Nggak disangka-sangka, saya harus mengalami juga kejadian menginap di bandara. Tepatnya, di Suvarnabhumi Airport, Bangkok, Thailand. Saya terpaksa menginap di Suvarnabhumi Airport untuk menghindari tragedi ketinggalan pesawat lagi karena urusannya bakal panjang dan ribet. Secara, saya pernah ketinggalan pesawat di Kuala Lumpur, waktu mau terbang ke Hanoi. Tiket pesawat hangus dan saya harus membeli tiket baru dengan harga yang super mahal untuk bisa ikut penerbangan berikutnya. Itu pun kalau masih ada kursi kosong. Selain itu juga untuk menghemat biaya hotel dan transportasi Suvarnabhumi Airport-Bangkok pulang pergi. Soalnya jadwal penerbangan saya berikutnya (Bangkok-Denpasar) pagi banget, yaitu jam 06.15. Tahu sendiri kan, untuk penerbangan internasional kita diharuskan check in dua jam sebelum waktu keberangkatan. Artinya jam 04.15 pagi buta, saya harus sudah berada di Suvarnabhumi Airport yang jaraknya jauh banget dari Bangkok, sekitar 25 km atau 1 jam berkendara. Sementara mencari taxi pagi-pagi buta di Bangkok juga rada-rada susah. Apalagi kalau kita nggak bisa berbahasa Thailand. Sopir taxi biasanya males mengantar kita. Jadi, untuk mencegah kejadian nggak asyik tersebut, saya pilih amannya saja, menginap di bandara. Saya berencana menginap di mushola bandara, seperti yang dilakukan oleh teman saya tahun kemarin. Masa backpacker nggak pernah menginap di bandara?
Pengalaman pertama menginap di bandara, ternyata nggak sedih-sedih amat. Nggak sengeri yang saya bayangkan. Sebaliknya, saya menjumpai hal-hal seru dan menarik. Karena pesawat yang membawa saya dari Hanoi mendarat di Suvarnabhumi Airport siang hari, saya punya banyak waktu untuk menjelajahi Suvarnabhumi Airport yang besar, luas dan megah. Luas bangunan terminal aja mencapai meter persegi. Terminal bandara terdiri dari 4 lantai, dengan peruntukan sebagai berikut : lantai 1 (dasar) untuk halte bus dan taxi; lantai 2 untuk kedatangan (arrivals) baik domestik maupun internasional; lantai 3 untuk pertokoan, restoran, money changer, tempat pijat dan spa, serta kantor perwakilan maskapai; dan lantai 4 untuk keberangkatan (departures) baik domestik maupun internasional. Asyiknya lagi, terdapat taman bunga yang indah dan cukup luas di sebelah timur terminal bandara. Kalau Anda sudah bosan dan suntuk berada di dalam terminal bandara, anda bisa keluar terminal dan lari ke taman untuk menyegarkan mata anda. Jadi, Anda nggak perlu khawatir bila terpaksa harus transit (lumayan lama) di Suvarnabhumi Airport. Dijamin nggak bakal bosan, deh.
Penjelajahan di Suvarnabhumi Airport saya mulai dari lantai 2 (terminal kedatangan). Setelah urusan bagasi dan imigrasi beres, saya segera menitipkan ransel saya yang segede gabon (waktu ditimbang, beratnya mencapai 13,7 kg) di tempat penitipan barang (left baggage) yang terletak di lantai 3, tepatnya di dekat Gate 2. Sebagai informasi, anda bisa menitipkan tas, koper ataupun ransel anda di left baggage, dengan biaya THB 100 (sekitar Rp 29.000,00) per item, per 24 jam. Bila lebih dari 24 jam, anda akan dikenakan biaya THB 50 (sekitar Rp 14.500,00) per ítem, per 12 jam. Nggak menguras kantong kan? Hanya dengan THB 100, Anda bisa jalan-jalan dengan santai tanpa harus repot-repot dan susah payah menggendong tas yang berat.
Setelah beres urusan tas, saya segera mencari makan siang. Perut sudah keroncongan karena tadi pagi nggak sempat sarapan. Gimana mau sarapan? Jam 06.00 pagi saya harus berangkat ke Noi Bai International Airport, Hanoi, Vietnam. Yang ada, saya hanya sempat makan beberapa potong biskuit dan sekotak susu kemasan. Mau beli nasi di pesawat, nggak ada (padahal biasanya ada). Saat itu hanya tersedia sandwich, burger,dan hotdog. Males banget deh, pagi-pagi makan burger atau hotdog. Untungnya Bandara Suvarnabhumi sangat ramah terhadap backpacker. Restoran dengan berbagai macam pilihan harga, dari yang murah sampai yang mewah semuanya ada. Minimarket (convenient store) seperti Seven Eleven dan Family Mart pun ada. Setelah keliling lantai 3 bandara, akhirnya saya menemukan kios makanan yang sesuai selera (terdapat menu nasi) dan harganya cukup bersahabat dengan kantong. Nama kiosnya “The Miracle Food Village.” Makanan yang dijual di resto tersebut, cukup beragam dan asyiknya lagi bersertifikat halal, antara lain : nasi ayam, nasi goreng kepiting, nasi briyani ayam, mi goreng ayam, burger, sandwich, hotdog, dan spaghetti. Saya pun membeli nasi goreng kepiting (crab fried rice) di kios makanan tersebut. Di Indonesia saya belum pernah menjumpai menu tersebut. Ternyata rasanya cukup yummy, kok.
