Beberapa kali naik pesawat dari dan ke Kupang, saya selalu dibuat takjub dengan panorama pulau-pulau kecil yang terlihat saat pesawat tinggal landas (take off) atau mendarat (landing) di Bandara El Tari Kupang. Dari jendela pesawat, terlihat beberapa pulau kecil yang dikelilingi pasir putih dan laut hijau kebiruan. Salah satu pulau yang menarik perhatian saya adalah Pulau Semau. Pulau ini berukuran cukup besar dan letaknya tak jauh dari lepas pantai Kupang. Yang membuat saya kesengsem dan penasaran adalah pantai-pantainya yang berpasir putih. Maklum, saya memang penggemar berat pantai.
Segera saja saya cari informasi tentang Pulau Semau di berbagai media. Mulai dari buku, majalah, internet hingga bertanya kepada teman-teman yang asli Kupang. Sayangnya, tak banyak informasi yang saya dapat tentang Pulau Semau, selain julukannya sebagai “Pulau Mistis.” Julukan ini bukannya tanpa alasan karena konon penduduk di Pulau Semau terkenal dengan kehebatan ilmu gaib mereka. Orang-orang di Kupang percaya kalau sebagian besar penduduk Pulau Semau menguasai ilmu Suwanggi tingkat tinggi. Suwanggi sendiri adalah sejenis ilmu santet yang dipercaya bisa membunuh orang secara tidak langsung. Saya jadi cukup ngeri mendengarnya. Namun, rasa penasaran terhadap Pulau Semau mengalahkan segala ketakutan saya.
Bermodal informasi yang minim, di Hari Sabtu yang cerah, di awal Bulan November, saya mengagendakan waktu sehari penuh, untuk menjelajah Pulau Semau bersama seorang teman (Ahmad). Jam 07.30 pagi, kami berangkat mengendarai sepeda motor kesayangan menuju Pelabuhan Tenau. Tak sampai 30 menit, kami pun tiba di Pelabuhan Tenau. Suasana pelabuhan sudah cukup ramai meski hari masih pagi.
Kupang mempunyai dua pelabuhan penyeberangan, yaitu Pelabuhan Tenau dan Pelabuhan Bolok. Pelabuhan Bolok untuk untuk penyeberangan jarak jauh, misalnya ke Sumba, Flores, Bali, dan Jawa (Surabaya) sedangkan Pelabuhan Tenau untuk penyeberangan untuk jarak dekat, di antaranya ke Pulau Rote dan Pulau Semau. Karena belum tahu lokasi dermaga penyeberangan menuju Pulau Semau, saya bertanya kepada salah seorang petugas Pelabuhan Tenau. Petugas tersebut menunjukkan lokasi perahu ke Pulau Semau yang ternyata berada di luar gedung utama pelabuhan, tepatnya di ujung kanan pelabuhan. Tempat penyeberangan ke Pulau Semau tidak memiliki dermaga. Perahu-perahu ditambatkan begitu saja di tepi pantai yang dangkal.
Perahu motor ke Pulau Semau berjajar di Pelabuhan Tenau
Saat saya dan teman tiba di lokasi penyeberangan ke Pulau Semau, terlihat sejumlah perahu motor berjajar di pinggir pantai. Melihat kedatangan kami yang membawa sepeda motor, seorang nahkoda perahu langsung bertanya apakah saya akan menyeberang ke Pulau Semau bersama sepeda motor. Karena kami memang berniat membawa sepeda motor untuk keliling Pulau Semau, saya langsung mengiyakan pertanyaan nahkoda tersebut. Dari informasi yang saya dengar, penyewaaan sepeda motor di Pulau Semau cukup mahal. Sehingga pilihan terbaik (dan terhemat) adalah membawa sepeda motor sendiri.
