Wednesday, 30 September 2015

MENGGAPAI PUNCAK 29

Menikmati keindahan sunrise di Puncak 29





Pegunungan Muria di Jawa Tengah bagian utara terdiri dari banyak gunung. Pegunungan ini membentang dari selatan ke utara di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara. Mungkin selama ini kebanyakan orang hanya mengenalnya sebagi Gunung Muria saja. Padahal sebenarnya ada 12 gunung, yakni : Gunung Argo Jembangan, Argo Piloso, Candi Angin Kidul, Candi Angin Lor, Gajahmungkur, Kelir, Palombo, Ringgit, Saptorenggo, Sari, Termulus, dan Watupayon. Di antara 12 gunung tersebut, yang tertinggi adalah Gunung Saptorenggo, dengan puncaknya yang bernama Puncak 29, yang memiliki ketinggian 1.630 meter di atas permukaan laut (dpl).

Gunung Saptorenggo terletak di bagian selatan gugusan Pegunungan Muria. Secara administratif, gunung ini berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus dan Jepara. Gunung yang di kalangan para pendaki lebih populer dengan sebutan Puncak 29 ini menjadi gunung favorit para pendaki di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura). Ada dua jalur pendakian menuju Puncak 29, yaitu Jalur Rahtawu (Kabupaten Kudus) dan Jalur Tempur (Kabupaten Jepara). Jalur terdekat dan termudah adalah melalui Dusun Sempliro, Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Saya dan teman (Doel) pun memilih Jalur Rahtawu untuk mencapai Puncak 29.

Sebenarnya, saya dan teman sudah pernah mendaki Gunung Saptorenggo hingga puncak sekitar delapan tahun yang lalu (tahun 2007), dengan rute yang sama. Namun, karena saat pendakian pertama saya tidak membawa kamera (hanya mengandalkan kamera ponsel), kami mengulangi lagi pendakian tersebut pada tanggal 24 September 2015, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1436 H. Kami sengaja memilih tanggal tersebut karena Doel sedang libur dan menurut perkiraan kami, bakalan tidak ada banyak pendaki yang akan mendaki di hari kurban.

Ternyata perkiraan kami salah total. Begitu tiba di Dusun Sempliro, yang merupakan desa terakhir sebelum mendaki Gunung Saptorenggo, kami melihat banyak sepeda motor berjajar rapi di beberapa tempat parkir. Artinya, hari itu ada banyak pendaki yang mendaki Gunung Saptorenggo seperti kami. Pupus sudah harapan kami untuk bisa ‘menyepi’ di Puncak 29 seperti delapan tahun yang lalu.

Kami tidak memarkir sepeda motor di tempat parkir Dusun Sempliro seperti kebanyakan pendaki lainnya karena kami berniat membawa sepeda motor sampai ke Sendang Bunton (Pos 4). Menurut informasi, sekarang sepeda motor sudah bisa mencapai Sendang Bunton bahkan sampai Pos 5 tapi dengan medan yang berat dan menantang. Kami yang suka tantangan ingin mencoba rute tersebut meski penduduk setempat menyarankan untuk memarkir sepeda motor di Dusun Sempliro saja.

Mushola Sabilussa'adah di Desun Sempliro
 
Sebelum memulai pendakian, kami menunaikan Sholat Ashar dulu di Mushola Sabilussa’adah yang berada di dekat perempatan Dusun Sempliro. Kemudian kami mampir ke sebuah warung makan dekat tempat parkir terakhir Dusun Sempliro. Kami ingin membeli makanan ringan sambil mencari informasi tentang Puncak 29. Ketika kami sedang makan di warung tersebut, ada beberapa rombongan pendaki yang baru datang. Menurut informasi dari pemilik warung, Puncak 29 sekarang sudah ramai. Setiap hari ada banyak orang yang mendaki, lebih-lebih di akhir pekan dan hari libur,Puncak 29 akan dipenuhi tenda-tenda para pendaki. Keadaan ini sangat berbeda dengan delapan tahun yang lalu, ketika kami mendaki Gunung Saptorenggo untuk yang pertama kalinya. Saat itu, suasana di Puncak 29 sangat sepi dan masih bersih (tidak banyak sampah). Tak ada pendaki lain selain kami bertiga, sehingga kami benar-benar bisa menikmati alam. Makanyan, saya jadi sedikit shock mendengar informasi ramainya pendaki di Puncak 29 sekarang. Saya membayangkan kondisi seperti di Gunung Prahu, Dieng yang penuh sesak dengan tenda pendaki di akhir pekan sampai-sampai tak ada sejengkal pun tanah kosong saking penuhnya pendaki. Saya yang tidak suka keramaian, tentu tidak suka dengan kondisi seperti itu.

