Pulau Bungin merupakan sebuah desa pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa, tepatnya di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Gampang-gampang susah untuk menemukan pulau karang nan mungil ini. Dari Jalan Lintas Sumbawa di sepanjang Kecamatan Alas, pulau ini sudah kelihatan karena jaraknya hanya sekitar 5 km dari daratan Pulau Sumbawa. Namun, tidak ada rambu-rambu atau petunjuk yang menjelaskan arah ke Pulau Bungin.
Setelah melewati kota kecil Alas, kami harus bertanya beberapa kali kepada penduduk setempat, untuk sampai Pulau Bungin. Dari pertigaan Desa Dalam, Kecamatan Alas (di samping Masjid Darussalam), kami harus belok kiri melewati jalan tanah berbatu. Setelah menyusuri jalan tanah berbatu sejauh 4 km, nampak rumah-rumah panggung penduduk Pulau Bungin yang seperti terapung di atas laut. Kemudian kami harus melewati jalan/tanggul sepanjang 750 meter dengan lebar 2 meter. Untuk mencapai Pulau Bungin kami tidak perlu naik sampan atau perahu, karena pulau ini sudah terhubung dengan daratan Pulau Sumbawa. Warga Pulau Bungin secara swadaya membangun tanggul/jalan yang menghubungkan Pulau Bungin dengan daratan Pulau Sumbawa.
Sekitar jam 10.30 WITA, saat matahari sedang bersinar terik, kami tiba di Pulau Bungin. Rumah-rumah panggung khas Suku Bajo berjajar rapi menyambut kedatangan kami. Ibu-ibu sedang bersantai sambil ngobrol di bawah kolong rumah panggung mereka, berlindung dari teriknya matahari Pulau Bungin yang menyengat. Kami melihat banyak kambing berkeliaran dengan bebas di pulau ini. Ada yang di depan rumah, di bawah kolong rumah, ataupun di gang-gang sempit Pulau Bungin. Penduduk Pulau Bungin yang berasal dari etnis Bajo dan Bugis, memang senang memelihara hewan ternak, baik ayam maupun kambing. Walaupun terletak dekat dengan Pulau Sumbawa, penghuni pulau ini adalah Suku Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan, bukannya Suku Sumbawa (Samawa).
Udara sangat panas di Pulau Bungin karena tidak ada satu pun pohon yang tumbuh di sana. Tumbuhan jenis apapun (bahkan rumput) tidak bisa tumbuh di Pulau Bungin karena pulau ini merupakan pulau karang. Teriknya matahari dan panasnya cuaca Pulau Bungin tidak menyurutkan niat kami untuk berkeliling pulau. Kami menyusuri gang-gang sempit di antara rumah-rumah penduduk yang sangat padat, untuk melihat lebih dekat keunikan Pulau Bungin. Pulau karang buatan ini memang mempunyai banyak keunikan yang tidak dimiliki pulau lain sehingga mengundang banyak orang untuk mendatanginya.
Legenda Panglima Mayo
Penduduk Pulau Bungin bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka adalah keturunan Suku Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan. Dari cerita turun temurun yang mereka percayai, dulunya luas Pulau Bungin hanya sekitar 3 hektar, teksturnya karang utuh. Penduduk pertamanya adalah Panglima Mayo, warga Suku Bajo dari Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Panglima Mayo berlayar bersama keluarganya dari Pulau Selayar menuju Pulau Sumbawa. Misi Panglima Mayo adalah mencari adiknya telah lama berlayar. Dalam perjalanannya, dia melihat “tumpukan pasir putih berbentuk bulan sabit yang menyembul di tengah laut” yang dalam Bahasa Bajo disebut “bubungin.” Kemudian, Panglima Mayo singgah dan menetap di bubungin itu. Lama kelamaan pulau tersebut dikenal dengan nama Pulau Bungin. Makanya bahasa daerah sehari-hari penduduk Pulau Bungin adalah Bahasa Bajo, bukan Bahasa Sumbawa.
