Friday, 29 December 2017

TEMPLE HOPPING IN BAGAN, MYANMAR




Matahari bersinar cerah ketika saya mulai mengendarai sepeda listrik (electric bike) dari tempat penyewaan di Nyaung-U. Langit juga tampak biru tanpa awan, membuat saya makin bersemangat untuk menjelajah Bagan, Kota Seribu Candi di bagian utara Myanmar. Entah mengapa, kantuk saya mendadak hilang meski semalam tidak bisa tidur nyenyak di atas bus. Yang ada di benak saya hanya perasaan gembira karena akan melihat dengan mata kepala saya sendiri, ribuan Candi Buddha berumur ratusan tahun yang tersebar di berbagai penjuru Kota Bagan.

 
Pagoda Shwezigon
Berbekal peta yang saya dapat dari Bandara Yangoon, saya mengarahkan sepeda listrik menyusuri Bagan – Nyaung-U Road yang mulai ramai dengan aktivitas penduduk. Tujuan pertama saya adalah Pagoda Shwezigon, karena lokasinya paling dekat dari Nyaung-U. Selain itu, menurut berbagai sumber (internet, majalah, peta wisata) Pagoda Shwezigon juga merupakan salah satu pagoda terindah di Bagan yang wajib dikunjungi.

Pagoda Shwezigon yang sangat menawan


Saya disambut beberapa pedagang asongan ketika tiba di gerbang Pagoda Shwezigon. Mereka meminta saya melepas sepatu dan kemudian menyimpannya. Merasa ada yang janggal, saya meminta kembali sepatu tersebut dan kemudian saya tenteng. Rupanya saya salah masuk gerbang. Seharusnya saya berjalan lebih ke utara lagi agar bisa menemukan gerbang Pagoda Shwezigon yang sebenarnya, yang bebas dari pedagang asongan. Di dekat gerbang tersebut juga terdapat rak sepatu yang disediakan gratis untuk para turis. Saya pun meletakkan sepatu saya di rak tersebut. Sebagai informasi, untuk memasuki  candi/pagoda di Bagan, semua turis/pengunjung harus melepas alas kaki dan kaos kaki. Jadi, sebaiknya Anda memakai sepatu/sandal yang mudah dilepas dan tidak usah mengenakan kaos kaki agar tidak kerepotan setiap akan memasuki candi.

Bangunan cantik di dekat Pagoda Shwezigon
 
Ketika tiba di dalam Kompleks Pagoda Shwezigon, suasana masih sepi. Turis yang datang belum banyak, penduduk setempat yang beribadah pun baru beberapa orang. Hal ini sangat menyenangkan karena saya bisa menikmati keindahan pagoda yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Anawrahta ini dengan leluasa. Apalagi saat itu cuaca cerah sehingga Pagoda Shwezigon yang berwarna emas terlihat sangat cantik. Sinar mentari pagi yang menyinari badan pagoda membuatnya terlihat berkilauan dan makin menawan. Tak salah kalau Pagoda Shwezigon mendapat predikat sebagai salah satu pagoda terindah di Bagan.

Dari Pagoda Shwezigon saya mengarahkan kembali sepeda listrik menuju Bagan – Nyaung-U Road kemudian belok kiri hingga tiba di Anawrahta Road. Jalan utama di Bagan ini dipenuhi ratusan candi dan pagoda di kanan kirinya membuat siapa saja yang melewatinya terpesona, termasuk saya. Candi-candi yang sebagian besar terbuat dari bata merah tersebut sangat banyak jumlahnya dan tersebar begitu saja di kanan kiri jalan. Saking banyaknya candi, membuat saya bingung harus memilih candi mana yang harus saya kunjungi karena tidak mungkin semuanya bisa saya kunjungi dalam satu hari. Mau tak mau saya harus membuat prioritas candi yang akan saya kunjungi, yang tak lain adalah candi-candi populer yang masuk kategori harus dikunjungi (must visit). Jika ada sisa waktu, saya akan mengunjungi candi-candi lain yang terlihat menarik walaupun tidak terkenal.

