Tuesday, 18 February 2014

TERJERAT PESONA LARANTUKA

Menikmati keindahan Kota Larantuka dari Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara



Sesaat sebelum pesawat yang membawa saya terbang dari Kupang, mendarat di Bandara Gewayantana, Larantuka, saya dibuat terpana. Di bawah sana, saya melihat sebuah kota yang bertengger di kaki gunung, di depannya laut biru menghampar luas, dan tepat di belakangnya gunung tinggi menjulang! Sejenak saya terdiam, mendapat kejutan selamat datang berupa panorama alam yang luar biasa indah bak lukisan. Baru kali ini saya melihat sebuah kota yang berada di antara gunung dan laut. Saya yakin, siapa pun yang melihat Larantuka dari ketinggian pasti akan terpesona. Begitu juga dengan saya. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan kota kecil, di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ini.

Bandara Mungil yang Cantik
Begitu pesawat mendarat di Bandara Gewayantana dan saya turun dari pesawat, Larantuka memberikan kejutan lagi buat saya. Panorama sekitar bandara yang menawan membuat saya semakin jatuh cinta dengan Larantuka. Bandara Gewayantana bukanlah bandara yang megah dengan berbagai fasilitas modern seperti bandara-bandara di Jawa. Sebaliknya, Bandara Gewayantana hanyalah bandara perintis yang kecil dengan fasilitas sangat sederhana. Landasan pacunya hanya sepanjang 1.400 meter dan gedung terminalnya sangat kecil, dengan ruangan yang sempit. Terminal kedatangan kira-kira hanya berukuran 3 x 3 meter. Tak ada troli, tak ada conveyor belt. Jadi, bagasi akan dibagikan langsung oleh petugas bandara kepada para penumpang sesuai nomor masing-masing. Namun, di balik fasilitasnya yang sederhana, Bandara Gewayantana mempunyai keistimewaan tersendiri. Tak lain adalah suasana bandara yang bersih dan asri serta panorama di sekitarnya yang menakjubkan. Begitu turun dari pesawat, penumpang akan disambut taman kecil dengan bunga-bunga cantik aneka warna yang berada di antara apron dan gedung terminal. Di kejauhan, berdiri gagah Gunung Ile Mandiri yang menjulang setinggi 1.501 meter sebagai latar belakangnya. Saat saya datang, puncak Gunung Ile Mandiri tertutup awan tapi tak mengurangi keindahannya.

 Bandara Gewayantana dengan panorama yang indah

Tak ada taksi ataupun bus, yang akan membawa turis/pengunjung ke pusat kota Larantuka. Pilihannya hanyalah mobil travel atau ojek. Saya memilih naik ojek karena selain lebih murah juga lebih cepat. Apalagi jarak bandara ke pusat kota Larantuka tak begitu jauh, hanya sekitar 10 km. Saya langsung minta di antar ke sebuah hotel yang berada di daerah Postoh, tak jauh dari Pelabuhan Larantuka.

Setelah check in di hotel, saya menghubungi teman yang asli Larantuka via telepon untuk meminta informasi tentang penyewaan sepeda motor ataupun tukang ojek yang bisa mengantar saya mengunjungi tempat-tempat menarik di Larantuka. Pasalnya, kendaraan umum di Larantuka tidak menjangkau semua tempat wisata yang ada di sana. Jadi pilihannya adalah menyewa kendaraan atau naik ojek. Sebenarnya teman saya ingin menemani saya jalan-jalan keliling Larantuka. Namun, karena hari itu dia ada jadwal mengajar, jadinya tidak bisa menemani saya. Sebagai gantinya, dia mencarikan tukang ojek yang sekaligus berperan jadi guide (pemandu) untuk saya.

Taman Doa Mater Dolorosa
Sambil menunggu tukang ojek datang, saya jalan-jalan dulu ke Taman Doa Mater Dolorosa yang berada tak begitu jauh dari hotel. Taman ini berada di pinggir pantai, di Jalan Basuki Rachmat. Di taman ini terdapat 12 bangunan berbentuk rumah mini berjajar di sepanjang bibir pantai. Di tiap bangunan terdapat pahatan gambar berwarna emas yang menceritakan Prosesi Jalan Salib. Di ujung sebelah utara terdapat sebuah patung besar berwarna putih menghadap altar dengan tulisan Mater Dolorosa (artinya  Bunda Dukacita). Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang sedang duduk sambil memangku Yesus dengan raut wajah yang sedih.
  

