Menyelami keindahan bawah laut Tuabang |
Kalau tidak mempunyai teman yang
berasal dari Tuabang, sepertinya saya tak akan pernah menganal kampung ini. Maklum,
Tuabang bukan kampung adat yang terkenal dengan rumah adat maupun tarian khas seperti
Kampung Takpala dan Kampung Monbang
(Kopidil)di Pulau Alor. Tuabang hanya sebuah kampung kecil
“biasa” di
pesisir timur Pulau Pantar
yang secara
administratif masuk ke dalam wilayah Desa Batu, Kecamatan Pantar Timur, Kabupaten
Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, di tak disangka-sangka, Tuabang menyimpan “harta karun” yang sangat
berharga di dasar lautnya. Terumbu karang dan biota lautnya sangat menawan,
membuat saya mengunjunginya sampai dua kali dan ingin kembali lagi.
Kampung Tuabang dilihat dari laut |
Kunjungan pertama ke Tuabang terjadi
setahun yang lalu, tepatnya Bulan April 2015. Saat itu, saya dan Sya'ban (teman asli Tuabang) baru saja
mengunjungi dua tempat menarik di Pulau Pantar, yaitu Pantai Pasir Tiga Warna
dan Gunung Sirung. Karena titik terdekat untuk menyeberang kembali ke Alor
berada di Kampung Tuabang yang tak lain adalah kampung halaman Sya'ban, Sya'ban
pun mengajak saya mampir ke kampungnya. Dari Tuabang, kami naik perahu untuk kembali ke Alor.
Karena kunjungan pertama ke Tuabang
hanya beberapa jam, tak ada kesan menarik yang saya dapatkan dari kampung ini.
Bahkan, saya menganggap Tuabang hanyalah kampung nelayan biasa tanpa daya tarik apa pun. Maklum, saat
kunjungan pertama yang singkat tersebut, cuaca di Tuabang mendung dan gerimis
sehingga saya tidak bisa bermain-main di pantainya. Selain itu, saat itu (tahun
2015 di mana Indonesia sudah merdeka 70 tahun) Tuabang juga belum tersentuh
jaringan listrik dan jalan desa pun rusak parah seperti jalan-jalan lainnya di
Pulau Pantar. Aspal jalan terkelupas di sana-sini, lubang menganga di
mana-mana. Mengendarai mobil ataupun sepeda motor harus ekstra hati-hati agar tidak celaka.
Jalan Trans Pantar yang rusak parah |
Kunjungan kedua ke Tuabang, terjadi
pada Bulan Mei
2016 atau sekitar satu tahun setelah kunjungan pertama. Kunjungan ini juga tak
pernah saya rencanakan sebelumnya. Ceritanya, setelah mengunjungi Pantai
Jawatoda (Javatoda) yang lokasinya lumayan
dekat dari Tuabang, Sya'ban mengajak saya mampir dan menginap di rumahnya di
Tuabang,
sebelum kembali ke Alor keesokan harinya.
Ternyata, ada perubahan cukup
signifikan di Tuabang setelah setahun berlalu. Di tahun 2016 ini, jaringan listrik (PLN) sudah masuk ke Tuabang
sehingga suasana tidak gelap lagi di malam hari. Suasana kampung juga mulai semarak berkat suara musik dari televisi ataupun
CD yang diputar di rumah warga. Selain itu, jalan di Tuabang yang meruapakan
bagian Jalan
Trans Pantar, juga akan diperbaiki. Terlihat tumpukan batu kerikil di pinggir jalan dan
drum-drum aspal di beberapa tempat. Beberapa
warga juga sibuk memecah batu yang akan digunakan untuk mengaspal jalan. Saya sangat senang melihat kemajuan tersebut.
Karena waktu saya cukup longgar, saya
punya kesempatan untuk mengenal lebih dekat Kampung Tuabang, baik warga maupun alamnya (pantai dan bawah
laut). Seperti kebanyakan warga pulau-pulau kecil, Warga Kampung Tuabang juga
baik dan ramah kepada pengunjung. Beberapa tetangga dan kerabat Sya'ban
mengunjungi saya di rumah Sya'ban untuk sekedar ngobrol-ngobrol dan berbagi
cerita tentang Kampung Tuabang. Dari obrolan dengan mereka, saya baru tahu
kalau Pantai Tuabang menyimpan keindahan bawah laut yang memukau tak kalah
dengan Pantai Jawatoda yang sudah terkenal. Bahkan, setelah mereka tahu saya
suka snorkeling dan memotret alam bawah laut, mereka mengajak saya untuk
snorkeling di Pantai Tuabang keesokan harinya. Saya pun dengan antusias
mengiyakan ajakan tersebut.
Matahari terbit di atas Pulau Ternate |
Salah satu ritual yang biasa saya
lakukan saat mengunjungi pulau kecil adalah melihat panorama matahari terbit (sunrise) atau matahari terbenam (sunset), jika memungkinkan. Karena
lokasi Kampung Tuabang ini berada di pesisir timur Pulau Pantar sementara bagian barat
desa dipagari deretan perbukitan yang cukup tinggi, hanya sunrise yang bisa saya saksikan di kampung ini. Beberapa saat setelah sholat
subuh, saya berjalan kaki menuju dermaga yang jaraknya hanya sekitar tiga ratus
meter dari rumah Sya’ban. Dari dermaga ini terlihat daratan Pulau Alor dan tiga pulau kecil
lainnya (Pulau Buaya, Ternate dan Pura). Karena adanya pulau-pulau tersebut, matahari akan muncul/terbit di atas
pulau bukan di atas horizon/laut. Pagi itu, matahari
muncul perlahan di bagian timur Pulau Ternate. Sinarnya yang berwarna jingga keemasan membias indah di atas laut sekitar
Pulau Ternate, menciptakan panorama eksotis.
