Tuesday, 30 June 2015

LOVELY ISLAND CALLED LEMBATA



Menikmati semilir angin rumput savana di Bukit Wolor Pass





Saya harus mengetuk-ngetuk pintu terminal kedatangan Bandara Wunopito, Lewoleba untuk masuk ke dalamnya. Gara-gara keasyikan memotret panorama menawan di sekitar bandara, saya terkunci sendirian di luar gedung terminal sementara penumpang lainnya sudah masuk ke dalam gedung terminal sejak tadi. Untunglah, tak lama kemudian seorang petugas keamanan berbaik hati membukakan pintu untuk saya sambil berkata, “Maaf Mas. Saya kira sudah tidak ada penumpang lagi, makanya pintu saya kunci.” Saya pun tersenyum sambil melangkah masuk ke dalam terminal kedatangan yang tak seberapa luas. Baru kali ini saya merasakan terkunci di luar terminal bandara. Rupanya, inilah “kejutan” Selamat Datang ala Lembata bagi saya. Hmmm, sebuah kejutan yang unik.

Bandara Wunopito dengan panorama yang menawan

Lovely Airport
Bandara Wunopito yang merupakan salah satu gerbang masuk Pulau Lembata hanyalah bandara perintis tapi panorama di sekitar bandara juara. Lokasi bandara berada persis di pinggir pantai berpasir putih dengan laut biru bening. Di kejauhan nampak Gunung Ile Boleng yang berdiri gagah di Pulau Adonara.  Dengan landas pacu hanya sepanjang 1.200 meter, bandara ini hanya bisa didarati pesawat jenis Cassa, Cessna, maupun Fokker. Gedung terminalnya sangat mungil, tanpa ada troli maupun conveyor belt. Setiap harinya hanya ada satu pesawat jenis Fokker 50 yang mendarat maupun terbang dari Bandara Wunopito. Tak heran kalau setelah semua penumpang masuk/keluar dari gedung terminal, petugas bandara segera mengunci semua pintu terminal. Kalau ada penumpang yang melipir  seperti saya pasti akan terkunci di luar gedung terminal. Jangan harap ada taksi ataupun bus untuk mencapai pusat kota. Satu-satunya alat transportasi yang ada hanya ojek. Untung pusat kotanya hanya berjarak 3 km dari bandara. Jadi, naik ojek pun nyaman-nyaman saja, seperti yang saya lakukan pagi itu untuk mencapai hotel yang berada tak jauh dari Pelabuhan Lewoleba.

Lembata at a Glance
Kalau Anda belum pernah mendengar nama Pulau Lembata, saya maklum tapi sedih juga. Soalnya pulau ini cukup mungil dan letaknya jauh di belantara Nusa Tenggara Timur, tepatnya  di sebelah timur Pulau Adonara dan di sebelah barat Pulau Pantar. Pada zaman penjajahan Belanda pulau ini dikenal dengan nama Pulau Lomblen. Namun, sejak tanggal 1 Juli 1967 namanya diubah menjadi Lembata. Dulunya Lembata hanyalah sebuah kecamatan dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di Larantuka. Namun, sejak tanggal 7 Maret 1999 Lembata menjadi sebuah kabupaten baru dengan Lewoleba sebagai ibu kotanya. Meski krang terdengar gaungnya di Indonesia, Lembata sangat terkenal ke berbagai penjuru dunia berkat tradisi berburu paus yang dilakukan Warga Desa Lamalera secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu dan masih berlanjut hingga kini. Selain itu, Lembata juga menyimpan berbagai pesona alam yang menarik, mulai dari gunung berapi yang masih aktif, padang savana yang luas, pantai berpasir putih nan perawan hingga alam bawah laut yang menakjubkan. 

Gunung Ile Ape dilihat dari Pantai Wunopito, Lewoleba

Lovely Mountain
Seperti pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Lembata juga mempunyai sebuah gunung berapi yang masih aktif hingga kini, yaitu Gunung Ile Ape. Gunung setinggi 1.450 meter di atas permukaan laut ini terlihat jelas dari berbagai sudut Kota Lewoleba,  membuat saya penasaran untuk mendekatinya. Bukan, bukan untuk mendakinya tapi sekedar melihatnya dari dekat. Sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk mendaki Gunung Ile Ape. Kata teman-teman yang pernah mendaki Gunung Ile Ape, hanya butuh waktu 3 - 4 jam untuk mencapai puncak gunung ini dari desa terdekat. Sejauh ini, ada dua jalur untuk memulai pendakian ke gunung yang juga disebut Lewotolok oleh Warga Lembata ini, yaitu via Desa Jontona di Kecamatan Ile Ape Timur atau via Desa Lewotolok di Kecamatan Ile Ape. Keduanya menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Namun, karena keterbatasan waktu dan tidak ada persiapan pendakian, saya memutuskan untuk tidak mendaki Gunung Ile Ape dalam kunjungan ke Lembata kali ini. Saya hanya mengelilingi gunung ini dan memandanginya dari dekat.  