  Bangunan yang menggambarkan Prosesi Jalan Salib di Taman Doa Mater Dolorosa

Di seberang jalan, berdiri sebuah kapel (gereja kecil) dengan arsitektur bangunan yang cantik dan menarik, yang tak lain adalah Kapel Tuan Ana. Nun jauh di belakang kapel, berdiri menjulang Gunung Ile Mandiri yang saat itu puincaknya tertutup awan. Taman Doa Mater Dolorosa beserta Kapel Tuan Ana ini merupakan salah satu ikon (landmark) Kota Larantuka. Tak heran kalau tempat ini selalu menjadi tujuan utama sekaligus objek foto favorit para turis yang berkunjung ke Larantuka. Untungnya pagi itu, suasana sangat sepi, tak ada pengunjung lain selain saya. Jadi saya bisa memotret dengan leluasa. 

  Patung Mater Dolorosa dan kapel Tuan Ana

Sebenarnya masih banyak kapel-kapel cantik lainnya di Larantuka karena kota ini memang mempunyai julukan sebagai “Kota Seribu Kapel.” Namun, saya harus menunda kunjungan ke kapel-kapel tersebut karena teman saya sudah menelpon saya, memberitahukan bahwa tukang ojek yang saya pesan sudah tiba di hotel. Saya pun segera kembali ke hotel.

Tiba di hotel, saya langsung disambut seseorang yang duduk di depan kamar hotel saya. Dia adalah Bang Rauf, tukang ojek sekaligus guide yang direkomendasikan teman saya. Dia akan menemani saya jalan-jalan keliling Larantuka. Dia menanyakan ke saya, mau ke mana saja hari ini. Saya pun menyebutkan beberapa tempat yang saya tahu, di antaranya Danau Asmara, Pantai Weri, dan Pantai Kawaliwu. Bang Rauf pun siap untuk mengantar saya ke tempat-tempat tersebut.

Danau Asmara
Tempat pertama yang akan kami kunjungi adalah Danau Asmara. Namanya yang terdengar indah dan romantis, membuat saya penasaran. Sayangnya, danau tersebut letaknya cukup jauh dari Larantuka dan jalan menuju ke sana sebagian besar rusak. Namun, karena Bang Rauf tahu saya sangat ingin ke Danau Asmara, dia siap mengantar saya ke sana.

Perjalanan menuju Danau Asmara memang butuh perjuangan dan kesabaran. Jalan yang sebagian besar rusak dengan lubang menganga di sana-sini membuat pengendara sepeda motor harus waspada dan ekstra hati-hati. Apalagi saat itu sedang musim penghujan, sehingga jalan menjadi licin dan banyak genangan di mana-mana. Untunglah Bang Rauf sangat lihai mengendarai sepeda motor meski jalan sangat buruk. Jadi saya bisa membonceng dengan tenang tanpa khawatir jatuh.

Setelah dua jam lebih berkendara, kami pun tiba di tempat parkir Danau Asmara. Dari tempat parkir, kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak di antara pepohonan yang lebat sejauh 300 meter. Jalan setapak tersebut sebagian sudah disemen dan sebagian masih berupa jalan tanah. Di beberapa tempat jalan tertutup rumput/semak-semak dan terhalang pohon tumbang. Kondisinya sangat licin karena saat itu sedang musim penghujan. Tak ada rambu-rambu ataupun penunjuk arah yang menunjukkan Danau Asmara. Kalau tidak diantar pemandu ataupun warga asli Larantuka, saya yakin turis/pengunjung akan kesulitan menemukan Danau Asmara.

 Jalan menuju Danau Asmara

Danau Asmara terbentuk akibat letusan Gunung Sodoberawao Kobanara pada tahun 400 - 500 SM. Danau ini berada di bagian kepala naga Pulau Flores, tepatnya di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga. Jaraknya sekitar 45 km dari pusat Kota Larantuka. Karena sebagian besar jalannya rusak, jarak yang hanya 45 km tersebut harus ditempuh selama 2 jam lebih berkendara. Namun, perjuangan berat menuju Danau Asmara akan terbayar lunas begitu sampai di sana. Mata kita akan dimanjakan oleh danau berbentuk oval, dengan diameter sekitar 500 meter dan kedalaman sekitar 20 meter. Air danau yang tenan, pepohonan yang hijau di sekeliling danau, dan kicauan burung yang bersahutan membuat suasana terasa damai dan menenteramkan.
 

