Jarak Banyuwangi - Paltuding sebenarnya hanya sekitar 30 km. Namun, jangan kira Anda bisa menempuhnya dalam waktu 30 menit atau satu jam. Jalan yang menanjak terjal dan rusak parah membuat perjalanan molor menjadi dua jam lebih. Sekitar 20 km pertama, jalan masih cukup baik. Namun, begitu Anda keluar dari desa terakhir dan memasuki perkebunan cengkih, jalan mulai rusak. Aspal mulai banyak yang terkelupas dan berubah menjadi jalanan berbatu dengan kerikil-kerikil tajam. Begitu memasuki hutan, jalan semakin menanjak dan di beberapa tempat rusak parah. Apalagi saat melewati jalan yang menikung dan menanjak terjal dengan kemiringan lebih dari 45 derajat (saya menamakannya tanjakan setan), Bonito meraung-raung keras dan mengeluarkan bau tak sedap dari knalpotnya. Artinya Bonito minta istirahat, karena mesinnya sudah terlalu panas. Kami pun terpaksa berhenti sejenak untuk mendinginkan mesin Bonito. Setelah berhenti sekitar sepuluh menit, saya memacu Bonito lagi sednirian. Ahmad saya suruh berjalan kaki karena sepertinya Bonito tidak kuat membawa beban dua orang di jalanan yang menanjak terjal. Namun, baru beberapa puluh meter berjalan, Bonito minta berhenti lagi karena kecapekan mendaki jalan yang sangat terjal dan rusak. Jalan sebentar, berhenti, jalan sebentar berhenti. Begitu terus, berulang kali sampai lebih dari lima kali. Saya sampai kasihan sama Bonito. Jalur Banyuwangi - Paltuding memang bukan jalur yang tepat untuk sepeda motor matic seperti Bonito.
Akhirnya, setelah melalui perjuangan berat tak kenal lelah, menjelang maghrib kami tiba di Paltuding dengan selamat. Kami sangat bersyukur, akhirnya bisa sampai di Paltuding sebelum maghrib. Soalnya, sangat berbahaya bila kami kemalaman di jalan. Dari Paltuding, puncak Kawah Ijen yang tingginya 2.386 meter di atas permukaan laut, tinggal 3 km lagi. Menurut informasi di papan petunjuk, waktu tempuh untuk mencapai Kawah Ijen adalah dua jam. Harus menyiapkan stamina prima nih, untuk mendaki Kawah Ijen besok pagi.
Menginap di Paltuding
Kami segera lapor kepada petugas dari Cagar Alam Kawah Ijen, begitu sampai di Paltuding. Karena Kawah Ijen termasuk kawasan cagar alam, setiap pengunjung yang ingin mendaki ke Puncak Kawah Ijen harus lapor dan membayar tiket masuk sebesar Rp 3.500,00. Kami segera mengutarakan maksud kami untuk menginap di Paltuding kepada Pak Conny (petugas dari Cagar Alam Kawah Ijen), agar kami mendapat sebuah kamar di penginapan. Sialnya, kamar penuh semua malam itu. Kebetulan malam itu merupakan malam Minggu, di mana pengunjung Kawah Ijen sedang banyak-banyaknya. Menurut Pak Conny, setiap malam Minggu Paltuding pasti penuh pengunjung. Apalagi di musim liburan (Juni-Agustus) seperti sekarang, bisa dipastikan semua kamar akan penuh. Memang, saat itu kami lihat banyak sekali mobil dan sepeda motor pengunjung di tempat parkir Paltuding. Ada juga sekelompok remaja yang sudah menggelar tikar dan tiduran di sebuah bangunan terbuka (tanpa dinding) di dekat sebuah toilet. Cuek banget mereka. Tidur di dekat toilet yang pastinya akan bau bila angin berhembus. Atau mungkin karena mereka tidak mendapat kamar juga seperti kami? Saya tidak menyangka kalau Paltuding akan seramai ini. Soalnya, saat saya datang ke Paltuding empat tahun lalu, sepi sekali. Tidak ada pengunjung lain selain saya dan teman.
