MENYIBAK MISTERI PULAU KERA
Posted in
Labels:
Kupang & Surrounding
|
at
17:10
Menikmati sunset di Pulau Kera
Sejak kedatangan saya ke Kupang sembilan bulan yang
lalu, saya dibuat penasaran oleh sebuah pulau mungil yang berada di
tengah-tengah Teluk Kupang. Apalagi bentuk pulau itu juga unik, saat terlihat
dari jendela pesawat. Bentuknya bulat
telor (oval) dengan salah satu ujung pulau sedikit meruncing mirip buah pir.
Menariknya lagi, seluruh pulau ini dikelilingi pantai berpasir putih bersih dan
laut hijau toska yang begitu menggoda. Pulau Kera, orang-orang
menyebutnya. Pulau ini dapat dilihat dari sepanjang pesisir Teluk Kupang hingga
bagian tengah Kota Kupang yang berada di ketinggian. Namun, letaknya yang di
tengah-tengah laut dan belum banyak informasi yang beredar tentangnya, membuat
Pulau Kera jadi misterius. Tak pelak saya pun makin penasaran dengan pulau mungil
tersebut.
Pelabuhan Oeba, Kupang
Segera saya merencanakan waktu dan mencari teman untuk
mengunjungi Pulau Kera. Sayangnya beberapa kali rencana mengunjungi pulau
tersebut selalu gagal karena berbagai alasan. Mulai dari cuaca buruk, ada
agenda keluar kota hingga teman yang tiba-tiba mudik. Untunglah setelah sekian
lama menunggu, akhirnya saya berhasil menginjakkan kaki di Pulau Kera, di
pertengahan Bulan Mei. Seorang diri saya mengunjungi pulau ini, dengan
menumpang perahu nelayan selama 30 menit dari Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI)
Oeba, Kupang.
Berlayar menuju Pulau Kera
Laut hijau toska dan hamparan pasir putih menyambut
kedatangan saya di Pulau Kera. Nampak sekelompok anak-anak bermain air dan berenang di pantai dengan riangnya tanpa
mempedulikan matahari yang bersinar terik. Melihat kedatangan saya yang
menenteng kamera, mereka berteriak halo-halo dan minta untuk difoto. Saya pun
menuruti kemauan mereka dengan memotretnya beberapa kali. Wajah-wajah sumringah
dengan senyum lebar segera terlihat, begitu saya memperlihatkan hasil foto
mereka. Inilah salah satu hal yang saya suka dari pulau-pulau kecil. Selain
panoramanya indah, warganya juga sangat ramah kepada pendatang/turis. Keramahan
mereka sangat tulus dan tidak dibuat-buat.
Keliling
Pulau
Ritual yang biasa saya lakukan begitu menginjakkan
kaki di pulau kecil adalah keliling pulau. Saya melakukan hal ini untuk mencari
sudut-sudut menarik pulau dan untuk mengetahui seberapa luas pulau tersebut.
Makanya, setelah menitipkan tas di rumah Bang Ahmad Yunus (teman baru yang saya
kenal dalam perjalanan dari Pelabuhan Oeba ke Pulau Kera), saya segera
menjalankan ritual keliling pulau.
Saya mulai perjalanan keliling pulau dari lokasi
awal kedatangan saya, di pantai barat Pulau Kera tepat pukul 11.00 siang. Saya berjalan
kaki menyusuri pantai berpasir putih yang mengitari semua bagian pulau. Setiap
kali melihat bagian pulau yang fotogenik, saya berhenti sejenak untuk
memotretnya. Meski matahari sedang terik-teriknya, saya tak mempedulikannya.
Pantai berpasir putih dan air laut hijau toska di sekeliling pulau, menjadi
penyemangat saya agar terus berjalan mengelilingi pulau.
Pantai barat Pulau Kera
Tepat pukul 11.50 saya tiba kembali di tempat semula.
Berarti, 50 menit waktu yang saya butuhkan untuk mengelilingi Pulau Kera.
Padahal saya berjalan kaki dengan santai, sambil memotret-motret. Setiap kali
melihat pemandangan menarik, saya berhenti untuk memotret. Sesekali saya
berhenti untuk minum agar tidak dehidrasi karena cuaca sangat panas dan sinar
matahari di Pulau Kera sangat menyengat.
Perkampungan Warga Pulau Kera yang menghadap ke pantai timur
Setelah berkelilingi Pulau Kera, banyak hal yang saya
lihat di pulau ini. Ternyata daratan Pulau Kera dikelilingi pantai pasir putih
dan laut bening hijau toska. Kontur pulau ini rata/datar, tak ada bagian pulau
yang tinggi semacam bukit. Tak ada pohon besar/tinggi di Pulau Kera, selain
pohon cemara dan pohon kelapa sehingga membuat udara terasa panas. Mungkin karena
kondisi tanah yang berpasir dan tak ada sumber air tawar, membuat tumbuhan
sulit tumbuh. Pemukiman penduduk berkonsentrasi di bagian barat pulau dan hanya
sebagian kecil yang di pantai timur. Di bagian pantai barat yang menghadap ke Pulau
Semau dan Kota Kupang, laut tenang tanpa ombak. Namun, di pantai timur yang
menghadap Laut Sawu ombak cukup besar. Di beberapa bagian pulau, nampak abrasi
karena tak adanya tanaman pelindung pulau. Terdapat bangunan semacam mercu suar
kecil di bagian tenggara pulau, namun kondisinya sudah mulai rusak.