Danau Asmara yang tenang dan indah

Sebenarnya nama asli Danau Asmara adalah Danau Waibelen ini. Namun, danau cantik ini lebih dikenal dengan nama Danau Asmara karena konon ada kisah asmara nan tragis yang pernah terjadi di sana. Menurut penduduk setempat, dulu ada sepasang kekasih yang nekad bunuh diri di danau ini karena cinta mereka tidak direstui oleh orang tua mereka. Kemudian, jasad mereka menjadi sepasang buaya putih yang menjadi penghuni tetap Danau Asmara hingga kini. Kedua buaya tersebut tidak akan menampakkan diri kepada pengunjung. Mereka hanya akan menampakkan diri jika dipanggil dengan upacara adat, dengan serangkaian ritual khusus yang dipimpin tetua adat setempat.

  Pantai Weri yang indah tapi sepi

Pantai Weri
Berada di ujung timur Pulau Flores, membuat Larantuka memiliki banyak pantai cantik. Salah satunya adalah Pantai Weri yang berada tak jauh dari pusat kota. Pantai Weri merupakan pantai kebanggaan Warga Larantuka. Pantai ini berpasir putih kekuningan dengan air laut yang bening. Meski berada di kota, Pantai Weri cukup bersih dan indah. Tak ada sampah yang berserakan di pantai ini sehingga membuat pengunjung nyaman. Selain itu, Pantai Weri juga masih sangat alami. Tak ada kafe, restoran atapun warung makan di sekitar pantai. Aktivitas yang bisa kita lakukan di Pantai Weri adalah berenang, berjemur, bermain pasir atau sekedar bermalas-malasan di tepi pantai sambil membaca buku. Dari pantai ini, kita juga bisa melihat Pulau Adonara di sebelah timur. Bila ingin melihat panorama matahari terbit (sunrise), Pantai Weri merupakan lokasi yang tepat karena menghadap ke timur.

Pantai Kawaliwu
Dari Pantai Weri kami bergerak menuju pantai lainnya, yaitu Pantai Kawaliwu. Pantai ini berada di Desa Kawaliwu, Kecamatan Lewolema. Jaraknya sekitar 20 km dari pusat Kota Larantuka. Panorama di Pantai Kawaliwu tergolong biasa saja. Di salah satu sudut pantai dihiasi batu-batu besar sementara di bagian lain dihiasi pasir hitam dan kerikil-kerikil kecil yang menghampar luas. Berbeda dengan Pantai Weri yang menghadap ke timur, Pantai Kawaliwu menghadap ke barat sehingga cocok untuk melihat panorama matahari terbenam (sunset).
 
Pantai Kawaliwu dengan batu-batu berserakan yang membuatnya semakin eksotis

Selain hamparan kerikil dan batu-batu besar, ada satu keunikan yang membuat Pantai Kawaliwu jadi istimewa. Tak lain adalah adanya sumber air panas di pinggir pantai. Dengan menggali lubang di antara kerikil-kerikil di tepi pantai, maka akan keluar mata air panas yang mengandung belerang. Saat berkunjung ke Pantai Kawaliwu, kami bertemu beberapa orang yang sedang mandi air hangat di pinggir pantai. Mereka menggali beberapa lubang di tepi pantai, kemudian mandi dengan air hangat tersebut.  Karena penasaran, saya pun mencoba menyibak air yang berada di lubang-lubang tersebut. Ternyata airnya memang hangat. Di beberapa lubang, airnya malah terasa panas. Suhunya sekitar 70 - 80 derajat Celcius. 
 
Mata air panas di tepi Pantai Kawaliwu

Sebenarnya saya ingin merasakan kehangatan mata air panas di Pantai Kawaliwu dengan mandi di sana. Apalagi menurut penduduk setempat, air hangat tersebut bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit karena mengandung belerang. Namun, saya mengurungkan niat saya untuk mandi karena hari masih sore dan udara masih panas. Rasanya kurang pas mandi air hangat di tengah cuaca yang panas. Saya memilih untuk merendam kaki saja di lubang-lubang berisi air panas untuk menghilangkan pegal-pegal setelah seharian jalan-jalan keliling Larantuka. Sambil merendam kaki, saya menikmati panorama Pantai Kawaliwu dengan debur ombak yang berkejaran. Benar-benar pantai yang unik. Baru di Flores ini, saya bisa melihat sumber air panas yang letaknya di bibir pantai.

