Menikmati keindahan Kota Larantuka dari Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara
Sesaat sebelum pesawat yang membawa saya terbang
dari Kupang, mendarat di Bandara Gewayantana, Larantuka, saya dibuat terpana. Di
bawah sana, saya melihat sebuah kota yang bertengger di kaki gunung, di
depannya laut biru menghampar luas, dan tepat di belakangnya gunung tinggi
menjulang! Sejenak saya terdiam, mendapat kejutan selamat datang berupa
panorama alam yang luar biasa indah bak lukisan. Baru kali ini saya melihat
sebuah kota yang berada di antara gunung dan laut. Saya yakin, siapa pun yang
melihat Larantuka dari ketinggian pasti akan terpesona. Begitu juga dengan
saya. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan kota kecil, di
ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ini.
Bandara Mungil yang Cantik
Begitu pesawat mendarat di Bandara Gewayantana dan saya
turun dari pesawat, Larantuka memberikan kejutan lagi buat saya. Panorama
sekitar bandara yang menawan membuat saya semakin jatuh cinta dengan Larantuka.
Bandara Gewayantana bukanlah bandara yang megah dengan berbagai fasilitas modern
seperti bandara-bandara di Jawa. Sebaliknya, Bandara Gewayantana hanyalah
bandara perintis yang kecil dengan fasilitas sangat sederhana. Landasan pacunya
hanya sepanjang 1.400 meter dan gedung terminalnya sangat kecil, dengan ruangan
yang sempit. Terminal kedatangan kira-kira hanya berukuran 3 x 3 meter. Tak ada
troli, tak ada conveyor belt. Jadi,
bagasi akan dibagikan langsung oleh petugas bandara kepada para penumpang
sesuai nomor masing-masing. Namun, di balik fasilitasnya yang sederhana, Bandara
Gewayantana mempunyai keistimewaan tersendiri. Tak lain adalah suasana bandara
yang bersih dan asri serta panorama di sekitarnya yang menakjubkan. Begitu
turun dari pesawat, penumpang akan disambut taman kecil dengan bunga-bunga
cantik aneka warna yang berada di antara apron dan gedung terminal. Di
kejauhan, berdiri gagah Gunung Ile Mandiri yang menjulang setinggi 1.501 meter
sebagai latar belakangnya. Saat saya datang, puncak Gunung Ile Mandiri tertutup
awan tapi tak mengurangi keindahannya.
Bandara Gewayantana dengan panorama yang indah
Tak ada taksi ataupun bus, yang akan membawa
turis/pengunjung ke pusat kota Larantuka. Pilihannya hanyalah mobil travel atau
ojek. Saya memilih naik ojek karena selain lebih murah juga lebih cepat.
Apalagi jarak bandara ke pusat kota Larantuka tak begitu jauh, hanya sekitar 10
km. Saya langsung minta di antar ke sebuah hotel yang berada di daerah Postoh,
tak jauh dari Pelabuhan Larantuka.
Setelah check
in di hotel, saya menghubungi teman yang asli Larantuka via telepon untuk meminta
informasi tentang penyewaan sepeda motor ataupun tukang ojek yang bisa
mengantar saya mengunjungi tempat-tempat menarik di Larantuka. Pasalnya,
kendaraan umum di Larantuka tidak menjangkau semua tempat wisata yang ada di
sana. Jadi pilihannya adalah menyewa kendaraan atau naik ojek. Sebenarnya teman
saya ingin menemani saya jalan-jalan keliling Larantuka. Namun, karena hari itu
dia ada jadwal mengajar, jadinya tidak bisa menemani saya. Sebagai gantinya,
dia mencarikan tukang ojek yang sekaligus berperan jadi guide (pemandu) untuk saya.
Taman Doa Mater Dolorosa
Sambil menunggu tukang ojek datang, saya
jalan-jalan dulu ke Taman Doa Mater Dolorosa yang berada tak begitu jauh dari
hotel. Taman ini berada di pinggir pantai, di Jalan Basuki Rachmat. Di taman
ini terdapat 12 bangunan berbentuk rumah mini berjajar di sepanjang bibir pantai.
Di tiap bangunan terdapat pahatan gambar berwarna emas yang menceritakan
Prosesi Jalan Salib. Di ujung sebelah utara terdapat sebuah patung besar berwarna putih menghadap altar dengan
tulisan Mater Dolorosa (artinya Bunda
Dukacita). Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang sedang duduk sambil
memangku Yesus dengan raut wajah yang sedih.