Rumah-rumah penduduk bertengger di tebing dekat laut di Kawasan Ile Ape

Gunung Ile Ape berada di bagian semenanjung Pulau Lembata yang biasa disebut “Kepala Burung” oleh Warga Lembata. Semenanjung ini terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Ile Ape dan Kecamatan Ile Ape Timur. Semenanjung yang berada di bagian barat laut Pulau Lembata ini sangat menarik karena dikelilingi Teluk Waienga di sebelah timur, Laut Flores di sebelah utara, dan Teluk Lewoleba di sebelah barat. Saya dan teman mengelilingi Semenanjung Kepala Burung berlawanan arah jarum jam, yaitu dari sisi selatan, timur, utara dan barat. Banyak hal menarik yang kami temui saat mengelilingi semenanjung ini. Mulai dari pantai berpasir hitam, pantai berbatu-batu, sumber belerang yang telah mengering, kampung adat dengan rumah-rumah unik, hingga perkampungan penduduk yang bertengger di tebing curam, di pinggir laut. Sepanjang perjalanan tersebut, Gunung Ile Ape berdiri gagah di dekat saya dan puncaknya pun terlihat dengan jelas. Kadang di depan, kadang di sebelah kiri, kadang di sebelah kanan. Dari berbagai sudut, gunung ini terlihat menarik dan sayang untuk tidak dipotret. Tak terhitung berapa kali saya meminta teman saya untuk menghentikan kendaraannya agar saya bisa memotret. Untunglah dia sabar menuruti keinginan saya. Ada satu fakta menarik tentang Kawasan Ile Ape, yaitu  seluruh sumber air di  kawasan ini mengandung belerang karena letaknya berada di dekat gunung api yang masih aktif. Alhasil, warga pun harus membeli air minum untuk keperluan memasak sehari-hari.

Lovely Hills
Kontur Pulau Lembata sebagian besar berbukit-bukit. Menariknya lagi bukit-bukit tersebut ditumbuhi rerumputan dan semak-semak membentuk savana yang luas. Ada dua bukit yang harus kita datangi saat mengunjungi Lembata, yakni Bukit Wolor Pass dan Bukit Doa Watomiten. Kedua bukit tersebut letaknya berdekatan, tepatnya berada di Desa Bour, Kecamatan Nagawutung. Di hari kedua kunjungan saya di Lembata, saya dan teman menyambangi kedua bukit tersebut.

Bukit, savana, dan laut biru dilihat dari Bukit Wolor Pass

Bukit pertama yang kami jumpai dalam perjalanan dari Kota Lewoleba adalah Bukit Wolor Pass. Bukit yang berjarak sekitar 15 km dari Lewoleba ini berada persis di pinggir jalan raya yang menuju Kecamatan Nagawutung. Jadi, kita tak akan kesulitan menemukannya walaupun tak ada satu pun rambu-rambu atau petunjuk arah yang menunjukkan jalan ke Bukit Wolor Pass. Di bukit ini sudah dibuat semacam pelataran untuk memudahkan pengunjung melihat pemandangan sekitar. Ada juga beberapa lopo-lopo (gazebo) yang bisa kita manfaatkan untuk berlindung dari teriknya matahari Lembata. Pemandangan dari bukit ini tak perlu ditanyakan lagi. Mulai dari bukit-bukit yang tinggi menjulang, savana luas membentang, pantai berpasir putih dengan laut biru jernih, hingga Gunung Ile Boleng yang tinggi menjulang di Pulau Adonara. Saya sampai tak bisa berkata-kata dibombardir panorama menakjubkan di sekeliling saya. Yang bisa saya lakukan hanya bersyukur dan mengabadikan panorama menawan tersebut dengan kamera kesayangan saya.

 
Patung Bunda Maria Segala Bangsa di puncak Bukit Doa Watomiten

Sekitar 4 km di sebelah barat Bukit Wolor Pass terdapat Bukit Doa Watomiten. Namun, tidak seperti Bukit Wolor Pass, untuk mencapai puncak bukit ini kita butuh perjuangan. Kita harus berjalan mendaki sekitar 1 km karena jalan menuju puncak bukit masih berupa jalan tanah berbatu yang tak memungkinkan kendaraan melewatinya. Bukit Doa Watomiten merupakan kawasan wisata rohani dan tempat ziarah bagi umat Kristiani. Di kawasan bukit ini telah dibangun 14 pos (stasi) lengkap dengan patung-patung untuk prosesi Jalan Salib. Pos-pos tersebut melambangkan kesengsaraan Yesus mulai dari penangkapan, penyiksaan, penyaliban sampai pemakaman. Di puncak bukit terdapat Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi tujuh meter. Pada saat kedatangan saya, Kawasan Bukit Doa Watomiten belum sepenuhnya jadi. Nantinya akan dibangun seribu patung yang juga mencerminkan wisata rohani di dasar laut tak jauh dari bukit tersebut. Pembangunan seribu patung tersebut sudah dimulai dari sekarang dan diharapkan selesai pada tahun 2019.