Menyeberang ke Pulau Adonara
Setelah puas berendam air panas di Pantai Kawaliwu, kami kembali ke kota Larantuka. Bang Rauf akan mengajak saya melihat panorama terindah kota Larantuka dengan menyeberang ke pulau sebelah, yaitu Pulau Adonara. Kami pun segera menuju ke Pelabuhan Larantuka yang lokasinya di tengah kota. Dari pelabuhan tersebut, kami menyeberang dengan perahu motor menuju Pelabuhan Tobilota di Pulau Adonara. Penyeberangan Larantuka - Tobilota dan sebaliknya, dilayani perahu motor kecil dan berlangsung setiap hari, dari pagi sampai sore. Lama penyeberangan memakan waktu sekitar 15 menit, tergantung arus dan gelombang.

 Kota Larantuka dilihat dari atas perahu dalam perjalanan ke Pulau Adonara

Ternyata benar kata Bang Rauf. Saat perahu mulai bergerak membelah Selat Adonara, panorama cantik Kota Larantuka mulai terlihat. Kota Larantuka dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri dan latar depan Selat Adonara terlihat sangat menawan. Sayangnya, saya tak bisa memotret dengan leluasa karena perahu terayun-ayun gelombang. Kata Bang Rauf, nanti saja kalau sudah mendarat di Pelabuhan Tobilota, saya bisa memotret dengan leluasa.

 Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara

 Kota Larantuka dilihat dari Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara

Tak sampai 15 menit, perahu merapat di Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara. Dari sini, panorama Kota Larantuka di kejauhan terlihat sangat menakjubkan. Kota Larantuka terlihat seperti terapung di atas laut dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri yang berdiri gagah di belakangnya. Persis seperti foto-foto yang saya lihat di internet. Segera saya memotret panorama mengagumkan tersebut. Rupanya, dari Pelabuhan Tobilota inilah kita bisa melihat panorama terindah kota Larantuka. Panorama Gunung Ile Mandiri, Kota Larantuka, dan Selat Adonara berpadu menghasilkan panorama alam yang luar biasa indah seperti lukisan karya maestro ternama. Rasanya, tak berlebihan kalau Larantuka mendapat predikat sebagai salah satu kota terindah di Indonesia. Saya benar-benar jatuh cinta dengan Larantuka, dan rasanya sangat berat untuk meninggalkan kota ini. Semoga suatu hari nanti, saya bisa berkunjung kembali ke Larantuka.

Getting There
Cara tercepat untuk mencapai Kota Larantuka adalah lewat jalur udara. Anda harus terbang dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT . Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa terbang dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa.co.id) atau Susi Air (www.susiair.com) menuju Larantuka. Jadwal pesawat Trans Nusa ataupun Susi Air hanya beberapa kali dalam seminggu (tidak setiap hari). Untuk memastikan jadwal pesawat ke Larantuka, Anda bisa melihat situs masing-masing atau menghubungi via telepon. Pilihan lainnya, Anda bisa terbang ke Surabaya atau Denpasar. Kemudian dari Surabaya atau Denpasar, Anda bisa terbang ke Maumere, kota tetangga Maumere. Selanjutnya, dari Maumere, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Larantuka dengan bus yang memakan waktu sekitar 3 jam. Maskapai yang melayani penerbangan Surabaya/Denpasar - Maumere adalah Sky Aviation (www.sky-aviation.co.id) dan Lion Air (www.lionair.co.id). Sebenarnya Anda juga bisa mengunjungi Larantuka lewat jalur laut dari Surabaya, tapi jadwalnya tidak pasti (dua minggu sekal dan waktu perjalanan sangat lama). Jadi, saya tidak menyarankan opsi ini. (edyra)***

Where to Stay
Hotel Asa
Jl. Soekarno-Hatta, Weri, Larantuka
Telp. (0383) 2325 018
Tarif : mulai Rp 350.000,00

Hotel Lestari
Jl. Yos Sudarso No. 3, Larantuka
Telp. (0383) 2325 517
Tarif : mulai Rp 200.000,00

Hotel Fortuna I dan II
Jl. Basuki Rachmat No. 171, Larantuka
Telp. (0383) 21140, 21383
Tarif : mulai Rp 100.000,00

Hotel Kartika
Jl. Niaga No. 4, Postoh, Larantuka
Telp. (0383) 21888
Tarif : mulai Rp 85.000,00

SERUNYA TERBANG DENGAN PESAWAT MUNGIL SUSI AIR



 Berpose sejenak di depan Pesawat Cessna Grand Caravan 208, di Bandara Tardamu, Pulau Sabu

