Fez (Fès)
Petualangan di Maroko saya mulai di Fez, kota terbesar ketiga di Maroko setelah Casablanca dan Rabat. Untuk menuju Fez, saya harus menempuh perjalanan selama tiga jam dengan pesawat murah (budget airline) Ryan Air, dari London. Saya tertarik untuk mengunjungi Fez karena kota ini merupakan Kota Islam tertua di dunia yang kaya bangunan tua bersejarah. Ada banyak tempat menarik di Fez. Namun, karena terbatasnya waktu, saya memutuskan untuk mengunjungi Medina saja. Sebagai informasi, setiap kota besar di Maroko dibagi menjadi dua bagian, yaitu kota tua (old town) yang disebut Medina dan kota baru (new town) yang disebut Ville Nouvelle (Kota Baru dalam Bahasa Perancis). Medina dipenuhi bangunan-bangunan tua yang sudah berumur ratusan tahun, sedangkan Ville Nouvelle dipenuhi bangunan-bangunan modern. Uniknya lagi, Medina di Fez terbagi menjadi dua bagian, yaitu Fes el Bali dan Fes Jdid. Fes el Bali merupakan Kawasan Medina yang sekelilingnya dipagari tembok sedangkan Fes Jdid merupakan Kawasan Medina yang dihuni oleh Orang Yahudi. Konon, Orang Yahudi yang terancam jiwanya minta perlindungan kepada Raja Maroko. Permintaan tersebut dikabulkan dan mereka diberi tempat bermukim tidak jauh dari istana raja, yang disebut Fes Jdid.
Taman kota yang indah di Fez
Dari hotel tempat saya menginap, saya hanya perlu berjalan kaki untuk menuju jantung Medina. Saya sengaja memilih hotel yang berada di kawasan Medina agar lebih mudah untuk menjelajah Kota Tua Fez. Untuk memasuki Medina, kita bisa melewati empat belas pintu gerbang atau bab dalam Bahasa Arab Maroko. Empat belas pintu tersebut bisa diakses dari berbagai penjuru. Gerbang yang paling dekat dengan hotel saya adalah Bab Boujeloud (Gerbang Biru). Namun, ternyata tidak mudah untuk mencapai Bab Boujeloud. Meski letaknya tidak begitu jauh dari hotel tempat saya menginap, saya harus berjuang “keras” dan sempat tersesat untuk sampai di Bab Boujeloud. Jalan kecil atau lebih tepatnya disebut lorong yang begitu banyak dan berliku-liku (bercabang-cabang) bak labirin membuat saya kehilangan orientasi dan tersesat. Apalagi lorong-lorong sempit tersebut dikepung bangunan-bangunan tua yang tinggi dan saling berdesakan dengan bentuk bangunan yang mirip/seragam satu sama lain. Parahnya lagi, tidak ada petunjuk arah/rambu-rambu yang menunjukkan arah ke Bab Boujeloud. Bertanya ke penduduk setempat pun percuma karena sebagian besar Orang Maroko tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka hanya bisa berbahasa Arab dan Perancis. Jadi, lengkaplah penderitaan saya pagi itu.
Bab Boujeloud
Untunglah, akhirnya saya bisa sampai di Bab Boujeloud setelah mengikuti rombongan ibu-ibu yang akan pergi ke pasar (souq). Ternyata, pasar tersebut letaknya tak jauh dari Bab Boujeloud. Bab Boujeloud bentuknya berupa gapura besar dengan tiga pintu yang berbentuk seperti kubah masjid (arsitektur khas Moor). Gapura ini terbuat dari tembok berwarna krem dan kayu berwarna coklat dengan ornamen berwarna biru. Mungkin warna ornamen itulah yang membuat gerbang ini disebut gerbang biru. Di balik gerbang tersebut terdapat lapangan/alun-alun yang cukup luas. Saya berhenti sejenak di Bab Boujeloud untuk istirahat dan menghela nafas setelah menikmati “acara tersesat” di Medina. Saya duduk di sudut alun-alun Bab Boujeloud sambil mengamati orang yang lalu lalang di tempat tersebut.
