Tuesday, 29 October 2013

QIBAO, MINI WATER TOWN IN SHANGHAI

Penulis berpose di salah satu jembatan di Qibao



Shanghai merupakan kota terbesar di Cina dan salah satu metropolitan tersibuk di dunia. Kota ini dipenuhi gedung-gedung pencakar langit nan megah, setinggi ratusan meter. Irama kota bergerak cepat dan semua orang terlihat sibuk setiap harinya. Namun, di balik hiruk-pikuk dan kemegahannya, ternyata Shanghai mempunyai beberapa kota air (water town) yang masih mempertahankan budaya asli Cina.  Kota-kota air ini sangat unik dan menarik.

Setidaknya ada sembilan kota air yang berada di sekitar Shanghai. Namun, karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mengunjungi salah satunya, yaitu Qibao. Qibao dibangun pada masa Dinasti Song (960 – 1126) dan berkembang menjadi pusat bisnis yang makmur pada Dinasti Ming (1368 - 1644) dan Dinasti Qing (1644 – 1911). Qibao berarti tujuh harta karun dalam Bahasa Mandarin. Menurut legenda setempat, dulunya ada tujuh harta karun di kota ini, yaitu : sepasang sumpit giok, kitab suci dari emas, pohon catalpa berumur ribuan tahun, ayam jantan emas, kapak batu giok, Patung Buddha dari besi, dan lonceng perunggu yang dibuat pada zaman Dinasti Ming. Sayangnya, hanya kitab emas dan lonceng perunggu yang bertahan sampai hari ini.

Qibao merupakan kota air yang letaknya paling dekat dengan pusat Kota Shanghai. Kota kecil yang berada di Distrik Minhang ini, jaraknya hanya sekitar 15 km di sebelah selatan Shanghai. Dibanding kota air lainnya, Qibao merupakan kota air paling kecil. Luas wilayahnya hanya sekitar 2 km persegi sehingga dijuluki “Mini Water Town.” Meski ukurannya tergolong mini, bukan berarti Qibao tak menarik. Kota ini jadi pilihan yang tepat bila Anda ingin melihat sisi tradisional Shanghai.

Untuk mencapai Qibao dari Shanghai sangat mudah. Kita bisa naik bus atau kereta bawah tanah (Metro). Karena tak mahir berbahasa Mandarin dan tak mau mengambil risiko tersesat, kami memilih cara aman dan hemat, yaitu naik Metro. Dengan naik metro, kami tak perlu bersusah payah menggunakan bahasa tarsan untuk menanyakan bus yang menuju Qibao ke Warga Shanghai yang sebagian besar tak bisa berbahasa Inggris. Selain itu, juga hemat waktu dan biaya, karena Qibao sudah terhubung dengan jaringan kereta bawah tanah Shanghai. Dengan tiket terusan yang berlaku 12 jam, seharga 12 Yuan (sekitar Rp 18.000,00) saya sudah bisa mencapai Qibao.

Saya dan teman naik Metro jalur 9 dan turun di Stasiun Qibao, Exit 2. Dari pusat kota Shanghai hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk mencapai Stasiun Qibao. Kemudian, dari Stasiun Qibao, kami tinggal berjalan kaki menuju Kota Air Qibao. Sayangnya, cuaca tidak bersahabat ketika kami akan keluar dari Stasiun Qibao. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Padahal kami tidak membawa payung ataupun jas hujan. Mau-tak mau, kami mencari tempat berteduh. Pilihan kami adalah sebuah mal yang berada di seberang Stasiun Qibao. Selain cuci mata, kami juga mencari makan siang karena perut sudah keroncongan minta diisi.

Hujan belum juga reda sampai kami selesai makan siang. Karena tak punya banyak waktu terbatas, kami tetap melanjutkan perjalanan ke Qibao meski hujan masih rintik-rintik. Dari informasi yang saya baca di buklet wisata Shanghai, Qibao berada tak jauh dari Stasiun Qibao. Jaraknya hanya sekitar 400 meter. Makanya kami nekad berjalan kaki menuju Qibao di tengah cuaca gerimis. Agar tidak basah, kami berjalan melipir di trotoar, depan emperan toko.