Menginap di Paltuding
Kami segera lapor kepada petugas dari Cagar Alam Kawah Ijen, begitu sampai di Paltuding. Karena Kawah Ijen termasuk kawasan cagar alam, setiap pengunjung yang ingin mendaki ke Puncak Kawah Ijen harus lapor dan membayar tiket masuk sebesar Rp 3.500,00. Kami segera mengutarakan maksud kami untuk menginap di Paltuding kepada Pak Conny (petugas dari Cagar Alam Kawah Ijen), agar kami mendapat sebuah kamar di penginapan. Sialnya, kamar penuh semua malam itu. Kebetulan malam itu merupakan malam Minggu, di mana pengunjung Kawah Ijen sedang banyak-banyaknya. Menurut Pak Conny, setiap malam Minggu Paltuding pasti penuh pengunjung. Apalagi di musim liburan (Juni-Agustus) seperti sekarang, bisa dipastikan semua kamar akan penuh. Memang, saat itu kami lihat banyak sekali mobil dan sepeda motor pengunjung di tempat parkir Paltuding. Ada juga sekelompok remaja yang sudah menggelar tikar dan tiduran di sebuah bangunan terbuka (tanpa dinding) di dekat sebuah toilet. Cuek banget mereka. Tidur di dekat toilet yang pastinya akan bau bila angin berhembus. Atau mungkin karena mereka tidak mendapat kamar juga seperti kami? Saya tidak menyangka kalau Paltuding akan seramai ini. Soalnya, saat saya datang ke Paltuding empat tahun lalu, sepi sekali. Tidak ada pengunjung lain selain saya dan teman.
Akhirnya Pak Conny menawarkan sebuah ruangan untuk kami menginap. Ruangan tersebut biasa digunakan sebagai tempat parkir sepeda motor. Di ruangan tersebut tidak ada ranjang ataupun kasur. Jadi kami harus tidur di lantai beralaskan karpet. Oh, my God! Alamat semalam nggak bisa tidur, nih! Pasalnya udara di Paltuding yang berada di ketinggian 1.850 meter di atas permukaan laut dinginnya minta ampun. Tidur di atas kasur saja sangat dingin. Apalagi tidur di atas lantai beralaskan karpet. Namun, mau nggak mau, kami menerima tawaran Pak Conny. Daripada kami kedinginan di luar, lebih baik tidur di lantai beralaskan karpet. Sialnya, saya tidak membawa sleeping bag. Soalnya saya tidak mengira sama sekali kalau bakalan tidak dapat kamar di Paltuding. Duh!!! Bakalan nggak bisa tidur beneran, nih.
Setelah mendapatkan ruangan, kami segera meletakkan tas kami dan pergi ke kamar mandi untuk cuci muka sekalian mengambil air wudlu. Brrrrr! Air di kamar mandi bener-bener dingin, mirip air di dalam kulkas. Kalau tidak untuk wudlu, mungkin saya tidak akan menyentuh air di Paltuding. Saya memang tidak tahan dingin. Kalau disuruh memilih, lebih baik kegerahan daripada harus menggigil kedinginan.
Selesai sholat maghrib, kami segera menuju ke kantin/warung untuk mencari makan. Sekarang, kalau menginap di Paltuding sudah enak. Kita tidak akan kelaparan meski tidak membawa bekal makanan karena sudah ada tiga buah kantin/warung makan sederhana di Paltuding. Padahal, empat tahun lalu, satu pun tidak ada. Malam itu, menu makan saya adalah nasi goreng dan wedang jahe. Lumayan untuk menghangatkan badan.
Selesai makan, kami menghangatkan diri di depan tungku/perapian bersama para pengunjung lain dan penambang belerang Kawah Ijen. Sambil menghangatkan diri, kami ngobrol ngalor ngidul seputar Kawah Ijen. Dari obrolan tersebut, saya mendapat beberapa informasi penting. Antara lain tentang kehidupan para buruh penambang belerang di Kawah Ijen yang cukup memprihatinkan. Kehidupan mereka tak seindah Kawah Ijen. Menurut salah satu buruh tambang belerang yang bernama Paing (nama lengkapnya Abdul Cholid Paing), belerang di Kawah Ijen dikelola oleh PT. Candi Ngrimbi yang memeiliki buruh angkut (buruh tambang) belerang sebanayk 350 orang. Para penambang belerang harus berangkat pagi-pagi sekali bahkan dini hari/tengah malam untuk menambang belerang di Kawah Ijen. Pasalnya kalau kesiangan, Kawah Ijen akan tertutup kabut pekat dan asap belerang, sehingga membuat sesak nafas. Dalam sehari, para penambang belerang hanya mampu bolak-balik satu atau dua kali. Sekali memikul belerang, rata-rata beratnya 60 - 80 kilogram. Tiap kilogram belerang hanya dihargai Rp 600,00. Berarti, dalam sehari Paing hanya mengantongi uang Rp 36.000,00 - Rp 48.000,00. Dia bisa mendapat penghasilan tambahan, bila mengantar turis (menjadi guide buat turis) ke Kawah Ijen.