Pantai Waijarang saat sedang surut
 
Lovely Beaches
Lembata merupakan sebuah pulau kecil sehingga kita bisa menemukan pantai di mana-mana. Menariknya lagi, selain cantik pantai-pantai di Lembata juga masih perawan, belum “dirusak” oleh berbagai bangunan komersial seperti hotel, kafe maupun restoran. Pantai pertama di Lembata (selain pantai di dalam kota) yang saya dan teman kunjungi adalah Pantai Waijarang. Pantai ini terletak di Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan dan berjarak sekitar 14 km dari Lewoleba. Pantai Waijarang berpasir putih dengan air laut biru jernih. Garis pantainya cukup panjang dan kontur pantainya landai sehingga aman untuk berenang ataupun bermain air. Dari pantai ini, Gunung Ile Boleng yang berada di Pulau Adonara terlihat dengan jelas. Pantai Waijarang juga sudah dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti : lopo-lopo, toilet dan tempat parkir yang cukup luas. Tak heran kalau pantai ini selalu ramai dikunjungi Warga Lewoleba di akhir pekan dan hari-hari libur.

Pantai Mingar yang cantik dan masih alami

Dari Pantai Waijarang kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Mingar. Pantai ini berada di ujung barat daya Pulau Lembata, tepatnya di Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung. Jaraknya sekitar 35 km dari Lewoleba. Perjalanan ke Pantai Mingar sangat menantang karena jalan menuju pantai ini sebagian besar rusak parah. Di beberapa tempat  aspal jalan sudah hilang sama sekali tinggal menyisakan jalan tanah berbatu-batu besar. Parahnya lagi, kami juga harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Untungnya Lembata sedang memasuki musim kemarau sehingga debit air di sungai cukup kecil. Namun, segala perjuangan kami untuk mencapai Pantai Mingar terbayar lunas begitu kami tiba di sana. Pantai berpasir putih bersih dengan air laut biru muda menyambut kedatangan kami. Garis pantainya sangat panjang dan hamparan pasir putihnya sangat luas. Di ujung barat nampak Tanjung Naga dan Pulau Suwanggi yang mungil di seberangnya. Yang perlu diperhatikan, ombak di Pantai Mingar cukup besar karena pantai ini menghadap ke Laut Sawu. Pada musim-musim tertentu, ombak di pantai ini sangat besar sehingga cocok untuk olahraga selancar (surfing). Saat itulah, turis-turis dari berbagai negara mendatangi Pantai Mingar untuk berselancar di sana.  

Sunset menakjubkan di Pelabuhan Lewoleba


Lovely Sunset
Salah satu kegiatan yang tak pernah saya lewatkan jika sedang berada di pulau kecil yang dikelilingi banyak pantai adalah melihat panorama matahari terbenam (sunset). Asyiknya, ada banyak tempat menarik untuk melihat detik-detik tenggelamnya sang surya di Lembata. Salah satunya adalah di Pelabuhan Lewoleba. Di kompleks pelabuhan ini, tepatnya di bagian timur telah dibangun beberapa lopo-lopo dan dermaga yang menjorok ke tengah laut. Tempat ini biasanya dipadati warga setempat di sore hari menjelang matahari terbenam, tak terkecuali sore itu. Ada yang berenang, ada yang duduk-duduk di dermaga, dan ada pula yang membawa kamera dan tripod untuk mengabadikan sunset seperti saya. Matahari terbenam di Pelabuhan Lewoleba memang menakjubkan karena kita tidak hanya melihat matahari dan laut. Dari tempat ini, kita akan melihat bulatan bola matahari berwarna jingga perlahan-lahan tenggelam ke cakrawala memendarkan warna kuning keemasan di lautan. Panorama ini dipercantik dengan kehadiran Gunung Ile Boleng yang berdiri menjulang, kapal yang berjajar di dermaga dan aktivitas warga setempat. Saya pun tak henti-hentinya menekan tombol rana kamera untuk mengabadikan panorama menawan tersebut.



How to Get There
Untuk mencapai Pulau Lembata Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Kemudian lanjut naik pesawat menuju Lewoleba. Bila Anda punya banyak waktu longgar, Anda juga bisa naik kapal fery dari Kupang menuju Larantuka  yang memakan waktu sekitar 15 jam. Dari Larantuka, Anda bisa naik kapal cepat (dua jam) atau fery (4 jam) menuju Lewoleba. Sayangnya ferry ini hanya berangkat seminggu 3 kali dari Kupang, yaitu Hari Selasa, Kamis dan Minggu.(Edyra)***

Where to Stay
Hotel Rejeki
Jl. Trans Lembata, Lewoleba
Telp. : (0383) 41028
Tarif : Mulai Rp 100.000,00

Hotel Olympic
Jl. Trans Lembata, Lewoleba
Tarif : Mulai Rp 250.000,00

New An Nisa Beach Hotel & Restaurant (satu-satunya hotel di pinggir pantai di Lewoleba)
Jl. SGB Bungsu, Lewoleba
Telp : (0383) 41052
Tarif : Mulai Rp 100.000,00


No comments:

Post a Comment