Mendekati Qibao, suasana kota tua sudah terasa. Jalanan beraspal berubah menjadi jalanan paving dengan toko-toko di kanan kiri jalan. Toko-toko tersebut tidak seperti ruko-ruko di Indonesia yang berarsitektur modern tapi menggunakan arsitektur Cina klasik, dengan ornamen kayu di bagian depan dan atap/genteng hitam. Lampion-lampion merah yang menggantung indah di depan toko-toko tersebut, membuat suasana terasa sangat Cina.

 
 Gerbang Qibao, Kota Air Mini

Alhamdulillah, hujan reda bagitu kami tiba di Qibao. Kami disambut Gerbang khas Cina yang indah dengan hiasan beberapa lampion merah. Di belakang gerbang, berdiri sebuah pagoda kecil tiga tingkat. Beberapa turis nampak berfoto di depan gerbang tersebut meski udara sangat dingin dan berkabut. Saya dan teman juga tak melewatkan kesempatan berfoto di depan Gerbang dan Pagoda Qibao. 

 
 Gang-gang sempit di Qibao

Kami segera berjalan menyusuri gang-gang sempit di Qibao. Gang-gang sempit dengan lantai dari batu tersebut dipenuhi toko-toko souvenir, kedai teh, dan restoran di kanan kirinya. Arsitektur bangunannya kompak, bergaya Cina tradisional yang didominasi ornamen kayu lengkap dengan hiasan lampion merah.  Sesekali kami berhenti untuk memotret suasana gang yang semarak tersebut. Berjalan di antara gang-gang sempit di Qibao, menimbulkan sensasi tersendiri. Saya seperti dilempar ke masa Dinasti Ming, ribuan tahun lalu. Saya juga merasa berada di setting film-film kungfu yang selama ini sering saya lihat di televisi. 

 
 Jembatan yang menjadi landmark Qibao

Kami terus berjalan hingga tiba di tepi Sungai Puhui yang membelah Kota Qibao. Di atas sungai tersebut terbentang beberapa jembatan dengan arsitektur unik, salah satunya adalah  jembatan yang bentuknya melengkung khas Cina dengan tiga lengkungan. Karena saat itu sungai sedang tenang, tampak bayangan jembatan yang terlihat membentuk lingkaran sempurna. Cantik sekali! Jembatan inilah yang menjadi landmark Qibao. Setiap turis yang berkunjung ke Qibao, bisa dipastikan berfoto atau paling tidak, berhenti di jembatan tersebut. Dari jembatan ini, kami bisa melihat panorama Sungai Puhui yang indah. Di tepi sungai ini berjajar rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina yang unik. Nampak pula beberapa perahu yang tertambat rapi di pinggir sungai. Biasanya perahu-perahu tersebut mengangkut para turis yang ingin menyusuri Sungai Qibao, saat cuaca bagus/cerah. Karena saat itu cuaca mendung dan berkabut, perahu-perahu tersebut berhenti beroperasi.

 
 Sungai Puhui yang membelah Qibao dengan perahu-perahu wisatanya

Berada di Qibao mengingatkan saya akan Venezia, kota air yang termasyhur di Italia. Sungai Puhui yang membelah Qibao dengan perahu-perahu kecil dan rumah-rumah unik yang berjajar di kanan kirinya, menjadikan Qibao benar-benar mirip Venezia, cuma dalam versi mini.  

 Panorama Qibao yang indah, mirip dengan Venezia, Italia

Selanjutnya, kami berjalan menyusuri gang sempit di tepi Sungai Puhui. Di beberapa spot yang menarik, kami berhenti untuk memotret panorama cantik tersebut. Sayangnya hari itu, cuaca benar-benar tak bersahabat. Mendung tetap menggelayut di langit Qibao dengan kabut tipis selalu menyelimuti. Matahari yang enggan menampakkan sinarnya membuat udara sangat dingin. Dengan terpaksa, kami pun mengakhiri kunjungan di Qibao. Sambil berjalan menuju Stasiun Qibao, dalam hati saya berjanji, kelak akan kembali ke kota ini di musim semi atau musim panas agar bisa melihat panorama Qibao yang lebih indah.

Getting There
Untuk mencapai Qibao, Anda bisa naik bus atau Metro dari pusat Kota Shanghai. Bus yang menuju Qibao adalah Bus Nomor 87/91/92/91. Namun cara paling cepat dan praktis  adalah dengan naik Metro. Anda bisa naik Metro jalur 9 dan turun di Stasiun Qibao, Exit 2. Kemudian, Anda tinggal berjalan kaki sekitar 400 meter. (edyra)***

No comments:

Post a Comment