Friday, 30 May 2014

MENYIBAK MISTERI PULAU KERA


Menikmati sunset di Pulau Kera



Sejak kedatangan saya ke Kupang sembilan bulan yang lalu, saya dibuat penasaran oleh sebuah pulau mungil yang berada di tengah-tengah Teluk Kupang. Apalagi bentuk pulau itu juga unik, saat terlihat dari jendela pesawat.  Bentuknya bulat telor (oval) dengan salah satu ujung pulau sedikit meruncing mirip buah pir. Menariknya lagi, seluruh pulau ini dikelilingi pantai berpasir putih bersih dan laut hijau toska yang begitu menggoda. Pulau Kera, orang-orang menyebutnya. Pulau ini dapat dilihat dari sepanjang pesisir Teluk Kupang hingga bagian tengah Kota Kupang yang berada di ketinggian. Namun, letaknya yang di tengah-tengah laut dan belum banyak informasi yang beredar tentangnya, membuat Pulau Kera jadi misterius. Tak pelak saya pun makin penasaran dengan pulau mungil tersebut. 

 
 Pelabuhan Oeba, Kupang

Segera saya merencanakan waktu dan mencari teman untuk mengunjungi Pulau Kera. Sayangnya beberapa kali rencana mengunjungi pulau tersebut selalu gagal karena berbagai alasan. Mulai dari cuaca buruk, ada agenda keluar kota hingga teman yang tiba-tiba mudik. Untunglah setelah sekian lama menunggu, akhirnya saya berhasil menginjakkan kaki di Pulau Kera, di pertengahan Bulan Mei. Seorang diri saya mengunjungi pulau ini, dengan menumpang perahu nelayan selama 30 menit dari Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Oeba, Kupang.

 
Berlayar menuju Pulau Kera

Laut hijau toska dan hamparan pasir putih menyambut kedatangan saya di Pulau Kera. Nampak sekelompok anak-anak bermain air dan berenang di pantai dengan riangnya tanpa mempedulikan matahari yang bersinar terik. Melihat kedatangan saya yang menenteng kamera, mereka berteriak halo-halo dan minta untuk difoto. Saya pun menuruti kemauan mereka dengan memotretnya beberapa kali. Wajah-wajah sumringah dengan senyum lebar segera terlihat, begitu saya memperlihatkan hasil foto mereka. Inilah salah satu hal yang saya suka dari pulau-pulau kecil. Selain panoramanya indah, warganya juga sangat ramah kepada pendatang/turis. Keramahan mereka sangat tulus dan tidak dibuat-buat.

Keliling Pulau
Ritual yang biasa saya lakukan begitu menginjakkan kaki di pulau kecil adalah keliling pulau. Saya melakukan hal ini untuk mencari sudut-sudut menarik pulau dan untuk mengetahui seberapa luas pulau tersebut. Makanya, setelah menitipkan tas di rumah Bang Ahmad Yunus (teman baru yang saya kenal dalam perjalanan dari Pelabuhan Oeba ke Pulau Kera), saya segera menjalankan ritual keliling pulau.

Saya mulai perjalanan keliling pulau dari lokasi awal kedatangan saya, di pantai barat Pulau Kera tepat pukul 11.00 siang. Saya berjalan kaki menyusuri pantai berpasir putih yang mengitari semua bagian pulau. Setiap kali melihat bagian pulau yang fotogenik, saya berhenti sejenak untuk memotretnya. Meski matahari sedang terik-teriknya, saya tak mempedulikannya. Pantai berpasir putih dan air laut hijau toska di sekeliling pulau, menjadi penyemangat saya agar terus berjalan mengelilingi pulau.

 
 Pantai barat Pulau Kera

Tepat pukul 11.50 saya tiba kembali di tempat semula. Berarti, 50 menit waktu yang saya butuhkan untuk mengelilingi Pulau Kera. Padahal saya berjalan kaki dengan santai, sambil memotret-motret. Setiap kali melihat pemandangan menarik, saya berhenti untuk memotret. Sesekali saya berhenti untuk minum agar tidak dehidrasi karena cuaca sangat panas dan sinar matahari di Pulau Kera sangat menyengat.

 
 Perkampungan Warga Pulau Kera yang menghadap ke pantai timur

Setelah berkelilingi Pulau Kera, banyak hal yang saya lihat di pulau ini. Ternyata daratan Pulau Kera dikelilingi pantai pasir putih dan laut bening hijau toska. Kontur pulau ini rata/datar, tak ada bagian pulau yang tinggi semacam bukit. Tak ada pohon besar/tinggi di Pulau Kera, selain pohon cemara dan pohon kelapa sehingga membuat udara terasa panas. Mungkin karena kondisi tanah yang berpasir dan tak ada sumber air tawar, membuat tumbuhan sulit tumbuh. Pemukiman penduduk berkonsentrasi di bagian barat pulau dan hanya sebagian kecil yang di pantai timur. Di bagian pantai barat yang menghadap ke Pulau Semau dan Kota Kupang, laut tenang tanpa ombak. Namun, di pantai timur yang menghadap Laut Sawu ombak cukup besar. Di beberapa bagian pulau, nampak abrasi karena tak adanya tanaman pelindung pulau. Terdapat bangunan semacam mercu suar kecil di bagian tenggara pulau, namun kondisinya sudah mulai rusak.
 