Menaikkan sepeda motor ke atas perahu
Sang nahkoda dengan dibantu tiga orang temannya langsung menaikkan sepeda motor saya ke atas perahu. Mereka harus susah payah mengangkat sepeda motor ke atas perahu, karena pelabuhan penyeberangan ke Pulau Semau ini tidak dilengkapi dermaga. Padahal, penyeberangan ke Pulau Semau termasuk ramai. Setiap harinya, perahu-perahu motor ini beroperasi dari jam 07.00 pagi sampai jam 05.00 sore, tergantung cuaca dan ramainya penumpang.Sementara pelabuhan untuk kapal cepat ke Pulau Rote yang berada di sebelahnya, sudah dilengkapi dengan dermaga beton yang modern. Padahal, penyeberangan ke Pulau Rote hanya dilayani sekali dalam sehari.
Perahu-perahu ke Pulau Semau beroperasi mirip angkot, di mana perahu baru akan berangkat bila penumpang sudah penuh. Hebatnya, meski ukurannya tak seberapa besar, satu perahu bisa menampung sampai lima sepeda motor. Saat itu, sudah ada tiga sepeda motor (termasuk sepeda motor saya) yang nangkring di atas perahu, jadi tinggal menunggu dua sepeda motor lagi.
Sambil menunggu perahu penuh, saya dan teman jalan-jalan di sekitar pelabuhan sambil motret-motret. Terus terang, saya salut dengan Pelabuhan Tenau. Pelabuhan ini cukup bersih, tak ada sampah yang berserakan. Air lautnya juga biru jernih, sampai dasar lautnya yang dangkal pun kelihatan. Sangat berbeda dengan pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa yang kebanyakan kotor dan air lautnya pun keruh.
Sekitar 30 menit menunggu, perahu sudah penuh. Sang nahkoda pun memanggil kami agar segera naik ke atas perahu. Karena tak tersedia dermaga, untuk naik ke atas perahu, kami harus menyingsingkan celana agar tidak basah. Barang-barang elektronik seperti kamera dan ponsel juga harus kami masukkan ke dalam atas agar lebih aman. Bukannya takut ada copet tapi takut barang tersebut jatuh ke laut.
Perjalanan melintasi Selat Semau
Tepat pukul 08.50, perahu berangkat menuju Pulau Semau. Cuaca pagi itu sangat bagus, matahari bersinar cerah, langit biru bersih, dan laut pun tenang tanpa gelombang. Perjalanan menyeberangi Selat Semau jadi sangat menyenangkan. Kami hanya butuh waktu 30 menit untuk mencapai Pulau Semau.
Mendekati “Pelabuhan Hansisi” di Pulau Semau, laut berubah menjadi biru muda jernih. Pertanda bahwa laut tersebut dangkal. Terumbu karang di dasar laut juga kelihatan dengan jelas. Melihat laut biru jernih dengan terumbu karang yang indah, saya sudah tak sabar ingin segera snorkeling. Namun, saya harus menahan keinginan saya karena perahu segera merapat di Pelabuhan Hansisi.
Pelabuhan Hansisi yang tidak memiliki dermaga
Sekitar pukul 09.20, perahu yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Hansisi, Pulau Semau. Untuk turun dari perahu, kami harus hati-hati karena Pelabuhan Hansisi juga tidak dilengkapi dermaga. Penumpang dipersilakan turun terlebih dahulu, beru kemudian sepeda motor. Sama seperti saat naik, sepeda motor juga harus digotong rame-rame oleh sang nahkoda dan warga Pulau Semau. Baru kali ini, saya melihat sepeda motor saya digotong naik turun perahu. Kalau tidak berkunjung ke Pulau Semau, mungkin saya tidak akan pernah mengalaminya.
Pelabuhan Hansisi merupakan pelabuhan penyeberangan utama di Pulau Semau yang berada di sebuah teluk kecil. Meski pelabuhan utama, Pelabuhan Hansisi sangat sederhana, jauh di luar bayangan saya. Tak ada gedung pelabuhan, tempat penumpang menunggu kapal/perahu, tak ada dermaga. Memang Pelabuhan Hansisi hanya berstatus pelabuhan sementara. Saat ini, tengah dibangun pelabuhan fery yang lebih besar di bagian lain Pulau Semau, tak begitu jauh dari Pelabuhan Hansisi. Nantinya, semua aktivitas penyeberangan dari dan ke Pulau Semau akan dipindahkan ke pelabuhan baru tersebut.