Jam 21.00 saya kembali ke penginapan untuk tidur. Semakin malam, suhu udara di Paltuding semakin dingin. Walau sudah memakai jaket tebal, topi kupluk, syal, kaos kaki dan kaos tangan, saya masih tetap kedinginan. Saya tidak bisa tidur sama sekali. Padahal teman saya sudah tidur nyenyak sejak tadi. Saya coba pejamkan mata, saya tetap tidak bisa tidur. Padahal, tubuh saya sangat capek, setelah seharian menempuh perjalanan panjang dengan sepeda motor dari Denpasar, Bali. Anehnya, saya tidak mengantuk sama sekali. Sebentar-sebentar saya lihat jam. Namun sepertinya jarum jam tidak bergerak. Waktu terasa sangat lambat bergerak di Paltuding.
Menuju Puncak Kawah Ijen
Jam 04.00 subuh, udara dingin semakin menusuk tulang. Semalam saya tidak bisa tidur sama sekali. Saya membangunkan Ahmad agar segera bersiap-siap untuk mendaki Gunung Ijen. Kami ingin melihat matahari (sunrise) terbit di puncak Kawah Ijen yang konon katanya sangat indah.
Rupanya di luar penginapan sudah ramai. Banyak pengunjung lain yang sudah bersiap-siap untuk mendaki Gunung Ijen. Menurut Pak Conny, ada pengunjung yang mendaki Gunung Ijen jam 00.00 tengah malam. Namun, kebanyakan pengunjung mulai mendaki Gunung Ijen antara pukul 04.00 – 05.00. Mereka juga ingin melihat sunrise di dari puncak Gunung Ijen
Hari masih gelap dan udara sangat dingin. Apalagi bulan tidak menampakkan wajahnya di fajar itu. Sepertinya jaket tebal dan syal saya tidak mampu menahan dinginnya suhu udara di Paltuding. Saya dan Ahmad keluar dari penginapan sambil membawa senter. Lampu senter kami berkelebat ke kiri dan kanan menerangi jalan tanah yang cukup rata. Beberapa buruh angkut nampak pergi bersama kami. Malah beberapa sudah ada yang turun dari puncak, membawa bongkahan belerang. Ketika saya tanya jam berapa mereka naik, mereka menjawab, “Jam 24.00.“ Gila bener! Tengah malam, di saat orang lain sedang enak-enaknya tidur, mereka sudah bersusah payah mendaki Gunung Ijen demi sesuap nasi.
Setelah mendapatkan ruangan, kami segera meletakkan tas kami dan pergi ke kamar mandi untuk cuci muka sekalian mengambil air wudlu. Brrrrr! Air di kamar mandi bener-bener dingin, mirip air di dalam kulkas. Kalau tidak untuk wudlu, mungkin saya tidak akan menyentuh air di Paltuding. Saya memang tidak tahan dingin. Kalau disuruh memilih, lebih baik kegerahan daripada harus menggigil kedinginan.
Selesai sholat maghrib, kami segera menuju ke kantin/warung untuk mencari makan. Sekarang, kalau menginap di Paltuding sudah enak. Kita tidak akan kelaparan meski tidak membawa bekal makanan karena sudah ada tiga buah kantin/warung makan sederhana di Paltuding. Padahal, empat tahun lalu, satu pun tidak ada. Malam itu, menu makan saya adalah nasi goreng dan wedang jahe. Lumayan untuk menghangatkan badan.
Selesai makan, kami menghangatkan diri di depan tungku/perapian bersama para pengunjung lain dan penambang belerang Kawah Ijen. Sambil menghangatkan diri, kami ngobrol ngalor ngidul seputar Kawah Ijen. Dari obrolan tersebut, saya mendapat beberapa informasi penting. Antara lain tentang kehidupan para buruh penambang belerang di Kawah Ijen yang cukup memprihatinkan. Kehidupan mereka tak seindah Kawah Ijen. Menurut salah satu buruh tambang belerang yang bernama Paing (nama lengkapnya Abdul Cholid Paing), belerang di Kawah Ijen dikelola oleh PT. Candi Ngrimbi yang memeiliki buruh angkut (buruh tambang) belerang sebanayk 350 orang. Para penambang belerang harus berangkat pagi-pagi sekali bahkan dini hari/tengah malam untuk menambang belerang di Kawah Ijen. Pasalnya kalau kesiangan, Kawah Ijen akan tertutup kabut pekat dan asap belerang, sehingga membuat sesak nafas. Dalam sehari, para penambang belerang hanya mampu bolak-balik satu atau dua kali. Sekali memikul belerang, rata-rata beratnya 60 - 80 kilogram. Tiap kilogram belerang hanya dihargai Rp 600,00. Berarti, dalam sehari Paing hanya mengantongi uang Rp 36.000,00 - Rp 48.000,00. Dia bisa mendapat penghasilan tambahan, bila mengantar turis (menjadi guide buat turis) ke Kawah Ijen.