 

Pantai timur Pulau Kera


Selesai keliling pulau, saya istirahat di sebuah gubug kecil di pinggir pantai. Sejenak saya meluruskan kaki sambil menikmati panorama pantai yang indah di depan mata. Kemudian saya mengeluarkan bekal makan siang yang sudah saya bawa dari Kupang. Saya sudah mempersiapkan diri dengan bekal makan siang karena tahu bahwa di Pulau Kera taka ada satu pun restoran atau warung makan.

 
Masjid Darul Bahar di Pulau Kera

Tak Ada Air Tawar di Pulau Kera
Setelah perut kenyang, saya menuju masjid untuk menunaikan sholat zuhur. Masjid ini berada di bagian barat pulau, tak jauh dari rumah Bang Yunus. Penduduk Pulau Kera sebagian besar adalaha Etnis Bajo yang beragama Islam sehingga ada masjid di pulau mungil ini, walaupun sangat sederrhana. Namanya, Masjid Darul Bahar.

Saya segera mencari air wudlu di belakang masjid. Saya sedikit kaget melihat puluhan jerigen milik penduduk yang berjajar di bawah kran-kran di belakang masjid. Sekelompok ibui-ibu Nampak asyik mengobrol sambil menunggu jerigen-jerigen airnya penuh. Ada juga  seorang ibu sedang menimba air di sumur yang berada di dekat masjid.Seperti pulau-pulau kecil lainnya, Pulau Kera juga mempunyai masalah klasik, kesulitan masalah air tawar. Saking kecilnya ukuran Pulau Kera, membuat pulau ini tak memiliki sumber air tawar. Tiga buah sumur yang menjadi sumber air penduduk di sana, semuanya berair payau. Penduduk menyebutnya “air antak-antak.” Saya membuktikan sendiri saat mengambil air wudlu, ternyata airnya memang berasa payau. Meskipun payau, air ini tetap digunakan penduduk untuk kebutuhan mandi dan mencuci sehari-hari karena tak ada pilihan lain. Sedangkan untuk kepentingan memasak (makan/minum), mereka harus memebelinya dari Kupang. Makanya, setiap perahu yang pergi ke Kupang, pasti membawa beberapa jerigen untuk mengambil air tawar/bersih. Hal ini sudah menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis di antara Warga Pulau Kera, sehingga mereka dengan kesadaran sendiri (tanpa diperintah), pasti akan akan membawa beberapa jerigen kosong untuk diisi air tawar saat pergi ke Kupang.

Asal Nama Pulau Kera
Banyak yang mengira Pulau Kera adalah pulau yang dihuni banyak kera (monyet), termasuk saya. Namun, ternyata dugaan saya salah besar. Di Pulau Kera tak ada satu pun kera/monyet, dan nama pulau ini pun tak ada hubungannya sama sekali dengan hewan pemakan pisang itu. Nama Pulau Kera berasal dari kata “Takera,” sebuah kata dari Bahasa Solor yang artinya ember/timba. Dari cerita Pak Arsad, tokoh masyarakat di Pulau Kera, konon ada seorang raja dari Pulau Solor (pulau kecil di sebelah timur Pulau Flores) beserta punggawanya sedang berlayar menuju Kupang. Ketika mendekati Pulau Kera, rombongan raja tersebut kehabisan air. Sang Raja pun mengajak punggawanya untuk mampir mencari air di pulau kecil, di Teluk Kupang tersebut. Beruntung mereka menemukan sebuah sumur di pulau tersebut. Sang Raja pun memerintahkan punggawanya untuk menimba air dari sumur tersebut. Ketika sedang menimba, tali yang digunakan untuk menimba air putus dan embernya pun jatuh ke dalam sumur. Secara refleks, dia berteriak, “Takera! Takera!” yang maksudnya embernya jatuh ke dalam sumur. Sejak kejadian itu, nama pulau tersebut dikenal menjadi Pulau Kera sampai sekarang.

Pulau Rebutan dan Kelapa yang Tidak Berbuah
Status Pulau Kera merupakan pulau sengketa (pulau rebutan), sehingga pulau ini “ditelantarkan” oleh Pemerintah Kabupaten Kupang. Mereka tidak dianggap sebagai Warga Kabupaten Kupang dan tidak pernah diberi bantuan apa pun, baik bantuan pangan, perumahan, ataupun sarana prasarana lainnya. Berpuluh-puluh tahun penduduk Pulau Kera tidak memiliiki KTP dan tidak diakui sebagai Warga Kabupaten Kupang oleh Pemerintah Kabupaten Kupang. Mereka hanya dianggap sebagai waraga pada saat ada Pemilu dan Pilkada karena suara mereke dibutuhkan. Di luar momen tersebut, Warga Pulau Kera diabaikan. Baru beberapa tahun belakangan ini, penduduk Pulau Kera diakui sebagai Warga Desa Sulamu (desa di daratan Pulau Timor, di seberang Pulau Kera), Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Menurut keterangan Pak arsad, saat ini (2014), jumlah penduduk Pulau Kera sebanyak 102 Kepala Keluarga. Sampai detik ini, belum diketahui jumlah pasti penduduk Pulau Kera karena belum pernah dilakukan sensus penduduk. Namun, saat Pemilu 9 Mei 2014 kemarin, jumlah pemilih terdaftar di TPS Pulau Kera sebanyak 221 pemilih.