Candi Gubyaukjyi yang sudah tidak utuh lagi.
 
Candi Gubyaukgyi
Persinggahan pertama saya setelah dari Pagoda Shwezigon adalah Candi Gubyaukgyi yang berada di sebelah kanan jalan. Candi yang dibangun pada abad XII, pada masa Raja Kyanzittha terbuat dari bata merah dengan kondisi yang sudah tidak utuh lagi. Dinding candi sebagian besar sudah terkelupas dan banyak ditumbuhi lumut di sana-sini. Saya pun tak berlama-lama di Candi Gubyaukgyi.

Kompleks Candi Gubyauknge

Candi Gubyauknge
Tak jauh dari Candi Gubyaukgyi terdapat Kompleks Candi Gubyauknge. Kompleks candi ini terdiri dari beberapa candi berbentuk stupa yang terbuat dari bata merah, yang menyebar di tanah yang tidak rata. Kondisi candi masih cukup utuh sehingga terlihat cantik. Tak ada satu pun turis yang saya jumpai ketika mengunjungi Candi Gubyauknge.

Candi Alotawpyi

Candi Alotawpyi
Melanjutkan perjalanan di Anawrahta Road, saya melihat banyak kendaraan parkir di dekat kompleks candi di sebelah kanan jalan. Rupanya candi ini cukup terkenal sehingga dikunjungi banyak turis. Namanya Candi Alotawpyi. Candi ini cukup unik dan menarik. Badan candi bagian bawah terbuat dari bata merah sedangkan bagian atas dan stupa candi terbuat dari logam berwarna emas. Sebagian besar dinding candi sudah terkelupas sehingga bata merahnya terlihat. Namun, hal tersebut tak mengurangi keindahan candi justru membuatnya makin eksotis.

Di dekat Candi Alotawpyi juga terdapat beberapa candi bata merah yang cukup cantik tapi saya tidak tahu namanya karena tidak ada tulisan/papan nama di depannya. Saya sempatkan mampir sebentar ke candi-candi tersebut, untuk memotretnya. 


Candi Htilominlo yang stupanya sedang direnovasi

Candi Htilominlo
Melewati jalan tanah sepanjang 560 meter dari Candi Alotawpyi, tibalah saya di Candi Htilominlo. Candi yang terbuat bata merah ini cukup besar dan megah. Turis juga banyak yang mengunjungi Candi Htilominlo karena candi ini cukup terkenal. Sayangnya saat itu, puncak candi (stupa) sedang direnovasi sehingga mengurangi keindahan candi.

Suku Karen sedang menenun kain di pelataran Candi Htilominlo

Di sekitar Candi Htilominlo banyak penjual kerajinan tangan/souvenir khas Myanmar mulai dari tas, topi, kalung/gelang manik-manik hingga lukisan candi-candi di Bagan. Di kompleks candi ini, saya beruntung bisa bertemu Suku Karen (suku berleher panjang dari Thailand Utara) yang berjualan kain tenun lengkap dengan alat tenunnya. Asyiknya lagi, mereka ramah dan tidak menolak untuk difoto. 

Candi Ywahaunggyi yang anggun tapi sepi pengunjung.
 
Candi Ywahaunggyi
Dari Candi Htilominlo saya kembali ke Anawrahta Road melewati Candi Alotawpyi lagi, untuk selanjutnya menuju Candi Ananda. Ketika sedang asyik mengendarai sepeda listrik selepas dari Candi Alotawpyi, saya melihat candi yang cukup besar, berdiri dengan anggun tak jauh dari jalan raya. Ternyata namanya adalah Candi Ywahaunggyi. Candi ini juga terbuat dari bata merah dengan bentuk bangunan yang tinggi dan sangat cantik. Difoto dari sudut mana pun terlihat menarik. Anehnya, tak ada satu pun turis yang saya jumpai di Candi Gubyaukgyi. Ketika akan meninggalkan candi ini, barulah datang seorang turis wanita dari Jepang yang memakai Tanaka (masker tradisional Myanmar) di wajahnya.

