Friday, 29 December 2017
TRAVEL KALEIDOSKOP 2017
Januari : Pati dan Alor
Februari : Pati dan Jepara
Maret : Alor, Pantar, dan Pati
April : Pulau Tikus, Rote
Mei : Pulau Semau
Juni : Pati dan Pulau Bawean
Juli : Pati, Kudus, Demak, Semarang, dan Blora
Agustus : Temanggung
September : Jepara, Malaysia, dan Myanmar
Oktober : Lasem, Kudus dan Semarang
November : Malaysia dan Thailand
Desember : Pati, Kudus, dan Demak
TEMPLE HOPPING IN BAGAN, MYANMAR
Matahari bersinar cerah ketika saya mulai
mengendarai sepeda listrik (electric bike)
dari tempat penyewaan di Nyaung-U. Langit juga tampak biru tanpa awan, membuat
saya makin bersemangat untuk menjelajah Bagan, Kota Seribu Candi di bagian
utara Myanmar. Entah mengapa, kantuk saya mendadak hilang meski semalam tidak
bisa tidur nyenyak di atas bus. Yang ada di benak saya hanya perasaan gembira
karena akan melihat dengan mata kepala saya sendiri, ribuan Candi Buddha
berumur ratusan tahun yang tersebar di berbagai penjuru Kota Bagan.
Pagoda Shwezigon
Berbekal peta yang saya dapat dari Bandara Yangoon,
saya mengarahkan sepeda listrik menyusuri Bagan – Nyaung-U Road yang mulai ramai dengan aktivitas penduduk. Tujuan pertama
saya adalah Pagoda Shwezigon, karena lokasinya paling dekat dari Nyaung-U.
Selain itu, menurut berbagai sumber (internet, majalah, peta wisata) Pagoda Shwezigon
juga merupakan salah satu pagoda terindah di Bagan yang wajib dikunjungi.
Pagoda Shwezigon yang sangat menawan |
Saya disambut beberapa pedagang asongan ketika tiba
di gerbang Pagoda Shwezigon. Mereka meminta saya melepas sepatu dan kemudian
menyimpannya. Merasa ada yang janggal, saya meminta kembali sepatu tersebut dan
kemudian saya tenteng. Rupanya saya salah masuk gerbang. Seharusnya saya
berjalan lebih ke utara lagi agar bisa menemukan gerbang Pagoda Shwezigon yang
sebenarnya, yang bebas dari pedagang asongan. Di dekat gerbang tersebut juga
terdapat rak sepatu yang disediakan gratis untuk para turis. Saya pun
meletakkan sepatu saya di rak tersebut. Sebagai informasi, untuk memasuki candi/pagoda di Bagan, semua turis/pengunjung
harus melepas alas kaki dan kaos kaki. Jadi, sebaiknya Anda memakai
sepatu/sandal yang mudah dilepas dan tidak usah mengenakan kaos kaki agar tidak
kerepotan setiap akan memasuki candi.
Bangunan cantik di dekat Pagoda Shwezigon |
Ketika tiba di dalam Kompleks Pagoda Shwezigon, suasana
masih sepi. Turis yang datang belum banyak, penduduk setempat yang beribadah
pun baru beberapa orang. Hal ini sangat menyenangkan karena saya bisa menikmati
keindahan pagoda yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Anawrahta ini dengan
leluasa. Apalagi saat itu cuaca cerah sehingga Pagoda Shwezigon yang berwarna
emas terlihat sangat cantik. Sinar mentari pagi yang menyinari badan pagoda
membuatnya terlihat berkilauan dan makin menawan. Tak salah kalau Pagoda
Shwezigon mendapat predikat sebagai salah satu pagoda terindah di Bagan.
Dari Pagoda Shwezigon saya mengarahkan kembali sepeda
listrik menuju Bagan – Nyaung-U Road
kemudian belok kiri hingga tiba di Anawrahta Road. Jalan utama di Bagan ini dipenuhi ratusan candi dan pagoda di
kanan kirinya membuat siapa saja yang melewatinya terpesona, termasuk saya.