 Pohon kelapa yang tidak mau berbuah di Pulau Kera

Dulunya, pulau ini menjadi rebutan oleh tiga kelompok suku, yaitu Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi, Suku Solor yang berasal dari Pulau Solor, dan Suku Semau yang berasal dari Pulau Semau. Suku Bajo yang mendiami Pulau Kera sampai sekarang dan menjadi penduduk mayoritas di sana, mengklaim Pulau Kera merupakan miliknya karena nenek moyang merekalah yang pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Kera dan bermukim di sana. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya makam leluhur Suku Bajo yang sudah berumur ratusan tahun di pulau tersebut. Pertikaian ketiga suku tersebut tidak ada penyelesaiannya. Suku Solor juga tak mau kalah, karena mereka juga merasa yang pertama kali menemukan Pulau Kera dan memberi nama pulau tersebut. Sedangkan Suku Semau mengklaim Pulau Kera sebagai miliknya karena alasan kedekatan letak geografis semata. Pertikaian memperebutkan kepemilikan Pulau Kera tidak menemukan titik temu sehingga ketiga kepala suku tersebut sampai bersumpah, bahwa siapa pun yang akan mendiami Pulau Kera tidak akan bisa menikmati buah kelapa yang ada di pulau tersebut. Anehnya, entah karena sumpah tersebut atau karena sebab lain, sampai saat ini tidak banyak pohon kelapa yang tumbuh di Pulau Kera. Dari pantauan saya, jumlah pohon kelapa di pulau Kera memang bisa dihitung dengan jari. Itu pun tidak ada buahnya. Menurut keterangan Pak Arsad dan Warga Pulau Kera lainnya, kalaupun ada buahnya, pasti tidak ada daging kelapanya (hanya berisi air kelapa) dan buah tersebut akan jatuh dari pohonnya. Padahal, dulunya Pulau Kera merupakan kebun kelapa.

Menikmati Keindahan Pantai
Ketika matahari mulai beranjak ke barat, saya menuju ujung selatan pulau yang bentuknya meruncing dengan hamparan pasir putih. Saatnya berenang dan snorkeling, menikmati bening air laut Pulau Kera yang sejak tadi pagi memanggil-manggil saya. Saya segera mengenakan masker dan snorkel yang saya bawa dari rumah, dan langsung nyemplung ke laut. 

 
Pantai barat Pulau Kera dilihat dari "mercu suar."

Air laut di sekeliling Pulau Kera sangat jernih dengan warna hijau toska. Pantainya juga sangat landai dan dangkal. Saya berenang sampai jauh ke tengah, air laut hanya sebatas dada saya. Sayangnya terumbu karangnya rusak dan ikannya tidak banyak. Sejauh mata memandang hanya pasir putih dan hamparan padang lamun. Saat pindah ke bagian barat pulau, kondisinya juga tak jauh beda, tak banyak terumbu karang yang saya temui. Terumbu karang hanya bisa saya lihat setelah berenang jauh ke tengah laut, itu pun tidak banyak jenis dan jumlahnya. Saya pun menyudahi acara snorkeling. Apalagi saat itu cuaca tiba-tiba berubah mendung dan air laut juga semakin surut. Jadi saya bermain-main pasir saja di pinggir pantai bersama anak-anak Pulau Semau.

Matahari Terbenam yang Menawan
Satu aktivitas yang tak pernah saya lewatkan ketika berada di pulau kecil adalah menyaksikan detik-detik matahari terbenam (sunset) di cakrawala. Saya pun bergerak ke bagian barat Pulau Kera, mencari titik strategis untuk melihat sunset. Saya keluarkan gorilla pod dan kamera, sambil menunggu saat-saat mentari kembali ke peraduannya.

 
Sunset menawan di Pulau Kera

Mendung yang menggelayut di langit Pulau Kera, sempat membuat saya galau. Saya khawatir tidak bisa menyaksikan sunset sore itu. Namun, kekhawatiran saya tak terjadi. Rupanya Dewi Fortuna memang sedang berpihak kepada saya hari itu. Awan mendung mulai menghilang, dan matahari mulai terlihat kembali sehingga saya bisa menyaksikan sunset yang luar biasa indah sore itu. Boleh dibilang, salah satu sunset terindah yang pernah saya lihat dalam hidup saya. Bola matahari yang berwarna kuning keemasan perlahan tenggelam di cakrawala dengan dipayungi awan jingga kemerahan di sekitarnya. Perahu yang kandas karena air laut sedang surut, menjadi latar depan (foreground) yang semakin mempercantik sunset sore itu. Pulau Kera menampilkan sunset terindahnya kepada saya.

