Penulis berpose di salah satu jembatan di Qibao
Shanghai merupakan kota terbesar di Cina dan salah
satu metropolitan tersibuk di dunia. Kota ini dipenuhi gedung-gedung pencakar
langit nan megah, setinggi ratusan meter. Irama kota bergerak cepat dan semua
orang terlihat sibuk setiap harinya. Namun, di balik hiruk-pikuk dan
kemegahannya, ternyata Shanghai mempunyai beberapa kota air (water town) yang masih mempertahankan
budaya asli Cina. Kota-kota air ini sangat
unik dan menarik.
Setidaknya ada sembilan kota air yang berada di
sekitar Shanghai. Namun, karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat
mengunjungi salah satunya, yaitu Qibao. Qibao dibangun pada masa Dinasti Song
(960 – 1126) dan berkembang menjadi pusat bisnis yang makmur pada Dinasti Ming
(1368 - 1644) dan Dinasti Qing (1644 – 1911). Qibao berarti tujuh harta karun dalam Bahasa Mandarin. Menurut legenda setempat, dulunya ada tujuh harta karun di kota ini, yaitu : sepasang sumpit giok, kitab suci dari emas, pohon catalpa berumur ribuan tahun, ayam jantan emas, kapak
batu giok, Patung Buddha dari besi,
dan lonceng
perunggu yang dibuat pada zaman
Dinasti Ming. Sayangnya, hanya kitab emas dan lonceng perunggu yang bertahan sampai hari ini.
Qibao merupakan kota air yang letaknya paling dekat
dengan pusat Kota Shanghai. Kota kecil yang berada di Distrik Minhang ini,
jaraknya hanya sekitar 15 km di sebelah selatan Shanghai. Dibanding kota air
lainnya, Qibao merupakan kota air paling kecil. Luas wilayahnya hanya sekitar 2
km persegi sehingga dijuluki “Mini Water
Town.” Meski ukurannya tergolong mini, bukan berarti Qibao tak menarik.
Kota ini jadi pilihan yang tepat bila Anda ingin melihat sisi tradisional
Shanghai.
Untuk mencapai Qibao dari Shanghai sangat mudah.
Kita bisa naik bus atau kereta bawah tanah (Metro). Karena tak mahir berbahasa
Mandarin dan tak mau mengambil risiko tersesat, kami memilih cara aman dan
hemat, yaitu naik Metro. Dengan naik metro, kami tak perlu bersusah payah
menggunakan bahasa tarsan untuk menanyakan bus yang menuju Qibao ke Warga
Shanghai yang sebagian besar tak bisa berbahasa Inggris. Selain itu, juga hemat
waktu dan biaya, karena Qibao sudah terhubung dengan jaringan kereta bawah
tanah Shanghai. Dengan tiket terusan yang berlaku 12 jam, seharga 12 Yuan (sekitar
Rp 18.000,00) saya sudah bisa mencapai Qibao.
Saya dan teman naik Metro jalur 9 dan turun di
Stasiun Qibao, Exit 2. Dari pusat
kota Shanghai hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk mencapai Stasiun
Qibao. Kemudian, dari Stasiun Qibao, kami tinggal berjalan kaki menuju Kota Air
Qibao. Sayangnya, cuaca tidak bersahabat ketika kami akan keluar dari Stasiun
Qibao. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Padahal kami tidak membawa payung
ataupun jas hujan. Mau-tak mau, kami mencari tempat berteduh. Pilihan kami
adalah sebuah mal yang berada di seberang Stasiun Qibao. Selain cuci mata, kami
juga mencari makan siang karena perut sudah keroncongan minta diisi.
Hujan belum juga reda sampai kami selesai makan
siang. Karena tak punya banyak waktu terbatas, kami tetap melanjutkan
perjalanan ke Qibao meski hujan masih rintik-rintik. Dari informasi yang saya
baca di buklet wisata Shanghai, Qibao berada tak jauh dari Stasiun Qibao.
Jaraknya hanya sekitar 400 meter. Makanya kami nekad berjalan kaki menuju Qibao
di tengah cuaca gerimis. Agar tidak basah, kami berjalan melipir di trotoar,
depan emperan toko.
Mendekati Qibao, suasana kota tua sudah terasa.