Candi-candi yang sebagian besar terbuat dari bata merah tersebut sangat banyak
jumlahnya dan tersebar begitu saja di kanan kiri jalan. Saking banyaknya candi,
membuat saya bingung harus memilih candi mana yang harus saya kunjungi karena
tidak mungkin semuanya bisa saya kunjungi dalam satu hari. Mau tak mau saya
harus membuat prioritas candi yang akan saya kunjungi, yang tak lain adalah
candi-candi populer yang masuk kategori harus dikunjungi (must visit). Jika ada sisa waktu, saya akan mengunjungi candi-candi
lain yang terlihat menarik walaupun tidak terkenal.
Candi Gubyaukjyi yang sudah tidak utuh lagi. |
Candi
Gubyaukgyi
Persinggahan pertama saya setelah dari Pagoda
Shwezigon adalah Candi Gubyaukgyi yang berada di sebelah kanan jalan. Candi yang
dibangun pada abad XII, pada masa Raja Kyanzittha terbuat dari bata merah
dengan kondisi yang sudah tidak utuh lagi. Dinding candi sebagian besar sudah
terkelupas dan banyak ditumbuhi lumut di sana-sini. Saya pun tak berlama-lama
di Candi Gubyaukgyi.
Kompleks Candi Gubyauknge |
Candi
Gubyauknge
Tak jauh dari Candi Gubyaukgyi terdapat Kompleks
Candi Gubyauknge. Kompleks candi ini terdiri dari beberapa candi berbentuk
stupa yang terbuat dari bata merah, yang menyebar di tanah yang tidak rata.
Kondisi candi masih cukup utuh sehingga terlihat cantik. Tak ada satu pun turis
yang saya jumpai ketika mengunjungi Candi Gubyauknge.
Candi Alotawpyi |
Candi
Alotawpyi
Melanjutkan perjalanan di Anawrahta Road, saya melihat banyak kendaraan
parkir di dekat kompleks candi di sebelah kanan jalan. Rupanya candi ini cukup
terkenal sehingga dikunjungi banyak turis. Namanya Candi Alotawpyi. Candi ini
cukup unik dan menarik. Badan candi bagian bawah terbuat dari bata merah
sedangkan bagian atas dan stupa candi terbuat dari logam berwarna emas.
Sebagian besar dinding candi sudah terkelupas sehingga bata merahnya terlihat.
Namun, hal tersebut tak mengurangi keindahan candi justru membuatnya makin
eksotis.
Di dekat Candi Alotawpyi juga terdapat beberapa
candi bata merah yang cukup cantik tapi saya tidak tahu namanya karena tidak
ada tulisan/papan nama di depannya. Saya sempatkan mampir sebentar ke
candi-candi tersebut, untuk memotretnya.
Candi Htilominlo yang stupanya sedang direnovasi |
Candi
Htilominlo
Melewati jalan tanah sepanjang 560 meter dari Candi Alotawpyi, tibalah saya di Candi
Htilominlo. Candi yang terbuat bata merah ini cukup besar dan megah. Turis juga
banyak yang mengunjungi Candi Htilominlo karena candi ini cukup terkenal. Sayangnya
saat itu, puncak candi (stupa) sedang direnovasi sehingga mengurangi keindahan
candi.
Suku Karen sedang menenun kain di pelataran Candi Htilominlo |
Di sekitar Candi Htilominlo banyak penjual
kerajinan tangan/souvenir khas Myanmar mulai dari tas, topi, kalung/gelang
manik-manik hingga lukisan candi-candi di Bagan. Di kompleks candi ini, saya
beruntung bisa bertemu Suku Karen (suku berleher panjang dari Thailand Utara)
yang berjualan kain tenun lengkap dengan alat tenunnya. Asyiknya lagi, mereka
ramah dan tidak menolak untuk difoto.
Candi Ywahaunggyi yang anggun tapi sepi pengunjung. |
Candi
Ywahaunggyi
Dari Candi Htilominlo saya kembali ke Anawrahta Road melewati Candi Alotawpyi lagi, untuk selanjutnya menuju Candi Ananda. Ketika
sedang asyik mengendarai sepeda listrik selepas dari Candi Alotawpyi, saya
melihat candi yang cukup besar, berdiri dengan anggun tak jauh dari jalan raya.