Terkesan Keramahan Warga Pulau Kera
Salah satu hal yang saya sukai dari pulau kecil adalah masyarakatnya yang ramah tak terkecuali Warga Pulau Kera. Keramahan mereka benar-benar tulus dan tak dibuat-buat. Saya sedikit kaget ketika selesai sholat maghrib, sedang ngobrol-ngobrol di rumah Bang Yunus, tiba-tiba didatangi seorang pemuda yang tak lain adalah anaknya ketua RW di Pulau Kera. Dia disuruh bapaknya untuk menjemput saya agar menginap di rumahnya. Padahal saya belum kenal dan belum pernah bertemu dengan Pak RW tersebut.  Bagaimana mungkin dia bisa mempersilakan saya menginap di rumahnya. Namun, saya terpaksa menolak dengan halus ajakan pemuda tersebut karena saya sudah terlebih dahulu memenuhi permintaan Bang Yunus untuk menginap di rumah bapak angkatnya, yaitu Pak Arsad, yang merupakan salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera.

Saya benar-benar kaget dan terharu dengan keramahan dan kebaikan hati Warga Pulau Kera. Memang di pulau sekecil Pulau Kera ini, kedatangan turis/tamu pasti akan diketahui seluruh warga pulau. Namun, saya tak pernah menyangka, perlakuan mereka akan sebaik ini kepada saya.

Keramahan Warga Pulau Kera tak berhenti sampai di situ. Sebelum mengantarkan saya ke rumah Pak Arsad, Bang Yunus mengajak saya makan malam di rumahnya. Istrinya telah menyiapkan hidangan makan malam untuk saya. Karena merasa tak enak, saya menolak ajakan tersebut. Namun, Bang Yunus dan istrinya tetap memaksa saya dan tak mengizinkan saya pergi ke rumah Pak Arsad sebelum makan malam. Saya pun mengalah dan menuruti kemauannya.

Setelah makan malam, Bang Yunus menepati janjinya untuk mengantarkan saya ke rumah Pak Arsad yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya. Rumah Pak Arsad, berada di bagian barat pulau, tak jauh dari pantai. Rumah ini menghadap ke pantai barat Pulau Kera.
 
Rumah Pak Arsad, salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera

Pak Arsad pun menyambut saya dengan ramah. Kami berbincang-bincang di teras rumah, ditemani debur ombak dan kerlip bintang di langit. Tak ada suara mobil, sepeda motor, ataupun keramaian lainnya. Di Pulau Kera listrik hanya menyala sekitar 5 jam, dari jam 06.00 sore sampai jam 11.00 malam. Listrik tersebut berasal dari genset, hasil swadaya Warga Pulau Kera. Televisi masih jarang di pulau ini, sehingga masih ada acara nonton televisi rame-rame di rumah tetangga.

Meski baru kenal, saya langsung bisa akrab dengan Pak Arsad karena beliau ramah dan supel. Saya sangat beruntung bisa bertemu Pak Arsad karena beliau adalah salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera yang benar-benar mengetahui segala hal tentang pulau ini. Pak Arsad merupakan warga Suku Bajo yang berasal dari Pulau Babi (pulau kecil di sebelah utara Kota Maumere, Flores). Orang tua beliau merupakan warga suku Bajo yang berasal dari Sulawesi. Beliau sudah tinggal di Pulau Kera sejak tahun 2000.

Setelah Bang Yunus pamit pulang, saya pun terlibat perbincangan seru dengan Pak Arsad, terutama hal-hal yang berkaitan dengan Pulau Kera. Segala hal tentang Pulau Kera yang selama ini menjadi misteri bagi saya, terjawab dari Pak Arsad. Mulai dari asal nama Pulau Kera, penghuni awal Pulau Kera, kehidupan warga pulau yang sederhana, hingga luas Pulau Kera yang makin menyusut karena abrasi. Dulunya luas Pulau Kera sekitar 48,17 hektar dengan bentuk pulau bujur sangkar. Namun, sekarang luas pulau sudah menyusut signifikan dan bentuk pulau berubah menjadi bulat telor (oval), mirip buah pir.

Tak terasa malam semakin larut dan Pak Arsad pun pamit tidur. Saya pun bergegas menuju tempat tidur di ruang tamu Pak Arsad, yang sudah disiapkan untuk saya. Banyak cerita dan pelajaran berharga yang saya dapat dari Pulau Kera hari ini, di antaranya adalah kesabaran, kegigihan, dan rasa bersyukur.. Misteri yang menyelimuti Pulau Kera selama ini juga sudah terungkap dari cerita Pak Arsad dan Warga Pulau Kera lainnya, yang saya temui sepanjang hari.