Pulau Terpadat di Dunia
Pulau Bungin disebut-sebut sebagai pulau terpadat di dunia. Rata-rata 4 orang penduduk tinggal di lahan seluas 1 meter persegi. Menurut data statistik hingga tahun 2008, jumlah penduduk Pulau Bungin tercatat 3.017 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.575 jiwa dan perempuan 1.442 jiwa. Rumah-rumah penduduk tersusun sangat rapat, dengan jarak antar rumah sekitar 1,5 meter saja. Konstruksi rumah yang berbentuk panggung, terlihat merata menutupi seluruh pulau. Karena begitu rapatnya, ada beberapa atap rumah yang saling bertemu. Anda bisa bayangkan bagaimana padatnya pulau ini. Dengan luas pulau yang hanya 8 hektar (tahun 2009), penduduknya lebih dari 3.000 jiwa. Kepadatan penduduknya nggak kalah dengan Jakarta kan?
Legenda Panglima Mayo
Penduduk Pulau Bungin bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka adalah keturunan Suku Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan. Dari cerita turun temurun yang mereka percayai, dulunya luas Pulau Bungin hanya sekitar 3 hektar, teksturnya karang utuh. Penduduk pertamanya adalah Panglima Mayo, warga Suku Bajo dari Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Panglima Mayo berlayar bersama keluarganya dari Pulau Selayar menuju Pulau Sumbawa. Misi Panglima Mayo adalah mencari adiknya telah lama berlayar. Dalam perjalanannya, dia melihat “tumpukan pasir putih berbentuk bulan sabit yang menyembul di tengah laut” yang dalam Bahasa Bajo disebut “bubungin.” Kemudian, Panglima Mayo singgah dan menetap di bubungin itu. Lama kelamaan pulau tersebut dikenal dengan nama Pulau Bungin. Makanya bahasa daerah sehari-hari penduduk Pulau Bungin adalah Bahasa Bajo, bukan Bahasa Sumbawa.
Pulau Terpadat di Dunia
Pulau Bungin disebut-sebut sebagai pulau terpadat di dunia. Rata-rata 4 orang penduduk tinggal di lahan seluas 1 meter persegi. Menurut data statistik hingga tahun 2008, jumlah penduduk Pulau Bungin tercatat 3.017 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.575 jiwa dan perempuan 1.442 jiwa. Rumah-rumah penduduk tersusun sangat rapat, dengan jarak antar rumah sekitar 1,5 meter saja. Konstruksi rumah yang berbentuk panggung, terlihat merata menutupi seluruh pulau. Karena begitu rapatnya, ada beberapa atap rumah yang saling bertemu. Anda bisa bayangkan bagaimana padatnya pulau ini. Dengan luas pulau yang hanya 8 hektar (tahun 2009), penduduknya lebih dari 3.000 jiwa. Kepadatan penduduknya nggak kalah dengan Jakarta kan?
Luas Pulau Semakin Bertambah
Uniknya, Pulau Bungin dari tahun ke tahun semakin bertambah luas. Mungkin ini satu-satunya pulau di dunia yang luasnya semakin bertambah tiap tahun. Pada tahun 2002, luas Pulau Bungin adalah 6 hektar, namun sekarang (2009) luas pulau ini berkembang menjadi 8 hektar. Sejak tahun 2002, Pulau Bungin sudah menjadi desa definitif dengan nama Desa Pulau Bungin, yang terdiri dari tiga dusun. Anda pasti heran dan bertanya-tanya, “Bagaimana bisa Pulau Bungin semakin bertambah luas?”
Hukum Adat Perkawinan Warga Bungin
Hukum adat perkawinan warga Bungin yang menyebabkan Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah penduduknya. Pasalnya, dalam hukum adat tersebut diatur pasangan muda-mudi yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri di Pulau Bungin (tidak boleh keluar dari Pulau Bungin), untuk mendirikan rumah mereka. Caranya, pasangan tersebut harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ukuran lokasinya bisa mencapai 6 x 12 meter. Setelah lokasi terbentuk, barulah mereka boleh menikah dan mendirikan rumah. Itulah sebabnya luas Pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun. Dapat dikatakan, Pulau Bungin adalah pulau karang bentukan.
Uniknya, Pulau Bungin dari tahun ke tahun semakin bertambah luas. Mungkin ini satu-satunya pulau di dunia yang luasnya semakin bertambah tiap tahun. Pada tahun 2002, luas Pulau Bungin adalah 6 hektar, namun sekarang (2009) luas pulau ini berkembang menjadi 8 hektar. Sejak tahun 2002, Pulau Bungin sudah menjadi desa definitif dengan nama Desa Pulau Bungin, yang terdiri dari tiga dusun. Anda pasti heran dan bertanya-tanya, “Bagaimana bisa Pulau Bungin semakin bertambah luas?”
