Tuesday, 21 October 2014

ALLURING ALOR

Mengenakan baju adat Suku Abui di Kampung Takpala

Mendengar suara pramugari yang mengumumkan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Mali, Alor, sontak saya terjaga dan mata saya langsung terbelalak melihat pemandangan elok di bawah sana. Pulau-pulau kecil bertebaran di antara laut biru membentang. Kota Kalabahi yang berada di teluk dengan bukit-bukit menjulang tinggi di belakangnya juga terlihat sangat menawan. Apalagi lokasi bandara juga berada di pinggir pantai dan di dekatnya terdapat sebuah pulau kecil dikelilingi pasir putih bersih. Pendaratan pesawat yang tidak mulus pun terlupakan oleh panorama cantik yang ada di sekitar bandara. Sungguh menjadi ucapan “Selamat Datang” yang sangat indah bagi saya. 

Bandara Mali yang berada di pinggir pantai
 
Bandara Mali
Setelah pesawat benar-benar berhenti di landasan, dan pintu pesawat dibuka oleh pramugari, saya bergegas turun bersama penumpang lainnya, menuju gedung terminal. Jangan bayangkan terminal bandara yang luas dengan fasilitas yang lengkap seperti bandara-bandara di kota besar! Bandara Mali hanyalah bandara perintis dengan gedung terminal yang sangat kecil dan fasilitas sangat sederhana. Terminal bandara hanya terdiri dari ruang kedatangan, ruang keberangkatan, ruang VIP. Tak ada kafe, restoran maupun toko souvenir. Fasilitas standar bandara seperti troli dan conveyor belt Juga tidak ada. Bagasi penumpang langsung dibagikan oleh petugas kepada penumpang di ruang kedatangan yang sangat sempit. Untungnya saya tak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lain karena saya tidak membawa bagasi. Jadi, saya langsung keluar gedung terminal mencari teman yang asli Alor, yang telah siap menjemput saya. Kalau tak ada penjemput, Anda tak usah khawatir untuk mencapai pusat Kota Kalabahi. Anda bisa naik ojek atau “taksi” (berupa mobil Avanza/Xenia tanpa ada tulisan taksi di atasnya) menuju Kalabahi yang jaraknya sekitar 16 km.

Pantai Maimol
 
Pantai Maimol
Sekitar 5 km dari Bandara Mali, saya melihat sebuah pantai cantik di sebelah kiri jalan. Saya pun meminta teman saya untuk singgah sejenak di pantai tersebut. Pantai Maimol namanya. Pantai berpasir putih dengan laut biru jernih ini merupakan salah satu pantai kebanggaan Warga Kalabahi. Setiap akhir pekan dan hari libur, biasanya pantai ini dipadati pengunjung. Namun siang itu, Pantai Maimol sangat sepi. Kami hanya melihat tiga orang pengunjung dan beberapa anak kecil yang asyik bermain air. Tak ada satu pun turis, baik turis lokal maupun turis asing seperti pantai-pantai di Bali. Padahal Pantai Maimol sangat menawan. Dengan pantai yang melengkung indah dan dihiasi beberapa pohon kelapa di tepiannya, membuat pantai ini terlihat menawan. Di pinggir jalan juga terdapat beberapa penjual jagung rebus dan makanan ringan yang siap mengakomodir pengunjung yang sedang lapar.

Kampung Takpala
Setelah menaruh tas di hotel dan makan siang di sebuah Warung Jawa di Jalan Diponegoro, Kalabahi, saya tidak mau menyia-nyiakan waktu di Alor. Bersama teman yang sekaligus berperan sebagai pemandu (guide), saya bergerak menuju Kampung Takpala. Dari Kalabahi hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai di  Kampung Takpala.

Rumah Fala Foka di Kampung Takpala
 
Kampung Takpala berada di atas bukit. Dari tempat parkir, kami harus berjalan mendaki untuk mencapai Kampung yang dihuni Suku Abui ini. Karena berada di ketinggian, pemandangan yang ditawarkan Kampung Takpala sangat memukau. Selain, deretan rumah-rumah adat berbentuk limas dan beratap ilalang, dari kampung ini terlihat panorama Teluk Kabola dan bagian kepala Pulau Alor. Ketika tiba di sana, kami disambut Pak Abner, tetua adat Kampung Takpala. Beliau mengantar kami keliling kampung sambil menjelaskan berbagai adat dan tradisi yang ada di Kampung Takpala. Di antaranya filosofi rumah adat yang berbentuk limas, suku-suku penghuni kampung, tari-tarian tradisional, dan berbagai upacara adat yang masih digelar Kampung Takpala hingga kini. Bahkan, Pak Abner memberi kesempatan kepada saya untuk berfoto mengenakan baju adat dengan memberikan donasi seikhlasnya. 