Sekitar jam 16.00, kami memulai pendakian, lebih tepatnya perjalanan mendaki dengan sepeda motor. Awalnya jalan cukup lebar dan mendatar. Namun, itu tak lama. Semakin menjauh dari Dusun Sempliro, jalan makin sempit menjadi jalan setapak yang berkelok-kelok di antara ladang-ladang penduduk. Kadang jalan berada di bibir jurang terjal dan melewati beberapa sungai kecil dengan jembatan kayu.

Sialnya, setelah melewati Pos 2, kami salah jalan gara-gara Doel terlalu PD. Ketika melihat pertigaan, dia memilih belok kanan, dengan jalan yang lebih sempit dan menanjak terjal. Karena saat itu sedang musim kemarau, jalanan tanah tersebut menjadi sangat berdebu dengan kerikil-kerikil kecil yang berhamburan di mana-mana. Agar lebih aman, saya pun memilih untuk jalan kaki sementara Doel yang menaiki sepeda motornya. Pada saat itulah, saya mendengar teriakan seorang petani yang memberitahukan bahwa kami salah jalan sambil memberi isyarat tangan ke arah kiri. Karena Doel sudah jauh melaju ke depan, saya pun mengejarnya dengan ngos-ngosan agar dia tidak semakin jauh.

Setelah ketemu Doel, akhirnya kami kembali jalan yang benar, ke arah kiri melewati jembatan kecil. Sebenarnya ada petunjuk arah terbuat dari kertas di Pos 2. Namun, karena ukurannya kecil dan penuh coretan, kami tidak melihatnya. Untungnya, ada seorang petani yang baik hati, memberi tahu jalan yang benar menuju Puncak 29 kepada kami.

Perjalanan menuju Pos 3 sangat menantang. Jalannya semakin sempit dengan jurang di kanan/kiri jalan dan tanjakannya juga semakin terjal. Parahnya lagi di beberapa tempat, jalannya sangat berdebu dengan batu-batu yang berserakan. Demi keamanan, beberapa kali saya turun dari boncengan dan memilih untuk jalan kaki. Rute pendakian Gunung Saptorenggo memang bukan ditujukan untuk kendaraan bermotor. Selama perjalanan, kami tak pernah melihat/berpapasan dengan pendaki lain yang nekad membawa sepeda motor selain penduduk setempat yang pergi ke ladang.

Pos 3 yang ditandai dengan adanya sebuah warung makan.
 
Setalah berjibaku dengan medan off-road sekitar satu jam, akhirnya kami tiba di Pos 3 yang ditandai dengan sebuah warung makan yang dimiliki oleh sepasang kakek nenek. Kami mampir sebentar ke warung tersebut untuk bertanya kondisi jalan menuju Puncak 29. Menurut kakek pemilik warung tersebut, sebaiknya motor kami ditinggal di situ saja karena jalan selanjutnya lebih berat. Selain tanjakannya lebih terjal, jalannya juga lebih berdebu dan banyak batu karena sudah lama tidak tersiram air hujan. Kami pun menuruti saran kakek tersebut, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Pos 4 yang dikenal dengan Sendang Bunton
 
Sekitar 30 menit berjalan, kami tiba di Pos 4  yang  terkenal dengan Sendang Bunton karena adanya mata air/sendang yang bernama Bunton. Selain ada mata air, di Pos 4 juga ada warung makan, musholla, dan dua toilet. Mata air tersebut dialirkan dalam bentuk pancuran ke dua buah kamar mandi. Airnya sangat jernih dan sejuk. Saat pendakian ke Puncak 29 yang pertama, tak ada bangunan apa pun di Pos 4 ini. Mata air dari Sendang Bunton masih dibiarkan alami, tanpa ada pancuran ataupun kamar mandi.  