Hukum Adat Perkawinan Warga Bungin
Hukum adat perkawinan warga Bungin yang menyebabkan Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah penduduknya. Pasalnya, dalam hukum adat tersebut diatur pasangan muda-mudi yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri di Pulau Bungin (tidak boleh keluar dari Pulau Bungin), untuk mendirikan rumah mereka. Caranya, pasangan tersebut harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ukuran lokasinya bisa mencapai 6 x 12 meter. Setelah lokasi terbentuk, barulah mereka boleh menikah dan mendirikan rumah. Itulah sebabnya luas Pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun. Dapat dikatakan, Pulau Bungin adalah pulau karang bentukan.
Kambing Makan Kertas
Cerita kambing makan kertas di Pulau Bungin sudah lama saya dengar, baik dari koran maupun dari internet. Kedengarannya memang aneh dan saya belum mempercayainya kalau belum melihatnya secara langsung. Makanya, ketika berkunjung ke Pulau Bungin saya menajamkan pandangan mata saya agar melihat pemandangan unik, kambing makan kertas. Namun, saya tidak melihat satu pun kambing makan kertas di pulau itu, walaupun kambing sangat banyak di sana. Ketika sedang berhenti di dermaga Pulau Bungin, saya berbincang-bincang dengan penduduk setempat dan menanyakan kebenaran berita kambing makan kertas. Ternyata berita tersebut bukan isapan jempol belaka. Untuk membuktikannya, warga Pulau Bungin tersebut menyuruh saya memberikan kertas/koran untuk kambing. Saya pun segera memberikan selembar koran kepada kambing yang banyak berkeliaran di sekitar dermaga. Setelah menyodorkan selembar koran, saya bergerak mundur, sedikit menjauhi kambing tersebut. Dan ternyata benar. Kambing tersebut tanpa malu-malu menggigit dan memakan koran yang saya berikan. Kambing itu memakan koran dengan lahapnya, seperti kambing yang sedang makan rumput. Benar-benar pemandangan yang aneh. Saya pun segera mengabadikan pemandangan yang unik dan langka tersebut dengan kamera kesayangan saya. Menurut pemilik kambing tersebut, kambing itu juga pernah makan selembar uang Rp 20.000,00. Bahkan, pernah ada seorang turis asing yang mengenakan kain pantai berwarna hijau, lari ketakutan dikejar-kejar kambing. Namun, akhirnya turis itu merelakan kain pantainya digigit dan dimakan kambing tersebut.
Pemandangan kambing makan kertas merupakan sesuatu yang lazim bagi penduduk Pulau Bungin. Di pulau ini, kambing memang nggak punya pilihan makanan selain ikan laut, sampah kertas, dan kain bekas. Tekstur pulau yang tersusun dari gugusan batu karang tidak memungkinkan tanaman untuk tumbuh, meski hanya rumput liar. Untuk memberi makan kambing, penduduk Pulau Bungin harus mengambil rumput atau dedaunan dari daratan Pulau Sumbawa. Makanya nggak heran kalau kambing-kambing di Pulau Bungin doyan makan kertas. Namun, walaupun bertahan hidup hanya dengan makan ikan laut, sampah kertas, dan kain bekas, populasi kambing di Pulau Bungin cukup banyak.
Air Bersih Berasal dari Daratan Pulau Sumbawa
Pulau Bungin merupakan sebuah pulau yang terbuat dari gugusan batu karang sehingga tidak ada sumber air tawar di sana. Sumber air tawar bersih yang dikonsumsi penduduknya sehari-hari berasal dari “ai tawar,” sebuah sumur di daratan Pulau Sumbawa yang berjarak sekitar 800 meter dari Pulau Bungin. Meskipun letaknya berada di bibir laut, rasa air di sumur tersebut tidak asin tetapi payau., Sumur tersebut tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Airnya tetap melimpah, bahkan tidak perlu menimba untuk mengambilnya. Warga tinggal memasukkan gayung atau ember yang dipegang untuk mengambil air. Untuk menjangkau sumber air tawar tersebut, warga Pulau Bungin harus menggunakan perahu mesin dan memakan waktu sekitar 30 menit. Setiap harinya, kebutuhan air untuk mandi, mencuci, dan mengisi bak penampung dipenuhi dari sumur “ai tawar” tersebut.
