Sebagian besar Orang Indonesia
mengenal Pulau Rote sebagai pulau paling selatan Indonesia. Namun, anggapan
tersebut salah karena masih ada sebuah pulau yang letaknya di sebelah selatan
Pulau Rote, yaitu Pulau Ndana. Pulau inilah yang seharusnya menyandang status
sebagai pulau paling selatan Indonesia karena di sebelah selatan Pulau Ndana sudah
tidak ada pulau lagi dan termasuk salah satu dari 92 pulau terluar
Indonesia. Secara administrastif, Pulau
Ndana masuk dalam wilayah Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote
Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Karena
letaknya paling selatan, sudah lama saya penasaran dengan Pulau Ndana. Selain
itu, pesona alamnya yang masih perawan dengan savana luas membentang, pantai-pantai
cantik berpasir putih, dan ombak besar yang cocok untuk olaharaga selancar (surfing), membuat saya makin penasaran
dengan Pulau Ndana. Sayangnya, kesempatan untuk mengunjungi Pulau Ndana belum
datang untuk saya. Dua kali berkunjung ke Rote, saya tidak sempat mampir ke
Pulau Ndana karena keterbatasan waktu. Makanya saat kunjungan ketiga ke Rote,
saya mengagendakan waktu sehari penuh untuk mengunjungi Pulau Ndana.
Perjalanan
menuju Pulau Ndana saya mulai dari Kota Ba’a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao. Di
Sabtu pagi yang cerah, dengan mengendarai sepeda motor bersama teman (Helmi), saya
bergerak menuju Desa Oeseli, desa terdekat dengan Pulau Ndana. Desa ini berjarak
sekitar 34 km dari Ba’a. Jalan menuju Desa Oeseli sebagian besar bagus karena
searah dengan jalan menuju Pantai Nemberala, objek wisata utama di Pulau Rote. Namun,
sekitar 20 km dari Ba’a terdapat pertigaan ke kiri menuju Desa Oeseli. Kami pun
membelokkan kendaraan ke kiri melewati jalan yang lebih sempit dan sedikit
rusak menuju Desa Oeseli.
Sekitar
satu jam berkendara, kami tiba di Desa Oeseli.
Saya langsung jatuh cinta dengan desa nelayan di pesisir selatan Pulau
Rote ini begitu menjejakkan kaki di sana. Lokasi Desa Oeseli sangat
menakjubkan, berada di antara teluk dan laguna. Bayangkan saja! Di sebelah kanan
(barat) terbentang sebuah teluk dengan hiasan pulau karang di tengahnya, di sebelah
kiri (timur) terdapat sebuah laguna cantik dengan dipagari deretan pohon kelapa
dan mangrove di salah satu sudutnya. Di bagian selatan laguna yang biasa
disebut “Laut Kecil” oleh Warga Oeseli itu juga terdapat pulau karang mungil dengan
pepohonan hijau di atasnya. Menariknya, air laut di teluk dan laguna tersebut
sangat bening dengan warna hijau toska (turquoise)
yang sangat menggoda. Kami pun tergoda untuk menjelajah teluk dan laguna cantik
tersebut sebelum menuju Pulau Ndana.
Puas
bermain air di Laguna Oeseli, kami segera mencari perahu untuk menyeberang ke
Pulau Ndana. Untuk mencapai Pulau Ndana, kami harus menyewa perahu dari Nelayan
Oeseli karena tidak tersedia perahu umum (public
boat). Maklum Ndana bukan pulau wisata seperti Gili Trawangan (Lombok)
maupun Nusa Lembongan (Bali) yang namanya sudah mendunia dan ramai dikunjungi
turis setiap hari. Hari itu, kami beruntung bertemu Pak Abu Bakar, seorang
nelayan pemilik perahu yang mau mengantarkan kami menuju Pulau Ndana.
Untuk
mengunjungi Pulau Ndana, setiap pengunjung harus meminta izin ke Pos Marinir
yang berada di Desa Oeseli karena Pulau Ndana merupakan salah satu pulau terluar
Indonesia dan sekaligus pulau konservasi yang dijaga Satuan Tugas Pengamanan
Pulau Terluar (SATGASPAM) Marinir TNI AL. Pak Abu Bakar pun mengantar kami
menuju Pos Marinir tersebut untuk mengurus izin. Sayangnya, saat itu tidak ada
petugas TNI yang jaga sehingga kami pun langsung berlayar menuju Pulau Ndana.
Pulau Heliana (kiri) dan Pulau Ndana (kanan) |
Perjalanan
berperahu menuju Pulau Ndana cukup menantang dan menguji adrenalin. Soalnya
kami harus melewati selat yang terhubung langsung dengan Samudera Hindia yang
ombaknya terkenal ganas. Baru beberapa menit berlayar, kami sudah digoyang
ombak yang aduhai. Apalagi saat mendekati Pulau Haliana (pulau karang kecil
yang berada di antara Pulau Rote dan Ndana), ombak semakin tinggi dan membuat
perahu kami oleng beberapa kali. Parahnya lagi, air laut sampai masuk ke dalam
perahu. Pak X (temannya Pak Abu Bakar) pun dengan sigap mengeluarkan air dari
dalam perahu dengan gayung. Untunglah nahkoda perahu dan temannya sudah biasa
melewati jalur laut berisiko ini. Mereka sudah ahli memilih rute yang aman dan menghindari
ombak serta arus yang berbahaya Perahu kami harus memutar cukup jauh untuk
menghindari ombak di sebelah barat daya pulau yang bergulung-gulung tinggi dan
cocok untuk olahraga selancar.