Sunset menawan di Puncak Gunung Abiyoso

Lima menit berjalan dari Pos 4, kami menjumpai sebuah pertigaan yang ternyata pertemuan Jalur Rahtawu dan Jalur Tempur. Setelah pertemuan jalur pendakian ini, jalan berubah jadi mendatar dan rata, tak banyak batu/kerikil. Mengendarai sepeda motor pun lebih memungkinkan di jalur ini. Di beberapa tempat, tetap ada tanjakan dan tikungan yang cukup terjal. Namun, perjalanan dari Pos 4 tetap lebih ringan dibandingkan perjalanan dari pos-pos sebelumnya. Apalagi kami diberi hadiah panorama matahari terbenam (sunset) yang menawan di balik Gunung Abiyoso. Jadi, bisa mengobati rasa capek dan lelah kami. Sebenarnya kami berencana melihat sunset dari Puncak 29. Namun, karena kami memulai pendakian sudah kesorean dan irama jalan kami cukup lambat, matahari sudah keburu terbenam saat kami masih di jalan.

Doel di pertemuan Jalur Rahtawu dan Jalur Tempur

Tak lama setelah matahari terbenam, kami pun tiba di Pos 5. Di pos yang diberi nama Pertapaan Eyang Pandu Dewanata ini terdapat dua warung makan dan beberapa bangunan yang sepertinya tempat menginap bagi para pendaki. Pos 5 merupakan pos terakhir sebelum Puncak 29 dan merupakan titik terakhir yang bisa dicapai dengan sepeda motor. Ojek dari Dusun Sempliro yang biayanya Rp 70.000,00 juga hanya sampai titik ini. Setelah Pos 5, jalan menanjak sangat terjal mirip tangga sehingga tidak mungkin dilewati kendaraan apa pun. Bahkan, semakin mendekati Puncak 29, jalan sangat terjal dengan sudut kemiringan lebih dari 45 derajat dan banyak terdapat batu-batu besar. Beberapa kali kami berhenti untuk sekedar menarik nafas atau memberi jalan bagi pendaki yang akan turun ataupun yang ingin mendahului kami. Saat kami melewati jalur ini, hari sudah senja dan kami tidak membawa senter. Untungnya masih ada remang sinar rembulan yang menemani perjalanan kami melewati jalur terberat pendakian ke Puncak 29 yang jaraknya mungkin hanya sekitar 500 meter.

Pos 5, Pertapaan Eyang Pandu Dewanata
Jalur menanjak terjal setelah Pos 5, menjelang Puncak 29
 
Tepat pukul 18.45, kami tiba di Puncak 29. Rasanya senang sekali, walau perjalanan kami dari Pos 3 sampai Puncak 29 sangat lama, sekitar 1 jam 45 menit (umumnya orang menempuhnya dalam 1 jam).  Nampak beberapa orang duduk-duduk di dekat Gerbang Puncak 29, tak jauh dari “situs utama” Pucak 29. Di situs utama ini terdapat sebuah pelinggih (semacam pura kecil) dan pohon yang dikelilingi pagar tembok setinggi 80 cm. Tempat ini biasanya dimanfaatkan orang-orang menjalankan ritual tertentu, dengan memberi sesajen dan membakar dupa. Saat itu pun tercium aroma dupa yang menyengat, yang menambah kesan mistis tempat tersebut. Ada juga beberapa orang yang sedang ngopi di warung makan tak jauh dari tempat tersebut. Gunung Saptorenggo memang unik. Sepertinya, gunung ini merupakan satu-satunya gunung di Indonesia bahkan di dunia yang di puncaknya terdapat warung makan. 

