Masjid Koutoubia dengan menaranya yang unik
Masjid Koutoubia
Petualangan di Marrakesh saya mulai dari Masjid Koutoubia, masjid paling terkenal di Marrakesh yang selalu ramai dikunjungi turis. Masjid ini terletak di pinggir jalan protokol Avenue Mohammed V, tak jauh dari Djemaa el Fna. Masjid Koutoubia sangat mudah dikenali berkat menaranya yang tinggi menjulang setinggi 70 meter. Menara masjid ini selesai dibangun pada tahun 1199, pada masa pemerintahan Sultan Yacoub el Mansour. Menara yang tinggi menjulang dengan arsitektur yang menawan, selalu memikat para turis dan fotografer dari berbagai penjuru dunia untuk memotretnya. Nama Koutoubia diambil dari Bahasa Arab “Al Koutoubiyyin” yang artinya buku. Konon, ada pasar buku cukup besar di dekat masjid tersebut. Masjid yang mulai dibangun pada tahun 1150 ini, merupakan ikon kota Marrakesh seperti Tugu Monas di Jakarta atau Menara Eiffel di Paris. Setiap hari, masjid yang dikelilingi Taman Koutoubia (Jardin de La Koutoubia) yang luas dan indah ini selalu ramai dikunjungi turis, walau mereka tidak bisa memasukinya. Mereka hanya bisa mengagumi keindahan masjid dari luar dan memotretnya. Pasalnya, Masjid Koutoubia tidak dibuka sepanjang hari seperti masjid-masjid di Indonesia. Seperti masjid-masjid lainnya di Maroko, Masjid Koutoubia juga hanya dibuka setengah jam sebelum dan setelah waktu sholat. Jadi, hanya muslim yang boleh memasuki masjid ini. Setelah memotret dan mengelilingi masjid, para turis biasanya langsung menuju ke Taman Koutoubia yang terletak di samping masjid. Di taman ini terdapat berbagai macam bunga yang indah. Selain itu, yang menarik perhatian saya adalah banyaknya pohon jeruk di taman tersebut. Apalagi saat itu, jeruknya sedang berbuah lebat, dengan warna orange yang menggoda.
Djemaa el Fna
Dari Masjid Koutoubia, dengan berjalan kaki menyeberangi Avenue Mohammed V, kita akan sampai di Djemaa el Fna, sebuah alun-alun atau lapangan luas yang selalu dipadati turis. Djemaa el Fna yang berada di Kawasan Medina, merupakan tempat di mana jantung Kota Marrakesh berdetak. Di pagi dan siang hari, alun-alun ini hanya menjadi tempat lalu lalang orang. Para turis dan warga setempat berbaur di alun-alun tersebut. Bagi para turis yang ingin berkeliling Marrakesh dengan kereta kuda (semacam andong), tersedia penyewaan kereta kuda di Djemaa el Fna, di dekat Masjid Koutoubia. Di senja hari, suasana Djemaa el Fna berubah luar biasa meriah dengan kehadiran ratusan warung tenda yang menjual berbagai jenis makanan. Bagi penggemar wisata kuliner, Djemaa el Fna merupakan surga, karena di senja hari kita bisa menemukan berbagai jenis makanan terutama makanan khas Maroko yang lezat seperti Couscous dan Tajine. Penjual jus jeruk dan aneka rempah-rempah juga tumpah ruah di Djemaa el Fna. Saya pun tertarik untuk mampir ke salah satu kios penjual jus jeruk tersebut. Dengan uang 4 dirham (sekitar Rp 4.400,00), saya sudah bisa menikmati segelas jus jeruk segar yang terbuat dari perasan buah jeruk asli tanpa campuran air dan gula.
