museum ini. Sebelum masuk ke dalam museum, kami jalan-jalan di sekitar museum terlebih dahulu. Tentunya saya memotret ‘museum kapal’ yang berukuran panjang 36 meter, lebar 8 meter, dan tinggi 34 meter tersebut. Masuk ke dalam museum, kami terpukau dengan penataan (display) museum yang apik dan menarik. Beragam benda maritim peninggalan Kesultanan Melayu Melaka dipamerkan di dalam museum. Mulai dari berbagai model kapal, meriam, pakaian pelaut, peta kuno, artefak hingga visualisasi kamar tahanan kapal yang kondisinya amat menyeramkan. Kami juga naik ke geladak kapal untuk berfoto dan menikmati panorama Sungai Malaka.
Puas menjelajah Museum Maritim, kami segera menuju Red Square, jantung wisatanya Malaka. Suasana begitu ramai ketika kami tiba di sana. Turis dari berbagai negara berjubel di sana. Kebanyakan sedang berfoto ataupun memotret berbagai bangunan cantik yang ada di sana. Saya pun tak mau ketinggalan memotret gedung-gedung cantik tersebut. Red Square memang menawan. Dikelilingi bangunan-bangunan berwarna merah salmon (makanya dinamakan Red Square) dengan air mancur dan bunga warna-warni di tengah alun-alun, tempat ini sukses menjadi objek foto favorit para turis. Di tambah lagi becak hias yang banyak berlalu lalang dan parkir menunggu penumpang di sana, yang semakin menambah semarak suasan Red Square.
Becak Malaka yang meriah
Ada yang unik dengan Becak Malaka. Tidak seperti becak kebanyakan di Indonesia, Becak Malaka dihiasi bunga warna-warni yang meriah dengan atap berupa payung yang juga dihias bunga-bunga. Pengemudi becak berada di depan tidak seperti becak di Indonesia yang di belakang. Becak-becak tersebut dilengkapi dengan musik yang meriah, kebanyakan musik dangdut/melayu. Untuk menaiki becak ini, kita harus membayar RM 40 (sekitar Rp 120.000,00) per jam. Pengemudi becak akan mengantar kita keliling Kota Tua Malaka, melewati berbagai landmark Malaka. Bila kita hanya memiliki waktu singkat di Malaka, naik Becak Malaka adalah pilihan yang tepat.
Setidaknya ada empat bangunan bersejarah di Red Square. Semuanya berwarna merah nan indah, yaitu : Stadthuys, Christ Church, Museum Pemuda Malaysia/Muzium Belia Malaysia (Malaysia Youth Museum), dan Menara Jam (Clock Tower). Gedung yang saya pilih pertama Stadthuys. Dulu, gedung ini merupakan Balai Kota Malaka. Dibangun pada tahun 1650, Stadthuys menjadi bangunan peninggalan Belanda tertua di kawasan Asia. Sekarang ini, Stadthuys difungsikan sebagai Museum Sejarah dan Etnografi (Museum of History and Ethnography). Untuk memasuki Stadthuys, kita harus membayar tiket masuk RM 5 untuk dewasa dan RM 2 untuk anak-anak.
Dari Stadthuys, saya bergerak menuju Christ Church, Gereja Protestan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1741 dan selesai pada tahun 1753. Meski sudah berumur 259 tahun, gereja ini tetap terlihat cantik dan terawat. Sampai saat ini, gereja ini masih digunakan sebagai tempat ibadah. Setiap hari minggu, kebaktian dalam Bahasa Inggris dilaksanakan di gereja ini. Para turis yang berminat juga dizinkan mengikuti misa/kebaktian di gereja ini.
Menyusuri Jalan Laksamana yang di kanan-kirinya berdiri bangunan berwarna merah salmon, kami tiba di Gereja St. Francis Xavier (St. Francis Xavier’s Church). Gereja Katolik bergaya Gothic dengan warna krem ini dibangun pada tahun 1849 untuk menghormati St. Francis Xavier atas jasanya menyebarkan Agama Katolik di Kawasan Asia Tenggara pada abad XVI. Meski sudah berumur ratusan tahun, gereja ini juga masih berfungsi sampai sekarang. Salut buat Pemerintah Malaysia yang bisa merawat bangunan-bangunan tuanya dengan sangat baik sehingga bisa menjadi objek wisata yang menarik.