Jalanan beraspal berubah menjadi jalanan paving
dengan toko-toko di kanan kiri jalan. Toko-toko tersebut tidak seperti
ruko-ruko di Indonesia yang berarsitektur modern tapi menggunakan arsitektur
Cina klasik, dengan ornamen kayu di bagian depan dan atap/genteng hitam. Lampion-lampion
merah yang menggantung indah di depan toko-toko tersebut, membuat suasana
terasa sangat Cina.
Gerbang Qibao, Kota Air Mini
Alhamdulillah, hujan reda bagitu kami tiba di
Qibao. Kami disambut Gerbang khas Cina yang indah dengan hiasan beberapa
lampion merah. Di belakang gerbang, berdiri sebuah pagoda kecil tiga tingkat.
Beberapa turis nampak berfoto di depan gerbang tersebut meski udara sangat
dingin dan berkabut. Saya dan teman juga tak melewatkan kesempatan berfoto di
depan Gerbang dan Pagoda Qibao.
Gang-gang sempit di Qibao
Kami segera berjalan menyusuri gang-gang sempit di
Qibao. Gang-gang sempit dengan lantai dari batu tersebut dipenuhi toko-toko
souvenir, kedai teh, dan restoran di kanan kirinya. Arsitektur bangunannya
kompak, bergaya Cina tradisional yang didominasi ornamen kayu lengkap dengan
hiasan lampion merah. Sesekali kami
berhenti untuk memotret suasana gang yang semarak tersebut. Berjalan di antara
gang-gang sempit di Qibao, menimbulkan sensasi tersendiri. Saya seperti
dilempar ke masa Dinasti Ming, ribuan tahun lalu. Saya juga merasa berada di setting film-film kungfu yang selama ini
sering saya lihat di televisi.
Jembatan yang menjadi landmark Qibao
Kami terus berjalan hingga tiba di tepi Sungai
Puhui yang membelah Kota Qibao. Di atas sungai tersebut terbentang beberapa
jembatan dengan arsitektur unik, salah satunya adalah jembatan yang bentuknya melengkung khas Cina
dengan tiga lengkungan. Karena saat itu sungai sedang tenang, tampak bayangan
jembatan yang terlihat membentuk lingkaran sempurna. Cantik sekali! Jembatan
inilah yang menjadi landmark Qibao. Setiap
turis yang berkunjung ke Qibao, bisa dipastikan berfoto atau paling tidak, berhenti
di jembatan tersebut. Dari jembatan ini, kami bisa melihat panorama Sungai Puhui
yang indah. Di tepi sungai ini berjajar rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina
yang unik. Nampak pula beberapa perahu yang tertambat rapi di pinggir sungai.
Biasanya perahu-perahu tersebut mengangkut para turis yang ingin menyusuri
Sungai Qibao, saat cuaca bagus/cerah. Karena saat itu cuaca mendung dan
berkabut, perahu-perahu tersebut berhenti beroperasi.
Sungai Puhui yang membelah Qibao dengan perahu-perahu wisatanya
Berada di Qibao mengingatkan saya akan Venezia,
kota air yang termasyhur di Italia. Sungai Puhui yang membelah Qibao dengan perahu-perahu
kecil dan rumah-rumah unik yang berjajar di kanan kirinya, menjadikan Qibao
benar-benar mirip Venezia, cuma dalam versi mini.
Panorama Qibao yang indah, mirip dengan Venezia, Italia
Selanjutnya, kami berjalan menyusuri gang sempit di
tepi Sungai Puhui. Di beberapa spot yang menarik, kami berhenti untuk memotret
panorama cantik tersebut. Sayangnya hari itu, cuaca benar-benar tak bersahabat.
Mendung tetap menggelayut di langit Qibao dengan kabut tipis selalu menyelimuti.
Matahari yang enggan menampakkan sinarnya membuat udara sangat dingin. Dengan
terpaksa, kami pun mengakhiri kunjungan di Qibao. Sambil berjalan menuju
Stasiun Qibao, dalam hati saya berjanji, kelak akan kembali ke kota ini di
musim semi atau musim panas agar bisa melihat panorama Qibao yang lebih indah.
Getting There
Untuk mencapai Qibao, Anda bisa naik bus atau
Metro dari pusat Kota Shanghai. Bus yang menuju Qibao adalah Bus Nomor
87/91/92/91. Namun cara paling cepat dan praktis adalah dengan naik Metro. Anda bisa naik
Metro jalur 9 dan turun di Stasiun Qibao, Exit
2. Kemudian, Anda tinggal berjalan kaki sekitar 400 meter. (edyra)***