Menikmati sunset di Pulau Kera
Sejak kedatangan saya ke Kupang sembilan bulan yang
lalu, saya dibuat penasaran oleh sebuah pulau mungil yang berada di
tengah-tengah Teluk Kupang. Apalagi bentuk pulau itu juga unik, saat terlihat
dari jendela pesawat. Bentuknya bulat
telor (oval) dengan salah satu ujung pulau sedikit meruncing mirip buah pir.
Menariknya lagi, seluruh pulau ini dikelilingi pantai berpasir putih bersih dan
laut hijau toska yang begitu menggoda. Pulau Kera, orang-orang
menyebutnya. Pulau ini dapat dilihat dari sepanjang pesisir Teluk Kupang hingga
bagian tengah Kota Kupang yang berada di ketinggian. Namun, letaknya yang di
tengah-tengah laut dan belum banyak informasi yang beredar tentangnya, membuat
Pulau Kera jadi misterius. Tak pelak saya pun makin penasaran dengan pulau mungil
tersebut.
Pelabuhan Oeba, Kupang
Segera saya merencanakan waktu dan mencari teman untuk
mengunjungi Pulau Kera. Sayangnya beberapa kali rencana mengunjungi pulau
tersebut selalu gagal karena berbagai alasan. Mulai dari cuaca buruk, ada
agenda keluar kota hingga teman yang tiba-tiba mudik. Untunglah setelah sekian
lama menunggu, akhirnya saya berhasil menginjakkan kaki di Pulau Kera, di
pertengahan Bulan Mei. Seorang diri saya mengunjungi pulau ini, dengan
menumpang perahu nelayan selama 30 menit dari Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI)
Oeba, Kupang.
Berlayar menuju Pulau Kera
Laut hijau toska dan hamparan pasir putih menyambut
kedatangan saya di Pulau Kera. Nampak sekelompok anak-anak bermain air dan berenang di pantai dengan riangnya tanpa
mempedulikan matahari yang bersinar terik. Melihat kedatangan saya yang
menenteng kamera, mereka berteriak halo-halo dan minta untuk difoto. Saya pun
menuruti kemauan mereka dengan memotretnya beberapa kali. Wajah-wajah sumringah
dengan senyum lebar segera terlihat, begitu saya memperlihatkan hasil foto
mereka. Inilah salah satu hal yang saya suka dari pulau-pulau kecil. Selain
panoramanya indah, warganya juga sangat ramah kepada pendatang/turis. Keramahan
mereka sangat tulus dan tidak dibuat-buat.
Keliling
Pulau
Ritual yang biasa saya lakukan begitu menginjakkan
kaki di pulau kecil adalah keliling pulau. Saya melakukan hal ini untuk mencari
sudut-sudut menarik pulau dan untuk mengetahui seberapa luas pulau tersebut.
Makanya, setelah menitipkan tas di rumah Bang Ahmad Yunus (teman baru yang saya
kenal dalam perjalanan dari Pelabuhan Oeba ke Pulau Kera), saya segera
menjalankan ritual keliling pulau.
Saya mulai perjalanan keliling pulau dari lokasi
awal kedatangan saya, di pantai barat Pulau Kera tepat pukul 11.00 siang. Saya berjalan
kaki menyusuri pantai berpasir putih yang mengitari semua bagian pulau. Setiap
kali melihat bagian pulau yang fotogenik, saya berhenti sejenak untuk
memotretnya. Meski matahari sedang terik-teriknya, saya tak mempedulikannya.
Pantai berpasir putih dan air laut hijau toska di sekeliling pulau, menjadi
penyemangat saya agar terus berjalan mengelilingi pulau.
Pantai barat Pulau Kera
Tepat pukul 11.50 saya tiba kembali di tempat semula.
Berarti, 50 menit waktu yang saya butuhkan untuk mengelilingi Pulau Kera.
Padahal saya berjalan kaki dengan santai, sambil memotret-motret. Setiap kali
melihat pemandangan menarik, saya berhenti untuk memotret. Sesekali saya
berhenti untuk minum agar tidak dehidrasi karena cuaca sangat panas dan sinar
matahari di Pulau Kera sangat menyengat.