Bukit St.Paul adalah tujuan saya berikutnya.
Gereja St. Francis Xavier
Kami berjalan melewati Red Square lagi dan berbelok ke kiri untuk mencapai bukit ini. Selanjutnya, kami harus mendaki ratusan anak tangga untuk mencapai puncak bukit. Di puncak Bukit St.Paul terdapat reruntuhan Gereja St.Paul (St. Paul’s Church). Gereja Katolik ini dibangun Kapten Portugis bernama Duarte Coelho pada tahun 1521. Sayangnya bangunan gereja ini sudah tidak utuh lagi. Jadinya, kami hanya duduk-duduk sambil mengamati panorama yang cukup indah di sekeliling kami. Kota Malaka tampak di bawah kami dan Selat Malaka juga tampak di kejauhan.
Gerbang Benteng A Famosa (Porta de Santiago)
Berjalan menuruni Bukit St.Paul, kami tiba di sebuah benteng tua bernama A Famosa. Benteng ini dibangun oleh Laksamana Portugis, Alfonso d’Albuquerque pada tahun 1511. A Famosa mengalami tiga kali pergantian penguasa. Dari tahun 1511 - 1641 berada di bawah penguasaan Portugis, tahun 1641 -1795 berada di bawah penguasaan Belanda, dan tahun 1795 - 1807 berada di bawah penguasaan Inggris. A Famosa mengalami kerusakan parah pada masa invasi Belanda pada tahun 1641. Untunglah pada tahun 1810 Sir Thomas Stamford Raffles (Pejabat Inggris, Pendiri Singapura) berhasil menyelamatkan gerbangnya yang bernama Porta de Santiago seperti yang tersisa saat ini. Meski hanya tinggal gerbang dan beberapa meriam di depannya, reruntuhan benteng ini tak pernah luput dari kunjungan turis.
Replika Istana Kesultanan Malaka
Tak jauh dari A Famosa terdapat bangunan unik yang tak lain adalah Replika Istana Kesultanan Malaka (Melaka Sultanate Palace). Untuk memasuki kawasan ini, pengunjung dewasa harus membayar RM 2 dan anak-anak RM 1. Tertarik dengan bentuk bangunannya yang unik, saya pun mampir ke istana tersebut. Replika istana ini merupakan Replika Istana Sultan Mansur Shah yang memerintah Melaka dari tahun 1456 hingga 1477. Replika istana ini dibangun pada tahun 1984, dan kemudian difungsikan sebagai Museum Sejarah dan Kebudayaan Melaka pada tanggal 17 Juli 1986. Keseluruhan bangunan replika istana ini terbuat dari kayu, mulai dari tiang, dinding hingga atap. Di dalam museum dipamerkan macam-macam baju adat, alat musik tradisional, hingga jenis-jenis senjata tradisional Malaka.
Sungai Malaka yang bersih tanpa sampah
Menjelang senja hari, saya menuju tepian Sungai Malaka. Saya berjalan menyusuri Jalan Kota yang di sebelah kanannya berjajar sejumlah museum yang semuanya bangunannya berwarna merah salmon. Mulai dari Museum Perangko/Muziujm Setem (Stamp Museum), Museum Kecantikan/Muzium Kecantikan (Museum of Enduring Beauty), Museum/Muzium UMNO (United Malays National Organisation), Museum Islam/Muzium Islam (Melaka Islamic Museum), hingga Museum Arsitektur Malaysia/Muzium Senibina malaysia (Malaysia Architecture Museum). Malaka memang kota tua yang kaya museum.