Di
seberang jalan, berdiri sebuah kapel (gereja kecil) dengan arsitektur bangunan
yang cantik dan menarik, yang tak lain adalah Kapel Tuan Ana. Nun jauh di
belakang kapel, berdiri menjulang Gunung Ile Mandiri yang saat itu puincaknya
tertutup awan. Taman Doa Mater Dolorosa beserta Kapel Tuan
Ana ini merupakan salah satu ikon (landmark)
Kota Larantuka. Tak heran kalau tempat ini selalu menjadi tujuan utama
sekaligus objek foto favorit para turis yang berkunjung ke Larantuka. Untungnya
pagi itu, suasana sangat sepi, tak ada pengunjung lain selain saya. Jadi saya
bisa memotret dengan leluasa.
Patung Mater Dolorosa dan kapel Tuan Ana
Sebenarnya masih banyak kapel-kapel cantik
lainnya di Larantuka karena kota ini memang mempunyai julukan sebagai “Kota
Seribu Kapel.” Namun, saya harus menunda kunjungan ke kapel-kapel tersebut
karena teman saya sudah menelpon saya, memberitahukan bahwa tukang ojek yang
saya pesan sudah tiba di hotel. Saya pun segera kembali ke hotel.
Tiba di hotel, saya
langsung disambut seseorang yang duduk di depan kamar hotel saya. Dia adalah
Bang Rauf, tukang ojek sekaligus guide
yang direkomendasikan teman saya. Dia akan menemani saya jalan-jalan keliling Larantuka.
Dia menanyakan ke saya, mau ke mana saja hari ini. Saya pun menyebutkan
beberapa tempat yang saya tahu, di antaranya Danau Asmara, Pantai Weri, dan Pantai
Kawaliwu. Bang Rauf pun siap untuk mengantar saya ke tempat-tempat tersebut.
Danau Asmara
Tempat pertama
yang akan kami kunjungi adalah Danau Asmara. Namanya yang terdengar indah dan
romantis, membuat saya penasaran. Sayangnya, danau tersebut letaknya cukup jauh
dari Larantuka dan jalan menuju ke sana sebagian besar rusak. Namun, karena
Bang Rauf tahu saya sangat ingin ke Danau Asmara, dia siap mengantar saya ke
sana.
Perjalanan menuju
Danau Asmara memang butuh perjuangan dan kesabaran. Jalan yang sebagian besar
rusak dengan lubang menganga di sana-sini membuat pengendara sepeda motor harus
waspada dan ekstra hati-hati. Apalagi saat itu sedang musim penghujan, sehingga
jalan menjadi licin dan banyak genangan di mana-mana. Untunglah Bang Rauf
sangat lihai mengendarai sepeda motor meski jalan sangat buruk. Jadi saya bisa
membonceng dengan tenang tanpa khawatir jatuh.
Setelah dua jam lebih
berkendara, kami pun tiba di tempat parkir Danau Asmara. Dari tempat parkir,
kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak di antara pepohonan yang lebat
sejauh 300 meter. Jalan setapak tersebut sebagian sudah disemen dan sebagian
masih berupa jalan tanah. Di beberapa tempat jalan tertutup rumput/semak-semak
dan terhalang pohon tumbang. Kondisinya sangat licin karena saat itu sedang
musim penghujan. Tak ada rambu-rambu ataupun penunjuk arah yang menunjukkan
Danau Asmara. Kalau tidak diantar pemandu ataupun warga asli Larantuka, saya
yakin turis/pengunjung akan kesulitan menemukan Danau Asmara.
Jalan menuju Danau Asmara
Danau Asmara terbentuk
akibat letusan Gunung Sodoberawao Kobanara pada tahun 400 - 500 SM. Danau ini
berada di bagian kepala naga Pulau Flores, tepatnya di Desa Waibao, Kecamatan
Tanjung Bunga. Jaraknya sekitar 45 km dari pusat Kota Larantuka. Karena
sebagian besar jalannya rusak, jarak yang hanya 45 km tersebut harus ditempuh
selama 2 jam lebih berkendara. Namun, perjuangan berat menuju Danau Asmara akan
terbayar lunas begitu sampai di sana. Mata kita akan dimanjakan oleh danau
berbentuk oval, dengan diameter sekitar 500 meter dan kedalaman sekitar 20
meter. Air danau yang tenan, pepohonan yang hijau di sekeliling danau, dan kicauan
burung yang bersahutan membuat suasana terasa damai dan menenteramkan.