Perkampungan Warga Pulau Kera yang menghadap ke pantai timur
Setelah berkelilingi Pulau Kera, banyak hal yang saya
lihat di pulau ini. Ternyata daratan Pulau Kera dikelilingi pantai pasir putih
dan laut bening hijau toska. Kontur pulau ini rata/datar, tak ada bagian pulau
yang tinggi semacam bukit. Tak ada pohon besar/tinggi di Pulau Kera, selain
pohon cemara dan pohon kelapa sehingga membuat udara terasa panas. Mungkin karena
kondisi tanah yang berpasir dan tak ada sumber air tawar, membuat tumbuhan
sulit tumbuh. Pemukiman penduduk berkonsentrasi di bagian barat pulau dan hanya
sebagian kecil yang di pantai timur. Di bagian pantai barat yang menghadap ke Pulau
Semau dan Kota Kupang, laut tenang tanpa ombak. Namun, di pantai timur yang
menghadap Laut Sawu ombak cukup besar. Di beberapa bagian pulau, nampak abrasi
karena tak adanya tanaman pelindung pulau. Terdapat bangunan semacam mercu suar
kecil di bagian tenggara pulau, namun kondisinya sudah mulai rusak.
Pantai timur Pulau Kera
Selesai keliling pulau, saya istirahat di sebuah
gubug kecil di pinggir pantai. Sejenak saya meluruskan kaki sambil menikmati
panorama pantai yang indah di depan mata. Kemudian saya mengeluarkan bekal
makan siang yang sudah saya bawa dari Kupang. Saya sudah mempersiapkan diri
dengan bekal makan siang karena tahu bahwa di Pulau Kera taka ada satu pun
restoran atau warung makan.
Masjid Darul Bahar di Pulau Kera
Tak Ada Air
Tawar di Pulau Kera
Setelah perut kenyang, saya menuju masjid untuk
menunaikan sholat zuhur. Masjid ini berada di bagian barat pulau, tak jauh dari
rumah Bang Yunus. Penduduk Pulau Kera sebagian besar adalaha Etnis Bajo yang
beragama Islam sehingga ada masjid di pulau mungil ini, walaupun sangat
sederrhana. Namanya, Masjid Darul Bahar.
Saya segera mencari air wudlu di belakang masjid.
Saya sedikit kaget melihat puluhan jerigen milik penduduk yang berjajar di
bawah kran-kran di belakang masjid. Sekelompok ibui-ibu Nampak asyik mengobrol
sambil menunggu jerigen-jerigen airnya penuh. Ada juga seorang ibu sedang menimba air di sumur yang
berada di dekat masjid.Seperti pulau-pulau kecil lainnya, Pulau Kera juga
mempunyai masalah klasik, kesulitan masalah air tawar. Saking kecilnya ukuran
Pulau Kera, membuat pulau ini tak memiliki sumber air tawar. Tiga buah sumur
yang menjadi sumber air penduduk di sana, semuanya berair payau. Penduduk
menyebutnya “air antak-antak.” Saya membuktikan sendiri saat mengambil air
wudlu, ternyata airnya memang berasa payau. Meskipun payau, air ini tetap
digunakan penduduk untuk kebutuhan mandi dan mencuci sehari-hari karena tak ada
pilihan lain. Sedangkan untuk kepentingan memasak (makan/minum), mereka harus
memebelinya dari Kupang. Makanya, setiap perahu yang pergi ke Kupang, pasti
membawa beberapa jerigen untuk mengambil air tawar/bersih. Hal ini sudah
menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis di antara Warga Pulau Kera, sehingga
mereka dengan kesadaran sendiri (tanpa diperintah), pasti akan akan membawa
beberapa jerigen kosong untuk diisi air tawar saat pergi ke Kupang.
Asal Nama Pulau Kera
Banyak yang mengira Pulau Kera adalah pulau yang
dihuni banyak kera (monyet), termasuk saya. Namun, ternyata dugaan saya salah
besar. Di Pulau Kera tak ada satu pun kera/monyet, dan nama pulau ini pun tak
ada hubungannya sama sekali dengan hewan pemakan pisang itu. Nama Pulau Kera
berasal dari kata “Takera,” sebuah kata dari Bahasa Solor yang artinya
ember/timba. Dari cerita Pak Arsad, tokoh masyarakat di Pulau Kera, konon ada
seorang raja dari Pulau Solor (pulau kecil di sebelah timur Pulau Flores)
beserta punggawanya sedang berlayar menuju Kupang. Ketika mendekati Pulau Kera,
rombongan raja tersebut kehabisan air. Sang Raja pun mengajak punggawanya untuk
mampir mencari air di pulau kecil, di Teluk Kupang tersebut. Beruntung mereka
menemukan sebuah sumur di pulau tersebut. Sang Raja pun memerintahkan
punggawanya untuk menimba air dari sumur tersebut. Ketika sedang menimba, tali
yang digunakan untuk menimba air putus dan embernya pun jatuh ke dalam sumur. Secara
refleks, dia berteriak, “Takera! Takera!” yang maksudnya embernya jatuh ke
dalam sumur. Sejak kejadian itu, nama pulau tersebut dikenal menjadi Pulau Kera
sampai sekarang.