Getting There
Untuk mencapai Pulau Kera, Anda harus terbang dulu ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya, dari Pelabuhan Oeba, Kupang, satu-satunya cara untuk mencapai Pulau Kera adalah dengan menyewa perahu nelayan karena sampai saat ini belum ada perahu umum (public boat) menuju Pulau Kera. Sebenarnya ada cara lebih murah selain menyewa perahu. Anda bisa menumpang perahu Warga Pulau kera yang setiap hari belanja dan mencari air tawar ke Kupang, dari Pelabuhan Oeba. Namun, Anda harus menginap semalam di Pulau Kera karena tak ada perahu yang balik ke Kupang di sore hari. Anda bisa menyewa perahu nelayan untuk mengantarkan Anda ke Pulau Kera. Perjalan perahu dari Pelabuhan Oeba ke Pulau Kera memakan waktu sekitar 30 menit bila cuaca sedang bagus, laut tenang tanpa gelombang. Saat laut sedang bergelombang, perjalanan bisa memakan waktu sekitar 45 - 60 menit.

Things to Know

  • Bawa bekal makanan dan minuman (terutama air putih) secukupnya saat berkunjung ke Pulau Kera karena di sana tak ada warung makan atau restoran. Yang ada hanya warung-warung kelontong kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari. 
  • Pakailah busana yang menyerap keringat (bahan katun) karena cuaca di Pulau Kera sangat panas.
  • Jangan lupa membawa topi dan tabir surya (sunblock) untuk melindungi Anda dari teriknya matahari Pulau Kera.
  • Di Pulau Kera tak ada hotel atau penginapan. Jika berniat menginap di sana, Anda bisa menumpang di rumah penduduk dengan kondisi rumah yang sangat sederhana. 
  • Listrik di Pulau Kera hanya menyala dari jam 18.00 - 23.00 WITA. Gunakan waktu tersebut untuk mengisi ulang baterai ponsel dan kamera Anda. (edyra)***

Wednesday, 21 May 2014

SEPENGGAL CERITA DARI TANAH RAI HAWU




Setelah tertunda beberapa kali karena berbagai kendala (sibuk, cuaca buruk, kehabisan tiket pesawat, dan lain-lain), akhirnya jadi juga saya berkunjung ke Pulau Sabu. Tanggal 8 Januari 2014, bersama rekan kantor (atasan) saya terbang ke Sabu untuk urusan pekerjaan dengan pesawat Susi Air. Inilah pengalaman pertama saya terbang dengan pesawat super mungil yang kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Rasanya, ngeri-ngeri sedap.

Mungkin belum banyak yang mendengar nama Pulau Sabu selain Warga Nusa Tenggara Timur. Padahal pulau yang letaknya di antara Pulau Timor dan Pulau Sumba, NTT ini mempunyai banyak nama. Setidaknya, pulau kecil ini mempunyai empat nama, yaitu Sabu, Sawu, Savu, dan Rai Hawu. Sabu adalah nama resminya dalam Bahasa Indonesia. Sawu merupakan namanya pada zaman penjajahan Belanda. Savu merupakan namanya dalam Bahasa Inggris. Sedangkan Rai Hawu merupakan nama pulau tersebut dalam bahasa setempat (Bahasa Sabu).

Sejak tahun 2010, Pulau Sabu bersama dengan tetangganya, Pulau Raijua, mendapat otonomi khusus sebagai sebuah kabupaten baru dengan nama Kabupaten Sabu Raijua. Dulunya, Sabu Raijua hanyalah sebuah kecamatan yang masuk ke dalam administrasi Kabupaten Kupang, yang ibu kotanya berada di Kupang, Pulau Timor. Setelah menjadi kabupaten, Sabu Raijua memilih "kota kecil" Seba sebagai ibu kotanya. Seba yang berada di pinggir pantai ini menjadi gerbang masuk ke Pulau Sabu karena di kota ini terdapat sebuah pelabuhan dan sebuah bandara perintis yang hanya bisa didarati pesawat kecil semacam Cessna. 

 

Karena letaknya yang terpencil di tengah lautan, untuk mencapai Pulau Sabu butuh perjuangan tersendiri. Sarana transportasi untuk mencapai Sabu ada tiga, yaitu ferry, kapal cepat, dan pesawat. Ferry bisa anda pilih bila Anda punya banyak waktu karena perjalanannya memakan waktu sekitar 14 jam (bisa lebih lama, tergantung cuaca) dan jadwal keberangkatan dari Kupang hanya dua kali seminggu. Kapal cepat menghabiskan waktu sekitar 4 jam tapi jadwalnya juga terbatas, dua kali seminggu. Pilihan lainnya yang paling cepat adalah dengan pesawat super mini milik maskapai Susi Air (satu-satunya maskapai yang melayanai penerbangan Kupang-Sabu-Kupang) dengan kapasitas penumpang hanya 12 orang. Karena waktu kami terbatas, jelas kami memilih pesawat untuk mencapai Sabu. Tiket pesawat kami beli seminggu sebelumnya dengan harga yang lumayan menguras kantong. Namun, mau tak mau harus kami beli karena tak ada pilihan lain.