Pantai timur Pulau Kera
Selesai keliling pulau, saya istirahat di sebuah
gubug kecil di pinggir pantai. Sejenak saya meluruskan kaki sambil menikmati
panorama pantai yang indah di depan mata. Kemudian saya mengeluarkan bekal
makan siang yang sudah saya bawa dari Kupang. Saya sudah mempersiapkan diri
dengan bekal makan siang karena tahu bahwa di Pulau Kera taka ada satu pun
restoran atau warung makan.
Masjid Darul Bahar di Pulau Kera
Tak Ada Air
Tawar di Pulau Kera
Setelah perut kenyang, saya menuju masjid untuk
menunaikan sholat zuhur. Masjid ini berada di bagian barat pulau, tak jauh dari
rumah Bang Yunus. Penduduk Pulau Kera sebagian besar adalaha Etnis Bajo yang
beragama Islam sehingga ada masjid di pulau mungil ini, walaupun sangat
sederrhana. Namanya, Masjid Darul Bahar.
Saya segera mencari air wudlu di belakang masjid.
Saya sedikit kaget melihat puluhan jerigen milik penduduk yang berjajar di
bawah kran-kran di belakang masjid. Sekelompok ibui-ibu Nampak asyik mengobrol
sambil menunggu jerigen-jerigen airnya penuh. Ada juga seorang ibu sedang menimba air di sumur yang
berada di dekat masjid.Seperti pulau-pulau kecil lainnya, Pulau Kera juga
mempunyai masalah klasik, kesulitan masalah air tawar. Saking kecilnya ukuran
Pulau Kera, membuat pulau ini tak memiliki sumber air tawar. Tiga buah sumur
yang menjadi sumber air penduduk di sana, semuanya berair payau. Penduduk
menyebutnya “air antak-antak.” Saya membuktikan sendiri saat mengambil air
wudlu, ternyata airnya memang berasa payau. Meskipun payau, air ini tetap
digunakan penduduk untuk kebutuhan mandi dan mencuci sehari-hari karena tak ada
pilihan lain. Sedangkan untuk kepentingan memasak (makan/minum), mereka harus
memebelinya dari Kupang. Makanya, setiap perahu yang pergi ke Kupang, pasti
membawa beberapa jerigen untuk mengambil air tawar/bersih. Hal ini sudah
menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis di antara Warga Pulau Kera, sehingga
mereka dengan kesadaran sendiri (tanpa diperintah), pasti akan akan membawa
beberapa jerigen kosong untuk diisi air tawar saat pergi ke Kupang.
Asal Nama Pulau Kera
Banyak yang mengira Pulau Kera adalah pulau yang
dihuni banyak kera (monyet), termasuk saya. Namun, ternyata dugaan saya salah
besar. Di Pulau Kera tak ada satu pun kera/monyet, dan nama pulau ini pun tak
ada hubungannya sama sekali dengan hewan pemakan pisang itu. Nama Pulau Kera
berasal dari kata “Takera,” sebuah kata dari Bahasa Solor yang artinya
ember/timba. Dari cerita Pak Arsad, tokoh masyarakat di Pulau Kera, konon ada
seorang raja dari Pulau Solor (pulau kecil di sebelah timur Pulau Flores)
beserta punggawanya sedang berlayar menuju Kupang. Ketika mendekati Pulau Kera,
rombongan raja tersebut kehabisan air. Sang Raja pun mengajak punggawanya untuk
mampir mencari air di pulau kecil, di Teluk Kupang tersebut. Beruntung mereka
menemukan sebuah sumur di pulau tersebut. Sang Raja pun memerintahkan
punggawanya untuk menimba air dari sumur tersebut. Ketika sedang menimba, tali
yang digunakan untuk menimba air putus dan embernya pun jatuh ke dalam sumur. Secara
refleks, dia berteriak, “Takera! Takera!” yang maksudnya embernya jatuh ke
dalam sumur. Sejak kejadian itu, nama pulau tersebut dikenal menjadi Pulau Kera
sampai sekarang.
Pulau
Rebutan dan Kelapa yang Tidak Berbuah
Status Pulau Kera merupakan pulau sengketa (pulau
rebutan), sehingga pulau ini “ditelantarkan” oleh Pemerintah Kabupaten Kupang.
Mereka tidak dianggap sebagai Warga Kabupaten Kupang dan tidak pernah diberi
bantuan apa pun, baik bantuan pangan, perumahan, ataupun sarana prasarana
lainnya. Berpuluh-puluh tahun penduduk Pulau Kera tidak memiliiki KTP dan tidak
diakui sebagai Warga Kabupaten Kupang oleh Pemerintah Kabupaten Kupang. Mereka
hanya dianggap sebagai waraga pada saat ada Pemilu dan Pilkada karena suara
mereke dibutuhkan. Di luar momen tersebut, Warga Pulau Kera diabaikan. Baru
beberapa tahun belakangan ini, penduduk Pulau Kera diakui sebagai Warga Desa
Sulamu (desa di daratan Pulau Timor, di seberang Pulau Kera), Kecamatan Sulamu,
Kabupaten Kupang. Menurut keterangan Pak arsad, saat ini (2014), jumlah
penduduk Pulau Kera sebanyak 102 Kepala Keluarga. Sampai detik ini, belum
diketahui jumlah pasti penduduk Pulau Kera karena belum pernah dilakukan sensus
penduduk. Namun, saat Pemilu 9 Mei 2014 kemarin, jumlah pemilih terdaftar di
TPS Pulau Kera sebanyak 221 pemilih.