Ternyata namanya adalah Candi Ywahaunggyi. Candi ini juga terbuat dari bata
merah dengan bentuk bangunan yang tinggi dan sangat cantik. Difoto dari sudut
mana pun terlihat menarik. Anehnya, tak ada satu pun turis yang saya jumpai di
Candi Gubyaukgyi. Ketika akan meninggalkan candi ini, barulah datang seorang
turis wanita dari Jepang yang memakai Tanaka (masker tradisional Myanmar) di
wajahnya.
Candi Ananda
Jam 10.15 saya tiba di Candi Ananda (Ananda Phaya).
Sebelum memasuki Candi Ananda, saya harus menunjukkan tiket kepada petugas yang
berjaga di depan pintu masuk. Dari pengalaman saya mengunjungi candi-candi di
Bagan, hanya di Candi Ananda yang ada pengecekan tiket. Jadi, Anda yang tidak
mempunyai tiket harus puas memotret dan memandangi candi ini dari luar.
Pintu masuk Candi Ananda |
Candi Ananda merupakan salah satu candi paling
terkenal di Bagan dan masuk kategori “must
visit.” Kondisi bangunan candi sangat terawat dengan bentuk yang sangat
menawan. Tak heran kalau Candi Ananda disebut-sebut sebagai salah satu candi
terindah di Bagan. Saya pun langsung jatuh cinta begitu melihat candi ini.
Dari sudut mana pun, Candi Ananda terlihat cantik mempesona. |
Candi Ananda dibangun pada tahun 1105, pada masa
pemerintahan Raja Kyanzittha. Candi ini terbuat dari bata merah yang dilapisi
semen dengan cat putih. Di puncak candi terdapat stupa dari logam berwarna
emas. Di bagian tengah candi terdapat empat Patung Buddha Emas berdiri dengan
posisi tangan yang berbeda-beda menghadap ke empat penjuru mata angin, yaitu :
Kakusandha (menghadap ke utara), Konagamana (menghadap ke timur), Kassapa
(menghadap ke selatan), dan Gautama (menghadap ke barat). Di sekeliling candi
terdapat pelataran yang luas, yang bisa dimanfaatkan turis/pengunjung untuk
berfoto maupun memotret keindahan candi.
Candi Thatbyinnyu |
Candi
Thatbyinnyu
Dari Candi Ananda saya beranjak menuju Candi
Thatbyinnyu. Namun, saya tak berlama-lama di Candi Thatbyinnyu karena saat itu
matahari sangat terik dan candi ini juga sedang direnovasi. Jadi, saya hanya
bisa memotret ini dari kejauhan. Sebagai informasi, Candi Thatbyinnyu memiliki
ketinggian 51 meter sehingga dinobatkan sebagai candi tertinggi di Bagan.
Candi Manuha |
Candi Manuha
dan Candi Nan
Selanjutnya saya menuju Candi Manuha yang lokasinya
cukup jauh, berada di Desa Myinkaba (di luar Old Bagan). Dalam perjalanan menuju candi ini, saya melewati banyak
candi bata merah di kanan kiri jalan. Sesekali saya berhenti untuk memotret
candi yang terlihat unik/menarik tapi tidak semuanya. Jumlah candi di Bagan memang
sangat banyak sehingga membuatnya dijuluki sebagai “Kota Seribu Candi.”
Tiba di Candi Manuha saya kecewa karena candi ini
tak seindah di foto-foto yang saya lihat di majalah dan internet. Secara kasat
mata, nampak sekali kalau Candi Manuha tidak dirawat dengan baik. Dinding candi
yang bercat putih sudah banyak yang terkelupas sehingga terlihat semennya yang
berwarna hitam. Saat itu, Candi Manuha juga sedang direnovasi sehingga tak
banyak turis yang datang.
