Menikmati keindahan sunrise di Puncak 29 |
Pegunungan Muria di Jawa Tengah bagian utara
terdiri dari banyak gunung. Pegunungan ini membentang dari selatan ke utara di
tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara. Mungkin selama ini
kebanyakan orang hanya mengenalnya sebagi Gunung Muria saja. Padahal sebenarnya
ada 12 gunung, yakni : Gunung Argo Jembangan,
Argo Piloso, Candi Angin Kidul, Candi Angin Lor, Gajahmungkur, Kelir, Palombo,
Ringgit, Saptorenggo, Sari, Termulus, dan Watupayon. Di antara 12 gunung
tersebut, yang tertinggi adalah Gunung Saptorenggo, dengan puncaknya yang
bernama Puncak 29, yang memiliki ketinggian 1.630 meter di atas permukaan laut
(dpl).
Gunung Saptorenggo terletak di bagian selatan
gugusan Pegunungan Muria. Secara administratif, gunung ini berada di dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus dan Jepara. Gunung yang di kalangan para
pendaki lebih populer dengan sebutan Puncak 29 ini menjadi gunung favorit para
pendaki di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura). Ada dua jalur pendakian menuju
Puncak 29, yaitu Jalur Rahtawu (Kabupaten Kudus) dan Jalur Tempur (Kabupaten
Jepara). Jalur terdekat dan termudah adalah melalui Dusun Sempliro, Desa
Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Saya dan teman (Doel) pun memilih
Jalur Rahtawu untuk mencapai Puncak 29.
Sebenarnya, saya dan teman sudah pernah mendaki
Gunung Saptorenggo hingga puncak sekitar delapan tahun yang lalu (tahun 2007),
dengan rute yang sama. Namun, karena saat pendakian pertama saya tidak membawa
kamera (hanya mengandalkan kamera ponsel), kami mengulangi lagi pendakian
tersebut pada tanggal 24 September 2015, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha,
10 Dzulhijjah 1436 H. Kami sengaja memilih tanggal tersebut karena Doel sedang
libur dan menurut perkiraan kami, bakalan tidak ada banyak pendaki yang akan
mendaki di hari kurban.
Ternyata perkiraan kami salah total. Begitu tiba di
Dusun Sempliro, yang merupakan desa terakhir sebelum mendaki Gunung Saptorenggo,
kami melihat banyak sepeda motor berjajar rapi di beberapa tempat parkir.
Artinya, hari itu ada banyak pendaki yang mendaki Gunung Saptorenggo seperti
kami. Pupus sudah harapan kami untuk bisa ‘menyepi’ di Puncak 29 seperti delapan
tahun yang lalu.
Kami tidak memarkir sepeda motor di tempat parkir
Dusun Sempliro seperti kebanyakan pendaki lainnya karena kami berniat membawa
sepeda motor sampai ke Sendang Bunton (Pos 4). Menurut informasi, sekarang
sepeda motor sudah bisa mencapai Sendang Bunton bahkan sampai Pos 5 tapi dengan
medan yang berat dan menantang. Kami yang suka tantangan ingin mencoba rute
tersebut meski penduduk setempat menyarankan untuk memarkir sepeda motor di
Dusun Sempliro saja.
Mushola Sabilussa'adah di Desun Sempliro |
Sebelum memulai pendakian, kami menunaikan Sholat
Ashar dulu di Mushola Sabilussa’adah yang berada di dekat perempatan Dusun
Sempliro. Kemudian kami mampir ke sebuah warung makan dekat tempat parkir
terakhir Dusun Sempliro. Kami ingin membeli makanan ringan sambil mencari
informasi tentang Puncak 29. Ketika kami sedang makan di warung tersebut, ada
beberapa rombongan pendaki yang baru datang. Menurut informasi dari pemilik
warung, Puncak 29 sekarang sudah ramai. Setiap hari ada banyak orang yang
mendaki, lebih-lebih di akhir pekan dan hari libur,Puncak 29 akan dipenuhi tenda-tenda
para pendaki. Keadaan ini sangat berbeda dengan delapan tahun yang lalu, ketika
kami mendaki Gunung Saptorenggo untuk yang pertama kalinya. Saat itu, suasana
di Puncak 29 sangat sepi dan masih bersih (tidak banyak sampah). Tak ada
pendaki lain selain kami bertiga, sehingga kami benar-benar bisa menikmati
alam. Makanyan, saya jadi sedikit shock
mendengar informasi ramainya pendaki di Puncak 29 sekarang. Saya membayangkan
kondisi seperti di Gunung Prahu, Dieng yang penuh sesak dengan tenda pendaki di
akhir pekan sampai-sampai tak ada sejengkal pun tanah kosong saking penuhnya
pendaki. Saya yang tidak suka keramaian, tentu tidak suka dengan kondisi
seperti itu.