Pohon kelapa yang tidak mau berbuah di Pulau Kera
Dulunya, pulau ini menjadi rebutan oleh tiga
kelompok suku, yaitu Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi, Suku Solor yang
berasal dari Pulau Solor, dan Suku Semau yang berasal dari Pulau Semau. Suku
Bajo yang mendiami Pulau Kera sampai sekarang dan menjadi penduduk mayoritas di
sana, mengklaim Pulau Kera merupakan miliknya karena nenek moyang merekalah
yang pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Kera dan bermukim di sana. Hal ini
bisa dibuktikan dengan adanya makam leluhur Suku Bajo yang sudah berumur
ratusan tahun di pulau tersebut. Pertikaian ketiga suku tersebut tidak ada
penyelesaiannya. Suku Solor juga tak mau kalah, karena mereka juga merasa yang
pertama kali menemukan Pulau Kera dan memberi nama pulau tersebut. Sedangkan
Suku Semau mengklaim Pulau Kera sebagai miliknya karena alasan kedekatan letak
geografis semata. Pertikaian memperebutkan kepemilikan Pulau Kera tidak
menemukan titik temu sehingga ketiga kepala suku tersebut sampai bersumpah,
bahwa siapa pun yang akan mendiami Pulau Kera tidak akan bisa menikmati buah
kelapa yang ada di pulau tersebut. Anehnya, entah karena sumpah tersebut atau
karena sebab lain, sampai saat ini tidak banyak pohon kelapa yang tumbuh di
Pulau Kera. Dari pantauan saya, jumlah pohon kelapa di pulau Kera memang bisa
dihitung dengan jari. Itu pun tidak ada buahnya. Menurut keterangan Pak Arsad
dan Warga Pulau Kera lainnya, kalaupun ada buahnya, pasti tidak ada daging
kelapanya (hanya berisi air kelapa) dan buah tersebut akan jatuh dari pohonnya.
Padahal, dulunya Pulau Kera merupakan kebun kelapa.
Menikmati
Keindahan Pantai
Ketika matahari mulai beranjak ke barat, saya
menuju ujung selatan pulau yang bentuknya meruncing dengan hamparan pasir
putih. Saatnya berenang dan snorkeling,
menikmati bening air laut Pulau Kera yang sejak tadi pagi memanggil-manggil
saya. Saya segera mengenakan masker dan snorkel
yang saya bawa dari rumah, dan langsung nyemplung ke laut.
Pantai barat Pulau Kera dilihat dari "mercu suar."
Air laut di sekeliling Pulau Kera sangat jernih
dengan warna hijau toska. Pantainya juga sangat landai dan dangkal. Saya
berenang sampai jauh ke tengah, air laut hanya sebatas dada saya. Sayangnya
terumbu karangnya rusak dan ikannya tidak banyak. Sejauh mata memandang hanya
pasir putih dan hamparan padang lamun. Saat pindah ke bagian barat pulau,
kondisinya juga tak jauh beda, tak banyak terumbu karang yang saya temui.
Terumbu karang hanya bisa saya lihat setelah berenang jauh ke tengah laut, itu pun
tidak banyak jenis dan jumlahnya. Saya pun menyudahi acara snorkeling. Apalagi saat itu cuaca tiba-tiba berubah mendung dan air
laut juga semakin surut. Jadi saya bermain-main pasir saja di pinggir pantai
bersama anak-anak Pulau Semau.
Matahari
Terbenam yang Menawan
Satu aktivitas yang tak pernah saya lewatkan ketika
berada di pulau kecil adalah menyaksikan detik-detik matahari terbenam (sunset) di cakrawala. Saya pun bergerak
ke bagian barat Pulau Kera, mencari titik strategis untuk melihat sunset. Saya keluarkan gorilla pod dan kamera, sambil menunggu
saat-saat mentari kembali ke peraduannya.
Sunset menawan di Pulau Kera
Mendung yang menggelayut di langit Pulau Kera,
sempat membuat saya galau. Saya khawatir tidak bisa menyaksikan sunset sore
itu. Namun, kekhawatiran saya tak terjadi. Rupanya Dewi Fortuna memang sedang
berpihak kepada saya hari itu. Awan mendung mulai menghilang, dan matahari
mulai terlihat kembali sehingga saya bisa menyaksikan sunset yang luar biasa indah sore itu. Boleh dibilang, salah satu sunset terindah yang pernah saya lihat
dalam hidup saya. Bola matahari yang berwarna kuning keemasan perlahan
tenggelam di cakrawala dengan dipayungi awan jingga kemerahan di sekitarnya.
Perahu yang kandas karena air laut sedang surut, menjadi latar depan (foreground) yang semakin mempercantik sunset sore itu. Pulau Kera menampilkan sunset terindahnya kepada saya.