Candi Nan |
Tak jauh dari Candi Manuha terdapat Candi Nan (Nan
Phaya). Sayangnya, candi mungil yang terbuat dari bata merah ini juga terlihat
tak menarik karena warna batanya sudah kusam dan bentuk bangunan candi yang kurang
menarik. Saya pun tak berlama-lama mengunjungi Candi Nan.
Candi Shwesandaw sedang direnovasi. |
Candi
Shwesandaw
Candi berikutnya yang saya kunjungi adalah Candi
Shwesandaw. Candi ini berada di Old
Bagan tapi lokasinya cukup jauh dari jalan araya. Candi Shwesandaw merupakan
salah satu candi favorit para turis untuk melihat panorama matahari terbit (sunrise) dan terbenam (sunset) di Bagan karena bentuk
bangunannya yang tinggi dan bisa dinaiki para turis. Sayangnya saat itu, Candi
Shwesandaw juga sedang direnovasi sehingga saya tak bisa menaikinya.
Candi Dhammayangyi |
Candi Dhammayangyi
Sore hari, saya mengunjungi Candi Dhammayangyi yang
lokasinya berada tak jauh dari Candi Shwesandaw. Candi ini dibangun pada tahun
1170, pada masa pemerintahan Raja Narathu. Candi Dhammayangyi merupakan candi
terbesar di Bagan dengan ukuran panjang/lebar candi mencapai 78 meter. Saking
besarnya, sangat sulit untuk mendapat foto keseluruhan Candi Dhammayangyi
kecuali dengan kamera drone. Saya
datang ke Candi Dhamayangyi ketika sedang gerimis tapi matahari bersinar cerah.
Alhasil, muncullah pelangi yang sangat indah di sebelah kanan candi.
Candi Sulamani |
Candi
Sulamani
Mendung hitam menggelayut di langit ketika saya meninggalkan
Candi Dhammayangyi. Di tengah perjalanan menuju Candi Sulamani, hujan turun
tiba-tiba. Saya pun berteduh sejenak di sebuah candi yang saya tidak tahu
namanya. Untunglah tak sampai 10 menit kemudian hujan reda, tinggal gerimis
kecil. Saya pun nekad meneruskan perjalanan ke Candi Sulamani karena jaraknya
sudah dekat.
Panorama menakjubkan dari atas Candi Shwegugyi |
Candi
Shwegugyi
Perburuan candi di Bagan, saya akhiri di Candi
Shwegugyi. Candi ini letaknya di belakang Candi Thatbyinnyu. Awalnya saya tidak
tahu keberadaan Candi Shwegugyi. Namun, ketika saya sedang kebingungan mencari
candi yang tepat untuk melihat panorama matahari terbenam, saya melihat banyak
orang mengarahkan kendaraan ke arah belakang Candi Thatbyinnyu. Saya pun
penasaran mengikutinya. Ternyata saya tiba di sebuah candi kecil yang cukup
tinggi tapi saya tidak tahu namanya. Saya lihat banyak orang di bagian atas
candi, dekat stupa. Saya pun tertarik untuk mendaki candi yang ternyata bernama
Shwegugyi itu. Setelah melewati anak tangga di lorong yang sempit dan gelap di
sebelah kanan candi, tibalah saya di pelataran di bagian atas candi yang
membuat saya terpana. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamnparan ratusan
candi yang tersebar di berbagai penjuru Bagan. Candi-candi tersebut bertebaran
di tengah padang rumput, di antara kerimbunan pohon di hutan belantara, bahkan
ada juga yang berada di dekat sungai. Nampak juga Sungai Irawadi yang mengalir
tenang. Sejenak saya terdiam, menyaksikan pemandangan yang menakjubkan tersebut.
Sore itu, matahari memang tidak kelihatan karena langit tertutup awan gelap dan
impian saya untuk melihat matahari terbenam di Bagan pun kandas. Namun, saya
tidak kecewa, karena panorama ratusan candi yang terlihat di sekeliling saya
sangat menakjubkan. Mungkin ini pertanda bahwa suatu hari nanti saya harus
kembali ke Bagan untuk menyaksikan matahari terbenam. (Edyra)***