Sekitar jam 16.00, kami memulai pendakian, lebih
tepatnya perjalanan mendaki dengan sepeda motor. Awalnya jalan cukup lebar dan
mendatar. Namun, itu tak lama. Semakin menjauh dari Dusun Sempliro, jalan makin
sempit menjadi jalan setapak yang berkelok-kelok di antara ladang-ladang
penduduk. Kadang jalan berada di bibir jurang terjal dan melewati beberapa
sungai kecil dengan jembatan kayu.
Sialnya, setelah melewati Pos 2, kami salah jalan
gara-gara Doel terlalu PD. Ketika melihat pertigaan, dia memilih belok kanan,
dengan jalan yang lebih sempit dan menanjak terjal. Karena saat itu sedang
musim kemarau, jalanan tanah tersebut menjadi sangat berdebu dengan
kerikil-kerikil kecil yang berhamburan di mana-mana. Agar lebih aman, saya pun
memilih untuk jalan kaki sementara Doel yang menaiki sepeda motornya. Pada saat
itulah, saya mendengar teriakan seorang petani yang memberitahukan bahwa kami
salah jalan sambil memberi isyarat tangan ke arah kiri. Karena Doel sudah jauh
melaju ke depan, saya pun mengejarnya dengan ngos-ngosan agar dia tidak semakin
jauh.
Setelah ketemu Doel, akhirnya kami kembali jalan
yang benar, ke arah kiri melewati jembatan kecil. Sebenarnya ada petunjuk arah
terbuat dari kertas di Pos 2. Namun, karena ukurannya kecil dan penuh coretan,
kami tidak melihatnya. Untungnya, ada seorang petani yang baik hati, memberi
tahu jalan yang benar menuju Puncak 29 kepada kami.
Perjalanan menuju Pos 3 sangat menantang. Jalannya
semakin sempit dengan jurang di kanan/kiri jalan dan tanjakannya juga semakin
terjal. Parahnya lagi di beberapa tempat, jalannya sangat berdebu dengan
batu-batu yang berserakan. Demi keamanan, beberapa kali saya turun dari
boncengan dan memilih untuk jalan kaki. Rute pendakian Gunung Saptorenggo
memang bukan ditujukan untuk kendaraan bermotor. Selama perjalanan, kami tak
pernah melihat/berpapasan dengan pendaki lain yang nekad membawa sepeda motor
selain penduduk setempat yang pergi ke ladang.
Pos 3 yang ditandai dengan adanya sebuah warung makan. |
Setalah berjibaku dengan medan off-road sekitar satu jam, akhirnya kami tiba di Pos 3 yang
ditandai dengan sebuah warung makan yang dimiliki oleh sepasang kakek nenek.
Kami mampir sebentar ke warung tersebut untuk bertanya kondisi jalan menuju
Puncak 29. Menurut kakek pemilik warung tersebut, sebaiknya motor kami
ditinggal di situ saja karena jalan selanjutnya lebih berat. Selain tanjakannya
lebih terjal, jalannya juga lebih berdebu dan banyak batu karena sudah lama
tidak tersiram air hujan. Kami pun menuruti saran kakek tersebut, dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Pos 4 yang dikenal dengan Sendang Bunton |
Sekitar 30 menit berjalan, kami tiba di Pos 4 yang terkenal dengan Sendang Bunton karena adanya
mata air/sendang yang bernama Bunton. Selain ada mata air, di Pos 4 juga ada warung
makan, musholla, dan dua toilet. Mata air tersebut dialirkan dalam bentuk
pancuran ke dua buah kamar mandi. Airnya sangat jernih dan sejuk. Saat
pendakian ke Puncak 29 yang pertama, tak ada bangunan apa pun di Pos 4 ini.
Mata air dari Sendang Bunton masih dibiarkan alami, tanpa ada pancuran ataupun
kamar mandi.