Keledai biasa dimanfaatkan untuk mengangkut barang di Maroko
Dari Bab Boujeloud saya bergerak menuju ke jantung Medina. Satu hal yang saya benci, saya harus kembali melalui lorong-lorong kecil yang berliku-liku dan bercabang-cabang. Setiap cabang/belokan akan membawa kita ke tempat yang berbeda. Saking banyaknya lorong di Medina, sangat susah untuk menghafal lorong-lorong tersebut. Bahkan Penduduk Medina pun tidak hafal semua lorong yang ada di Medina. Saya melihat begitu banyak toko kecil di sepanjang lorong tersebut. Toko-toko itu menjual aneka macam barang, mulai dari makanan, minuman, pakaian, tas, permadani hingga souvenir khas Maroko yang membuat saya jadi ngiler banget untuk mampir sebentar. Kabarnya terdapat lebih dari 10.000 toko di Kawasan Medina Fez. Namun, saya mengurungkan niat untuk mampir di toko tersebut. Berjalan di lorong sempit beriringan dan berpapasan dengan begitu banyak orang cukup mendebarkan hati saya. Meski kendaraan bermotor tidak diperbolehkan memasuki lorong-lorong sempit di Medina, tetap ada hambatan lain ketika berjalan-jalan di Medina, yaitu keledai/kuda poni. Beberapa kali langkah saya terhenti karena harus menunggu keledai yang sedang berjalan mengangkut barang di depan saya. Uniknya, penduduk dan pengunjung pasar tidak terlihat berusaha menyerobot atau mendahului si keledai. Mereka menunggu dengan sabar hingga si keledai berbelok ke jalan lain.
Berada di Medina, saya seperti diajak memutar waktu ke abad pertengahan. Saya bisa melihat bangunan-bangunan tua yang berjejalan di lorong sempit, yang masih dalam keadaan terawat dan aktivitas jual beli di pasar yang sangat semarak. Saya juga bisa melihat atraksi keledai mengangkut barang. Tidak rugi saya harus berputar-putar dan tersesat di Medina, kalau akhirnya saya bisa mengalami sendiri aktivitas yang selama ini hanya bisa saya lihat di film-film dan televisi.
Casablanca
Kota kedua yang saya kunjungi di Maroko adalah Casablanca. Untuk mencapai Casablanca, butuh waktu empat jam naik kereta api dari Fez. Casablanca adalah kota terbesar di Maroko, yang terletak di antara Fez dan Marrakesh. Kota ini merupakan pusat perekonomian, industri, dan keuangan Maroko. Meski merupakan kota modern, bangunan-bangunan tua bergaya Seni Islam Andalusia masih sangat terawat dan dapat dengan mudah kita lihat hampir di setiap ruas jalan Casablanca.
Casablanca berarti rumah putih dalam Bahasa Spanyol. Seperti namanya, sebagian besar bangunan di kota ini memang berwarna putih. Mulai dari rumah-rumah penduduk, gedung-gedung perkantoran, stasiun kereta api, hotel hingga pertokoan semua bercat putih. Karena didominasi bangunan bercat putih, Casablanca terkesan bersih dan anggun.
Masjid Hassan II
Tempat yang pertama kali saya kunjungi ketika tiba di Casablanca adalah Masjid Hassan II. Masjid sekaligus objek wisata utama di Casablanca ini terletak di tepi Samudera Atlantik. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1980, dalam rangka peringatan ulang tahun Raja Hassan II yang ke-60, dan selesai dibangun pada tahun 1993. Arsiteknya adalah Michel Pinseau yang berkebangsaan Prancis, sementara untuk pengerjaan seni dan detil bangunan dilakukan oleh para seniman terbaik Maroko. Semua bahan bangunan seperti batu granit, marmer, kayu dan material lain untuk konstruksi masjid ini berasal dari Maroko kecuali kolom granit putih dan lampu-lampu kristal yang didatangkan dari Italia.
Keunikan Masjid Hassan II adalah letaknya yang berada di atas tanah reklamasi. Hampir setengah dari banguna masjid berada di atas lautan (Samudera Atlantik). Jika dilihat dari kejauhan, Masjid Hassan II seperti terapung. Keunikan lainnya, masjid ini dibangun dengan konstruksi tahan gempa, memiliki pemanas lantai, pintu otomatis serta atap yang dapat dibuka-geser. Hiasan/ornamen di lantai, pintu, dinding dan langit-langit masjid sangat detil dan indah, kental dengan nuansa seni Bangsa Moor. Luas bangunan masjid nan megah ini mencapai 2 hektar dan dapat menampung 25.000 jamaah di dalam masjid serta 80.000 jamaah di halamannya. Konon, Masjid Hassan II merupakan masjid terbesar ketiga di dunia, setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Menara (minaret)-nya yang setinggi 210 meter merupakan menara masjid yang tertinggi di dunia. Saya benar-benar takjub menyaksikan keindahan, keagungan dan kemegahan Masjid Hassan II.