Terkesan Keramahan
Warga Pulau Kera
Salah satu hal yang saya sukai dari pulau kecil
adalah masyarakatnya yang ramah tak terkecuali Warga Pulau Kera. Keramahan
mereka benar-benar tulus dan tak dibuat-buat. Saya sedikit kaget ketika selesai
sholat maghrib, sedang ngobrol-ngobrol di rumah Bang Yunus, tiba-tiba didatangi
seorang pemuda yang tak lain adalah anaknya ketua RW di Pulau Kera. Dia disuruh
bapaknya untuk menjemput saya agar menginap di rumahnya. Padahal saya belum
kenal dan belum pernah bertemu dengan Pak RW tersebut. Bagaimana mungkin dia bisa mempersilakan saya
menginap di rumahnya. Namun, saya terpaksa menolak dengan halus ajakan pemuda
tersebut karena saya sudah terlebih dahulu memenuhi permintaan Bang Yunus untuk
menginap di rumah bapak angkatnya, yaitu Pak Arsad, yang merupakan salah satu
tokoh terkemuka di Pulau Kera.
Saya benar-benar kaget dan terharu dengan keramahan
dan kebaikan hati Warga Pulau Kera. Memang di pulau sekecil Pulau Kera ini, kedatangan
turis/tamu pasti akan diketahui seluruh warga pulau. Namun, saya tak pernah
menyangka, perlakuan mereka akan sebaik ini kepada saya.
Keramahan Warga Pulau Kera tak berhenti sampai di
situ. Sebelum mengantarkan saya ke rumah Pak Arsad, Bang Yunus mengajak saya
makan malam di rumahnya. Istrinya telah menyiapkan hidangan makan malam untuk
saya. Karena merasa tak enak, saya menolak ajakan tersebut. Namun, Bang Yunus
dan istrinya tetap memaksa saya dan tak mengizinkan saya pergi ke rumah Pak
Arsad sebelum makan malam. Saya pun mengalah dan menuruti kemauannya.
Setelah makan malam, Bang Yunus menepati janjinya
untuk mengantarkan saya ke rumah Pak Arsad yang letaknya tak begitu jauh dari
rumahnya. Rumah Pak Arsad, berada di bagian barat pulau, tak jauh dari pantai.
Rumah ini menghadap ke pantai barat Pulau Kera.
Rumah Pak Arsad, salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera
Pak Arsad pun menyambut saya dengan ramah. Kami
berbincang-bincang di teras rumah, ditemani debur ombak dan kerlip bintang di
langit. Tak ada suara mobil, sepeda motor, ataupun keramaian lainnya. Di Pulau
Kera listrik hanya menyala sekitar 5 jam, dari jam 06.00 sore sampai jam 11.00
malam. Listrik tersebut berasal dari genset, hasil swadaya Warga Pulau Kera. Televisi
masih jarang di pulau ini, sehingga masih ada acara nonton televisi rame-rame
di rumah tetangga.
Meski baru kenal, saya langsung bisa akrab dengan Pak
Arsad karena beliau ramah dan supel. Saya sangat beruntung bisa bertemu Pak
Arsad karena beliau adalah salah satu tokoh terkemuka di Pulau Kera yang
benar-benar mengetahui segala hal tentang pulau ini. Pak Arsad merupakan warga
Suku Bajo yang berasal dari Pulau Babi (pulau kecil di sebelah utara Kota
Maumere, Flores). Orang tua beliau merupakan warga suku Bajo yang berasal dari
Sulawesi. Beliau sudah tinggal di Pulau Kera sejak tahun 2000.
Setelah Bang Yunus pamit pulang, saya pun terlibat
perbincangan seru dengan Pak Arsad, terutama hal-hal yang berkaitan dengan
Pulau Kera. Segala hal tentang Pulau Kera yang selama ini menjadi misteri bagi
saya, terjawab dari Pak Arsad. Mulai dari asal nama Pulau Kera, penghuni awal Pulau
Kera, kehidupan warga pulau yang sederhana, hingga luas Pulau Kera yang makin
menyusut karena abrasi. Dulunya luas Pulau Kera sekitar 48,17
hektar dengan bentuk pulau bujur sangkar. Namun, sekarang luas pulau sudah menyusut
signifikan dan bentuk pulau berubah menjadi bulat telor (oval), mirip buah pir.
Tak terasa malam
semakin larut dan Pak Arsad pun pamit tidur. Saya pun bergegas menuju tempat tidur
di ruang tamu Pak Arsad, yang sudah disiapkan untuk saya. Banyak cerita dan pelajaran
berharga yang saya dapat dari Pulau Kera hari ini, di antaranya adalah
kesabaran, kegigihan, dan rasa bersyukur.. Misteri yang menyelimuti Pulau Kera
selama ini juga sudah terungkap dari cerita Pak Arsad dan Warga Pulau Kera
lainnya, yang saya temui sepanjang hari.