Jam 21.00 saya kembali ke penginapan untuk tidur. Semakin malam, suhu udara di Paltuding semakin dingin. Walau sudah memakai jaket tebal, topi kupluk, syal, kaos kaki dan kaos tangan, saya masih tetap kedinginan. Saya tidak bisa tidur sama sekali. Padahal teman saya sudah tidur nyenyak sejak tadi. Saya coba pejamkan mata, saya tetap tidak bisa tidur. Padahal, tubuh saya sangat capek, setelah seharian menempuh perjalanan panjang dengan sepeda motor dari Denpasar, Bali. Anehnya, saya tidak mengantuk sama sekali. Sebentar-sebentar saya lihat jam. Namun sepertinya jarum jam tidak bergerak. Waktu terasa sangat lambat bergerak di Paltuding.
Menuju Puncak Kawah Ijen
Jam 04.00 subuh, udara dingin semakin menusuk tulang. Semalam saya tidak bisa tidur sama sekali. Saya membangunkan Ahmad agar segera bersiap-siap untuk mendaki Gunung Ijen. Kami ingin melihat matahari (sunrise) terbit di puncak Kawah Ijen yang konon katanya sangat indah.
Rupanya di luar penginapan sudah ramai. Banyak pengunjung lain yang sudah bersiap-siap untuk mendaki Gunung Ijen. Menurut Pak Conny, ada pengunjung yang mendaki Gunung Ijen jam 00.00 tengah malam. Namun, kebanyakan pengunjung mulai mendaki Gunung Ijen antara pukul 04.00 – 05.00. Mereka juga ingin melihat sunrise di dari puncak Gunung Ijen
Hari masih gelap dan udara sangat dingin. Apalagi bulan tidak menampakkan wajahnya di fajar itu. Sepertinya jaket tebal dan syal saya tidak mampu menahan dinginnya suhu udara di Paltuding. Saya dan Ahmad keluar dari penginapan sambil membawa senter. Lampu senter kami berkelebat ke kiri dan kanan menerangi jalan tanah yang cukup rata. Beberapa buruh angkut nampak pergi bersama kami. Malah beberapa sudah ada yang turun dari puncak, membawa bongkahan belerang. Ketika saya tanya jam berapa mereka naik, mereka menjawab, “Jam 24.00.“ Gila bener! Tengah malam, di saat orang lain sedang enak-enaknya tidur, mereka sudah bersusah payah mendaki Gunung Ijen demi sesuap nasi.
Perlahan-lahan kami berjalan naik, menyusuri jalan tanah yang cukup rata. Sambil berjalan, saya memperhatikan pal kilometer ke arah puncak yang menunjukkan jarak dengan menggunakan satuan HM (hektometer). Di awal-awal pendakian, jalan masih agak datar (belum terlalu menanjak). Namun semakin lama, jalan semakin menanjak terjal dan membuat ngos-ngosan orang yang jarang olah raga. Jalan yang gelap dan menanjak terjal membuat kami harus hati-hati mengatur langkah, agar ritme langkah teratur dan tidak cepat lelah.
Di beberapa tempat, saya melihat pikulan belerang yang ditinggalkan para penambang belerang. Mungkin akan diangkut dengan cara estafet. Saya mencoba mengangkat pikulan belerang tersebut, tetapi tidak bergerak sama sekali. Beratnya minta ampun. Pantas saja tidak beregerak. Menurut penambang belerang, belerang tersebut beratnya sekitar 60 - 80 kg.
Pondok Bunder
Jam 05.00 pagi, setelah hampir satu jam berjalan, kami sampai di Pondok Bunder (HM 20). Berarti sudah 2/3 perjalanan kami lalui. Tinggal 1 km lagi, kami akan sampai di Kawah Ijen. Pondok Bunder berada di ketinggian 2.114 meter di atas permukaan laut. Pondok Bunder sebenarnya merupakan tempat penimbangan belerang PT. Candi Ngrimbi. Dulunya, di situ terdapat bangunan berbentuk setengah lingkaran, makanya dinamakan Pondok Bunder. Konon, bangunan tersebut digunakan sebagai stasiun pengamatan cuaca.