Puas mengagumi kemegahan Masjid Hassan II, saya bergerak menuju Place Muhammed V yang terletak di pusat Kota Casablanca. Dalam perjalanan menuju tempat ini, saya melewati Medina yang riuh rendah dengan pedagang yang menjual aneka macam barang, sama seperti Medina di Fez. Saya tidak berhenti di Medina walaupun sempat melihat berbagai pernik lucu khas Maroko. Saya menahan keinginan untuk belanja karena masih banyak tempat menarik di Casablanca yang harus saya kunjungi.
Place de La Ligue Arabe
Tiba di Place Muhammed V, saya disambut puluhan burung merpati yang beterbangan kesana-kemari. Sore itu, suasana alun-alun yang dikelilingi sejumlah bangunan tua nan cantik tersebut sangat ramai. Ada anak-anak yang sedang bermain bola, ada pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, dan ada seniman jalanan yang mencoba mengais rezeki di antara pengunjung alun-alun. Tak jauh dari Place Muhammed V terdapat taman yang luas dan asri bernama Place de La Ligue Arabe. Taman ini sangat hijau karena penuh dengan pohon-pohon palem yang tinggi dan rindang. Saya duduk di bangku taman sambil mengamati berbagai macam aktivitas Warga Casablanca di taman tersebut. Ada yang duduk-duduk sambil membaca buku, ada yang berpiknik sambil menggelar tikar, ada pula pasangan kekasih yang sedang berpacaran di salah satu sudut taman. Rasanya betah berlama-lama di Place de La Ligue Arabe.
Ternyata, di Kompleks Place de La Ligue Arabe terdapat sebuah bangunan bersejarah yang sangat indah, yaitu Sacre Coeur Cathedral. Katedral megah berwarna putih ini merupakan Katedral/Gereja Katolik terbesar dan tertua di Casablanca. Katedral bergaya neo gothic ini dibangun pada tahun 1930 dengan arsitek dari Perancis bernama Paul Tournon. Sayangnya, saya tidak bisa masuk ke dalam Sacre Coeur Cathedral karena saat itu sudah tutup. Jadi, saya hanya bisa memandangi kemegahan Sacre Coeur Cathedral dari luar.
Barang-barang antik di Quartier de Habous
Menjelang senja, saya bergerak menuju Quartier des Habous, yang letaknya tak jauh dari Palais Royal (Istana Kerajaan Maroko). Quartier des Habous tak jauh berbeda dengan Medina. Di tempat ini juga terdapat para pedagang yang menjual berbagai barang kerajinan (souvenir) khas Maroko. Mulai dari baju, permadani, gantungan kunci, kartu pos hingga barang-barang antik seperti lampu aladin dan teko untuk menyeduh teh dengan detil logam yang indah. Selain itu, kita juga dapat menemukan berbagai macam kerajinan yang terbuat dari kulit mulai dari tas, sepatu, dompet hingga sarung bantal. Kalau kita ingin mencari oleh-oleh khas Maroko, Quartier des Habous-lah tempatnya. Jangan lupa menawar ya, kalau belanja di sana!
Gerbang Palais Royal di Marrakesh yang berwarna peach
Marrakesh (Marrakech)
Kota terakhir yang saya kunjungi di Maroko adalah Marrakesh. Kota ini dapat ditempuh dengan kereta api selama tiga jam dari Casablanca. Kalau Maroko dikenal sebagai “White City,” Marrakesh dikenal dengan sebutan “Red City”. Menurut saya, sebutan Red City kurang tepat karena sebagian besar bangunan di Marrakesh berwarna peach (pink orange) bukan merah. Jadi, Marrakesh lebih tepat mendapat julukan “Peach City” atau “Pink City.” Pemerintah setempat memang membuat peraturan yang mengharuskan setiap penduduk untuk mengecat rumah/bangunan dengan warna peach. Hasilnya, seluruh Kota Marrakesh didominasi warna peach yang cantik menyejukkan mata.
Masjid Koutoubia
Ada banyak tempat menarik di Marrakesh. Yang paling terkenal dan harus dikunjungi ketika berlibur ke Marrakesh adalah Masjid Koutoubia. Masjid ini terletak di pinggir jalan protokol Avenue Mohammed V, tak jauh dari Djemaa el Fna. Nama Koutoubia diambil dari Bahasa Arab “Al Koutoubiyyin” yang artinya buku, karena dulunya ada pasar buku di dekat masjid tersebut. Masjid yang mulai dibangun pada tahun 1150 ini, merupakan ikon kota Marrakesh seperti Tugu Monas di Jakarta atau Menara Eiffel di Paris. Masjid Koutoubia sangat mudah dikenali berkat menaranya yang tinggi menjulang setinggi 70 meter. Menara masjid ini selesai dibangun pada tahun 1199, pada masa pemerintahan Sultan Yacoub el Mansour. Setiap hari, masjid yang dikelilingi Taman Koutoubia (Koutoubia Garden) yang luas dan indah ini selalu ramai dikunjungi turis, walau mereka tidak bisa memasukinya. Menara yang tinggi menjulang dengan arsitektur yang menawan, selalu memikat para turis dan fotografer dari berbagai penjuru dunia untuk memotretnya.