Karena tuntutan pekerjaan (dan hobi jalan-jalan), saya sering melakukan perjalanan dengan pesawat. Berbagai jenis pesawat sudah pernah saya naiki, mulai dari Airbus, Boeing, Bombardier CRJ (Canadair Regional Jet), Fokker, hingga ATR (Aerei da Trasporto Regionale or Avions de Transport Régional) dalam berbagai serinya. Namun, terbang dengan pesawat super mungil seumur-umur baru saya alami sekali, yaitu dalam penerbangan dari Bandara El Tari, Kupang menuju Bandara Tardamu, Kota Seba, Pulau Sabu. Saya dan rekan kerja terpaksa naik pesawat mungil Cessna Grand Caravan 208 dengan kapasitas penumpang hanya 12 orang, milik maskapai Susi Air, karena hanya maskapai inilah yang melayani rute Kupang - Sabu.

Terbang dengan pesawat mini Cessna Grand Caravan 208 ternyata penuh kejutan. Kejutan pertama terjadi saat kami masih di jalan, dalam perjalanan ke bandara. Karena suatu hal, kami berangkat ke bandara agak telat. Dengan jumlah penumpang hanya 12 orang, dan saat itu mungkin tinggal kami yang belum check in (padahal waktu sudah mepet), saya ditelpon oleh Susi Air, menanyakan posisi saya ada di mana. Saya pun jawab, sudah di jalan menuju bandara. Memasuki bandara, saya ditelpon lagi oleh Susi Air untuk memastikan saya berada di mana. Saya pun jawab, sudah sampai di bandara. Saya jadi merasa seperti orang penting, yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya.  

Kejutan kedua terjadi pada saat check in. Tidak seperti saat naik pesawat ‘biasa’, yang pada saat check in hanya perlu menyerahkan tiket dan menimbang bagasi, naik pesawat mungil penumpang (orang) beserta seluruh barang bawaan, baik bagasi maupun tas/barang yang akan dibawa di kabin harus ditimbang. Bagi yang badannya langsing seperti saya, nyantai-nyantai aja disuruh nimbang badan. Mungkin bagi yang berat badannya berlebih yang akan malu-malu disuruh nimbang badan.

Kejutan ketiga terjadi saat boarding. Karena jumlah penumpang hanya 12 orang, antrian boarding sangat sepi. Penumpang (termasuk kami) bisa melenggang dengan santai menuju pesawat tanpa harus desak-desakan atau saling menyerobot antrian.

Kejutan selanjutnya, terjadi saat akan naik pesawat. Walaupun sudah diumumkan agar segera naik pesawat, penumpang tidak bisa naik pesawat. Penumpang dikumpulkan terlebih dahulu di depan tangga pesawat. Kemudian pilot mengucapkan salam kepada seluruh penumpang dan meminta waktu kepada penumpang untuk memperhatikan peragaan keselamatan yang akan dilakukan oleh kru pesawat Susi Air. Selanjutnya seorang kru pesawat memperagakan cara memakai sabuk keselamatan dan pelampung seperti pramugara/pramugari karena di dalam pesawat nantinya tidak ada pramugara/pramugari yang ikut, karena saking kecilnya ukuran pesawat.

 Aktivitas pilot bisa dilihat dengan jelas oleh penumpang pesawat Susi Air

Setelah peragaan keselamatan selesai, seluruh penumpang dipersilakan naik ke dalam pesawat dengan tempat duduk bebas (free seat). Formasi tempat duduk, terdiri dari empat baris. Tiap baris terdiri dari satu kursi di sebelah kiri dan dua di sebelah kanan. Khusus tempat duduk paling belakang tiga kursinya tidak terpisah (menyatu). Antara ruang pilot (cockpit) dan ruang penumpang tidak dipisahkan sekat apa pun. Jadi, mirip angkot/bus kota, di mana penumpang bisa melihat semua aktivitas pilot. Saya yang memilih duduk persisi di belakang pilot tentunya bisa melihat semua aktivitas pilot dengan jelas.