Di beberapa tempat, saya melihat pikulan belerang yang ditinggalkan para penambang belerang. Mungkin akan diangkut dengan cara estafet. Saya mencoba mengangkat pikulan belerang tersebut, tetapi tidak bergerak sama sekali. Beratnya minta ampun. Pantas saja tidak beregerak. Menurut penambang belerang, belerang tersebut beratnya sekitar 60 - 80 kg.
Pondok Bunder
Jam 05.00 pagi, setelah hampir satu jam berjalan, kami sampai di Pondok Bunder (HM 20). Berarti sudah 2/3 perjalanan kami lalui. Tinggal 1 km lagi, kami akan sampai di Kawah Ijen. Pondok Bunder berada di ketinggian 2.114 meter di atas permukaan laut. Pondok Bunder sebenarnya merupakan tempat penimbangan belerang PT. Candi Ngrimbi. Dulunya, di situ terdapat bangunan berbentuk setengah lingkaran, makanya dinamakan Pondok Bunder. Konon, bangunan tersebut digunakan sebagai stasiun pengamatan cuaca.
Kami istirahat sebentar untuk menarik nafas di Pondok Bunder. Kami bertemu rombongan pendaki lain yang telah sampai di Pondok Bunder. Mereka berlima juga sedang beristirahat di sana. Kami sempat salah jalan ketika akan melanjutkan perjalanan dari Pondok Bunder. Dari Pondok Bunder saya berjalan ke arah kanan dan diikuti para pendaki lain. Ternyata jalan yang saya ikuti menuju ke sebuah WC. Pantesan baunya minta ampun. Dari Pondok Bunder, seharusnya kami belok kiri mengikuti jalan yang menanjak bukan ke arah kanan. Maklum, berhubung masih gelap, jalan tidak begitu jelas.
Puncak Kawah Ijen
Dari Pondok Bunder, jalan semakin menyempit dan menanjak terjal. Pastinya semakin menguras tenaga. Sambil berjalan, kami memperhatikan keadaan sekitar yang semakin terang. Sepertinya matahari sudah terbit. Berarti kami tidak bisa menyaksikan sunrise dari puncak Kawah Ijen. Namun, saat itu langit tertutup awan. Jadi matahari tidak kelihatan sama sekali. Kami tidak kecewa meski tidak bisa menyaksikan sunrise.
Puncak Kawah Ijen
Dari Pondok Bunder, jalan semakin menyempit dan menanjak terjal. Pastinya semakin menguras tenaga. Sambil berjalan, kami memperhatikan keadaan sekitar yang semakin terang. Sepertinya matahari sudah terbit. Berarti kami tidak bisa menyaksikan sunrise dari puncak Kawah Ijen. Namun, saat itu langit tertutup awan. Jadi matahari tidak kelihatan sama sekali. Kami tidak kecewa meski tidak bisa menyaksikan sunrise.
Posisi HM 30, puncak sudah tinggal beberapa meter lagi. Setelah berjalan selama kurang lebih dua jam, satu per satu dari kami tiba di puncak Kawah Ijen. Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di Puncak Kawah Ijen yang berada di ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut (Pal HM 32). Cuaca sangat menyenangkan ketika kami tiba di puncak Kawah Ijen. Awan sudah menghilang dan tidak ada kabut sama sekali, sehingga Kawah Ijen yang berwarna hijau toska pun terlihat jelas. Perpaduan danau kawah yang hijau, dinding kawah yang terjal, dan asap belerang yang terus mengepul di sudut kiri kawah sungguh sedap dipandang mata. Saya sangat beruntung bisa menyaksikan panorama Kawah Ijen yang spektakuler tanpa tertutup kabut sedikit pun.
Ternyata, banyak pengunjung lain yang tiba di puncak lebih dulu daripada kami. Di antara mereka, nampak beberapa turis asing dan fotografer yang membawa kamera SLR dengan lensa tele. Mereka seperti berlomba memotret indahnya Kawah Ijen dari berbagai sudut. Saya pun tak mau ketinggalan dengan mereka. Saya langsung mencari posisi terbaik, untuk mendapatkan foto terindah Kawah Ijen. Tak lupa saya dan Ahmad bergantian foto dengan latar belakang Kawah Ijen.
Di puncak Kawah Ijen, kami membeli souvenir belerang dari para penambang belerang. Souvenir tersebut berwarna kuning dengan bentuk yang lucu-lucu. Ada yang berbentuk kucing, ikan, kura-kura, bunga, dan pesawat. Ada juga yang berbentuk miniatur candi, boneka Mickey Mouse, dan Donald Bebek. Harga rata-rata Rp 2.500,00 - Rp 5.000,00 per buah, tergantung bentuk dan ukuran souvenir. Lumayan murah. Melihat berbagai souvenir yang lucu, Ahmad sampai kalap. Dia membeli berbagai macam bentuk souvenir dari beberapa penambang belerang.