Djemaa el Fna di siang hari
Dari Masjid Koutoubia, dngan berjalan kaki menyeberangi Avenue Mohammed V, kita akan sampai di Djemaa el Fna, sebuah alun-alun atau lapangan luas yang selalu dipadati turis. Djemaa el Fna yang berada di Kawasan Medina, merupakan tempat di mana jantung Kota Marrakesh berdetak. Di pagi dan siang hari, alun-alun ini hanya menjadi tempat lalu lalang orang. Di senja hari, suasana Djemaa el Fna berubah luar biasa meriah dengan kehadiran ratusan warung tenda yang menjual berbagai jenis makanan, terutama makanan khas Maroko seperti Couscous dan Tajine. Penjual jus jeruk dan aneka rempah-rempah juga tumpah ruah di Djemaa el Fna. Saya pun tertarik untuk mampir ke salah satu kios penjual jus jeruk tersebut. Dengan uang 4 dirham (sekitar Rp 4.400,00), saya sudah bisa menikmati segelas jus jeruk segar yang terbuat dari perasan buah jeruk segar tanpa campuran air dan gula.
Selain penuh penjual makanan, Djemaa el Fna juga ramai dengan berbagai macam atraksi dari para seniman lokal. Mulai dari penari perut, pemain gambus, atraksi ular, pembuat tato Henna sampai topeng monyet. Namun, kita harus berhati-hati ketika memotret berbagai atraksi tersebut. Kita akan dimintai uang beberapa dirham, ketika mereka mengetahui kita telah memotretnya. Saya mengalami sendiri hal tersebut. Ketika tengah mencuri-curi memotret atraksi pemain gambus, salah satu dari mereka melihat aksi saya. Alhasil mereka pun mendatangi saya dan meminta uang dengan agak memaksa. Untunglah mereka tidak menetapakan jumlahnya. Mereka menerima pemberian uang dari turis berapapun jumlahnya.
Kaktus di Jardine de Majorelle
Keesokan harinya, setelah menjelajahi Medina saya “ngadem” di Taman Majorelle (Jardin Majorelle). Taman kecil nan cantik ini bagaikan oase di tengah padang pasir. Jardin Majorelle awalnya adalah taman pribadi milik Jacques Majorelle, seorang pelukis kelahiran Nancy, Perancis. Dia datang ke Marrakesh pada tahun 1924 dan membangun sebuah taman yang indah, yang diberi nama seperti namanya, Jardin Majorelle. Sejak tahun 1947, taman ini dibuka untuk umum. Berada di Taman Majorelle, saya lupa kalau sedang di Maroko. Pasalnya suasana di taman tersebut sangat sejuk dan asri, berbeda dengan suasana Kota Marrakesh yang terik. Di taman tersebut terdapat berbagai tanaman hias dari berbagai penjuru dunia mulai dari bambu, palem hingga aneka jenis kaktus. Karena saya penggemar kaktus, saya sangat betah berada di Taman Majorelle. Saya bisa melihat berbagai jenis kaktus dengan beragam bentuk ukuran, mulai dari yang kecil sampai yang tingginya mencapai belasan meter.
Sebagai penutup kunjungan di Marrakesh, saya memilih makan malam di salah satu restoran khas Maroko yang berada di Djemaa el Fna. Menu makan saya adalah sepiring couscous with beef dan segelas teh mint. Katanya belum afdol, berkunjung ke Maroko tanpa mencicipi couscous. Couscous adalah makanan khas Maroko yang terbuat dari tepung gandum berwarna kuning, yang disajikan bersama daging sapi/ayam dan sayuran mirip acar (wortel, lobak, dan labu kuning). Rasanya mirip nasi jagung. Sambil makan, saya bisa menyaksikan berbagai atraksi seniman di Djemaa el Fna. Nikmatnya couscous dan teh mint menjadi penutup kunjungan yang sempurna di Maroko. (edyra)***
*Dimuat di Majalah CHIC No. 101, 2 November 2011.
*Dimuat di Majalah CHIC No. 101, 2 November 2011.
jadi ingin ke maroko saya setelah membaca blog anda :)
ReplyDeleteMaroko memang menarik untuk dijelajahi. Budayanya unik, perpaduan Eropa dan Timur Tengah.
ReplyDelete