Selain penuh penjual makanan, Djemaa el Fna juga ramai dengan berbagai macam atraksi dari para seniman lokal. Mulai dari penari perut, pemain gambus, atraksi ular, pembuat tato Henna sampai topeng monyet. Namun, kita harus berhati-hati ketika memotret berbagai atraksi tersebut. Kita akan dimintai uang beberapa dirham, ketika mereka mengetahui kita telah memotret aksi mereka. Saya mengalami sendiri hal tersebut. Ketika tengah mencuri-curi memotret atraksi pemain gambus, salah satu dari mereka melihat aksi saya. Alhasil, mereka pun mendatangi saya dan meminta uang dengan agak memaksa. Untunglah mereka tidak menetapkan jumlahnya. Mereka menerima pemberian uang dari turis berapapun jumlahnya.
Selain penuh penjual makanan, Djemaa el Fna juga ramai dengan berbagai macam atraksi dari para seniman lokal. Mulai dari penari perut, pemain gambus, atraksi ular, pembuat tato Henna sampai topeng monyet. Namun, kita harus berhati-hati ketika memotret berbagai atraksi tersebut. Kita akan dimintai uang beberapa dirham, ketika mereka mengetahui kita telah memotret aksi mereka. Saya mengalami sendiri hal tersebut. Ketika tengah mencuri-curi memotret atraksi pemain gambus, salah satu dari mereka melihat aksi saya. Alhasil, mereka pun mendatangi saya dan meminta uang dengan agak memaksa. Untunglah mereka tidak menetapkan jumlahnya. Mereka menerima pemberian uang dari turis berapapun jumlahnya.
Taman yang indah di depan Palais Royal
Palais Royal
Mengetahui ada istana raja (Palais Royal) di Marrakesh, saya tertarik mengunjunginya. Meski letaknya agak jauh dari pusat kota (Djemaa el Fna), saya tetap mengunjunginya karena penasaran ingin melihat kemegahan istana tersebut. Namun, alangkah kecewanya saya begitu sampai di gerbang istana tersebut. Saya dan beberapa turis yang berada di dekat gerbang istana, dilarang memasuki Palais Royal. Rupanya Palais Royal juga tidak terbuka untuk umum, sama seperti istana-istana lainnya di Maroko. Jangankan masuk istana, memotret gerbang saja tidak diperbolehkan. Tapi saya tidak mau menyerah. Dengan mengucapkan “Assalamualaikum” kepada penjaga istana dan memperkenalkan diri bahwa saya dari Indonesia, akhirnya saya diperbolehkan memotret gerbang istana tersebut. Padahal, sebelumnya mereka menyemprit saya ketika berusaha memotret gerbang istana tersebut.
Jardin Majorelle tampak dari luar
Jardin Majorelle
Sinar matahar yang terik di Marrakesh, membuat saya kepanasan dan cepat haus. Untunglah ada taman yang sejuk dan asri bernama Jardin Majorelle (Taman Majorelle). Tanpa dikomando, saya pun segera “ngadem” di taman kecil nan cantik tersebut. Jardin Majorelle bagaikan oase di tengah padang pasir. Taman ini awalnya adalah taman pribadi milik Jacques Majorelle, seorang pelukis kelahiran Nancy, Perancis. Dia datang ke Marrakesh pada tahun 1924 dan membangun sebuah taman yang indah, yang diberi nama seperti namanya, Jardin Majorelle. Sejak tahun 1947, taman ini dibuka untuk umum. Berada di Jardin Majorelle, membuat saya lupa kalau sedang di Maroko. Pasalnya suasana di taman tersebut sangat sejuk dan asri, berbeda dengan suasana Kota Marrakesh yang terik. Di taman tersebut terdapat aneka macam tanaman hias dari berbagai penjuru dunia mulai dari bambu, palem hingga aneka jenis kaktus. Karena saya penggemar kaktus, saya sangat betah berlama-lama di Jardin Majorelle. Saya bisa berlindung dari teriknya matahari Marrakesh sambil melihat berbagai jenis kaktus dengan beragam bentuk dan ukuran, mulai dari yang kecil sampai yang tingginya mencapai belasan meter.