Candi Ananda
Jam 10.15 saya tiba di Candi Ananda (Ananda Phaya). Sebelum memasuki Candi Ananda, saya harus menunjukkan tiket kepada petugas yang berjaga di depan pintu masuk. Dari pengalaman saya mengunjungi candi-candi di Bagan, hanya di Candi Ananda yang ada pengecekan tiket. Jadi, Anda yang tidak mempunyai tiket harus puas memotret dan memandangi candi ini dari luar.

Pintu masuk Candi Ananda

Candi Ananda merupakan salah satu candi paling terkenal di Bagan dan masuk kategori “must visit.” Kondisi bangunan candi sangat terawat dengan bentuk yang sangat menawan. Tak heran kalau Candi Ananda disebut-sebut sebagai salah satu candi terindah di Bagan. Saya pun langsung jatuh cinta begitu melihat candi ini. 

Dari sudut mana pun, Candi Ananda terlihat cantik mempesona.
 
Candi Ananda dibangun pada tahun 1105, pada masa pemerintahan Raja Kyanzittha. Candi ini terbuat dari bata merah yang dilapisi semen dengan cat putih. Di puncak candi terdapat stupa dari logam berwarna emas. Di bagian tengah candi terdapat empat Patung Buddha Emas berdiri dengan posisi tangan yang berbeda-beda menghadap ke empat penjuru mata angin, yaitu : Kakusandha (menghadap ke utara), Konagamana (menghadap ke timur), Kassapa (menghadap ke selatan), dan Gautama (menghadap ke barat). Di sekeliling candi terdapat pelataran yang luas, yang bisa dimanfaatkan turis/pengunjung untuk berfoto maupun memotret keindahan candi.
 
Candi Thatbyinnyu

Candi Thatbyinnyu
Dari Candi Ananda saya beranjak menuju Candi Thatbyinnyu. Namun, saya tak berlama-lama di Candi Thatbyinnyu karena saat itu matahari sangat terik dan candi ini juga sedang direnovasi. Jadi, saya hanya bisa memotret ini dari kejauhan. Sebagai informasi, Candi Thatbyinnyu memiliki ketinggian 51 meter sehingga dinobatkan sebagai candi tertinggi di Bagan.


Candi Manuha

Candi Manuha dan Candi Nan
Selanjutnya saya menuju Candi Manuha yang lokasinya cukup jauh, berada di Desa Myinkaba (di luar Old Bagan). Dalam perjalanan menuju candi ini, saya melewati banyak candi bata merah di kanan kiri jalan. Sesekali saya berhenti untuk memotret candi yang terlihat unik/menarik tapi tidak semuanya. Jumlah candi di Bagan memang sangat banyak sehingga membuatnya dijuluki sebagai “Kota Seribu Candi.”

Tiba di Candi Manuha saya kecewa karena candi ini tak seindah di foto-foto yang saya lihat di majalah dan internet. Secara kasat mata, nampak sekali kalau Candi Manuha tidak dirawat dengan baik. Dinding candi yang bercat putih sudah banyak yang terkelupas sehingga terlihat semennya yang berwarna hitam. Saat itu, Candi Manuha juga sedang direnovasi sehingga tak banyak turis yang datang. 

Candi Nan
 
Tak jauh dari Candi Manuha terdapat Candi Nan (Nan Phaya). Sayangnya, candi mungil yang terbuat dari bata merah ini juga terlihat tak menarik karena warna batanya sudah kusam dan bentuk bangunan candi yang kurang menarik. Saya pun tak berlama-lama mengunjungi Candi Nan.

Candi Shwesandaw sedang direnovasi.
 