Pulau
Rebutan dan Kelapa yang Tidak Berbuah
Status Pulau Kera merupakan pulau sengketa (pulau
rebutan), sehingga pulau ini “ditelantarkan” oleh Pemerintah Kabupaten Kupang.
Mereka tidak dianggap sebagai Warga Kabupaten Kupang dan tidak pernah diberi
bantuan apa pun, baik bantuan pangan, perumahan, ataupun sarana prasarana
lainnya. Berpuluh-puluh tahun penduduk Pulau Kera tidak memiliiki KTP dan tidak
diakui sebagai Warga Kabupaten Kupang oleh Pemerintah Kabupaten Kupang. Mereka
hanya dianggap sebagai waraga pada saat ada Pemilu dan Pilkada karena suara
mereke dibutuhkan. Di luar momen tersebut, Warga Pulau Kera diabaikan. Baru
beberapa tahun belakangan ini, penduduk Pulau Kera diakui sebagai Warga Desa
Sulamu (desa di daratan Pulau Timor, di seberang Pulau Kera), Kecamatan Sulamu,
Kabupaten Kupang. Menurut keterangan Pak arsad, saat ini (2014), jumlah
penduduk Pulau Kera sebanyak 102 Kepala Keluarga. Sampai detik ini, belum
diketahui jumlah pasti penduduk Pulau Kera karena belum pernah dilakukan sensus
penduduk. Namun, saat Pemilu 9 Mei 2014 kemarin, jumlah pemilih terdaftar di
TPS Pulau Kera sebanyak 221 pemilih.
Pohon kelapa yang tidak mau berbuah di Pulau Kera
Dulunya, pulau ini menjadi rebutan oleh tiga
kelompok suku, yaitu Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi, Suku Solor yang
berasal dari Pulau Solor, dan Suku Semau yang berasal dari Pulau Semau. Suku
Bajo yang mendiami Pulau Kera sampai sekarang dan menjadi penduduk mayoritas di
sana, mengklaim Pulau Kera merupakan miliknya karena nenek moyang merekalah
yang pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Kera dan bermukim di sana. Hal ini
bisa dibuktikan dengan adanya makam leluhur Suku Bajo yang sudah berumur
ratusan tahun di pulau tersebut. Pertikaian ketiga suku tersebut tidak ada
penyelesaiannya. Suku Solor juga tak mau kalah, karena mereka juga merasa yang
pertama kali menemukan Pulau Kera dan memberi nama pulau tersebut. Sedangkan
Suku Semau mengklaim Pulau Kera sebagai miliknya karena alasan kedekatan letak
geografis semata. Pertikaian memperebutkan kepemilikan Pulau Kera tidak
menemukan titik temu sehingga ketiga kepala suku tersebut sampai bersumpah,
bahwa siapa pun yang akan mendiami Pulau Kera tidak akan bisa menikmati buah
kelapa yang ada di pulau tersebut. Anehnya, entah karena sumpah tersebut atau
karena sebab lain, sampai saat ini tidak banyak pohon kelapa yang tumbuh di
Pulau Kera. Dari pantauan saya, jumlah pohon kelapa di pulau Kera memang bisa
dihitung dengan jari. Itu pun tidak ada buahnya. Menurut keterangan Pak Arsad
dan Warga Pulau Kera lainnya, kalaupun ada buahnya, pasti tidak ada daging
kelapanya (hanya berisi air kelapa) dan buah tersebut akan jatuh dari pohonnya.
Padahal, dulunya Pulau Kera merupakan kebun kelapa.
Menikmati
Keindahan Pantai
Ketika matahari mulai beranjak ke barat, saya
menuju ujung selatan pulau yang bentuknya meruncing dengan hamparan pasir
putih. Saatnya berenang dan snorkeling,
menikmati bening air laut Pulau Kera yang sejak tadi pagi memanggil-manggil
saya. Saya segera mengenakan masker dan snorkel
yang saya bawa dari rumah, dan langsung nyemplung ke laut.
Pantai barat Pulau Kera dilihat dari "mercu suar."