Perjalanan ke Sabu dengan pesawat imut Cessna Grand Caravan 208 memberi pengalaman tersendiri. Karena terbatasnya tempat, tidak ada pramugara/pramugari yang ikut terbang di dalam pesawat. Prosedur keselamatan seperti cara memakai sabuk pengaman dan pelampung dijelaskan oleh kru pesawat di depan tangga masuk pesawat, sesaat sebelum penumpang naik pesawat. Di dalam pesawat, penumpang duduk dengan formasi 1-2, yaitu 1 penumpang di sebelah kiri dan 2 penumpang di sebelah kanan. Antara ruang kokpit dan ruang penumpang tidak ada sekat/pemisah sama sekali, sehingga kami bisa melihat semua aktivitas yang dilakukan pilot dan co pilot. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan indah karena pesawat terbang rendah. Pantai, laut, dan pulau-pulau kecil terlihat dengan jelas, menjadi hiburan tersendiri bagi para penumpang. Alhasil, perjalanan Kupang-Sabu sekitar 1 jam jadi tak terasa.

Kampung Namata
Setelah urusan pekerjaan beres, tiba saatnya untuk menjelajah Pulau Sabu. Saya beruntung mendapat seorang kenalan yang asli Sabu dan bersedia menjadi pemandu (guide) saya selama di Sabu. Jadi, saya terbebas dari urusan tersesat atau kebingungan menanyakan arah jalan kepada penduduk setempat. How lucky I am! Thanks for Pak Nico!

Mengawali petualangan di Sabu, Pak Nico mengajak saya ke sebuah desa adat/tradisional yang bernama Kampung Namata. Kampung kecil ini berada di sebuah bukit yang dikelilingi hutan. Letaknya tak jauh dari Kota Seba, tapi akses jalan menuju ke sana tidak mudah. Awalnya, kami melewati jalan beraspal. Kemudian, kami masuk kampung, melewati jalan tanah, tanpa rambu-rambu/penunjuk arah sama sekali. Selanjutnya, kami harus menyeberangi sungai kecil yang tidak ada jembatannya. Untunglah, debit air sungai sedang kecil sehingga kami tak kesulitan menyeberanginya. Setelah melewati sungai, jalan semakin menanjak karena harus mendaki bukit hingga kami tiba di Kampung Namata. Kalau tidak ditemani Pak Nico, saya pasti kesulitan menemukan Kampung Namata.

 

Kami disambut seorang ibu, ketika tiba di Kampung Namata. Setelah Pak Nico menjelaskan maksud kedatangan kami, saya disuruh mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya. Setelah itu, saya bebas keliling Kampung Namata yang tak seberapa besar.

 

Ada dua hal yang menarik perhatian saya di Kampung Namata. Yang pertama adalah sebuah lingkaran besar di tanah lapang dan batu-batu besar di dekatnya. Yang kedua adalah rumah adat Kampung Namata yang atapnya menjuntai sampai hampir menyentuh tanah. Menurut penjelasan Pak Nico, lingkaran itu adalah tempat warga Kampung Namata mengadakan upacara adat. Sedangkan batu-batu besar tersebut merupakan batu-batu megalitikum yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah adat Kampung Namata dan kampung-kampung adat lainnya di Sabu bentuknya hampir sama dan disebut Emu Rukoko. Rumah adat ini bentuknya unik seperti perahu terbalik, dengan atap terbuat dari daun lontar. Bentuk rumah yang seperti perahu terbalik bukan tanpa alasan. Filosofinya adalah Warga Sabu merupakan nelayan yang biasa menggunakan perahu saat menangkap ikan di laut.

Cium Hidung ala Sabu (Hengedo)
Ada satu budaya/tradisi unik yang tidak bisa dijumpai di belahan dunia mana pun selain di Pulau Sabu, yaitu budaya cium hidung yang dalam Bahasa Sabu disebut Hengedo. Cium hidung ini dilakukan oleh dua orang Suku Sabu, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara saling menggesekkan ujung hidung selama sekitar 3 detik. Awalnya saya sedikit heran melihat Pak Nico menggesekkan hidung dengan seorang ibu yang menyambut kedatangan kami di Kampung Namata. Ternyata itu adalah cium hidung ala Sabu. Cium hidung ini akan dilakulkan oleh dua Orang Sabu yang bertemu di mana pun, untuk menunjukkan rasa persaudaraan. Selain itu, cium hidung juga bermakna sebagai tanda perdamaian. Bila ada dua orang berselisih, dan kemudian berciuman hidung maka masalahnya dianggap selesai. Budaya yang unik memang. Belakangan, saat berada di Kupang (sepulang dari Sabu), saya sering melihat budaya cium hidung tersebut. Saat di mal, bank, toko buku, dan tempat-tempat umum lainnya, secara tak sengaja saya melihat dua orang saling menggesekkan ujung hidungnya. Saya jadi tidak heran lagi melihatnya dan saya jadi bisa menebak bahwa dua orang tersebut berasal dari Sabu.

Bukit Lede Pemulu
Dari Kampung Namata, Pak Nico membawa saya masuk ke tengah Pulau Sabu, menuju salah satu titik tertinggi pulau ini. Kami melewati jalan utama yang membelah Pulau Sabu tapi kondisi jalannya sebagian besar sangat buruk. Jalan aspal yang cukup mulus hanya kami jumpai di dalam kota. Begitu keluar kota jalan mulai rusak, aspal jalan mulai terkelupas di sana-sini. Di beberapa ruas jalan, aspal sudah hilang sama sekali menyisakan jalan tanah berbatu-batu besar. Kelihaian dalam mengendarai sepeda motor, jelas sangat diperlukan di medan seperti ini.