Danau Asmara yang tenang dan indah
Sebenarnya nama
asli Danau Asmara adalah Danau Waibelen ini. Namun, danau cantik ini lebih dikenal
dengan nama Danau Asmara karena konon ada kisah asmara nan tragis yang pernah terjadi
di sana. Menurut penduduk setempat, dulu ada sepasang kekasih yang nekad bunuh
diri di danau ini karena cinta mereka tidak direstui oleh orang tua mereka.
Kemudian, jasad mereka menjadi sepasang buaya putih yang menjadi penghuni tetap
Danau Asmara hingga kini. Kedua buaya tersebut tidak akan menampakkan diri
kepada pengunjung. Mereka hanya akan menampakkan diri jika dipanggil dengan
upacara adat, dengan serangkaian ritual khusus yang dipimpin tetua adat
setempat.
Pantai Weri yang indah tapi sepi
Pantai Weri
Berada di ujung timur Pulau Flores, membuat Larantuka
memiliki banyak pantai cantik. Salah satunya adalah Pantai Weri yang berada tak
jauh dari pusat kota. Pantai Weri merupakan pantai kebanggaan Warga Larantuka. Pantai
ini berpasir putih kekuningan dengan air laut yang bening. Meski berada di
kota, Pantai Weri cukup bersih dan indah. Tak ada sampah yang berserakan di
pantai ini sehingga membuat pengunjung nyaman. Selain itu, Pantai Weri juga
masih sangat alami. Tak ada kafe, restoran atapun warung makan di sekitar
pantai. Aktivitas yang bisa kita lakukan di Pantai Weri adalah berenang,
berjemur, bermain pasir atau sekedar bermalas-malasan di tepi pantai sambil
membaca buku. Dari pantai ini, kita juga bisa melihat Pulau Adonara di sebelah
timur. Bila ingin melihat panorama matahari terbit (sunrise), Pantai Weri merupakan lokasi yang tepat karena menghadap
ke timur.
Pantai Kawaliwu
Dari Pantai Weri kami bergerak menuju pantai
lainnya, yaitu Pantai Kawaliwu. Pantai ini berada di Desa Kawaliwu, Kecamatan
Lewolema. Jaraknya sekitar 20 km dari pusat Kota Larantuka. Panorama di Pantai
Kawaliwu tergolong biasa saja. Di salah satu sudut pantai dihiasi batu-batu
besar sementara di bagian lain dihiasi pasir hitam dan kerikil-kerikil kecil
yang menghampar luas. Berbeda dengan Pantai Weri yang menghadap ke timur,
Pantai Kawaliwu menghadap ke barat sehingga cocok untuk melihat panorama
matahari terbenam (sunset).
Pantai Kawaliwu dengan batu-batu berserakan yang membuatnya semakin eksotis
Selain hamparan kerikil dan batu-batu besar, ada
satu keunikan yang membuat Pantai Kawaliwu jadi istimewa. Tak lain adalah
adanya sumber air panas di pinggir pantai. Dengan menggali lubang di antara
kerikil-kerikil di tepi pantai, maka akan keluar mata air panas yang mengandung
belerang. Saat berkunjung ke Pantai Kawaliwu, kami bertemu beberapa orang yang
sedang mandi air hangat di pinggir pantai. Mereka menggali beberapa lubang di
tepi pantai, kemudian mandi dengan air hangat tersebut. Karena penasaran, saya pun mencoba menyibak
air yang berada di lubang-lubang tersebut. Ternyata airnya memang hangat. Di beberapa
lubang, airnya malah terasa panas. Suhunya sekitar 70 - 80 derajat Celcius.
Mata air panas di tepi Pantai Kawaliwu
Sebenarnya saya ingin merasakan kehangatan mata air
panas di Pantai Kawaliwu dengan mandi di sana. Apalagi menurut penduduk
setempat, air hangat tersebut bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit karena
mengandung belerang. Namun, saya mengurungkan niat saya untuk mandi karena hari
masih sore dan udara masih panas. Rasanya kurang pas mandi air hangat di tengah
cuaca yang panas. Saya memilih untuk merendam kaki saja di lubang-lubang berisi
air panas untuk menghilangkan pegal-pegal setelah seharian jalan-jalan keliling
Larantuka. Sambil merendam kaki, saya menikmati panorama Pantai Kawaliwu dengan
debur ombak yang berkejaran. Benar-benar pantai yang unik. Baru di Flores ini,
saya bisa melihat sumber air panas yang letaknya di bibir pantai.