Air laut di sekeliling Pulau Kera sangat jernih
dengan warna hijau toska. Pantainya juga sangat landai dan dangkal. Saya
berenang sampai jauh ke tengah, air laut hanya sebatas dada saya. Sayangnya
terumbu karangnya rusak dan ikannya tidak banyak. Sejauh mata memandang hanya
pasir putih dan hamparan padang lamun. Saat pindah ke bagian barat pulau,
kondisinya juga tak jauh beda, tak banyak terumbu karang yang saya temui.
Terumbu karang hanya bisa saya lihat setelah berenang jauh ke tengah laut, itu pun
tidak banyak jenis dan jumlahnya. Saya pun menyudahi acara snorkeling. Apalagi saat itu cuaca tiba-tiba berubah mendung dan air
laut juga semakin surut. Jadi saya bermain-main pasir saja di pinggir pantai
bersama anak-anak Pulau Semau.
Matahari
Terbenam yang Menawan
Satu aktivitas yang tak pernah saya lewatkan ketika
berada di pulau kecil adalah menyaksikan detik-detik matahari terbenam (sunset) di cakrawala. Saya pun bergerak
ke bagian barat Pulau Kera, mencari titik strategis untuk melihat sunset. Saya keluarkan gorilla pod dan kamera, sambil menunggu
saat-saat mentari kembali ke peraduannya.
Sunset menawan di Pulau Kera
Mendung yang menggelayut di langit Pulau Kera,
sempat membuat saya galau. Saya khawatir tidak bisa menyaksikan sunset sore
itu. Namun, kekhawatiran saya tak terjadi. Rupanya Dewi Fortuna memang sedang
berpihak kepada saya hari itu. Awan mendung mulai menghilang, dan matahari
mulai terlihat kembali sehingga saya bisa menyaksikan sunset yang luar biasa indah sore itu. Boleh dibilang, salah satu sunset terindah yang pernah saya lihat
dalam hidup saya. Bola matahari yang berwarna kuning keemasan perlahan
tenggelam di cakrawala dengan dipayungi awan jingga kemerahan di sekitarnya.
Perahu yang kandas karena air laut sedang surut, menjadi latar depan (foreground) yang semakin mempercantik sunset sore itu. Pulau Kera menampilkan sunset terindahnya kepada saya.
Terkesan Keramahan
Warga Pulau Kera
Salah satu hal yang saya sukai dari pulau kecil
adalah masyarakatnya yang ramah tak terkecuali Warga Pulau Kera. Keramahan
mereka benar-benar tulus dan tak dibuat-buat. Saya sedikit kaget ketika selesai
sholat maghrib, sedang ngobrol-ngobrol di rumah Bang Yunus, tiba-tiba didatangi
seorang pemuda yang tak lain adalah anaknya ketua RW di Pulau Kera. Dia disuruh
bapaknya untuk menjemput saya agar menginap di rumahnya. Padahal saya belum
kenal dan belum pernah bertemu dengan Pak RW tersebut. Bagaimana mungkin dia bisa mempersilakan saya
menginap di rumahnya. Namun, saya terpaksa menolak dengan halus ajakan pemuda
tersebut karena saya sudah terlebih dahulu memenuhi permintaan Bang Yunus untuk
menginap di rumah bapak angkatnya, yaitu Pak Arsad, yang merupakan salah satu
tokoh terkemuka di Pulau Kera.
Saya benar-benar kaget dan terharu dengan keramahan
dan kebaikan hati Warga Pulau Kera. Memang di pulau sekecil Pulau Kera ini, kedatangan
turis/tamu pasti akan diketahui seluruh warga pulau. Namun, saya tak pernah
menyangka, perlakuan mereka akan sebaik ini kepada saya.
Keramahan Warga Pulau Kera tak berhenti sampai di
situ. Sebelum mengantarkan saya ke rumah Pak Arsad, Bang Yunus mengajak saya
makan malam di rumahnya. Istrinya telah menyiapkan hidangan makan malam untuk
saya. Karena merasa tak enak, saya menolak ajakan tersebut. Namun, Bang Yunus
dan istrinya tetap memaksa saya dan tak mengizinkan saya pergi ke rumah Pak
Arsad sebelum makan malam. Saya pun mengalah dan menuruti kemauannya.
Setelah makan malam, Bang Yunus menepati janjinya
untuk mengantarkan saya ke rumah Pak Arsad yang letaknya tak begitu jauh dari
rumahnya. Rumah Pak Arsad, berada di bagian barat pulau, tak jauh dari pantai.
Rumah ini menghadap ke pantai barat Pulau Kera.