Sunset menawan di Puncak Gunung Abiyoso |
Lima menit berjalan dari Pos 4, kami menjumpai
sebuah pertigaan yang ternyata pertemuan Jalur Rahtawu dan Jalur Tempur.
Setelah pertemuan jalur pendakian ini, jalan berubah jadi mendatar dan rata,
tak banyak batu/kerikil. Mengendarai sepeda motor pun lebih memungkinkan di
jalur ini. Di beberapa tempat, tetap ada tanjakan dan tikungan yang cukup
terjal. Namun, perjalanan dari Pos 4 tetap lebih ringan dibandingkan perjalanan
dari pos-pos sebelumnya. Apalagi kami diberi hadiah panorama matahari terbenam (sunset) yang menawan di balik Gunung Abiyoso.
Jadi, bisa mengobati rasa capek dan lelah kami. Sebenarnya kami berencana
melihat sunset dari Puncak 29. Namun,
karena kami memulai pendakian sudah kesorean dan irama jalan kami cukup lambat,
matahari sudah keburu terbenam saat kami masih di jalan.
Doel di pertemuan Jalur Rahtawu dan Jalur Tempur |
Tak lama setelah matahari terbenam, kami pun tiba
di Pos 5. Di pos yang diberi nama Pertapaan Eyang Pandu Dewanata ini terdapat dua warung makan
dan beberapa bangunan yang sepertinya tempat menginap bagi para pendaki. Pos 5
merupakan pos terakhir sebelum Puncak 29 dan merupakan titik terakhir yang bisa
dicapai dengan sepeda motor. Ojek dari Dusun Sempliro yang biayanya Rp
70.000,00 juga hanya sampai titik ini. Setelah Pos 5, jalan menanjak sangat
terjal mirip tangga sehingga tidak mungkin dilewati kendaraan apa pun. Bahkan, semakin
mendekati Puncak 29, jalan sangat terjal dengan sudut kemiringan lebih dari 45
derajat dan banyak terdapat batu-batu besar. Beberapa kali kami berhenti untuk
sekedar menarik nafas atau memberi jalan bagi pendaki yang akan turun ataupun
yang ingin mendahului kami. Saat kami melewati jalur ini, hari sudah senja dan
kami tidak membawa senter. Untungnya masih ada remang sinar rembulan yang
menemani perjalanan kami melewati jalur terberat pendakian ke Puncak 29 yang
jaraknya mungkin hanya sekitar 500 meter.
Pos 5, Pertapaan Eyang Pandu Dewanata |
Jalur menanjak terjal setelah Pos 5, menjelang Puncak 29 |
Tepat pukul 18.45, kami tiba di Puncak 29. Rasanya
senang sekali, walau perjalanan kami dari Pos 3 sampai Puncak 29 sangat lama,
sekitar 1 jam 45 menit (umumnya orang menempuhnya dalam 1 jam). Nampak beberapa orang duduk-duduk di dekat Gerbang
Puncak 29, tak jauh dari “situs utama” Pucak 29. Di situs utama ini terdapat
sebuah pelinggih (semacam pura kecil)
dan pohon yang dikelilingi pagar tembok setinggi 80 cm. Tempat ini biasanya
dimanfaatkan orang-orang menjalankan ritual tertentu, dengan memberi sesajen
dan membakar dupa. Saat itu pun tercium aroma dupa yang menyengat, yang
menambah kesan mistis tempat tersebut. Ada juga beberapa orang yang sedang
ngopi di warung makan tak jauh dari tempat tersebut. Gunung Saptorenggo memang
unik. Sepertinya, gunung ini merupakan satu-satunya gunung di Indonesia bahkan
di dunia yang di puncaknya terdapat warung makan.
Gapura di Puncak 29 yang siap menyambut kedatangan para pendaki |
Kami segera berjalan ke arah utara, menuju titik
tertinggi Puncak 29. Kami menyebut tempat ini sebagai sunrise point, karena dari sini kita bisa melihat panorama matahari
terbit (sunrise) dan tenggelam (sunset). Di tempat yang penuh batu-batu
besar ini terdapat sebuah pelataran kecil lengkap dengan pelinggihnya dan
sebuah rumah/gubug kecil (lagi-lagi untuk melakukan ritual tertentu yang
menjurus ke syirik). Di dekatnya terdapat sebuah menara pemancar dan rumah
berdinding dan beratap seng. Di tempat inilah, satu-satunya tempat yang bisa
menangkap sinyal GSM. Kami duduk-duduk sejenak sambil on line di tempat ini sebelum tidur di bangunan mirip barak yang
berada tepat di samping situs utama Puncak 29.