 

Anehnya, kondisi jalan tak sepenuhnya rusak. Sebagian ruas jalan bagus, sebagian rusak parah kemudian jalan bagus lagi. Di beberapa tempat, kami melihat jalan sedang diperbaiki. Nampak aspal dan alat-alat berat di pinggir jalan. Mendekati tujuan kami, Bukit Lede Pemulu, kondisi jalan kembali bagus, dengan aspal jalan yang cukup mulus.  

 

Saya terkesima begitu tiba di puncak Bukit Lede Pemulu. Panorama menawan Pulau Sabu, terbentang 360 derajat di sekeliling saya. Mulai dari bukit-bukit hijau, telaga kecil dengan puluhan kerbau, pantai selatan Pulau Sabu yang berpasir putih, dan laut biru yang mengelilingi Pulau Sabu. Memotret dari sudut manapun, Anda akan mendapatkan foto yang menawan. Bukit Lede Pemulu, merupakan sebuah bukit yang berada di perbatasan Desa Loborai dan Desa Mehona, Kecamatan Sabu Liae. Bukit ini merupakan salah satu titik tertinggi di Pulau Sabu, yang ditandai dengan adanya sebuah menara Built Transmission System (BTS) salah satu operator provider GSM terkemuka di Indonesia. 

Pantai Napae
Ketika matahari mulai condong ke barat, Pak Nico mengajak saya kembali ke Kota Seba untuk menyambangi Pantai Napae. Saya yang penggemar berat pantai, langsung mengiyakan ajakan Pak Nico. Sejak tadi pagi, saya memang penasaran dengan pantai-pantai yang ada di Sabu.

 

Pantai Napae berada di dalam Kota Seba, tepatnya di sebelah barat Pelabuhan Seba. Sebenarnya ada akses jalan khusus menuju Pantai Napae tapi kami memilih akses jalan dari Pelabuhan Seba karena jaraknya cukup dekat, hanya sekitar 300 meter. Selain itu, kami juga ingin melihat matahari terbenam (sunset) dari Dermaga Seba setelah mencumbui Pantai Seba.

Pantai Napae merupakan salah satu pantai kebanggaan Warga Sabu (Seba khususnya), karena pantainya cukup indah dan letaknya masih di dalam Kota Seba. Pantai ini cukup bersih, dengan pasir berwarna putih kecoklatan dan laut biru jernih. Kontur Pantai Napae juga landai dan ombaknya tidak begitu besar sehingga aman untuk berenang ataupun bermain-main pasir. Di pantai ini sudah dibangun beberapa lopo-lopo (sebutan masyarakat setempat untuk gazebo), dengan bentuk bangunan yang unik, mengadopsi rumah adat Sabu (Emu Rukoko). Namun, meski letaknya di kota, pantai ini sangat sepi. Sore itu, kami hanya melihat empat orang anak kecil yang sedang asyik bermain di pantai. Turis merupakan barang langka di pantai ini.
  
Sunset di Dermaga Seba
Menjelang senja, kami kembali ke Pelabuhan Seba untuk melihat sunset. Suasana di Pelabuhan Seba lumayan ramai sore itu. Banyak Warga Sabu yang datang ke area pelabuhan, baik untuk sekedar nongkrong maupun mandi/berenang di pantai. Aktivitas bongkar muat barang di dermaga juga masih berlangsung. Sementara Pak Nico ngobrol-ngobrol dengan temannya, saya mencari spot yang tepat untuk memotret sunset. Dermaga Seba yang menjorok panjang ke arah barat laut, menjadikan lokasi ini tempat yang tepat untuk memotret sunset. Dari dermaga ini, matahari akan terlihat terbenam ke Laut Sabu dengan latar belakang Pulau Raijua yang tampak samar-samar di kejauhan. Sore itu saya sangat beruntung, karena langit bersih tanpa awan sehingga saya bisa menyaksikan detik-detik matahari tenggelam dengan sempurna.

 
Sunset indah dari Dermaga Seba

Pantai Bo’do
Keesokan harinya, saya mengunjungi Pantai Bo’do seorang diri, dengan mengendarai sepeda motor pinjaman dari Pak Nico. Saya mengakses Pantai Bo’do dari Pantai Napae karena dua pantai ini letaknya berdampingan, hanya dipisahkan oleh muara sungai yang dangkal. Saat itu, debit air sungai sedang kecil, sehingga saya bisa menyeberanginya dengan mudah. Bahkan saya melihat, seorang Warga Sabu mengendarai sepeda motor menyeberangi muara sungai tersebut.

 Benteng Bo'do di pinggir Pantai Bo'do

Pantai Bo’do berpasir putih kecoklatan seperti Pantai Napae. Keunikan pantai ini tak lain berkat adanya sebuah benteng tua yang terbuat dari tumpukan batu karang. Untuk mencapai benteng ini, saya harus sedikit mendaki karena letaknya di atas bukit kecil, di pinggir pantai. Dari benteng ini, nampak Pantai Napae dan Dermaga Seba di kejauhan. Seperti pantai-pantai lainya di Sabu, suasana di Pantai Bo’do juga sangat sepi dan masih alami. Tak ada kafe, restoran ataupun warung. Semuanya masih alami, tanpa sentuhan komersial seperti pantai-pantai di Bali.