Moto Kota Kalabahi dan Tugu Perjuanagn Rakyat di pusat Kota Kalabahi
 
Kalabahi Kota Kenari
Kabupaten Alor beribukota di Kalabahi yang mempunyai julukan Kota Kenari. Julukan ini bukan tanpa alasan karena dulunya memang banyak pohon kenari (Canarium indicum) di kota ini. Kini, meskipun kenari sudah jarang ditemukan di Kalabahi, kenari masih banyak dijumpai di hutan-hutan di Alor. Buah kenari juga masih gampang didapatkan di pasar-pasar di Kalabahi.

Panorama Kota Kalabahi yang menawan dilihat dari ketinggian
 
Kalabahi merupakan kota kecil yang semarak. Kota ini mempunyai fasilitas umum yang tergolong lengkap. Mulai dari bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dan pasar tradisional. Kondisi jalan di Kalabahi juga bagus dan mulus. Di bandingkan dengan kota-kota kabupaten lainnya di Provinsi NTT, Kalabah termasuk kota paling besar dan paling ramai. Padahal letaknya di ujung timur NTT, berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Letak kota yang berada di pinggir pantai/teluk dan dipagari perbukitan, membuat kota ini sedap dipandang mata. Lokasi paling tepat untuk melihat kecantikan seutuhnya Kalabahi adalah di sebuah bukit menuju arah Otvai/Kebon Kopi. Dari sini, kita bisa melihat keseluruhan Kota Kalabahi sekaligus melihat panorama matahari terbenam (sunset) bila kita datang di sore hari, menjelang matahari terbenam.

Pantai cantik di Pulau Kepa dengan Pulau Ternate di kejauhan
 
Pulau Kepa
Di sekitar Alor terdapat sejumlah pulau kecil yang menarik. Salah satu pulau yang menarik perhatian saya adalah Pulau Kepa. Pulau ini berada di lepas pantai Desa Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat Laut Untuk mencapai Pulau Kepa, saya menyeberang dengan perahu nelayan dari Dermga Alor Kecil. Perjalanan dengan perahu menuju Pulau Kepa hanya memakan waktu tak lebih dari lima menit, Maklum, Pulau Kepa hanya dipisahkan oleh selat yang sangat sempit dengan daratan Pulau Alor, namanya Selat Kumbang atau warga setempat menyebut Mulut Kumbang. Meski sempit, selat ini cukup berbahaya karena dilalui arus yang sangat kencang/kuat.

Terumbu karang warna-warni di sekitar Pulau Kepa
 
Pulau Kepa berukuran sangat mungil. Luas pulau ini hanya sekitar 3 kilometer persegi. Walaupun kecil, pulau ini berpenghuni. Perkampungan penduduk terpusat di bagian utara dan barat pulau yang menghadap ke Pulau Alor. Daya tarik Pulau Kepa selain pantai-pantainya yang berpasir putih tak lain adalah keindahan bawah lautnya. Di sekeliling Pulau Kepa terdapat titik-titik menyelam (dive spot) yang menawan sehingga menarik kunjungan para penyelam dari berbagai negara. Bila tidak mempunyai keahlian menyelam, Anda tak perlu khawatir. Dengan snorkeling pun Anda bisa menikmati keindahan bawah laut Pulau Kepa. Bersama teman, saya pun mencoba snorkeling di bagian selatan pulau, tak jauh dari Resort La Petite Kepa yang dikelola oleh Orang Perancis. Ternyata bawah laut Pulau Kepa memang indah. Tak perlu berenang jauh ke tengah laut, saya sudah bisa melihat berbagai jenis ikan cantik warna-warni. Terumbu karang juga lumayan banyak meski sudah banyak yang rusak. Di beberapa tempat, terlihat terumbu karang yang baru tumbuh. Sayangnya, arus lautnya  sangat kuat sehingga membuat saya tak berlama-lama snorkeling di sana. Dari berbagai tempat yang pernah saya snorkeling, arus di sekitar Pulau Kepa yang paling kuat saya rasakan. 

Al Quran Tua dari Kulit Kayu
Alor tidak melulu pantai dan pulau-pulau kecil. Pulau ini juga mempunyai destinasi wisata religi yang menarik, tepatnya di Desa Alor Besar. Di desa tetangga Alor Kecil ini terdapat Al Quran dari kulit kayu yang sudah berumur ratusan tahun. Al Quran tersebut disimpan di rumah Nurdin Gogo, di samping Masjid Jami Babussholah, Desa Alor Besar.