Melaka River Cruise
Tiba di tepi Sungai Malaka, saya memilih tempat duduk di dekat Kincir Air Kesultanan Malaka. Dari sini kami bisa mengamati kapal-kapal turis yang lalu lalang di Sungai Malaka. Di kala senja, Sungai Malaka ramai oleh lalu lalang kapal-kapal turis. Bila kita ingin berlayar menyusuri Sungai Malaka, kita bisa membeli tiket Melaka River Cruise seharga RM 15 (Rp 45.000,00) untuk dewasa dan RM 7 (sekitar Rp 21.000,00) untuk anak-anak. Kita akan diajak berlayar menyusuri Sungai Malaka selama 45 menit sambil menyaksikan bangunan-bangunan tua di kanan kiri sungai. Melaka River Cruise sebenarnya beroperasi sepanjang hari, dari pukul 09.00 hingga pukul 23.00. Namun, para turis biasanya lebih memilih berlayar di senja atau malam hari, karena mereka bisa melihat panorama Sungai Malaka yang lebih menarik dengan kerlap-kerlip lampu yang berwarna-warni.
Patung Naga di ujung Jonker Street
Kami beruntung berada di Malaka saat akhir pekan. Menurut petugas hotel dan brosur wisata Malaka, setiap akhir pekan di Jalan Hang Jebat yang terkenal sebagai Jonker Street, digelar Jonker Street Weekend Night Market. Pasar malam/pasar kaget ini diselenggarakan di sepanjang Jalan Hang Jebat setiap Jumat hingga Minggu, mulai pukul 18.00 hingga 24.00. Di pasar malam tersebut, kita bisa berbelanja aneka souvenir, barang antik hingga barang kebutuhan sehari-hari seperti baju, tas, aksesoris dan mainan anak-anak. Aneka makanan khas peranakan (campuran etnis Cina dan Melayu) juga tersedia. Selain menjadi area pasar kaget, di jalan sepanjang kurang lebih 1 km tersebut juga berjajar kafe, restoran dan toko souvenir. Tak heran kalau Jonker Street Weekend Night Market selalu ramai turis. Kami sampai kesulitan berjalan saking ramainya Jonker Street malam itu. Padahal jalan ini tertutup untuk kendaraan pada saat digelar Jonker Street Weekend Night Market. Semua turis yang ada di Malaka seolah tumplek blek di Jonker Street. Sepertinya mereka tak mau ketinggalan menyaksikan kemeriahan Jonker Street Weekend Night Market.
Menara Tamingsari
Esoknya, kami menyempatkan diri mampir ke Menara Tamingsari sebelum kembali ke Kuala Lumpur. Sepertinya, keterlaluan sekali kalau kami tidak singgah ke menara ini karena letaknya benar-benar di depan hotel kami. Kata teman saya, dari puncak menara ini kami bisa melihat panorama Kota Malaka yang memukau. Dengan membayar tiket RM 20 (sekitar Rp 60.000,00) per orang, kami pun naik Menara Tamingsari. Dan benar kata teman saya, dari puncak menara yang setinggi 110 meter, kami bisa melihat panoram Kota Malaka yang memukau. Begitu sampai di puncak menara, kabin yang kami naiki berputar 360˚ sehingga kami bisa melihat hampir keseluruhan Kota Malaka. Kawasan kota tua, kawasan pertokoan Dataran Pahlawan Megamall dan Mahkota Parade Shopping Complex hingga laut (selat Malaka) terlihat dari puncak menara. Rasanya tidak rugi kami bayar mahal untuk naik menara ini. kunjungan ke Menara Tamingsari menjadi penutup kunjungan yang sempurna di Malaka.
Getting There
Malaka terletak di antara Kuala Lumpur dan Singapura. Jadi Anda bisa mencapai Malaka dari kedua kota tersebut. Dari Kuala Lumpur, Anda butuh waktu sekitar dua jam sedangkan dari Singapura, Anda butuh waktu sekitar tiga jam. Bila Anda berangkat dari Kuala Lumpur, Anda bisa naik bus dari Terminal Bersepadu Selatan (TBS), yang letaknya agak di luar Kota Kuala Lumpur.. Di terminal baru yang sangat bagus tersebut, tersedia bus tujuan Malaka yang berangkat tiap jam, sejak pagi hingga sore hari. Harga tiket sekali jalan berkisar RM 9 (sekitar RP 27.000,00) – RM 12,5 (Rp 37.500,00). (edyra)***