Saat ini, pihak PDAM Kabupaten Sumbawa memang sudah berhasil mengalirkan air bersih ke pulau Bungin, tetapi alirannya masih kurang lancar. Hal ini disebabkan oleh pipa salurannya yang harus melalui sebuah tanjakan dan melewati dasar laut sehingga tingkat kebocorannya sulit diprediksi dan pemeliharaanya pun cukup sulit. Oleh karena itu, warga setempat masih tetap mengandalkan sumur “ai tawar” di daratan Pulau Sumbawa.
Pulau yang Makmur
Seluruh penduduk Pulau Bungin bermata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan di sana sudah menggunakan teknologi yang cukup modern untuk mencari ikan. Dengan kapal-kapal berukuran besar yang menggunakan mesin tempel dan layar, mereka bisa melaut sampai ke perairan Pulau Flores (NTT) dan perairan Maluku. Selain memburu ikan dengan jala, mereka juga terkenal piawai memburu lobster.
Walaupun seluruh penduduknya berprofesi sebagai nelayan, kehidupan warga Pulau Bungin cukup mapan. Jauh dari kesan miskin yang biasa terlihat di kampung-kampung nelayan. Hampir semua keluarga punya barang elektronik minimal pesawat televisi, lengkap dengan receiver parabola digital.
Kebutuhan belanja sehari-hari penduduk Pulau Bungin, juga lumayan tinggi. Selain produk laut, semua kebutuhan hidup harus dibeli. Mulai dari sembako hingga air bersih semua harus beli. Uniknya, kebutuhan sehari-hari tersebut seluruhnya dipenuhi oleh kaum wanita. Karena kaum pria melaut sampai berbulan-bulan, para wanitalah yang bertugas mencari uang untuk belanja sehari-hari. Mereka mencari ikan, kerang, dan teripang yang banyak terdapat di sekitar Pulau Bungin, kemudian menjualnya ke pasar. Hasilnya lumayan, mereka bisa mengantungi uang Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00 per hari.
Penduduk Pulau Bungin sangat mencintai pulaunya. Meskipun secara ekonomi sudah mapan, mereka tidak pernah berpikir untuk membeli tanah dan pindah rumah ke darat. Menurut mereka, di darat biasanya banyak godaan dan tidak aman. Makanya, warga Pulau Bungin pasti akan kembali walaupun melaut sampai berbulan-bulan. Di Pulau Bungin mereka tidak merasa khawatir soal keamanan dan kenyamanan, karena tali persaudara membuat mereka saling menjaga. Hanya satu yang mereka takuti, yaitu kebakaran. Bayangkan, dengan posisi rumah yang sangat rapat, pasti kebakaran bisa merembet dengan sangat cepat. Makanya, bila ada gejala kebakaran, semua masyarakat Pulau Bungin menjadi petugas pemadamnya.
Cerita kambing makan kertas di Pulau Bungin sudah lama saya dengar, baik dari koran maupun dari internet. Kedengarannya memang aneh dan saya belum mempercayainya kalau belum melihatnya secara langsung. Makanya, ketika berkunjung ke Pulau Bungin saya menajamkan pandangan mata saya agar melihat pemandangan unik, kambing makan kertas. Namun, saya tidak melihat satu pun kambing makan kertas di pulau itu, walaupun kambing sangat banyak di sana. Ketika sedang berhenti di dermaga Pulau Bungin, saya berbincang-bincang dengan penduduk setempat dan menanyakan kebenaran berita kambing makan kertas. Ternyata berita tersebut bukan isapan jempol belaka. Untuk membuktikannya, warga Pulau Bungin tersebut menyuruh saya memberikan kertas/koran untuk kambing. Saya pun segera memberikan selembar koran kepada kambing yang banyak berkeliaran di sekitar dermaga. Setelah menyodorkan selembar koran, saya bergerak mundur, sedikit menjauhi kambing tersebut. Dan ternyata benar. Kambing tersebut tanpa malu-malu menggigit dan memakan koran yang saya berikan. Kambing itu memakan koran dengan lahapnya, seperti kambing yang sedang makan rumput. Benar-benar pemandangan yang aneh. Saya pun segera mengabadikan pemandangan yang unik dan langka tersebut dengan kamera kesayangan saya. Menurut pemilik kambing tersebut, kambing itu juga pernah makan selembar uang Rp 20.000,00. Bahkan, pernah ada seorang turis asing yang mengenakan kain pantai berwarna hijau, lari ketakutan dikejar-kejar kambing. Namun, akhirnya turis itu merelakan kain pantainya digigit dan dimakan kambing tersebut.