Masjid Jami Babussholah di Desa Alor Besar
 
Saya takjub melihat Al Quran yang terbuat dari kulit kayu tersebut masih utuh dan tulisannya bisa terbaca dengan jelas. Padahal, dari keterangan  Nurdin Gogo, yang  merupakan generasi ke-14 dari Iang Gogo, Al Quran tersebut sudah berumur 800 tahun lebih. Dulunya, Al Quran ini dibawa oleh Iang Gogo, seorang ulama dari Pulau Ternate, Maluku Utara. Iang Gogo bersama keempat saudaranya (Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales Gogo) berniat menyiarkan Agama Islam di Alor dan sekitarnya, berbekal Al Quran tua dan pisau khitan. Ketika sepakat untuk berpencar, Iang Gogo memilih menetap di Desa Alor Besar, sedangkan empat saudaranya berlayar dan menetap di beberapa pulau, sekitar Alor. Keturunan Iang Gogo di Alor Besar hingga kini telah mencapai generasi ke-15.  

Al Quran tua dari kulit kayu yang berumur 800 tahun lebih
 
Menurut para sejarawan, Al Quran dari kulit kayu tersebut telah melampaui usia 800 tahun dan diakui sebagai Al Quran tertua di Indonesia bahkan di Asia. Hebatnya, Al Quran tersebut masih awet terjaga hingga kini meski tempat menyimpan Al Quarn tersebut pernah mengalamai kebakaran beberapa kali. Lembaran-lembarannya masih bisa dibuka dan ayat-ayatnya yang ditulis dengan tinta hitam dan merah juga masih bisa dibaca dengan jelas. Bahkan, Al Quran ini  sempat diboyong keluar dari Alor ke Ternate untuk dipajang saat perhelatan Festival Legu Gam Kesultanan Ternate bulan Maret 2011.

Pantai Sebanjar
Karena belum puas snorkeling di Pulau Kepa, saya melanjutkannya di Pantai Sebanjar. Pantai berpasir putih nan cantik ini merupakan salah satu spot snorkeling terbaik di Alor. Pantai Sebanjar terletak di Desa Alor Besar, hanya beberapa kilometer dari lokasi Al Quran tua. Jika berada di Bali, saya yakin pantai ini sudah dijejali hotel, resort, maupun kafe. Dengan tampilan fisik yang cantikk dan bawah laut yang menarik, Pantai Sebanjar jelas bisa memikat para investor. Sayangnya pantai ini berada di Alor yang lokasinya jauh dari Jawa dan Bali. Jadi kondisi Pantai Sebanjar masih sangat alami, tanpa polesan apa pun. Namun, kealamian inilah yang membuat saya jatuh cinta dengan Pantai Sebanjar.

Pantai Sebanjar
 
Pantai Sebanjar cantik “atas” dan “bawah.”  Secara kasat mata, pantai ini terlihat menawan karena bibir pantainya yang panjang dihiasi pasir putih dengan air laut hijau kebiruan. Bawah lautnya pun tak kalah menarik. Beberapa jenis terumbu karang dan ikan warna-warni bersemayam di sana. Memang, terumbu karangnya tak sebanyak di Pulau Kepa. Namun, di Pantai Sebanjar tak ada arus (kecuali kita berenang jauh ke tengah), sehingga lebih aman untuk snorkeling. Saya sangat betah berlama-lama snorkeling di Pantai Sebanjar sampai teman saya meminta saya menyudahi snorkeling karena masih harus melanjutkan perjalanan ke tempat lain. 

Tebing yang sangat tinggi di dekat Pantai Batu Putih
 

Pantai Batu Putih
Pantai terakhir yang kami kunjungi di Alor adalah Pantai Batu Putih. Pantai ini berada di Desa Batu Putih, Kecamatan Alor Barat Laut. Dari Pantai Sebanjar cukup jauh mencapai pantai ini, sekitar 40 menit berkendara karena kami harus mengelilingi bagian kepala Pulau Alor yang kondisi jalannya kurang bagus di beberapa tempat. Kami harus melewati jalan yang berliku-liku naik turun bukit dengan kondisi jalan sangat buruk. Bahkan mendekati lokasi Pantai Batu Putih, kami harus menuruni bukit yang sangat tinggi dengan tebing-tebing yang berdiri tegak 90 derajat. Dari atas bukit, kami sudah bisa melihat Pantai Sebanjar yang tersembunyi nun jauh di bawah sana.