Gapura di Puncak 29 yang siap menyambut kedatangan para pendaki

Kami segera berjalan ke arah utara, menuju titik tertinggi Puncak 29. Kami menyebut tempat ini sebagai sunrise point, karena dari sini kita bisa melihat panorama matahari terbit (sunrise) dan tenggelam (sunset). Di tempat yang penuh batu-batu besar ini terdapat sebuah pelataran kecil lengkap dengan pelinggihnya dan sebuah rumah/gubug kecil (lagi-lagi untuk melakukan ritual tertentu yang menjurus ke syirik). Di dekatnya terdapat sebuah menara pemancar dan rumah berdinding dan beratap seng. Di tempat inilah, satu-satunya tempat yang bisa menangkap sinyal GSM. Kami duduk-duduk sejenak sambil on line di tempat ini sebelum tidur di bangunan mirip barak yang berada tepat di samping situs utama Puncak 29. 

"Situs Utama" di Puncak 29
 
Ada dua bangunan semi permanen mirip barak di Puncak 29. Lokasinya berada di samping kanan dan kiri “situs utama” Puncak 29. Bagi pendaki yang berniat menginap dan tidak membawa tenda bisa  tidur di barak tersebut dengan gratis. Syaratnya, siapa cepat dia dapat. Dulu barak-barak tersebut kosong melompong, hanya saya dan dua teman yang menempatinya. Kini, hampir tiap malam barak tersebut ramai pendaki. Malam itu, saya dan Doel tidur bersama belasan orang di barak yang terletak di sebelah utara situs utama Puncak 29. Telat sedikit, kami pasti tidak kebagian tempat di barak tersebut.


Tenda pendaki di Puncak 29


Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing. Udara yang sangat dingin menusuk tulang dan angin yang bertiup cukup kencang, membuat saya tidak bisa tidur semalaman meski saya sudah memakai sleeping bag. Walaupun begitu, ada juga pendaki lain yang nyenyak sekali tidurnya sampai mengorok keras. 

Suasana di Sunrise Point Puncak 29 yang penuh sesak di pagi hari menjelang sunrise.
  
Tepat pukul 05.15 kami keluar barak menuju titik tertinggi Puncak 29 (sunrise point) di sebelah utara. Tujuan kami adalah menyaksikan matahari terbit. Betapa kagetnya saya ketika berjalan menuju sunrise point. Sepanjang jalan, kami melihat banyak sekali tenda-tenda para pendaki. Ada juga pendaki yang tidur di tempat terbuka (tanpa tenda) beratapkan langit karena mereka tidak membawa tenda dan sudah tidak kebagian tempat di barak. Saya lebih kaget lagi ketika tiba di sunrise point. Pagi itu, tempat tersebut benar-benar penuh dengan pendaki terutama dari kalangan remaja (dewasa muda). Ada yang asyik sibuk memotret sunrise, ada yang asyik ber-selfie, ada juga sekelompok orang yang sedang melakukan ritual dengan cueknya meski suasana tempat tersebut sedang riuh rendah. Karena tujuan utama saya memotret sunrise, saya pun segera mengeluarkan kamera dan mengabadikan panorama menakjubkan dari atas Puncak 29. Kami beruntung pagi itu. Langit di ufuk timur bersih tanpa awan, sehingga bulatan sang surya yang berwarna kuning keemasan muncul dengan indah dari balik puncak-puncak gunung. Semua mata tertuju padanya dan berlomba untuk mengabadikannya. 

Sunrise cantik dari Puncak 29
 
Selain matahari terbit, ada pemandangan menarik lain yang bisa kami lihat dari sunrise point Puncak 29. Tak lain adalah pemandangan puncak-puncak gunung yang ada di sekitar Gunung Saptorenggo. Mulai dari Gunung Argo Jembangan, Argo Piloso, Abiyoso, dan masih banyak lagi. Dusun Duplak, Desa Tempur yang tersembunyi di dasar lembah dan dikelilingi gunung-gunung juga terlihat nun jauh di sebelah barat. Saya benar-benar penasaran dengan desa mungil tersebut. Letaknya benar-benar terpencil dan dikepung gunung-gunung di sekelilingnya.