Pantai Wuihebo
Karena masih ada waktu lumayan panjang sebelum terbang kembali ke Kupang, Pak Nico mengajak saya mengunjungi sebuah pantai lagi. Namanya Pantai Wuihebo. Untuk mencapai pantai ini, kami harus melewati jalan tanah berbatu sejauh 4 km, dari jalan utama Trans Sabu. 

 

Pantai Wuihebo merupakan pantai berpasir putih yang indah. Pantai ini berbentuk melengkung, membentuk sebuah tanjung di ujung kiri. Pantai yang banyak ditumbuhi pohon lontar ini bisa terlihat dengan jelas dari Dermaga Seba. Pada bulan-bulan tertentu (Juni-September), ombak di pantai ini cukup besar sehingga cocok untuk lokasi selancar (surfing). Turis-turis asing penggemar surfing (paling banyak dari Australia) akan berdatangan ke Pantai Wuihebo di bulan-bulan tersebut. Namun, saat saya datang pantai sangat sepi. Tak ada pengunjung lain selain kami berdua.

Gula Sabu, Oleh-oleh Khas Sabu yang Unik dan Lezat
Usai mengunjungi Pantai Wiuhebo, Pak Nico berniat mengantarkan saya ke bandara. Namun, sebelum ke bandara saya diajak kembali ke rumah Pak Nico untuk mengambil sesuatu. Rupanya Pak Nico telah menyiapkan oleh-oleh khas Sabu untuk saya. Oleh-oleh tersebut berupa satu jerigen Gula Sabu. Betapa beruntungnya saya bertemu orang sebaik Pak NIco di Sabu. Sudah ditemani jalan-jalan keliling Sabu, masih diberi oleh-oleh segala. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Pak Nico. 

 

Bicara tentang Gula Sabu, mungkin belum banyak yang tahu selain Warga NTT. Maklum, gula ini tidak dapat dijumpai di tempat lain di Indonesia (bahkan di dunia) selain di Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Tak heran kalau dinamakan Gula Sabu atau “Donahu Hawu” dalam Bahasa Sabu. Gula ini cukup unik, berbentuk cairan yang sangat kental dan lengket serta berwarna coklat tua. Kalau dilihat sepintas mirip madu tapi cairannya lebih kental dan pekat. Gula Sabu merupakan makanan alternatif Warga Sabu selain beras dan jagung di tengah kondisi geografis Pulau Sabu yang rawan kekeringan. Jika terjadi gagal panen tanaman palawija dan persediaan bahan makanan menipis, maka Gula Sabu dimanfaatkan sebagai makanan pengganti beras dan jagung untuk bertahan hidup. Gula Sabu terbuat dari nira buah lontar/siwalan (Borassus flabellifer) yang direbus selama beberapa jam hingga mengental. Cara menikmati Gula Sabu adalah dengan meminumnya langsung atau menyeduhnya dengan air, lalu meminumnya seperti minum teh atau kopi. Di pasaran, Gula Sabu biasanya dijual dalam botol-botol air mineral atau dalam jerigen. Gula Sabu diyakini mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain adalah sebagai obat penghilang panas dalam dan pereda sakit maag.  

Getting There
Untuk mencapai Pulau Sabu, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada tiga pilihan moda transportasi menuju Sabu. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Susi Air (www.fly.susiair.com). Ini adalah cara tercepat dan termahal mencapai Sabu tapi dengan jadwal yang pasti. Susi Air terbang ke Sabu setiap hari tapi kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Jadi Anda harus memesan tiket jauh-jauh hari agar kebagian tiket. Pilihan kedua dengan kapal cepat yang berangkat dari Pelabuhan Tenau, dengan lama perjalanan sekitar 4 jam. Sayangnya kapal cepat ini hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu hari Senin dan Jumat beragkat dari Kupang dan kembali ke Kupang keesokan harinya (Selasa dan Sabtu).  Pilihan terakhir adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan sekitar 14 jam. Ferry ini juga hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu Hari Senin dan Jumat. Bagi Anda yang memiliki waktu banyak, Anda bisa memilih kapal cepat atau ferry. Namun, Anda yang memiliki waktu terbatas, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***

Where to Stay
Hotel Rai Hawu
Jl. Trans Sabu Km. 13, Desa Eilode, Kecamatan Sabu Tengah, Kab. Sabu Raijua
Telp. : (0380) 8155 550
www.raihawuhotel.com
Tarif : mulai Rp 650.000,00

Mana Homestay
Jl. Simpang Tiga Tenihawu, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Telp : 0821 4526 6407, 0812 4644 8095
Tarif : mulai Rp 200.000,00

Penginapan Maryo
Jl. Seba, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Telp : (0380) 861 011, 0812 3655 4666
Tarif : mulai Rp 100.000,00

Penginapan Makarim
Jl. Masjid An Nur, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Tarif : mulai Rp 100.000,00