Turun ke Danau Kawah Ijen
Setelah beberapa saat menikmati keindahan Kawah Ijen dari puncak, saya dan Ahmad bergegas turun ke Danau Kawah Ijen yang berwarna hijau toska. Saya ingin melihat sumber belerang yang berwarna kuning cerah dan mengamati aktivitas para penambang belerang dari dekat. Kami segera menyiapkan masker untuk melindungi diri dari asap belerang.
Pelan-pelan, kami turun menuju danau. Jalanan turun berupa jalan setapak yang curam di antara bebatuan dan tebing terjal. Di beberapa tempat, jalan berupa tanah berpasir. Kami harus hati-hati melangkah agar tidak tergelincir. Beberapa kali kami harus berhenti, untuk memberi jalan para penambang belerang lewat. Ada yang naik dan ada yang turun.
Beberapa turis asing ikut turun ke danau. Kebanyakan mereka dari Eropa. Ada yang dari Perancis, Spanyol, Belanda, Jerman, dan Swiss. Kawah Ijen memang sudah tersohor ke berbagai penjuru dunia. Keindahan danau kawahnya yang berwarna hijau toska dan sumber belerang yang berwarna kuning cerah, menarik perhatian para turis untuk mengunjunginya.
Turun ke Danau Kawah Ijen
Setelah beberapa saat menikmati keindahan Kawah Ijen dari puncak, saya dan Ahmad bergegas turun ke Danau Kawah Ijen yang berwarna hijau toska. Saya ingin melihat sumber belerang yang berwarna kuning cerah dan mengamati aktivitas para penambang belerang dari dekat. Kami segera menyiapkan masker untuk melindungi diri dari asap belerang.
Pelan-pelan, kami turun menuju danau. Jalanan turun berupa jalan setapak yang curam di antara bebatuan dan tebing terjal. Di beberapa tempat, jalan berupa tanah berpasir. Kami harus hati-hati melangkah agar tidak tergelincir. Beberapa kali kami harus berhenti, untuk memberi jalan para penambang belerang lewat. Ada yang naik dan ada yang turun.
Beberapa turis asing ikut turun ke danau. Kebanyakan mereka dari Eropa. Ada yang dari Perancis, Spanyol, Belanda, Jerman, dan Swiss. Kawah Ijen memang sudah tersohor ke berbagai penjuru dunia. Keindahan danau kawahnya yang berwarna hijau toska dan sumber belerang yang berwarna kuning cerah, menarik perhatian para turis untuk mengunjunginya.
Mendekati sumber belerang, kami segera memakai masker. Walau cukup berbahaya, saya tetap mendekati sumber belerang tersebut karena penasaran ingin melihat aktivitas para penambang belerang. Kami harus waspada dan memperhitungkan kemungkinan arah angin bertiup di sekitar sumber belerang. Pasalnya, jika uap belerang yang tebal masuk ke hidung, sudah pasti akan kesulitan bernafas dan bisa keracunan. Ketika sedang asyik mengamati para penambang belerang yang sedang beraksi, tiba-tiba angin bertiup ke arah saya dan membawa uap belerang. Walau sudah memakai masker, bau belerang tersebut tetap menusuk hidung dan membuat sesak nafas. Buru-buru saya lari menjauh dari sumber belerang tersebut menuju pinggir danau.
Kami beristirahat di pinggir Danau Kawah Ijen, sambil terus memperhatikan aktivitas para penambang belerang. Ketika sampai di pinggir danau, saya coba menyentuh air danau. Ternyata air danau hangat. Berada di pinggir Danau Kawah Ijen, memberi sensasi tersendiri bagi saya. Ketika mendongak ke atas, nampak beberapa orang (yang terlihat sangat kecil) berdiri di puncak Kawah Ijen. Memandang ke depan, terhampar danau berwarna hijau toska yang luar biasa indahnya. Memandang ke sumber belerang, Nampak beberapa penambang belerang yang giat bekerja tanpa mempedulikan asap belerang yang terus mengepul. Sejenak kami menikmati keindahan Danau Kawah Ijen. Kami merenungi kebesaran Allah SWT yang telah menciptakan Kawah Ijen yang indah dan memberi kehidupan bagi banyak buruh penambang belerang dan keluarganya.
Naik Kembali ke Puncak Kawah Ijen
Puas bermain-main di sekitar Danau Kawah Ijen, kami segera kembali naik ke puncak kawah. Kami tidak bisa berlama-lama di dekat danau, karena sebentar lagi kabut akan turun dan asap belerang akan semakin tebal sehingga membahayakan keselamatan kami. Dengan langkah berat, kami pun mendaki menuju puncak kawah. Rasanya belum puas mengagumi keindahan Danau Kawah Ijen.