Getting There
Untuk mencapai Pulau Kera, Anda harus terbang dulu
ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya, dari Pelabuhan Oeba, Kupang,
satu-satunya cara untuk mencapai Pulau Kera adalah dengan menyewa perahu
nelayan karena sampai saat ini belum ada perahu umum (public boat) menuju Pulau Kera. Sebenarnya ada cara lebih murah
selain menyewa perahu. Anda bisa menumpang perahu Warga Pulau kera yang setiap
hari belanja dan mencari air tawar ke Kupang, dari Pelabuhan Oeba. Namun, Anda
harus menginap semalam di Pulau Kera karena tak ada perahu yang balik ke Kupang
di sore hari. Anda bisa menyewa perahu nelayan untuk mengantarkan Anda ke Pulau
Kera. Perjalan perahu dari Pelabuhan Oeba ke Pulau Kera memakan waktu sekitar
30 menit bila cuaca sedang bagus, laut tenang tanpa gelombang. Saat laut sedang
bergelombang, perjalanan bisa memakan waktu sekitar 45 - 60 menit.
Things to Know
- Bawa bekal makanan dan minuman (terutama air putih) secukupnya saat berkunjung ke Pulau Kera karena di sana tak ada warung makan atau restoran. Yang ada hanya warung-warung kelontong kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari.
- Pakailah busana yang menyerap keringat (bahan katun) karena cuaca di Pulau Kera sangat panas.
- Jangan lupa membawa topi dan tabir surya (sunblock) untuk melindungi Anda dari teriknya matahari Pulau Kera.
- Di Pulau Kera tak ada hotel atau penginapan. Jika berniat menginap di sana, Anda bisa menumpang di rumah penduduk dengan kondisi rumah yang sangat sederhana.
- Listrik di Pulau Kera hanya menyala dari jam 18.00 - 23.00 WITA. Gunakan waktu tersebut untuk mengisi ulang baterai ponsel dan kamera Anda. (edyra)***
SEPENGGAL CERITA DARI TANAH RAI HAWU
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
17:21
Setelah tertunda beberapa kali karena berbagai
kendala (sibuk, cuaca buruk, kehabisan tiket pesawat, dan lain-lain), akhirnya
jadi juga saya berkunjung ke Pulau Sabu. Tanggal 8 Januari 2014, bersama rekan
kantor (atasan) saya terbang ke Sabu untuk urusan pekerjaan dengan pesawat Susi
Air. Inilah pengalaman pertama saya terbang dengan pesawat super mungil yang kapasitas
penumpangnya hanya 12 orang. Rasanya, ngeri-ngeri sedap.
Mungkin belum banyak yang mendengar nama Pulau Sabu
selain Warga Nusa Tenggara Timur. Padahal pulau yang letaknya di antara Pulau
Timor dan Pulau Sumba, NTT ini mempunyai banyak nama. Setidaknya, pulau kecil
ini mempunyai empat nama, yaitu Sabu, Sawu, Savu, dan Rai Hawu. Sabu adalah nama
resminya dalam Bahasa Indonesia. Sawu merupakan namanya pada zaman penjajahan
Belanda. Savu merupakan namanya dalam Bahasa Inggris. Sedangkan Rai Hawu
merupakan nama pulau tersebut dalam bahasa setempat (Bahasa Sabu).
Sejak tahun 2010, Pulau Sabu bersama dengan tetangganya,
Pulau Raijua, mendapat otonomi khusus sebagai sebuah kabupaten baru dengan nama
Kabupaten Sabu Raijua. Dulunya, Sabu Raijua hanyalah sebuah kecamatan yang
masuk ke dalam administrasi Kabupaten Kupang, yang ibu kotanya berada di Kupang,
Pulau Timor. Setelah menjadi kabupaten, Sabu Raijua memilih "kota kecil" Seba
sebagai ibu kotanya. Seba yang berada di pinggir pantai ini menjadi gerbang
masuk ke Pulau Sabu karena di kota ini terdapat sebuah pelabuhan dan sebuah
bandara perintis yang hanya bisa didarati pesawat kecil semacam Cessna.
Karena letaknya yang terpencil di tengah lautan, untuk
mencapai Pulau Sabu butuh perjuangan tersendiri. Sarana transportasi untuk
mencapai Sabu ada tiga, yaitu ferry, kapal cepat, dan pesawat. Ferry bisa anda
pilih bila Anda punya banyak waktu karena perjalanannya memakan waktu
sekitar 14 jam (bisa lebih lama, tergantung cuaca) dan jadwal keberangkatan
dari Kupang hanya dua kali seminggu. Kapal cepat menghabiskan waktu sekitar 4
jam tapi jadwalnya juga terbatas, dua kali seminggu. Pilihan lainnya yang paling cepat adalah
dengan pesawat super mini milik maskapai Susi Air (satu-satunya maskapai yang
melayanai penerbangan Kupang-Sabu-Kupang) dengan kapasitas penumpang hanya 12
orang. Karena waktu kami terbatas, jelas kami memilih pesawat untuk mencapai
Sabu. Tiket pesawat kami beli seminggu sebelumnya dengan harga yang lumayan
menguras kantong. Namun, mau tak mau harus kami beli karena tak ada pilihan
lain.
