Gunung Fatuleu marupakan sebuah gunung batu
setinggi 1.111 meter di atas permukaan laut (dpl) yang terletak di Desa
Nunsaen, Kecamatan Fatuleu Tengah, Kabupaten Kupang. Jaraknya sekitar 57 km
dari Kota Kupang atau sekitar 90 menit berkendara. Fatuleu berasala dari kat “Fatu” dan Leu”
dalam Bahasa Dawan (suku di sekitar Gunung Fatuleu) yang berarti batu keramat. Badan
Gunung Fatuleu hampir seluruhnya terdiri bongkahan batu, sehingga cukup sulit
untuk mendakinya. Untuk mencapai puncak gunung ini dibutuhkan waktu sekitar 30 - 45 menit. Dari puncak Gunung Fatuleu terhampar pemandangan yang menakjubkan,
mulai dari perkampungan penduduk, hamparan perbukitan di sekitarnya, hingga
Teluk Kupang di kejauhan. Waktu yang tepat untuk mendaki gunung ini adalah pagi
hari atau sore hari menjelang matahari terbenam.
Saturday, 30 April 2016
SUATU HARI DI PULAU BESAR
Di Indonesia ada beberapa pulau yang bernama
Pulau Besar. Namun, yang akan saya ceritakan kali ini adalah Pulau Besar yang
berada di sebelah utara Pulau Flores, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Saya tidak tahu pasti mengapa pulau ini dinamakan Pulau Besar.
Namun, menurut keterangan penduduk setempat karena ukurannya yang paling besar
dibanding pulau-pulau lainnya di Teluk Maumere. Berdasarkan data di internet
luas Pulau Besar sekitar 5.000 hektar.
Kunjungan saya ke Pulau Besar tak pernah saya
rencanakan sebelumnya, bahkan boleh dibilang sebuah keberuntungan karena tujuan
saya sebenarnya adalah Pulau Sukun, sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten
Sikka yang letaknya paling jauh dari daratan Pulau Flores. Namun, karena
pemilik perahu yang saya tumpangi (Pak Muhiding) mampir dulu ke Pulau Besar sebelum
menuju Pulau Sukun, jadilah saya ikut menjejakkan kaki di pulau ini. Pak
Muhiding akan menghadiri acara pernikahan anak kerabatnya di Kampung Nele,
Pulau Besar.
Pantai barat Kampung Nele |
Perjalanan perahu dari Pelabuhan Laurensius
Say, Maumere menuju, Pulau Besar tak memakan waktu lama karena jaraknya memang
tak terlalu jauh. Apalagi saat itu cuaca sedang bagus, langit biru cerah dan
laut tenang tanpa gelombang. Jadinya perjalanan sangat menyenangkan dan hanya dalam
waktu satu jam, kami sudah mendarat di Kampung Nele, Pulau Besar.
Sebelum mendarat di Kampung Nele, Pulau Besar,
saya tak punya harapan apa-apa tentang kampung ini karena saya memang belum mendengar
cerita apa pun tentangnya. Namun, beberapa saat sebelum perahu merapat di
Kampung Nele, saya sudah terpesona dengan kampung mungil ini. Bayangkan saja!
Tepat di depan kampung ini terbentang pantai berpasir putih bersih dengan laut
jernih bergradasi hijau biru. Menariknya lagi, deretan pohon kelapa dengan
daunnya yang melambai-lambai tertiup angin, berbaris rapi memagari Kampung Nele
dan seolah menyembunyikannya dari dunia luar. Dari laut hanya terlihat beberapa
rumah warga yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kalau kita tidak turun
dari perahu, pasti tak menyangka bahwa ternyata ada banyak rumah warga di Kampung
Nele karena rumah-rumah lainnya tertutup
barisan pohon kelapa.
Kampung Nele letaknya tersembunyi di balik barisan pohon kelapa |
Sebagai informasi, Kampung Nele merupakan
sebuah dusun yang terletak di bagian utara (tepatnya barat laut) Pulau Besar.
Secara administratif, kampung mungil ini masuk wilayah Desa Kojagete yang pusat
pemerintahnya berada di bagian selatan Pulau Besar, yang jaraknya lebih dekat
dengan daratan Pulau Flores. Kampung Nele ini cukup unik karena lokasinya berada
di pinggir pantai dan dikelilingi perbukitan yang cukup tinggi membuatnya terisolasi
dari kampung-kampung lainnya di Pulau Besar. Tetangga terdekat Kampung Nele berjarak
cukup jauh, di balik bukit dan tanjung, di sebelah timur kampuong. Tak ada
jalan raya yang menghubungkan Kampung Nele dengan kampung-kampung lainnya di
Pulau Besar, sehingga untuk mencapainya harus menggunakan perahu atau sampan.
Pantai di depan Kampung Nele |
Tiba di Kampung Nele, saya langsung diajak Pak
Muhiding menuju rumah saudaranya yang lokasinya tepat di depan pantai tempat
perahu kami mendarat. Rumahnya cukup sederhana, berbentuk rumah panggung dengan
dinding bambu dan atap seng. Namun, panorama yang terbentang di depan rumah
sangat menakjubkan. Pantai berpasir putih, laut bergradasi hijau biru, dan dua
pulau kecil (Pulau Pemana dan Pulau Pemana Kecil) di kejauhan. Sudut favorit
saya di rumah tersebut tak lain adalah pintu utama rumah yang letaknya tepat di
atas tangga, dengan ketinggian sekitar 1,5 meter di atas permukaan tanah. Saya
betah banget nongkrong di depan pintu tersebut menikmati panorama cantik di
depan rumah ditemani angin yang bertiup sepoi-sepoi. Wuih, saya berasa menginap
di hotel berbintang di Nusa Dua Bali yang tarifnya jutaan per malam!