Menyeberang
ke Pulau Adonara
Setelah puas berendam air panas di Pantai Kawaliwu,
kami kembali ke kota Larantuka. Bang Rauf akan mengajak saya melihat panorama
terindah kota Larantuka dengan menyeberang ke pulau sebelah, yaitu Pulau
Adonara. Kami pun segera menuju ke Pelabuhan Larantuka yang lokasinya di tengah
kota. Dari pelabuhan tersebut, kami menyeberang dengan perahu motor menuju
Pelabuhan Tobilota di Pulau Adonara. Penyeberangan Larantuka - Tobilota dan
sebaliknya, dilayani perahu motor kecil dan berlangsung setiap hari, dari pagi
sampai sore. Lama penyeberangan memakan waktu sekitar 15 menit, tergantung arus
dan gelombang.
Kota Larantuka dilihat dari atas perahu dalam perjalanan ke Pulau Adonara
Ternyata benar kata Bang Rauf. Saat perahu mulai
bergerak membelah Selat Adonara, panorama cantik Kota Larantuka mulai terlihat.
Kota Larantuka dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri dan latar depan Selat
Adonara terlihat sangat menawan. Sayangnya, saya tak bisa memotret dengan
leluasa karena perahu terayun-ayun gelombang. Kata Bang Rauf, nanti saja kalau
sudah mendarat di Pelabuhan Tobilota, saya bisa memotret dengan leluasa.
Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara
Kota Larantuka dilihat dari Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara
Tak sampai 15 menit, perahu merapat di Pelabuhan
Tobilota, Pulau Adonara. Dari sini, panorama Kota Larantuka di kejauhan
terlihat sangat menakjubkan. Kota Larantuka terlihat seperti terapung di atas
laut dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri yang berdiri gagah di
belakangnya. Persis seperti foto-foto yang saya lihat di internet. Segera saya
memotret panorama mengagumkan tersebut. Rupanya, dari Pelabuhan Tobilota inilah
kita bisa melihat panorama terindah kota Larantuka. Panorama Gunung Ile
Mandiri, Kota Larantuka, dan Selat Adonara berpadu menghasilkan panorama alam
yang luar biasa indah seperti lukisan karya maestro ternama. Rasanya, tak
berlebihan kalau Larantuka mendapat predikat sebagai salah satu kota terindah
di Indonesia. Saya benar-benar jatuh cinta dengan Larantuka, dan rasanya sangat
berat untuk meninggalkan kota ini. Semoga suatu hari nanti, saya bisa
berkunjung kembali ke Larantuka.
Getting There
Cara tercepat untuk mencapai Kota Larantuka adalah
lewat jalur udara. Anda harus terbang dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT .
Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa terbang dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa.co.id)
atau Susi Air (www.susiair.com) menuju
Larantuka. Jadwal pesawat Trans Nusa ataupun Susi Air hanya beberapa kali dalam
seminggu (tidak setiap hari). Untuk memastikan jadwal pesawat ke Larantuka,
Anda bisa melihat situs masing-masing atau menghubungi via telepon. Pilihan lainnya, Anda bisa terbang ke Surabaya atau Denpasar. Kemudian dari Surabaya atau Denpasar, Anda bisa terbang ke Maumere, kota tetangga Maumere. Selanjutnya, dari Maumere, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Larantuka dengan bus yang memakan waktu sekitar 3 jam. Maskapai yang melayani penerbangan Surabaya/Denpasar - Maumere adalah Sky Aviation (www.sky-aviation.co.id) dan Lion Air (www.lionair.co.id). Sebenarnya Anda
juga bisa mengunjungi Larantuka lewat jalur laut dari Surabaya, tapi jadwalnya
tidak pasti (dua minggu sekal dan waktu perjalanan sangat lama). Jadi, saya
tidak menyarankan opsi ini. (edyra)***
Where to Stay
Hotel Asa
Jl. Soekarno-Hatta, Weri, Larantuka
Telp. (0383) 2325 018
Tarif : mulai Rp 350.000,00
Hotel
Lestari
Jl. Yos Sudarso No. 3, Larantuka
Telp. (0383) 2325 517
Telp. (0383) 2325 517
Tarif : mulai Rp 200.000,00
Hotel
Fortuna I dan II
Jl. Basuki Rachmat No. 171, Larantuka
Telp. (0383) 21140, 21383
Tarif : mulai Rp 100.000,00
Hotel
Kartika
Jl. Niaga No. 4, Postoh, Larantuka
Telp. (0383) 21888
Tarif : mulai Rp 85.000,00