Mendaki ke puncak kawah perlu tenaga yang cukup besar, karena jalanan menanjak terjal. Namun, kami tetap menikmati perjalanan itu karena sambil mendaki saya bisa memotret Danau Kawah Ijen dari berbagai sudut/ketinggian. Panorama Danau Kawah Ijen yang hijau dengan asap belerang yang terus mengepul dan para penambang belerang yang memikul bongkahan belerang, sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Naik Kembali ke Puncak Kawah Ijen
Puas bermain-main di sekitar Danau Kawah Ijen, kami segera kembali naik ke puncak kawah. Kami tidak bisa berlama-lama di dekat danau, karena sebentar lagi kabut akan turun dan asap belerang akan semakin tebal sehingga membahayakan keselamatan kami. Dengan langkah berat, kami pun mendaki menuju puncak kawah. Rasanya belum puas mengagumi keindahan Danau Kawah Ijen.
Mendaki ke puncak kawah perlu tenaga yang cukup besar, karena jalanan menanjak terjal. Namun, kami tetap menikmati perjalanan itu karena sambil mendaki saya bisa memotret Danau Kawah Ijen dari berbagai sudut/ketinggian. Panorama Danau Kawah Ijen yang hijau dengan asap belerang yang terus mengepul dan para penambang belerang yang memikul bongkahan belerang, sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Tanpa terasa kami pun sampai di puncak Kawah Ijen. Kami beristirahat di puncak kawah, sambil menikmati bekal makanan yang kami bawa. Sejak tadi kami lupa makan dan minum karena terbuai keindahan Kawah Ijen. Padahal kami belum sarapan saat mau mendaki Gunung Ijen. Dari bibir kawah, saya menengok ke bawah, melihat jalur trek yang baru saya lewati. Danau Kawah Ijen nampak jauh di bawah saya, dan para penambang belerang pun nampak kecil-kecil bak pion catur. Saya hampir tidak percaya bahwa saya baru saja berada di tepi danau tersebut.
Sambil menikmati makanan yang kami bawa, saya mengamati Danau Kawah Ijen yang mulai diselimuti kabut dan asap belerang. Semakin lama Danau Kawah Ijen semakin tertutup kabut pekat sehingga permukaan danau yang hijau pun semakin tidak kelihatan. Perlahan-lahan kabut tersebut menjalar ke puncak kawah, memberi isyarat bahwa kami harus segera meninggalkan puncak Kawah Ijen. Selamat tinggal Kawah Ijen yang indah! Semoga kamu tetap indah dan tetap mengeluarkan belerang agar bisa menghidupi banyak orang yang menggantungkan hidupnya padamu !
Getting There
Anda dapat mencapai Kawah Ijen melalui dua alternatif rute, yaitu lewat Bondowoso atau Banyuwangi. Untuk menuju Bondowoso maupun Banyuwangi, Anda bisa membawa kendaraan pribadi maupun naik kendaraan umum (bus) dari Terminal Purabaya (Bungurasih), Surabaya. Berikut ini rute yang bisa Anda pilih untuk menuju Kawah Ijen :
• Banyuwangi
Rute ini lebih sulit dilalui karena kondisi jalan yang buruk. Bila Anda datang dari Denpasar/Bali, Anda bisa memilih rute ini. Dari Kota Banyuwangi, arahkan kendaraan Anda menuju Kawah Ijen melalui Licin (ada rambu-rambu ke Kawah Ijen). Dari Licin lanjutkan perjalanan Anda hingga tiba di Paltuding. Dari Paltuding, Anda tinggal berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 3 km menuju Kawah Ijen. Jarak tempuh Banyuwangi - Paltuding sekitar 30 km.
• Bondowoso
Rute ini lebih mudah dilalui karena kondisi jalan yang bagus dan relatif mulus. Bila Anda datang dari Surabaya, sebaiknya Anda memilih rute ini. Dari Kota Bondowoso, arahkan kendaraan Anda menuju Wonosari, lalu ke Sempol dan akhirnya ke Paltulding. Dari Paltuding Anda tinggal berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 2 kilometer menuju Kawah Ijen. Dari Paltuding, Anda tinggal berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 3 km menuju Kawah Ijen. Jarak tempuh Bondowoso - Paltuding sekitar 60 km, dengan pemandangan hutan pinus dan perkebunan kopi yang mempesona. (edyra)***
Dimuat di Majalah UMMI No.6/XXIV/Juni 2012/1433 H.