Sekelompok orang sedang menjalankan ritual di Puncak 29
 

Keindahan matahari terbit dan gunung-gunung yang menjulang di sekitar Puncak 29, menjadi penutup kunjungan kami di Gunung Saptorenggo. Usai mengisi perut dengan roti dan sereal, kami melangkah turun, meninggalkan Puncak 29. Sudah dua kali kami mendaki Gunung Saptorenggo dan kami tak pernah bosan karena setiap pendakian memberi pengalaman yang berbeda. Semoga suatu hari nanti kami bisa mendaki Gunung Saptorenggo lagi. (Edyra)***



DARI BALIK JENDELA PESAWAT



Ketika bepergian naik pesawat, saya selalu memilih tempat duduk di samping jendela. Apalagi kalau penerbangannya pagi atau sore hari. Pasti saya bela-belain datang lebih awal saat check in, agar bisa memilih window seat. Selain lebih nyaman, window seat memungkinkan saya melihat pemandangan indah di bawah dan mengabadikannya dengan kamera kesayangan. Tentunya kamera kesayangan dengan baterai penuh tak pernah ketinggalan.

Sayangnya, kadang kenyataan tak seindah impian (walau jarang). Ada kalanya window seat yang saya inginkan tak bisa saya dapatkan. Entah karena sudah penuh atau harus membayar. Ketika naik maskapai berbiaya murah (budget airline), biasanya kita harus membayar jika minta window seat. Males banget kan harus keluar uang lagi untuk beli kursi? Mending uangnya buat beli yang lain (ogah rugi). Selain itu, ada juga penyerobot yang nggak tahu aturan. Mereka dengan santainya menduduki kursi saya tanpa merasa bersalah. Kalau ketemu orang model gini, biasanya akan saya “usir” dengan halus dengan cara menanyakan nomor kursinya, kemudian saya minta dengan sopan untuk pindah atau bergeser. Cara lainya, biasanya saya bilang akan memotret sambil menunjukkan kamera ke dia sehingga dia mau pindah tempat duduk. Sejauh ini, cara tersebut manjur dan untungnya saya belum pernah ketemu penumpang yang arogan. Namun, kalau saya lagi males (nggak mood) dan rute penerbangannya sudah pernah saya lewati beberapa kali, saya relakan saja penyerobot tersebut menduduki tempat duduk saya.

Karena seringnya terbang dan selalu membawa kamera, saya berhasil mendapatkan foto-foto dari udara sejumlah tempat eksotik dan menarik di Indonesia. Mulai dari pantai, selat, pulau-pulau kecil, puncak gunung, hingga danau kawah. Rute penerbangan favorit dan paling sering saya lewati adalah dari Surabaya ke Denpasar serta kota-kota lainnya di Nusa Tenggara dan sebaliknya. Rute ini sangat menarik karena kita melewati gugusan pulau-pulau kecil dengan berbagai keunikan dan keindahan alamnya. Kalau penerbangan ke luar negeri, saya belum berhasil mendapatkan foto-foto yang bagus karena seringnya saya terbang di malam hari. Yang paling menyenangkan, saya berhasil memotret Puncak Gunung Rinjani dan Danau Segara Anaknya di Pulau Lombok, yang terkenal ke berbagai penjuru dunia. Saya juga berhasil memotret Kawah Ijen yang cantik di Banyuwangi. Satu impian yang belum tercapai adalah memotret Danau Kelimutu di Ende, Flores karena saya belum pernah terbang melewati rute tersebut. Semoga suatu hari nanti saya bisa memotret danau warna-warni nan eksotis tersebut!

Berikut foto tempat-tempat eksotis di Indonesia, yang berhasil saya abadikan dari balik jendela pesawat. 


1. Kawah Ijen, Kabupaten Bondowoso - Banyuwangi, Jawa Timur


2. Gunung Raung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur


3. Selat Bali


4. Jalan Tol Bali Mandara


5. Pulau Serangan, Bali



6. Gunung Agung, Gunung Batur, dan Danau Batur, Bali


7. Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, Bali


8. Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan


9. Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak, Lombok


10. Kawah Gunung Tambora, Kabupaten Dompu dan Bima, NTB


11. Kawah Gunung Sirung, Pulau Pantar NTT