Pantai Batu Putih

Lokasi Pantai Batu Putih memang tersembunyi di bawah tebing yang sangat tinggi, di sebuah teluk. Oleh karena itu, bibir pantai ini melengkung indah dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Ada yang unik dengan Pantai Batu Putih. Tidak seperti pantai kebanyakan yang bibirnya dihiasi pasir, di Pantai Batu Putih tak ada pasir. Seperti namanya, bibir pantai ini dihiasi batu-batu kecil berwarna putih tulang (cream). Sejauh mata memandang, terlihat hamparan batu-batu putih dengan berbagai ukuran, mulai dari seukuran butiran beras hingga sebesar kelereng. Hamparan batuan ini bukan hanya di satu satu dua tempat saja, melainkan di seluruh bibir Pantai Batu Putih sehingga membuat kita cukup susah untuk berjalan di atasnya. Namun, justru inilah keunikan pantai ini yang mungkin tiada duanya di Indonesia.
 

Museum 1000 Moko
Alor tak bisa dipisahkan dari moko (nekara perunggu). Di berbagai sudut pulau ini, ditemukan banyak moko sehingga membuatnya mendapat julukan “Pulau Seribu Moko.” Untuk lebih mengenal moko, saya mengunjungi Museum 1000 Moko yang letaknya di Jalan Diponegoro, tepat di depan hotel saya. Sayangnya, saat itu museum sedang direnovasi sehingga terlihat agak berantakan dan sementara ditutup untuk umum. Namun, melihat saya yang datang dari jauh, petugas museum mengizinkan saya masuk ke dalam museum dan menemani saya keliling museum.

Moko (nekara perunggu) di Museum 1000 Moko
 
Sesuai dengan namanya, museum yang diresmikan pada tahun 2004 ini menjadikan moko sebagai pajangan utamanya. Moko diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu sekitar 1000 tahun sebelum masehi. Benda mirip gendang ini bercerita banyak tentang kehidupan masa silam di Alor. Fungsinya adalah sebagai alat upacara dan mas kawin yang diwariskan secara turun temurun di keluarga hingga kini. Di ruang pamer utama museum, dipajang sejumlah moko beragam ukuran, di mana moko berukuran paling besar diletakkan di tengah. Koleksi museum lainnya adalah foto Raja-Raja Alor, tenun ikat, pakaian adat, senjata tradisional, perlengkapan dapur tradisional, serta alat-alat perikanan dan pertanian. 



Penjual kue rambut, kenari, dan jagung titi di Pasar Kadelang


Oleh-oleh Khas Alor
Sebelum meninggalkan Alor, saya diantar teman mencari oleh-oleh khas Alor di Pasar Kadelang, Kalabahi. Di pasar yang berada di dekat teluk ini, kita bisa mendapatkan berbagai macam souvenir khas alor seperti tenun ikat, kalung manik-manik, dan miniatur rumah adat Alor. Ada juga oleh-oleh makanan atau kue-kue khas Alor. Di antaranya adalah kenari, jagung titi, dan kue rambut. Sesuai julukannya sebagai Kota Kenari, kenari memang mudah didapatkan di Kalabahi, tak terkecuali di Pasar Kadelang. Kenari dijual per kilogram atau per kantong plastik kecil-kecil. Jagung titi yang bentuknya mirip berondong jagung (popcorn) tapi pipih juga dijual per kilogram. Yang paling menarik perhatian saya adalah kue rambut. Seperti namanya, kue rambut bentuknya mirip gumpalan rambut dan biasanya menjadi teman minum kopi atau teh. Kudapan ini terbuat dari adonan tepung tapioka, tepung beras, air gula pohon lontar, dan gula pasir. Untuk membuatnya tipis seperti rambut adalah melalui cetakan berbahan kaleng yang dasarnya dilubangi seperti saringan lalu diteteskan ke wajan yang telah diisi minyak panas. Adonan dibentuk seperti kerucut dengan melipatnya kemudian digoreng.

Getting There
Untuk mencapai Alor, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada dua pilihan moda transportasi menuju Alor. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa. co.id). Ini adalah cara tercepat dan termahal mencapai Alor tapi dengan jadwal yang pasti. Pilihan kedua yang lebih murah adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan sekitar 14 jam. Ferry ini hanya beroperasi seminggu dua kali dari Kupang, yaitu Hari Selasa dan Sabtu, jam 12.00 siang. Ferry akan kembali ke Kupang keesokan harinya (Rabu dan Minggu) jam 12 siang. Bagi Anda yang memiliki waktu longgar, Anda bisa memilih ferry. Namun, bila waktu Anda terbatas, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***

No comments:

Post a Comment