Perjalanan ke Sabu dengan pesawat imut Cessna Grand Caravan 208 memberi
pengalaman tersendiri. Karena terbatasnya tempat, tidak ada pramugara/pramugari
yang ikut terbang di dalam pesawat. Prosedur keselamatan seperti cara memakai
sabuk pengaman dan pelampung dijelaskan oleh kru pesawat di depan tangga masuk pesawat, sesaat sebelum penumpang
naik pesawat. Di dalam pesawat, penumpang duduk dengan formasi 1-2, yaitu 1
penumpang di sebelah kiri dan 2 penumpang di sebelah kanan. Antara ruang kokpit
dan ruang penumpang tidak ada sekat/pemisah sama sekali, sehingga kami bisa
melihat semua aktivitas yang dilakukan pilot dan co pilot. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan indah karena
pesawat terbang rendah. Pantai, laut, dan pulau-pulau kecil terlihat dengan
jelas, menjadi hiburan tersendiri bagi para penumpang. Alhasil, perjalanan Kupang-Sabu
sekitar 1 jam jadi tak terasa.
Kampung Namata
Setelah urusan pekerjaan beres, tiba saatnya untuk
menjelajah Pulau Sabu. Saya beruntung mendapat seorang kenalan yang asli Sabu
dan bersedia menjadi pemandu (guide) saya
selama di Sabu. Jadi, saya terbebas dari urusan tersesat atau kebingungan
menanyakan arah jalan kepada penduduk setempat. How lucky I am! Thanks for Pak Nico!
Mengawali petualangan di Sabu, Pak Nico mengajak
saya ke sebuah desa adat/tradisional yang bernama Kampung Namata. Kampung kecil
ini berada di sebuah bukit yang dikelilingi hutan. Letaknya tak jauh dari Kota
Seba, tapi akses jalan menuju ke sana tidak mudah. Awalnya, kami melewati jalan
beraspal. Kemudian, kami masuk kampung, melewati jalan tanah, tanpa
rambu-rambu/penunjuk arah sama sekali. Selanjutnya, kami harus menyeberangi
sungai kecil yang tidak ada jembatannya. Untunglah, debit air sungai sedang
kecil sehingga kami tak kesulitan menyeberanginya. Setelah melewati sungai,
jalan semakin menanjak karena harus mendaki bukit hingga kami tiba di Kampung
Namata. Kalau tidak ditemani Pak Nico, saya pasti kesulitan menemukan Kampung
Namata.
Kami disambut seorang ibu, ketika tiba di Kampung
Namata. Setelah Pak Nico menjelaskan maksud kedatangan kami, saya disuruh
mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya. Setelah itu, saya bebas keliling
Kampung Namata yang tak seberapa besar.
Ada dua hal yang menarik perhatian saya di Kampung
Namata. Yang pertama adalah sebuah lingkaran besar di tanah lapang dan
batu-batu besar di dekatnya. Yang kedua adalah rumah adat Kampung Namata yang
atapnya menjuntai sampai hampir menyentuh tanah. Menurut penjelasan Pak Nico,
lingkaran itu adalah tempat warga Kampung Namata mengadakan upacara adat.
Sedangkan batu-batu besar tersebut merupakan batu-batu megalitikum yang sudah
berusia ratusan tahun. Rumah adat Kampung Namata dan kampung-kampung adat
lainnya di Sabu bentuknya hampir sama dan disebut Emu Rukoko. Rumah adat ini
bentuknya unik seperti perahu terbalik, dengan atap terbuat dari daun lontar.
Bentuk rumah yang seperti perahu terbalik bukan tanpa alasan. Filosofinya
adalah Warga Sabu merupakan nelayan yang biasa menggunakan perahu saat
menangkap ikan di laut.
Cium Hidung ala Sabu (Hengedo)
Ada satu budaya/tradisi unik yang tidak bisa
dijumpai di belahan dunia mana pun selain di Pulau Sabu, yaitu budaya cium
hidung yang dalam Bahasa Sabu disebut Hengedo. Cium hidung ini dilakukan oleh
dua orang Suku Sabu, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara saling
menggesekkan ujung hidung selama sekitar 3 detik. Awalnya saya sedikit heran melihat
Pak Nico menggesekkan hidung dengan seorang ibu yang menyambut kedatangan kami di
Kampung Namata. Ternyata itu adalah cium hidung ala Sabu. Cium hidung ini akan
dilakulkan oleh dua Orang Sabu yang bertemu di mana pun, untuk menunjukkan rasa
persaudaraan. Selain itu, cium hidung juga bermakna sebagai tanda perdamaian. Bila
ada dua orang berselisih, dan kemudian berciuman hidung maka masalahnya
dianggap selesai. Budaya yang unik memang. Belakangan, saat berada di Kupang (sepulang dari Sabu), saya sering melihat budaya cium hidung tersebut. Saat di
mal, bank, toko buku, dan tempat-tempat umum lainnya, secara tak sengaja saya
melihat dua orang saling menggesekkan ujung hidungnya. Saya jadi tidak heran
lagi melihatnya dan saya jadi bisa menebak bahwa dua orang tersebut berasal
dari Sabu.
Bukit Lede Pemulu
Dari Kampung Namata, Pak Nico membawa saya masuk ke
tengah Pulau Sabu, menuju salah satu titik tertinggi pulau ini. Kami melewati
jalan utama yang membelah Pulau Sabu tapi kondisi jalannya sebagian besar sangat
buruk. Jalan aspal yang cukup mulus hanya kami jumpai di dalam kota. Begitu
keluar kota jalan mulai rusak, aspal jalan mulai terkelupas di sana-sini. Di
beberapa ruas jalan, aspal sudah hilang sama sekali menyisakan jalan tanah berbatu-batu
besar. Kelihaian dalam mengendarai sepeda motor, jelas sangat diperlukan di
medan seperti ini.