 Panorama Pulau Sabu dilihat dari pesawat

Naik pesawat super mini ternyata “ngeri-ngeri sedap”. Suara dan getaran mesinnya cukup berisik di telinga, makanya kedua pilot memakai headphone untuk meredam suara berisisk tersebut. Sayangnya saat itu, saya tidak membawa earphone. Dengan ruang pandang ke luar yang luas, setiap manuver dan gerakan pesawat juga terasa. Misalnya, saat pesawat miring untuk berbelok atau ketika pesawat menembus awan. Namun, dibalik sejumlah kekurangan/ketidaknyamanannya, naik pesawat mungil juga ada kenikmatan tersendiri. Karena terbangnya tidak terlalu tinggi, kami bisa melihat pemandangan di bawah dengan jelas. Pantai, laut hingga pulau-pulau kecil bisa terlihat dengan jelas sehingga cukup menyegarkan mata. Makanya, sejak duduk di pesawat, kamera sudah siap di tangan untuk memotret panorama indah yang terebentang di bawah.

Sekitar 40 menit terbang, daratan Pulau Sabu mulai kelihatan. Bukit-bukit hijau, pantai berpasir putih hingga rumah-rumah penduduk yang masih jarang-jarang, terlihat dengan jelas. Landas pacu bandara yang panjangnya hanya 900 meter juga terlihat jelas. Dan tak lama kemudian, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Tardamu, Kota Seba, Pulau Sabu.

Landasan pacu Bandara Tardamu yang panjangnya hanya 900 meter
Turun dari pesawat, ada kejutan lagi bagi penumpang Susi Air. Karena saat itu gedung terminal Bandara Tardamu yang sangat kecil sedang dibangun, tak ada gedung lain bagi penumpang untuk berteduh. Yang ada hanya tenda sementara di atas rumput dengan beberapa kursi di di bawahnya. Penumpang yang menunggu bagasi/jemputan bisa memanfaatkan tenda tersebut dari teriknya matahari Pulau Sabu. 

 Tenda untuk berteduh penumpang karena gedung terminal Bandara Tardamu, Sabu sedang dibangun

Kejutan terakhir, tidak ada taksi/angkot yang akan membawa penumpang ke Kota Seba. Satu-satunya alat transportasi adalah ojek. Jadi, sebagian besar penumpang sudah ada penjemputnya masing-masing. Karena kami tidak ada penjemput, mau tak mau kami harus naik ojek. Sebenarnya saat itu, kami akan dijemput teman. Namun, karena saat kami mendarat di Sabu ponsel saya tidak ada sinyal sama sekali, saya tidak bisa menghubungi teman saya. Daripada harus kepanasan di bawah tenda, kami memilih untuk naik ojek ke hotel. Toh, jaraknmya tak begitu jauh. Paling hanya sekitar 3 km. Jarak bandara ke pusat kota hanya sekitar 2 km. Bila Anda tidak membawa tas/kopor/barang yang berat dan tahan akan cuaca panas, tak ada salahnya Anda berjalan kaki menuju pusat Kota Seba.

Itulah pengalaman saya terbang dengan pesawat mungil Cessna Grand Caravan 208 milik Susi Air. Seru dan penuh kejutan. Anda tertarik mencoba? (edyra)***

Monday, 3 February 2014

BANDARA-BANDARA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR



Nampang sejenak di Bandara Frans Seda, Maumere

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang mempunyai bandar udara (bandara) terbanyak di Indonesia. Hampir semua kabupaten di wilayah NTT mempunyai bandara. Maklum, kondisi geografis NTT yang terdiri dari ratusan pulau, mengharuskan NTT membangun banyak bandara untuk mempermudah hubungan dengan daerah lain. Tak heran kalau sampai saat ini (2014), di seluruh wilayah NTT terdapat 14 bandara yang semuanya beroperasi (aktif).

Empat belas bandara yang dimiliki NTT tersebar di seluruh wilayah NTT, baik di pulau-pulau besar/utama, Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor) maupun pulau-pulau kecil (Lembata, Rote, dan Sabu). Dari 14 bandara tersebut, 1 bandara berstatus bandara internasional, yaitu Bandara El Tari yang berada di Kota Kupang, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur, dan 13 bandara lainnya berstatus bandara domestik. Sebagian besar bandara tersebut merupakan bandara perintis, dengan panjang landas pacu di bawah 2.000 meter. Berikut 14 bandara yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bandara Internasional El Tari, Kupang

1.     Bandara Internasional El Tari, Kupang (KOE)
Bandara ini merupakan satu-satunya bandara internasional di NTT. Namun saat ini tidak ada penerbangan internasional dari dan ke bandara ini. Berada di Kota Kupang, Pulau Timor, bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 2.500 meter dan lebar 45 meter. Meski berada di ibu kota provinsi, fasilitas di bandara ini standard (biasa) saja. Bentuk bangunan terminalnya pun sangat sederhana (tidak mengesankan) tanpa ada ciri khas NTT selain adanya Sasando (alat musik dari Pulau Rote) di depan di apron bandara.
Bandara A.A. Bere Tallo, Atambua