Panorama menawan dari depan rumah |
Seperti saya ceitakan sebelumnya, tujuan Pak
Muhiding mengunjungi Kampung Nele adalah menghadiri acara pernikahan anak saudaranya,
yang pestanya akan diadakan malam hari. Karena lokasi pesta berada di sebuah
kampung terpencil di pulau kecil, tentunya semua perlengkapan pesta seperti
tenda/terpal, kursi, dan sound system
harus didatangkan dari pulau lain. Untungnya, pulau tetangga yang letaknya tak
begitu jauh dari Pulau Besar, yaitu Pulau Pemana, terdapat jasa persewaan
perlengkapan pesta. Alhasil, semua perlengkapan pesta tersebut diangkut
menggunakan beberapa perahu motor karena harus melintasi selat/laut. Jadinya,
aktivitas saya di Pulau Besar selain duduk-duduk menikmati keindahan pantai
tentunya adalah menyaksikan aktivitas warga pulau bergotong royong menurunkan
perlengkapan pesta dari perahu dan menggotongnya rame-rame ke rumah si empunya
pesta yang letaknya agak jauh dari pantai. Aktivitas bongkar muat alat pesta dari
perahu ke daratan sangat seru karena melibatkan banyak warga dan diselingi
dengan senda gurau mereka. Sungguh pemandangan langka yang baru saya lihat
seumur hidup saya.
Tak berhenti sampai di situ, tamu pesta yang
diundang dari pulau-pulau sekitar mau tak mau juga harus menggunakan perahu motor sebagai alat
tranportasi. Anda bisa bayangkan, betapa hebohnya tamu-tamu tersebut (yang
kebanyakan kaum perempuan) saat harus turun dari perahu. Apalagi Kampung Nele
tidak mempunyai dermaga yang memudahkan naik/turun penumpang ke/dari atas
perahu. Mereka yang saat itu sudah berpakaian pesta lengkap dengan dandanan
harus berbasah-basah nyemplung ke laut sebelum menginjak daratan. Jadinya, para
perempuan harus mengangkat rok/celannya tinggi-tinggi agar tidak basah. Bagi
para perempuan yang nggak mau basah, mereka akan digendong/dibopong bapak-bapak
dari perahu ke daratan. Kebetulan mempelai pria juga berasal dari pulau lain
(Flores). Jadinya, sang mempelai yang sudah berpakaian jas lengkap pun harus digendong
agar tidak basah. Benar-benar adegan unik yang membuat saya tak bisa menahan
tawa. Sayangnya saya tak sempat memotret adegan gendong-menggendong tersebut
karena sudah “terpesona” duluan.
Pantai timur Kampung Nele |
Usai menyaksikan acara pendaratan tamu dan
mempelai yang heboh, saya menghabiskan sore di Kampung Nele dengan jalan-jalan
di pantai. Saya berjalan menyusuri pantai dari ujung barat hingga ke ujung
timur kampung yang dibatasi tanjung berbukit cukup tinggi. Setelah itu, saya
ngobrol-ngobrol dengan warga setempat di pinggir pantai. Nggak disangka-sangka,
saya bertemu dengan seseorang yang berasal dari kota yang sama dengan saya. jadinya,
beliau mengajak ngobrol saya dengan Bahasa Jawa. Saya benar-benar nggak
menyangka bisa bertemu dengan ‘tetangga’ sendiri di tempat terpencil seperti Pulau
Besar ini. Rasanya senang sekali. Apalagi setelah itu beliau mengajak saya
mampir ke rumahnya dan menjamu saya dengan kue dan makan malam. Saya juga
numpang mandi di sumur dekat rumahnya yang airnya bening dan segar. Benar-benar
rezeki tak terduga bagi saya. Sebenarnya bukan beliau yang berasal dari kota
saya tapi istrinya. Karena beliau pernah tinggal lama di Jawa, jadinya fasih
berbahasa Jawa.
Habis isya, pesta perkawinan di rumah
saudaranya Pak Muhiding dimulai. Namun, sejak sore sound system di rumah yang punya hajatan sudah memutar lagu-lagu dengan
suara keras. Kampung nele yang biasanya sunyi sepi dan belum ada listrik ini
jadi lebih rame dan semarak. Namun, karena mayoritas Warga Kampung Nele
beragama Islam, pemutaran lagu-lagu tersebut dihentikan saat sholat maghrib dan
isyak.
Sebenarnya Pak Muhiding mengajak saya untuk
menghadiri pesta di rumah saudaranya. Namun, saya terpaksa menolak ajakan itu
karena saya tak membawa satu pun kemeja atau baju formal lainnya. Baju-baju yang
saya bawa hanya berupa kaos oblong, polo shirt,
celana pendek dan baju-baju santai lainya karena tujuan saya memang akan
berlibur ke pulau. Jadinya saya menghabiskan malam di Pulau Besar dengan
duduk-duduk di tepi pantai mendengarkan musik dari ponsel ditemani ombak dan rembulan
yang kebetulan malam itu sinarnya cukup terang meskipun bukan bulan purnama. Hidup
terasa sangat menyenangkan meski tanpa listrik maupun sinyal ponsel. Listrik hanya mengandalkan genset yang menyala selama empat jam setiap malam, dari jam 18.00 - 22.00. Pulau Besar
memberi saya pelajaran berharga, bahwa kebahagiaan hidup bisa didapat di mana
saja dan kapan saja. Seperti Warga Pulau Besar, meski belum bisa menikmati
listrik, sinyal ponsel, jalan aspal dan berbagai fasilitas modern lainnya
mereka bisa hidup bahagia. (Edyra)***