Pantai Ndana yang cantik, sepi, dan alami |
Setelah
65 menit berjibaku melawan ombak dan arus yang cukup ganas, akhirnya perahu
kami merapat di Pulau Ndana. Kami disambut pantai berpasir putih bersih dan
laut hijau toska yang menyejukkan mata, membuat kami lupa sejenak akan
keganasan ombak yang telah mengiringi perjalanan kami. Sebagai informasi, kami
mendarat di bagian selatan Pulau Ndana karena bagian utara pulau ombaknya
sangat besar sehingga tak memungkinkan untuk didarati perahu. Tak ada dermaga
atau bangunan apa pun di pinggir pantai selain gubug kecil dan papan tulisan
“Selamat Datang di Pulau Ndana. Suasana pantai sangat sepi, tak ada pengunjung
lain selain rombongan kami, seperti pantai pribadi. Saya pun tak menyia-nyiakan
waktu untuk mengabadikan kemolekan Pantai Ndana dengan kamera kesayangan saya.
Savana luas membentang di Pulau Ndana |
Setelah
menambatkan perahunya di tempat yang aman, Pak Abu Bakar mengajak kami menuju
Pos Marinir untuk melaporkan kedatangan kami. Lokasi Pos Marinir berada sekitar
300 meter dari bibir pantai. Dalam perjalanan menuju Pos Marinir kami melewati
savana (padang rumput) yang sangat luas di kanan kiri jalan, tanpa ada satu pun
pohon peneduh sehingga udara sangat panas. Apalagi kami tiba di Pulau Ndana
tepat Pukul 12.05, saat matahari berada tepat di atas kepala dan sedang
terik-teriknya.
Pos Marinir di Pulau Ndana |
Begitu
tiba di Pos Marinir, kami segera melaporkan diri. Kami disambut tiga orang
anggota marinir yang baik hati dan ramah (salah satunya bernama Dwi, yang dua
lagi saya lupa namanya). Pak Dwi menanyakan maksud kedatangan kami dan meminta
kami mengisi buku tamu. Setelah itu, beliau bercerita banyak tentang Pulau
Ndana, mulai dari status pulau, kondisi geografis pulau hingga tempat-tempat
menarik yang ada di sana.
Salah
satu tempat menarik di Pulau Ndana yang ingin kami kunjungi adalah Danau Merah.
Dinamakan danau merah karena air di danau tersebut memang berwarna merah muda. Ada
kisah menarik (lebih tepatnya tragis) di balik warna merah muda danau tersebut.
Konon, pernah terjadi pembunuhan massal terhadap Warga Pulau Ndana yang terjadi di
sekitar danau tersebut sehingga membuat warna air danau menjadi merah sampai
hari ini.
Sayangnya
lokasi Danau Merah berada jauh di tengah pulau dan satu-satunya cara menuju
danau tersebut adalah dengan berjalan kaki. Menurut penuturan Pak Dwi dan
teman-temannya, butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk mencapai danau
tersebut. Tak ada rambu-rambu atau penunjuk arah menuju Danau Merah sehingga
turis/pengunjung dilarang mengunjungi danau tersebut tanpa ditemani petugas.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut, dengan berat hati saya membatalkan kunjungan
ke Danau Merah. Apalagi saat kedatangan kami sudah terlalu siang dan teman saya
kakinya sedang sakit sehingga tak mungkin untuk berjalan jauh di tengah cuaca
panas seperti saat itu.
Monumen Sudirman yang berada di dekat Pos TNI AL Pulau Ndana |
Karena
tidak jadi mengunjungi Danau Merah, kami menjelajah sisi lain Pulau Ndana. Salah
satunya adalah Patung Jenderal Sudirman yang menjadi landmark Pulau Ndana. Lokasi patung tersebut berada di dekat Pos
TNI AL yang jaraknya sekitar 500 meter dari Pos Marinir. Kami pun berjalan kaki
menuju lokasi patung tersebut di tengah cuaca terik. Untunglah baru beberapa
meter melangkah, seorang anggota TNI AL yang baik hati (namanya Pak Aziz)
bersedia mengantar kami dengan kendaraan roda tiganya. Tak hanya itu, beliau
bahkan dengan sabar menunggu kami berfoto dan mengeksplorasi panorama di
sekitar Patung Jenderal Sudirman, kemudian mengantarkan kami kembali ke Pos
Marinir. Betapa beruntungnya kami!
Prasasti di dekat Monumen Sudirman Pulau Ndana |
Sebelum
meninggakan Pulau Ndana, Pak Dwi mengajak kami melihat sumber air di Pulau
Ndana yang berada di belakang Pos Marinir. Lokasi sumber air tersebut berada di dalam sumur yang terletak di bawah
pohon rindang dengan kedalaman sekitar tiga meter. Air sumur tersebut hanya
dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci karena airnya payau. Penasaran dengan
sumur tersebut, saya pun menimba airnya yang ternyata memang payau.
Sumur tua di belakang Pos Marinir Pulau Ndana |
Menjelang
pukul 14.00, kami berpamitan dengan Bapak-Bapak Marinir. Sebenarnya kami belum
puas menjelajah Pulau Ndana tapi kami harus segera meninggalkan pulau cantik
tersebut agar tidak terjebak laut surut. Semoga suatu hari nanti kami bisa
kembali ke Pulau Ndana untuk mengunjungi Danau Merah dan menjelajah seluruh
sudut pulau. (Edyra)***