Rumah Pak Arsad, salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera
Pak Arsad pun menyambut saya dengan ramah. Kami
berbincang-bincang di teras rumah, ditemani debur ombak dan kerlip bintang di
langit. Tak ada suara mobil, sepeda motor, ataupun keramaian lainnya. Di Pulau
Kera listrik hanya menyala sekitar 5 jam, dari jam 06.00 sore sampai jam 11.00
malam. Listrik tersebut berasal dari genset, hasil swadaya Warga Pulau Kera. Televisi
masih jarang di pulau ini, sehingga masih ada acara nonton televisi rame-rame
di rumah tetangga.
Meski baru kenal, saya langsung bisa akrab dengan Pak
Arsad karena beliau ramah dan supel. Saya sangat beruntung bisa bertemu Pak
Arsad karena beliau adalah salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera yang
benar-benar mengetahui segala hal tentang pulau ini. Pak Arsad merupakan warga
Suku Bajo yang berasal dari Pulau Babi (pulau kecil di sebelah utara Kota
Maumere, Flores). Orang tua beliau merupakan warga suku Bajo yang berasal dari
Sulawesi. Beliau sudah tinggal di Pulau Kera sejak tahun 2000.
Setelah Bang Yunus pamit pulang, saya pun terlibat
perbincangan seru dengan Pak Arsad, terutama hal-hal yang berkaitan dengan
Pulau Kera. Segala hal tentang Pulau Kera yang selama ini menjadi misteri bagi
saya, terjawab dari Pak Arsad. Mulai dari asal nama Pulau Kera, penghuni awal Pulau
Kera, kehidupan warga pulau yang sederhana, hingga luas Pulau Kera yang makin
menyusut karena abrasi. Dulunya luas Pulau Kera sekitar 48,17
hektar dengan bentuk pulau bujur sangkar. Namun, sekarang luas pulau sudah menyusut
signifikan dan bentuk pulau berubah menjadi bulat telor (oval), mirip buah pir.
Tak terasa malam
semakin larut dan Pak Arsad pun pamit tidur. Saya pun bergegas menuju tempat tidur
di ruang tamu Pak Arsad, yang sudah disiapkan untuk saya. Banyak cerita dan pelajaran
berharga yang saya dapat dari Pulau Kera hari ini, di antaranya adalah
kesabaran, kegigihan, dan rasa bersyukur.. Misteri yang menyelimuti Pulau Kera
selama ini juga sudah terungkap dari cerita Pak Arsad dan Warga Pulau Kera
lainnya, yang saya temui sepanjang hari.
Getting There
Untuk mencapai Pulau Kera, Anda harus terbang dulu
ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya, dari Pelabuhan Oeba, Kupang,
satu-satunya cara untuk mencapai Pulau Kera adalah dengan menyewa perahu
nelayan karena sampai saat ini belum ada perahu umum (public boat) menuju Pulau Kera. Sebenarnya ada cara lebih murah
selain menyewa perahu. Anda bisa menumpang perahu Warga Pulau kera yang setiap
hari belanja dan mencari air tawar ke Kupang, dari Pelabuhan Oeba. Namun, Anda
harus menginap semalam di Pulau Kera karena tak ada perahu yang balik ke Kupang
di sore hari. Anda bisa menyewa perahu nelayan untuk mengantarkan Anda ke Pulau
Kera. Perjalan perahu dari Pelabuhan Oeba ke Pulau Kera memakan waktu sekitar
30 menit bila cuaca sedang bagus, laut tenang tanpa gelombang. Saat laut sedang
bergelombang, perjalanan bisa memakan waktu sekitar 45 - 60 menit.
Things to Know
- Bawa bekal makanan dan minuman (terutama air putih) secukupnya saat berkunjung ke Pulau Kera karena di sana tak ada warung makan atau restoran. Yang ada hanya warung-warung kelontong kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari.
- Pakailah busana yang menyerap keringat (bahan katun) karena cuaca di Pulau Kera sangat panas.
- Jangan lupa membawa topi dan tabir surya (sunblock) untuk melindungi Anda dari teriknya matahari Pulau Kera.
- Di Pulau Kera tak ada hotel atau penginapan. Jika berniat menginap di sana, Anda bisa menumpang di rumah penduduk dengan kondisi rumah yang sangat sederhana.
- Listrik di Pulau Kera hanya menyala dari jam 18.00 - 23.00 WITA. Gunakan waktu tersebut untuk mengisi ulang baterai ponsel dan kamera Anda. (edyra)***