Candi Shwesandaw
Candi berikutnya yang saya kunjungi adalah Candi Shwesandaw. Candi ini berada di Old Bagan tapi lokasinya cukup jauh dari jalan araya. Candi Shwesandaw merupakan salah satu candi favorit para turis untuk melihat panorama matahari terbit (sunrise) dan terbenam (sunset) di Bagan karena bentuk bangunannya yang tinggi dan bisa dinaiki para turis. Sayangnya saat itu, Candi Shwesandaw juga sedang direnovasi sehingga saya tak bisa menaikinya. 
 
Candi Dhammayangyi

Candi Dhammayangyi
Sore hari, saya mengunjungi Candi Dhammayangyi yang lokasinya berada tak jauh dari Candi Shwesandaw. Candi ini dibangun pada tahun 1170, pada masa pemerintahan Raja Narathu. Candi Dhammayangyi merupakan candi terbesar di Bagan dengan ukuran panjang/lebar candi mencapai 78 meter. Saking besarnya, sangat sulit untuk mendapat foto keseluruhan Candi Dhammayangyi kecuali dengan kamera drone. Saya datang ke Candi Dhamayangyi ketika sedang gerimis tapi matahari bersinar cerah. Alhasil, muncullah pelangi yang sangat indah di sebelah kanan candi.

Candi Sulamani

Candi Sulamani
Mendung hitam menggelayut di langit ketika saya meninggalkan Candi Dhammayangyi. Di tengah perjalanan menuju Candi Sulamani, hujan turun tiba-tiba. Saya pun berteduh sejenak di sebuah candi yang saya tidak tahu namanya. Untunglah tak sampai 10 menit kemudian hujan reda, tinggal gerimis kecil. Saya pun nekad meneruskan perjalanan ke Candi Sulamani karena jaraknya sudah dekat.

Candi Sulamani merupakan salah satu candi yang cukup terawat di Bagan. Bentuk bangunannya cukup tinggi, dengan stupa di puncaknya. Candi ini dibangun pada tahun 1183 pada masa pemerintahan Raja Narapatisithu. Saat itu, stupa candi juga sedang direnovasi. Namun, saya beruntung datang ke Candi Sulamani ketika cuaca sedang gerimis tapi matahari bersinar cerah. Alhasil, muncullah pelangi yang sangat indah di sebelah kanan candi.

Panorama menakjubkan dari atas Candi Shwegugyi
Candi Shwegugyi
Perburuan candi di Bagan, saya akhiri di Candi Shwegugyi. Candi ini letaknya di belakang Candi Thatbyinnyu. Awalnya saya tidak tahu keberadaan Candi Shwegugyi. Namun, ketika saya sedang kebingungan mencari candi yang tepat untuk melihat panorama matahari terbenam, saya melihat banyak orang mengarahkan kendaraan ke arah belakang Candi Thatbyinnyu. Saya pun penasaran mengikutinya. Ternyata saya tiba di sebuah candi kecil yang cukup tinggi tapi saya tidak tahu namanya. Saya lihat banyak orang di bagian atas candi, dekat stupa. Saya pun tertarik untuk mendaki candi yang ternyata bernama Shwegugyi itu. Setelah melewati anak tangga di lorong yang sempit dan gelap di sebelah kanan candi, tibalah saya di pelataran di bagian atas candi yang membuat saya terpana. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamnparan ratusan candi yang tersebar di berbagai penjuru Bagan. Candi-candi tersebut bertebaran di tengah padang rumput, di antara kerimbunan pohon di hutan belantara, bahkan ada juga yang berada di dekat sungai. Nampak juga Sungai Irawadi yang mengalir tenang. Sejenak saya terdiam, menyaksikan pemandangan yang menakjubkan tersebut. Sore itu, matahari memang tidak kelihatan karena langit tertutup awan gelap dan impian saya untuk melihat matahari terbenam di Bagan pun kandas. Namun, saya tidak kecewa, karena panorama ratusan candi yang terlihat di sekeliling saya sangat menakjubkan. Mungkin ini pertanda bahwa suatu hari nanti saya harus kembali ke Bagan untuk menyaksikan matahari terbenam. (Edyra)***

No comments:

Post a Comment