Anehnya, kondisi jalan tak sepenuhnya rusak.
Sebagian ruas jalan bagus, sebagian rusak parah kemudian jalan bagus lagi. Di
beberapa tempat, kami melihat jalan sedang diperbaiki. Nampak aspal dan
alat-alat berat di pinggir jalan. Mendekati tujuan kami, Bukit Lede Pemulu, kondisi
jalan kembali bagus, dengan aspal jalan yang cukup mulus.
Saya terkesima begitu tiba di puncak Bukit Lede Pemulu.
Panorama menawan Pulau Sabu, terbentang 360 derajat di sekeliling saya. Mulai
dari bukit-bukit hijau, telaga kecil dengan puluhan kerbau, pantai selatan
Pulau Sabu yang berpasir putih, dan laut biru yang mengelilingi Pulau Sabu. Memotret
dari sudut manapun, Anda akan mendapatkan foto yang menawan. Bukit Lede Pemulu,
merupakan sebuah bukit yang berada di perbatasan Desa Loborai dan Desa Mehona,
Kecamatan Sabu Liae. Bukit ini merupakan salah satu titik tertinggi di Pulau
Sabu, yang ditandai dengan adanya sebuah menara Built Transmission System (BTS) salah satu operator provider GSM terkemuka di
Indonesia.
Pantai Napae
Ketika matahari mulai condong ke barat, Pak Nico
mengajak saya kembali ke Kota Seba untuk menyambangi Pantai Napae. Saya yang
penggemar berat pantai, langsung mengiyakan ajakan Pak Nico. Sejak tadi pagi,
saya memang penasaran dengan pantai-pantai yang ada di Sabu.
Pantai Napae berada di dalam Kota Seba, tepatnya di
sebelah barat Pelabuhan Seba. Sebenarnya ada akses jalan khusus menuju Pantai
Napae tapi kami memilih akses jalan dari Pelabuhan Seba karena jaraknya cukup
dekat, hanya sekitar 300 meter. Selain itu, kami juga ingin melihat matahari
terbenam (sunset) dari Dermaga Seba
setelah mencumbui Pantai Seba.
Pantai Napae merupakan salah satu pantai kebanggaan
Warga Sabu (Seba khususnya), karena pantainya cukup indah dan letaknya masih di
dalam Kota Seba. Pantai ini cukup bersih, dengan
pasir berwarna putih kecoklatan dan laut biru jernih. Kontur Pantai Napae juga
landai dan ombaknya tidak begitu besar sehingga aman untuk berenang ataupun
bermain-main pasir. Di pantai ini sudah dibangun beberapa lopo-lopo (sebutan
masyarakat setempat untuk gazebo), dengan bentuk bangunan yang unik, mengadopsi
rumah adat Sabu (Emu Rukoko). Namun, meski letaknya di kota, pantai ini sangat
sepi. Sore itu, kami hanya melihat empat orang anak kecil yang sedang asyik bermain
di pantai. Turis merupakan barang langka di pantai ini.
Sunset di Dermaga Seba
Menjelang senja, kami kembali ke Pelabuhan Seba
untuk melihat sunset. Suasana di Pelabuhan
Seba lumayan ramai sore itu. Banyak Warga Sabu yang datang ke area pelabuhan,
baik untuk sekedar nongkrong maupun mandi/berenang di pantai. Aktivitas bongkar
muat barang di dermaga juga masih berlangsung. Sementara Pak Nico
ngobrol-ngobrol dengan temannya, saya mencari spot yang tepat untuk memotret sunset.
Dermaga Seba yang menjorok panjang ke arah barat laut, menjadikan lokasi ini tempat yang
tepat untuk memotret sunset. Dari dermaga
ini, matahari akan terlihat terbenam ke Laut Sabu dengan latar belakang Pulau
Raijua yang tampak samar-samar di kejauhan. Sore itu saya sangat beruntung,
karena langit bersih tanpa awan sehingga saya bisa menyaksikan detik-detik matahari
tenggelam dengan sempurna.
Sunset indah dari Dermaga Seba
Pantai Bo’do
Keesokan harinya, saya mengunjungi Pantai Bo’do seorang
diri, dengan mengendarai sepeda motor pinjaman dari Pak Nico. Saya mengakses Pantai
Bo’do dari Pantai Napae karena dua pantai ini letaknya berdampingan, hanya
dipisahkan oleh muara sungai yang dangkal. Saat itu, debit air sungai sedang
kecil, sehingga saya bisa menyeberanginya dengan mudah. Bahkan saya melihat,
seorang Warga Sabu mengendarai sepeda motor menyeberangi muara sungai tersebut.
Pantai Bo’do berpasir putih kecoklatan seperti
Pantai Napae. Keunikan pantai ini tak lain berkat adanya sebuah benteng tua yang
terbuat dari tumpukan batu karang. Untuk mencapai benteng ini, saya harus
sedikit mendaki karena letaknya di atas bukit kecil, di pinggir pantai. Dari benteng
ini, nampak Pantai Napae dan Dermaga Seba di kejauhan. Seperti pantai-pantai
lainya di Sabu, suasana di Pantai Bo’do juga sangat sepi dan masih alami. Tak ada
kafe, restoran ataupun warung. Semuanya masih alami, tanpa sentuhan komersial
seperti pantai-pantai di Bali.