Selesai makan siang, saya segera mencari mushola untuk menunaikan sholat zuhur. Untungnya, letak mushola nggak jauh dari tempat saya makan. Salut banget deh, dengan Pemerintah Thailand yang sangat memperhatikan fasilitas umum dan menghormati semua agama. Walaupun Thailand bukan negara muslim (mayoritas penduduk Thailand beragama Budha), pemerintah menyediakan sebuah mushola di Suvarnabhumi Airport. Letaknya, di lantai 3 dekat Gate 7. Selesai sholat, saya lanjutkan jalan-jalan keliling bandara. Saya sangat menikmati “terdampar” di Suvarnabhumi Airport. Saya jelajahi semua sudut bandara, dari lantai 1 sampai lantai 4. Window shopping dari satu toko ke toko lainnya. Selain itu, saya juga bisa membaca buku dan majalah di beberapa toko buku yang ada di sana. Bosan di dalam terminal bandara, saya jalan-jalan di taman bunga untuk menyegarkan mata. Di sebelah timur terminal, terdapat taman bunga yang cukup luas dan indah. Lumayan untuk mengobati mata yang capek setelah melihat hiruk-pikuk orang di dalam terminal bandara.
Saya berasa jadi Tom Hanks di film “THE TERMINAL”. Saya nggak pernah menyangka akan mengalami kejadian seperti yang dialami Viktor Navorski (Tom Hanks) di film tersebut. The Terminal bercerita mengenai Viktor Navorski (yang diperankan Tom Hanks) yang terjebak di Terminal Bandara Internasional John F. Kennedy, New York, setelah dia tidak diperbolehkan memasuki Amerika Serikat dan pada waktu yang sama tidak dapat kembali ke negara asalnya karena revolusi sedang berlangsung. Sayangnya saya nggak ketemu Catherine Zeta-Jones (pasangannya Tom Hanks di film The Terminal) tuh, di Suvarnabhumi Airport.
Saya berasa jadi Tom Hanks di film “THE TERMINAL”. Saya nggak pernah menyangka akan mengalami kejadian seperti yang dialami Viktor Navorski (Tom Hanks) di film tersebut. The Terminal bercerita mengenai Viktor Navorski (yang diperankan Tom Hanks) yang terjebak di Terminal Bandara Internasional John F. Kennedy, New York, setelah dia tidak diperbolehkan memasuki Amerika Serikat dan pada waktu yang sama tidak dapat kembali ke negara asalnya karena revolusi sedang berlangsung. Sayangnya saya nggak ketemu Catherine Zeta-Jones (pasangannya Tom Hanks di film The Terminal) tuh, di Suvarnabhumi Airport.
Malam hari, perut sudah minta diisi lagi. Saya pun membeli makan malam di kios makanan yang sama dengan tadi siang, yaitu “The Miracle Food Village.” Namun kali ini, saya pilih menu yang beda, yaitu nasi ayam dan telor (Chicken Rice). Setelah makan malam, saya kembali ke mushola untuk menunaikan Sholat Isya. Selepas Sholat Isya, saya duduk-duduk sambil membaca majalah di dalam mushola. Sebenarnya sih, sudah pengen merebahkan diri di karpet mushola. Secara, tadi pagi saya bangun pagi-pagi banget agar tidak ketinggalan pesawat Hanoi-Bangkok. Setelah mendarat di Suvarnabhumi Airport, saya langsung jalan-jalan keliling bandara yang sangat luas. Jadinya belum sempet istirahat. Makanya jam 09.00 malam, mata saya udah ngantuk banget. Namun, sebisa mungkin saya nggak tidur dulu. Soalnya di mushola masih banyak orang yang beribadah.
Setelah lewat jam 10.00 malam, mushola mulai sepi. Di dalam mushola hanya ada saya dan seorang bule yang sudah tidur dengan nyenyaknya sejak tadi. Saya pun mulai merebahkan diri di atas karpet, di sudut mushola. Tentunya dengan memakai bantal leher Air Asia kesayangan saya. Namun, saya nggak bisa langsung terlelap. Semakin malam, AC mushola terasa semakin dingin. Saya pun mulai memakai sarung tangan dan kain sarung untuk selimut. Saya mencari-cari kaos kaki di dalam tas, nggak ketemu juga. Rupanya kaos kaki saya berada di tas ransel yang saya titipkan di left baggage. Terpaksa deh, tidur meringkuk kedinginan.
Semula saya mengira hanya saya yang akan menginap di mushola. Ternyata, semakin malam semakin banyak orang yang tidur di dalam musola. Sialnya di dekat saya, ada seorang bapak-bapak yang ngoroknya sangat stereo alias keras banget. Jadi makin susah tidur, deh. Di luar mushola juga banyak banget orang yang bermalam, terutama turis-turis backpacker. Mereka bergeletakan di sembarang tempat. Ada yang rebahan di kursi, tidur sambil duduk, ataupun tidur di lantai beralaskan kain. Saya jadi merasa lebih beruntung dari mereka. Sementara yang lain tidur kedinginan dengan posisi yang nggak nyaman, saya bisa tidur dengan nyaman di dalam mushola. Berarti, saya sudah menjadi backpacker sejati, nih. (edyra)***
Semula saya mengira hanya saya yang akan menginap di mushola. Ternyata, semakin malam semakin banyak orang yang tidur di dalam musola. Sialnya di dekat saya, ada seorang bapak-bapak yang ngoroknya sangat stereo alias keras banget. Jadi makin susah tidur, deh. Di luar mushola juga banyak banget orang yang bermalam, terutama turis-turis backpacker. Mereka bergeletakan di sembarang tempat. Ada yang rebahan di kursi, tidur sambil duduk, ataupun tidur di lantai beralaskan kain. Saya jadi merasa lebih beruntung dari mereka. Sementara yang lain tidur kedinginan dengan posisi yang nggak nyaman, saya bisa tidur dengan nyaman di dalam mushola. Berarti, saya sudah menjadi backpacker sejati, nih. (edyra)***