"Situs Utama" di Puncak 29 |
Ada dua bangunan semi permanen mirip barak di
Puncak 29. Lokasinya berada di samping kanan dan kiri “situs utama” Puncak 29.
Bagi pendaki yang berniat menginap dan tidak membawa tenda bisa tidur di barak tersebut dengan gratis.
Syaratnya, siapa cepat dia dapat. Dulu barak-barak tersebut kosong melompong,
hanya saya dan dua teman yang menempatinya. Kini, hampir tiap malam barak
tersebut ramai pendaki. Malam itu, saya dan Doel tidur bersama belasan orang di
barak yang terletak di sebelah utara situs utama Puncak 29. Telat sedikit, kami
pasti tidak kebagian tempat di barak tersebut.
Tenda pendaki di Puncak 29 |
Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali
sebelum fajar menyingsing. Udara yang sangat dingin menusuk tulang dan angin
yang bertiup cukup kencang, membuat saya tidak bisa tidur semalaman meski saya
sudah memakai sleeping bag. Walaupun
begitu, ada juga pendaki lain yang nyenyak sekali tidurnya sampai mengorok
keras.
Suasana di Sunrise Point Puncak 29 yang penuh sesak di pagi hari menjelang sunrise. |
Tepat pukul 05.15 kami keluar barak menuju titik
tertinggi Puncak 29 (sunrise point) di
sebelah utara. Tujuan kami adalah menyaksikan matahari terbit. Betapa kagetnya
saya ketika berjalan menuju sunrise point.
Sepanjang jalan, kami melihat banyak sekali tenda-tenda para pendaki. Ada juga pendaki
yang tidur di tempat terbuka (tanpa tenda) beratapkan langit karena mereka
tidak membawa tenda dan sudah tidak kebagian tempat di barak. Saya lebih kaget
lagi ketika tiba di sunrise point.
Pagi itu, tempat tersebut benar-benar penuh dengan pendaki terutama dari
kalangan remaja (dewasa muda). Ada yang asyik sibuk memotret sunrise, ada yang asyik ber-selfie, ada juga sekelompok orang yang
sedang melakukan ritual dengan cueknya meski suasana tempat tersebut sedang
riuh rendah. Karena tujuan utama saya memotret sunrise, saya pun segera mengeluarkan kamera dan mengabadikan
panorama menakjubkan dari atas Puncak 29. Kami beruntung pagi itu. Langit di
ufuk timur bersih tanpa awan, sehingga bulatan sang surya yang berwarna kuning
keemasan muncul dengan indah dari balik puncak-puncak gunung. Semua mata
tertuju padanya dan berlomba untuk mengabadikannya.
Sunrise cantik dari Puncak 29 |
Selain matahari terbit, ada pemandangan menarik
lain yang bisa kami lihat dari sunrise
point Puncak 29. Tak lain adalah pemandangan puncak-puncak gunung yang ada
di sekitar Gunung Saptorenggo. Mulai dari Gunung Argo Jembangan, Argo Piloso,
Abiyoso, dan masih banyak lagi. Dusun Duplak, Desa Tempur yang tersembunyi di
dasar lembah dan dikelilingi gunung-gunung juga terlihat nun jauh di sebelah
barat. Saya benar-benar penasaran dengan desa mungil tersebut. Letaknya
benar-benar terpencil dan dikepung gunung-gunung di sekelilingnya.
Sekelompok orang sedang menjalankan ritual di Puncak 29 |
Keindahan matahari terbit dan gunung-gunung yang
menjulang di sekitar Puncak 29, menjadi penutup kunjungan kami di Gunung
Saptorenggo. Usai mengisi perut dengan roti dan sereal, kami melangkah turun,
meninggalkan Puncak 29. Sudah dua kali kami mendaki Gunung Saptorenggo dan kami
tak pernah bosan karena setiap pendakian memberi pengalaman yang berbeda.
Semoga suatu hari nanti kami bisa mendaki Gunung Saptorenggo lagi. (Edyra)***