2.     Bandara A.A. Bere Tallo, Atambua (ABU)
Bandara domestik ini berada di Atambua, Kabupaten Belu, Pulau Timor. Kabupaten Belu merupakan kabupaten paling timur di Provinsi NTT yang berbatasan dengan Negara Timor Leste. Dulunya bandara ini bernama Bandara Haliwen. Namun, sejak 2013 bandara yang mempunyai panjang landasan pacu 1.400 m dan lebar 30 m ini diubah menjadi Bandara A.A. Bere Tallo, untuk menghargai jasa Bupati Pertama Kabupaten Belu, A.A. Bere Tallo.

Bandara Komodo, Labuan Bajo dengan gedung terminal yang megah dan modern
3.     Bandara Komodo, Labuan Bajo (LBJ)
Bandara Komodo merupakan gerbang masuk ke Pulau Komodo sekaligus gerbang masuk ke Pulau Flores di sebelah barat. Bandara dengan panjang landasan pacu 2.150 m dan lebar 30 m ini berada di Labuan Bajo, kota di ujung barat Pulau Flores, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. Bandara Komodo merupakan bandara termegah dan termodern di Nusa Tenggara Timur mengalahkan Bandara El Tari di Kupang. Gedung terminalnya cukup besar dan bergaya futuristik. Sayangnya, tidak ada sentuhan khas daerah di bandara ini. 

4.     Bandara Frans Sales Lega, Ruteng (RTG)
Bandara ini dulunya bernama Bandara Satar Tacik. Sejak tahun 2010, nama bandara ini diubah menjadi Bandara Frans Sales Lega untuk menghargai jasa Bupati Pertama Kabupaten Manggarai, Frans Sales Lega. Bandara domestik ini memiliki panjang landasan pacu 1.300 m dan lebar 30 m.

5.      Bandara Soa, Bajawa (BJW)
Bandara Soa berada di Desa Soa, Kota Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores. Bandara ini mempunyai panjang landasan pacu 1.400 m dan lebar 23 m. 

Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende
6.    Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende (ENE)
Bandara di Ende, Flores ini merupakan salah satu bandara paling berbahaya di dunia. Bandara yang menjadi gerbang masuk ke Danau Kelimutu ini mempunyai landasan pacu sepanjang 1.650 m dengan lebar 30 m dan dikelilingi laut, gunung serta perkampungan penduduk. Di ujung timur landasan membentang Laut Flores, di sebelah kiri/selatan landasan terdapat Gunung Meja yang berdiri menjulang, dan di ujung barat landasan berupa tebing dengan pemukiman padat penduduk di atasnya. Jadinya, setiap pesawat yang akan mendarat atau tinggal landas hanya bisa melalui landasan pacu sebelah timur.

Bandara Frans Seda, Maumere

7.     Bandara Frans Seda, Maumere (MOF)
Bandara di Maumere, Kabupaten Sikka ini memiliki landasan pacu sepanjang 2.250 m dan lebar 30 m sehingga bisa didarati pesawat berbadan lebar seperti Boeing 737. Dulunya bandara ini bernama Bandara Waioti tapi sejak tahun 2012 namanya diganti menjadi Bandara Frans Seda, untuk menghargai jasa Frans Seda, tokoh nasional dari Maumere yang memiliki jasa besar bagi kemajuan Kabupaten Sikka.

Bandara Gewayantana, Larantuka

8.     Bandara Gewayantana, Larantuka (LKA)
Bandara Gewayantana terletak di ujung timur Pulau Flores, tepatnya di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Bandara ini mempunyai panjang landasan pacu 1.400 m dan lebar 30 m. Meskipun gedung terminalnya sangat kecil dan fasilitasnya sangat sederhana, Bandara Gewayantana merupakan salah satu bandara favorit saya karena pemandangan di sekitarnya sangat indah. Tak lain berkat adanya Gunung Ile Mandiri yang berdiri gagah di sebelah barat bandara dan Selat Adonara di sebelah timur bandara. Selain itu, taman bunga yang berada di antara gedung terminal dan apron juga semakin mempercantik penampilan bandara.