Pemandangan kambing makan kertas merupakan sesuatu yang lazim bagi penduduk Pulau Bungin. Di pulau ini, kambing memang nggak punya pilihan makanan selain ikan laut, sampah kertas, dan kain bekas. Tekstur pulau yang tersusun dari gugusan batu karang tidak memungkinkan tanaman untuk tumbuh, meski hanya rumput liar. Untuk memberi makan kambing, penduduk Pulau Bungin harus mengambil rumput atau dedaunan dari daratan Pulau Sumbawa. Makanya nggak heran kalau kambing-kambing di Pulau Bungin doyan makan kertas. Namun, walaupun bertahan hidup hanya dengan makan ikan laut, sampah kertas, dan kain bekas, populasi kambing di Pulau Bungin cukup banyak.
Air Bersih Berasal dari Daratan Pulau Sumbawa
Pulau Bungin merupakan sebuah pulau yang terbuat dari gugusan batu karang sehingga tidak ada sumber air tawar di sana. Sumber air tawar bersih yang dikonsumsi penduduknya sehari-hari berasal dari “ai tawar,” sebuah sumur di daratan Pulau Sumbawa yang berjarak sekitar 800 meter dari Pulau Bungin. Meskipun letaknya berada di bibir laut, rasa air di sumur tersebut tidak asin tetapi payau., Sumur tersebut tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Airnya tetap melimpah, bahkan tidak perlu menimba untuk mengambilnya. Warga tinggal memasukkan gayung atau ember yang dipegang untuk mengambil air. Untuk menjangkau sumber air tawar tersebut, warga Pulau Bungin harus menggunakan perahu mesin dan memakan waktu sekitar 30 menit. Setiap harinya, kebutuhan air untuk mandi, mencuci, dan mengisi bak penampung dipenuhi dari sumur “ai tawar” tersebut.
Saat ini, pihak PDAM Kabupaten Sumbawa memang sudah berhasil mengalirkan air bersih ke pulau Bungin, tetapi alirannya masih kurang lancar. Hal ini disebabkan oleh pipa salurannya yang harus melalui sebuah tanjakan dan melewati dasar laut sehingga tingkat kebocorannya sulit diprediksi dan pemeliharaanya pun cukup sulit. Oleh karena itu, warga setempat masih tetap mengandalkan sumur “ai tawar” di daratan Pulau Sumbawa.
Pulau yang Makmur
Seluruh penduduk Pulau Bungin bermata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan di sana sudah menggunakan teknologi yang cukup modern untuk mencari ikan. Dengan kapal-kapal berukuran besar yang menggunakan mesin tempel dan layar, mereka bisa melaut sampai ke perairan Pulau Flores (NTT) dan perairan Maluku. Selain memburu ikan dengan jala, mereka juga terkenal piawai memburu lobster.
Walaupun seluruh penduduknya berprofesi sebagai nelayan, kehidupan warga Pulau Bungin cukup mapan. Jauh dari kesan miskin yang biasa terlihat di kampung-kampung nelayan. Hampir semua keluarga punya barang elektronik minimal pesawat televisi, lengkap dengan receiver parabola digital.
Kebutuhan belanja sehari-hari penduduk Pulau Bungin, juga lumayan tinggi. Selain produk laut, semua kebutuhan hidup harus dibeli. Mulai dari sembako hingga air bersih semua harus beli. Uniknya, kebutuhan sehari-hari tersebut seluruhnya dipenuhi oleh kaum wanita. Karena kaum pria melaut sampai berbulan-bulan, para wanitalah yang bertugas mencari uang untuk belanja sehari-hari. Mereka mencari ikan, kerang, dan teripang yang banyak terdapat di sekitar Pulau Bungin, kemudian menjualnya ke pasar. Hasilnya lumayan, mereka bisa mengantungi uang Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00 per hari.
Penduduk Pulau Bungin sangat mencintai pulaunya. Meskipun secara ekonomi sudah mapan, mereka tidak pernah berpikir untuk membeli tanah dan pindah rumah ke darat. Menurut mereka, di darat biasanya banyak godaan dan tidak aman. Makanya, warga Pulau Bungin pasti akan kembali walaupun melaut sampai berbulan-bulan. Di Pulau Bungin mereka tidak merasa khawatir soal keamanan dan kenyamanan, karena tali persaudara membuat mereka saling menjaga. Hanya satu yang mereka takuti, yaitu kebakaran. Bayangkan, dengan posisi rumah yang sangat rapat, pasti kebakaran bisa merembet dengan sangat cepat. Makanya, bila ada gejala kebakaran, semua masyarakat Pulau Bungin menjadi petugas pemadamnya.