Sambil menikmati makanan yang kami bawa, saya mengamati Danau Kawah Ijen yang mulai diselimuti kabut dan asap belerang. Semakin lama Danau Kawah Ijen semakin tertutup kabut pekat sehingga permukaan danau yang hijau pun semakin tidak kelihatan. Perlahan-lahan kabut tersebut menjalar ke puncak kawah, memberi isyarat bahwa kami harus segera meninggalkan puncak Kawah Ijen. Selamat tinggal Kawah Ijen yang indah! Semoga kamu tetap indah dan tetap mengeluarkan belerang agar bisa menghidupi banyak orang yang menggantungkan hidupnya padamu !
Getting There
Anda dapat mencapai Kawah Ijen melalui dua alternatif rute, yaitu lewat Bondowoso atau Banyuwangi. Untuk menuju Bondowoso maupun Banyuwangi, Anda bisa membawa kendaraan pribadi maupun naik kendaraan umum (bus) dari Terminal Purabaya (Bungurasih), Surabaya. Berikut ini rute yang bisa Anda pilih untuk menuju Kawah Ijen :
• Banyuwangi
Rute ini lebih sulit dilalui karena kondisi jalan yang buruk. Bila Anda datang dari Denpasar/Bali, Anda bisa memilih rute ini. Dari Kota Banyuwangi, arahkan kendaraan Anda menuju Kawah Ijen melalui Licin (ada rambu-rambu ke Kawah Ijen). Dari Licin lanjutkan perjalanan Anda hingga tiba di Paltuding. Dari Paltuding, Anda tinggal berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 3 km menuju Kawah Ijen. Jarak tempuh Banyuwangi - Paltuding sekitar 30 km.
• Bondowoso
Rute ini lebih mudah dilalui karena kondisi jalan yang bagus dan relatif mulus. Bila Anda datang dari Surabaya, sebaiknya Anda memilih rute ini. Dari Kota Bondowoso, arahkan kendaraan Anda menuju Wonosari, lalu ke Sempol dan akhirnya ke Paltulding. Dari Paltuding Anda tinggal berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 2 kilometer menuju Kawah Ijen. Dari Paltuding, Anda tinggal berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 3 km menuju Kawah Ijen. Jarak tempuh Bondowoso - Paltuding sekitar 60 km, dengan pemandangan hutan pinus dan perkebunan kopi yang mempesona. (edyra)***
Dimuat di Majalah UMMI No.6/XXIV/Juni 2012/1433 H.
nusa trans travel
ReplyDeletetravel surabaya -sempol, bondowoso
hub: 085257318373
Yuk wisata ke Banyuwangi, have fun dan seru-seruan bareng kawan baru dan tentunya murah. kunjungi Kawah Ijen, Baluran, Snorkeling di Menjangan, pantai Greenbay dan pantai pulau merah. cek link berikut http://triptr.us/dzw9
ReplyDeleteKami juga siap melayani paket privat wisata Banyuwangi. Call / WA 082245427800
Terumakasih infonya sangat berguna sekali gan. Salam dari
ReplyDeletesewa bus pariwisata di surabaya
sewa innova di surabaya
Mas apakah sempat simpan no kontak penginapan di paltuding tsb. Mksh
ReplyDeleteMas ada nomor penginapan paltuding?
ReplyDeletebromo ijen trekking tour
ReplyDeletePakej Percutian Bromo, Pakej Pelancongan Surabaya Bromo, Agent Travel Surabaya Bromo, Pakej Tour Bromo Kawah Ijen, Mount Bromo Tour, Mount Bromo Ijen Crater Tour Package, Kawah Ijen Tour Package, Surabaya Bromo Ijen Tour Package, Bromo Ijen Tour, Surabaya Bromo Ijen Tour
ReplyDeleteSewa Jeep Bromo, Harga Sewa Jeep Bromo, Rental Jeep Bromo, Sewa Jeep Bromo Sukapura, Sewa Jeep Bromo Tosari, Sewa Jeep Bromo Tosari Wonokitri, Sewa Jeep Bromo, Rental Hardtop Bromo, Paket Wisata Bromo, Wisata Bromo, Sewa Jeep Bromo 4 Lokasi, Sewa Jeep Penanjakan, Kawah Bromo, Savanna Pasir Berbisik, Sewa jeep Bromo, Harga Sewa Jeep Bromo, Rental Jeep Bromo, Paket tour Bromo Murah, Paguyuban Jeep Bromo, Sewa Jeep Bromo, Harga Jeep di Bromo, Paket Wisata Bromo
ReplyDelete