 
Bandara Wunopito, Lewoleba

9.     Bandara Wunopito, Lewoleba, Pulau Lembata (LWE)
Bandara Wunopito merupakan bandara domestik yang berada di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Bandara di Pulau Lembata ini mempunyai panjang landasan pacu 1.200 m dan lebar 23 m sehingga hanya bisa didarati pesawat kecil jenis Fokker 50, Casa, dan Cessna. Bandara mungil ini juga mempunyai panorama menawan karena letaknya persis di pinggir pantai dan dikelilingi gunung, selat, dan teluk kecil. Dari bandara ini, kita bisa melihat Gunung Ile Ape di sebelah utara dan Gunung Ile Boleng di sebelah barat (Pulau Adonara).

Bandara Mali, Pulau Alor

10.  Bandara Mali, Kalabahi, Pulau Alor (ARD)
Bandara Mali berada di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor. Bandara di Pulau Alor ini mempunyai panjang landasan pacu 1.600 m dan lebar 23 m. Bandara ini letaknya di pinggir pantai, jaraknya sekitar 17 km dari Kota Kalabahi. Bandara Mali juga merupakan bandara favorit saya di NTT karena pemandangan di sekitarnya sangat menakjubkan. Teluk biru, pulau kecil, dan deretan perbukitan mengepung bandara ini, membuatnya sedap dipandang mata.
 
Bandara Tambolaka, Tambolaka, Sumba Barat Daya

11.  Bandara Tambolaka, Tambolaka (TMC)
Bandara Tambolaka berada di Tambolaka/Waitabula, Kabupaten Sumba Barat Daya. Bandara di Pulau Sumba ini mempunyai landasan pacu sepanjang 2.200 m dan lebar 45 m. Gedung terminalnya mengadopsi rumah adat khas Sumba yang bentuknya mirip Joglo. Saat ini (Oktober 2014), Bandara Tambolaka masih dalam tahap pembangunan/pengembangan. Nantinya setelah pembangunan selesai, Bandara Tambolaka akan menjadi salah satu bandara termegah dan termodern di NTT. 

Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur
12.  Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu (WGP)
Dulunya, bandara ini bernama Bandara Mau Hau. Sejak tanggal 28 Mei 2009, nama bandara ini diubah menjadi Bandara Umbu Mehang Kunda untuk menghargai jasa Bupati Sumba Timur periode 1999-2004 dan 2005-2010, yang meninggal dunia pada tanggal 2 Agustus 2008. Bandara di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur ini mempunyai landasan pacu sepanjang 1.850 m dan lebar 30 m. Bandara ini termasuk salah satu bandara yang berbahaya karena tak jauh dari ujung landasan terdapat sebuah sungai dan tebing yang cukup tinggi. Jadi, pesawat yang akan mendarat ataupun tinggal landas pasti memulainya dari ujung landasan yang lainnya agar lebih aman.

Gedung terminal lama Bandara D.C. Saudale, Pulau Rote
 
Gedung terminal baru Bandara D.C. Saudale, Pulau Rote
13.  Bandara D.C. Saudale, Ba’a, Pulau Rote (RTI)
Bandara David Constantijn Saudale (D.C. Saudale) berada di Kota Ba’a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao. Dulunya bandara di Pulau Rote ini bernama Lekunik, tapi sejak tanggal 2 Maret 2010, namanya diubah menjadi Bandara D.C. Saudale. Bandara yang berjarak sekitar 7 km dari Kota Ba'a ini mempunyai panjang landasan pacu 900 m dan lebar 23 m. Saat ini (Oktober 2014), Bandara D.C. Saudale sedang direnovasi total. Landasan pacunya diperpanjang menjadi 1.650 m, gedung terminalnya dibangun baru di dekat gedung terminal lama, dengan bentuk bangunan yang lebih modern dan ukuran lebih besar.

 Bandara Tardamu, Pulau Sabu

14.  Bandara Tardamu, Seba, Pulau Sabu (SAU)
Bandara Tardamu berada di Kota Seba, Kabupaten Sabu Raijua. Bandara di Pulau Sabu ini mempunyai panjang landasan pacu 900 m dan lebar 23 m. Bandara ini hanya bisa didarati pesawat kecil semacam Casa, Cessna ataupun Twin Otter. Saat ini, hanya ada satu maskapai yang melayani penerbangan dari dan ke Bandara Tardamu, yaitu Susi Air dengan pesawat Cessna Grand Caravan 208, dengan kapasitas penumpang hanya 12 orang. (edyra)***