Berkat kemampuan ekonomi mereka, infrastruktur di Pulau Bungin pun terus terbenahi dari tahun ke tahun. Listrik PLN dan air PDAM sudah masuk ke sana. Saat ini sudah ada dua buah Sekolah Dasar (SD) di Pulau Bungin dan sebuah Puskesmas pembantu. Masyarakat Pulau Bungin masih mengharapkan bantuan pemerintah untuk dunia pendidikan di sana. Mereka berharap ada SMP dan SMA di Pulau Bungin, walaupun mereka harus bergotong-royong membangun lokasinya.
Kini, Pulau Bungin sudah menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Sumbawa. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke sana untuk melihat dari dekat keunikan Pulau Bungin. Selain keramahan penduduk dan keunikan pulaunya, ada hal yang pasti berkesan ketika Anda berkunjung ke Pulau Bungin. Anda bisa menikmati indahnya sunrise dan sunset di pulau yang sama. Namun, ada satu yang tak pernah berubah di pulau itu. Walaupun semua rumah memiliki kamar mandi, namun tak satu rumah pun memiliki WC. Buang air tetap dilakukan di laut. Benar-benar menarik bukan? Jadi kapan Anda akan berkunjung ke Pulau Bungin?
How to Get There
Untuk mencapai Pulau Bungin, Anda bisa`mencapainya dari Kota Sumbawa Besar ataupun Kota Mataram. Dari Sumbawa Besar, ibukota Kabupaten Sumbawa, Pulau Bungin hanya berjarak sekitar 70 km ke arah barat. Sedangkan dari Mataram, menghabiskan waktu berkendara sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan ke arah timur, sudah termasuk perjalanan laut menggunakan kapal penyeberangan Kayangan (Lombok) – Poto Tano (Sumbawa). Dari Pelabuhan Poto Tano Anda tinggal melanjutkan perjalanan darat menyusuri Jalan Lintas Sumbawa sampai ke Desa Dalam, Kecamatan Alas. Dari pertigaan Desa Dalam, Anda belok kiri melewati jalanan tanah berbatu sejauh 5 km, dan sampailah Anda di Pulau Bungin. Untuk mencapai Pulau Bungin dari Desa Dalam, Anda tidak perlu naik sampan atau perahu, karena pulau ini sudah terhubung dengan daratan Pulau Sumbawa. (edyra)***
Kini, Pulau Bungin sudah menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Sumbawa. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke sana untuk melihat dari dekat keunikan Pulau Bungin. Selain keramahan penduduk dan keunikan pulaunya, ada hal yang pasti berkesan ketika Anda berkunjung ke Pulau Bungin. Anda bisa menikmati indahnya sunrise dan sunset di pulau yang sama. Namun, ada satu yang tak pernah berubah di pulau itu. Walaupun semua rumah memiliki kamar mandi, namun tak satu rumah pun memiliki WC. Buang air tetap dilakukan di laut. Benar-benar menarik bukan? Jadi kapan Anda akan berkunjung ke Pulau Bungin?
How to Get There
Untuk mencapai Pulau Bungin, Anda bisa`mencapainya dari Kota Sumbawa Besar ataupun Kota Mataram. Dari Sumbawa Besar, ibukota Kabupaten Sumbawa, Pulau Bungin hanya berjarak sekitar 70 km ke arah barat. Sedangkan dari Mataram, menghabiskan waktu berkendara sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan ke arah timur, sudah termasuk perjalanan laut menggunakan kapal penyeberangan Kayangan (Lombok) – Poto Tano (Sumbawa). Dari Pelabuhan Poto Tano Anda tinggal melanjutkan perjalanan darat menyusuri Jalan Lintas Sumbawa sampai ke Desa Dalam, Kecamatan Alas. Dari pertigaan Desa Dalam, Anda belok kiri melewati jalanan tanah berbatu sejauh 5 km, dan sampailah Anda di Pulau Bungin. Untuk mencapai Pulau Bungin dari Desa Dalam, Anda tidak perlu naik sampan atau perahu, karena pulau ini sudah terhubung dengan daratan Pulau Sumbawa. (edyra)***
No comments:
Post a Comment