Pantai Tuabang yang berbatu-batu |
Usai memotret matahari terbit, saya
jalan-jalan di pantai. Ada yang unik dengan Pantai Tuabang. Tidak seperti
pantai kebanyakan yang bibirnya dipenuhi hamparan pasir, di bibir Pantai
Tuabang tak ada pasir. Sejauh mata memandang, yang terlihathanyalah hamparan batu kerikil. Pantai berpasir putih hanya ada di sebelah utara desa. Itu
pun panjangnya tak seberapa. Namun, meski tak berpasir Pantai Tuabang tetap
sedap dipandang mata karena air lautnya sangat jernih. Saking jernihnya,
terumbu karang dan ikan-ikan bisa kelihatan dari permukaan, membuat saya tak
sabar untuk segera nyemplung.
Beragam terumbu karang di Pantai Tuabang yang menyejukkan mata |
Ikan warna-warni di Pantai Tuabang |
Jam 8 pagi, saya, Sya'ban, Pak AJ dan
seorang tetangganya Sya'ban (maaf, saya lupa namanya) berjalan kaki menuju
pantai di sebelah selatan kampung. Kami mulai nyebur ke pantai berbatu-batu yang lokasinya berada di seberang SD, sekitar sepuluh meter
dari jalan raya. Ternyata pantainya cukup landai dan
dangkal sehingga aman untuk berenang. Dan yang paling menyenangkan, terumbu
karangnya sangat
bagus dan beragam. Hanya berenang beberapa meter dari bibir pantai, saya sudah
bisa melihat berbagai jenis terumbu karang dan ikan-ikan cantik. Asyiknya lagi,
terumbu karangnya sangat rapat dan menghampar sangat luas. Sejauh mata
memandang, terhampar beragam terumbu karang aneka warna yang membuat saya terpana. Hampir tidak ada satu
jengkal pun dasar laut Tuabang yang kosong tanpa terumbu karang. Saya benar-benar takjub dibuatnya.
Saya sampai bingung harus motret yang mana karena semua terumbu karangnya sangat indah
menyegarkan mata. Dari berbagai lokasi snorkeling
di Indonesia, Pantai Tuabang adalah salah satu lokasi snorkeling terbaik yang pernah saya lihat. Terumbu karangnya sangat
rapat dan beragam, air lautnya sangat
jernih, jarak pandang (visibilitas) luas, dan bebas arus. Dengan karakteristik tersebut, Pantai Tuabang sangat
cocok untuk lokasi snorkeling maupun diving (menyelam).
Bubu, alat penangkap ikan tradisonal yang bisa kita jumpai di dasar laut Tuabang |
Selain keindahan terumbu karang dan
ikan, ada satu pemandangan menarik di bawah laut Tuabang, yaitu banyaknya bubu
yang bertebaran di sana. Bubu adalah alat untuk menangkap ikan yang terbuat
dari anyaman bambu dengan bentuk seperti tabung panjang. Bubu ini diletakkan di
dasar laut selama beberapa hari untuk menunggu ikan masuk. Setelah dua/tiga hari biasanya ikan yang tertangkap
cukup banyak dan para nelayan akan mengangkatnya ke daratan. Bubu ini sangat
ramah lingkungan dan aman karena terbuat dari bambu tanpa menggunakan senjata
tajam ataupun bahan kimia, tidak seperti bom ataupun potas (potasium sianida)
yang merusak terumbu karang. Selama ini saya hanya melihat bubu di daratan dan
baru di Tuabang inilah saya bisa melihat langsung bubu di dasar laut dengan
ikan-ikan terjerat di dalamnya. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan.
Belajar memanah ikan di Pantai Tuabang |
Tak berhenti
sampai di situ, Pantai Tuabang juga memberi pelajaran baru untuk saya karena saya berkesempatan untuk belajar memanah ikan (spearfishing) di sana. Pak AJ dan Sya'ban mengajari saya memanah ikan, mulai dari cara
memegang alat, mengoperasikan alat hingga membidik ikan. Ternyata, memanah ikan
tak semudah yang saya bayangkan. Selain harus kuat menahan nafas untuk menyelam, mata kita
harus jeli mencari mangsa dan membidik sasaran. Karena baru pertama kali
memegang alat pemanah ikan, terus terang saya kesulitan dan tak berhasil
mendapat satupun ikan. Padahal tetangganya
Sya’ban berhasil mendapatkan ikan cukup banyak. Namun
saya tak kecewa. Setidaknya saya mendapat pelajaran baru tentang cara menangkap
ikan dan bisa bisa berfoto ala pemanah ikan profesional. Ini menjadi alasan
saya untuk kembali lagi keTuabang suatu hari nanti agar saya bisa memanah ikan
dengan benar menjelajah lebih
dalam Pantai Tuabang. Semoga! (Edyra)***