Pantai Wuihebo
Karena masih ada waktu lumayan panjang sebelum
terbang kembali ke Kupang, Pak Nico mengajak saya mengunjungi sebuah pantai
lagi. Namanya Pantai Wuihebo. Untuk mencapai pantai ini, kami harus melewati
jalan tanah berbatu sejauh 4 km, dari jalan utama Trans Sabu.
Pantai Wuihebo merupakan pantai berpasir putih yang
indah. Pantai ini berbentuk melengkung, membentuk sebuah tanjung di ujung kiri.
Pantai yang banyak ditumbuhi pohon lontar ini bisa terlihat dengan jelas dari
Dermaga Seba. Pada bulan-bulan tertentu (Juni-September), ombak di pantai ini
cukup besar sehingga cocok untuk lokasi selancar (surfing). Turis-turis asing penggemar surfing (paling banyak dari Australia) akan berdatangan ke Pantai
Wuihebo di bulan-bulan tersebut. Namun, saat saya datang pantai sangat sepi. Tak
ada pengunjung lain selain kami berdua.
Gula Sabu, Oleh-oleh Khas Sabu yang
Unik dan Lezat
Usai mengunjungi Pantai Wiuhebo, Pak Nico berniat mengantarkan
saya ke bandara. Namun, sebelum ke bandara saya diajak kembali ke rumah Pak
Nico untuk mengambil sesuatu. Rupanya Pak Nico telah menyiapkan oleh-oleh khas
Sabu untuk saya. Oleh-oleh tersebut berupa satu jerigen Gula Sabu. Betapa beruntungnya
saya bertemu orang sebaik Pak NIco di Sabu. Sudah ditemani jalan-jalan keliling
Sabu, masih diberi oleh-oleh segala. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan
Pak Nico.
Bicara tentang Gula Sabu, mungkin belum banyak yang
tahu selain Warga NTT. Maklum, gula ini tidak dapat dijumpai di tempat lain di
Indonesia (bahkan di dunia) selain di Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Tak heran
kalau dinamakan Gula Sabu atau “Donahu Hawu”
dalam Bahasa Sabu. Gula ini cukup unik, berbentuk cairan yang sangat
kental dan lengket serta berwarna coklat tua. Kalau dilihat sepintas
mirip madu tapi cairannya lebih kental dan pekat. Gula
Sabu merupakan makanan alternatif Warga Sabu selain beras dan jagung di tengah
kondisi geografis Pulau Sabu yang rawan kekeringan. Jika terjadi gagal panen tanaman
palawija dan persediaan bahan makanan menipis, maka Gula Sabu dimanfaatkan
sebagai makanan pengganti beras dan jagung untuk bertahan hidup. Gula Sabu
terbuat dari nira buah lontar/siwalan (Borassus
flabellifer) yang direbus selama beberapa jam hingga mengental. Cara menikmati Gula Sabu adalah dengan meminumnya
langsung atau menyeduhnya dengan air, lalu meminumnya seperti minum teh atau
kopi. Di pasaran, Gula Sabu biasanya dijual dalam botol-botol air
mineral atau dalam jerigen. Gula Sabu diyakini mempunyai banyak manfaat untuk
kesehatan, antara lain adalah sebagai obat
penghilang panas dalam dan pereda sakit maag.
Getting There
Untuk mencapai Pulau Sabu, Anda harus terbang dulu
ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada tiga pilihan moda transportasi
menuju Sabu. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Susi Air (www.fly.susiair.com). Ini
adalah cara tercepat dan termahal mencapai Sabu tapi dengan jadwal yang pasti. Susi
Air terbang ke Sabu setiap hari tapi kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Jadi
Anda harus memesan tiket jauh-jauh hari agar kebagian tiket. Pilihan kedua
dengan kapal cepat yang berangkat dari Pelabuhan Tenau, dengan lama perjalanan
sekitar 4 jam. Sayangnya kapal cepat ini hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu
hari Senin dan Jumat beragkat dari Kupang dan kembali ke Kupang keesokan
harinya (Selasa dan Sabtu). Pilihan terakhir
adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan
sekitar 14 jam. Ferry ini juga hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu Hari
Senin dan Jumat. Bagi Anda yang memiliki waktu banyak, Anda bisa memilih kapal
cepat atau ferry. Namun, Anda yang memiliki waktu terbatas, satu-satunya cara
adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***
Where to Stay
Hotel Rai
Hawu
Jl.
Trans Sabu Km. 13, Desa Eilode, Kecamatan Sabu Tengah, Kab. Sabu Raijua
Telp. : (0380) 8155 550
www.raihawuhotel.com
Tarif : mulai Rp
650.000,00
Mana Homestay
Jl. Simpang Tiga Tenihawu,
Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Telp : 0821 4526
6407, 0812 4644 8095
Tarif : mulai Rp
200.000,00
Penginapan Maryo
Jl.
Seba, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota
Seba
Telp : (0380) 861 011, 0812 3655 4666
Tarif : mulai Rp 100.000,00
Penginapan Makarim
Jl. Masjid
An Nur, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota
Seba
Tarif : mulai Rp 100.000,00
Subscribe to:
Posts (Atom)