Aneka macam kaktus di Jardin Majorelle
Warna-Warni Medina
Ingin mencari oleh-oleh khas Maroko? Medina tempatnya. Karena di Medina terdapat pasar tradisional (Souq) yang meriah dan penuh warna. Seperti kota-kota lainnya di Maroko, Marrakesh juga mempunyai Kota Lama (Medina) dan Kota Baru (Gueliz). Gueliz dipenuhi dengan bangunan-bangunan modern dengan trotoar yang lebar, sementara Medina penuh dengan bangunan tua dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok bak labirin. Saking banyaknya gang di Medina, hampir semua turis pernah tersesat di dalamnya. Saya juga sempat tersesat, tapi akhirnya bisa “selamat” setelah sempat muter-muter setengah jam lebih. Ada satu hal unik tentang Medina di Marrakesh, yaitu kawasan ini dikelilingi pagar tembok mirip benteng berwarna peach dengan gerbang yang melengkung khas Maroko. Pagar ini membatasi Medina dengan Gueliz.
Medina yang dikelilingi pagar mirip benteng
Tempat paling menarik di Medina adalah pasar (namanya Souq Municipal Djema’a el Fna) yang selalu sibuk dan dipadati turis sepanjang hari. Pasar ini menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari dan souvenir khas Maroko, seperti baju, kaos, tas, permadani dan aneka pernak-pernik lucu. Target belanja di Medina adalah Kaos Maroko, gantungan kunci, magnet kulkas dan kartu pos. Maklum, teman-teman pada heboh minta dibelikan oleh-oleh begitu tahu saya akan jalan-jalan ke Maroko. Untungnya, harga barang di Medina cukup bersahabat bagi kantong saya. Harga barang-barang tersebut cukup murah, tak jauh beda dengan harga barang-barang di Indonesia. Kuncinya, keluarkan jurus menawar andalan Anda ! Jurus menawar andalan saya adalah bilang ke pedagangnya bahwa saya berasal dari Indonesia. Dan jurus tersebut ternyata sangat jitu untuk merayu pedagang di Medina. Mereka langsung bersikap ramah dan memberikan diskon spesial kepada saya begitu mengetahui saya berasal dari Indonesia. Sebagian besar dari pedagang tersebut tahu kalau Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Mereka senang ada pembeli dari Indonesia karena selama ini sangat jarang ada turis/pembeli dari Indonesia. Rupanya ikatan primordial berlaku juga di Maroko.
Nikmatnya Couscous
Sebagai penutup kunjungan di Marrakesh, saya memilih makan malam di salah satu restoran khas Maroko yang berada di Djemaa el Fna. Menu makan saya adalah sepiring couscous with beef dan segelas teh mint. Katanya belum afdol, berkunjung ke Maroko tanpa mencicipi couscous. Couscous adalah makanan khas Maroko yang terbuat dari tepung gandum berwarna kuning, yang disajikan bersama daging sapi/ayam dan sayuran mirip acar (wortel, lobak, dan labu kuning). Rasanya cukup lezat, mirip nasi jagung. Sambil makan, saya menyaksikan orang yang berlalu lalang dan berbagai atraksi seniman di Djemaa el Fna yang semakin malam, semakin meriah saja. Nikmatnya couscous dan teh mint menjadi penutup kunjungan yang sempurna di Marrakesh.
Getting There
Tak ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju Marrakesh. Namun, Anda bisa menuju kota ini via Dubai, Uni Emirat Arab (bila naik Emirates Airlines) atau Istanbul, Turki (bila naik Turkish Airlines). Anda bisa mengecek jadwal penerbangan dan harga tiket ke Marrakesh di situs web masing-masing (www.emirates.com atau www.turkishairlines.com). Pilihan lainnya yang lebih ekonomis, Anda bisa terbang menuju Marrakesh dari berbagai kota di Eropa seperti London, Paris, Frankfurt, dan Barcelona. Banyak budget airlines yang melayani rute Eropa - Marrakesh, di antaranya Ryan Air (www.ryanair.com) dan Easy Jet (www.easyjet.com). (edyra)***
*Dimuat di Majalah SEKAR No. 78, 7 Maret 2012.
*Dimuat di Majalah SEKAR No. 78, 7 Maret 2012.
No comments:
Post a Comment