Begitu turun dari perahu, kami disambut beberapa orang yang menawarkan ojek atau sepeda motor untuk disewa. Kami langsung menolak tawaran tersebut, karena kami sudah membawa sepeda motor dari Kupang. Tinggal menunggu diturunkan dari perahu saja. Bagi Anda yang tidak membawa sepeda motor, tak usah khawatir. Di Pelabuhan Hansisi sudah ada tempat penyewaan sepeda motor. Harga sewa sepeda motor untuk 12 jam, mulai Rp 75.000,00 sehari, tergantung kepandaian Anda menawar. Harga sewa ini belum termasuk bensin. Perlu Anda ketahui, bahwa harga bensin di Pulau Semau cukup mahal, karena di pulau ini belum ada SPBU. Harga eceran bensin per liter berkisar Rp 8.000,00 - Rp 10.000,00. Makanya, sepeda motor kami, sudah kami isi bensin penuh sebelum berangkat.
Jalan di Pulau Semau
Kami segera keluar dari area Pelabuhan Hansisi, begitu sepeda motor turun dari perahu. Udara yang panas dan tanah yang gersang menyapa kami, seolah mengucapkan “Selamat Datang di Pulau Semau.” Jalanan aspal yang rusak di sana-sini dan pohon-pohon yang meranggas menemani kami sepanjang jalan. Ya, inilah wajah asli Pulau Semau, panas, kering dan tandus, cocok untuk Anda yang berjiwa petualang.
Pantai Letbaun
Tempat yang kami tuju pertama kali di Pulau Semau adalah Gua Letbaun, yang berada di Desa Letbaun, Kecamatan Semau Utara. Perjalanan menuju gua ini butuh perjuangan. Selain cuaca yang sangat panas, kondisi jalan menuju Gua Letbaun juga kurang bagus dan tanpa ada rambu-rambu/petunjuk arah sama sekali. Kondisi jalan yang kami lewati sangat bervariasi. Pertama, begiitu kami keluar dari Pelabuhan Hansisi, kami harus melewati jalan aspal yang rusak di sana-sini. Kemudian jalanan berubah menjadi jalan tanah berdebu dengan pohon semak-semak di kanan kiri. Tak lama kemudian, jalan berubah menjadi jalan aspal lagi tapi hanya beberapa kilometer. Selanjutnya, mendekati Desa Letbaun, jalan berubah menjadi jalan tanah dengan semen di kanan kiri, di tempat roda kendaraan roda empat. Di kanan kiri jalan hanya ada pepohonan yang meranggas, sehingga udara menjadi semakin panas.
Jalan menuju Desa Letbaun
Jalan yang tanpa rambu-rambu/petunjuk arah juga semakin menambah pekerjaan kami. Setiap ketemu pertigaan/perempatan jalan, kami harus bertanya arah kepada penduduk setempat agar tidak nyasar. Masalahnya, kadang kami ketemu persimpangan jalan yang berada di tengah-tengah hutan/ladang, jauh dari perkampungan penduduk. Jadi, tak ada orang yang bisa kami tanyai. Kalau sudah begitu, biasanya kami hanya mengandalkan feeling.
Setelah tiba di Desa Letbaun, kami bertanya jalan menuju Gua Letbaun ke beberapa orang. Mereka ada yang tahu, ada juga yang tidak. Kalaupun ada yang tahu, mereka tidak bisa memberi tahu arah jalan secara detil. Kami pun nekad melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan utama. Sialnya, sampai Desa Letbaun habis, kami tak melihat rambu-rambu/petunjuk arah ke Gua Letbaun. Kami terus berkendara hingga tiba di sebuah pantai yang sepi, tanpa ada orang satu pun, selain kami berdua.
Pantai Letbaun yang indah tapi sepi
Rupanya kami tiba di Pantai Letbaun. Pantai ini sangat indah, pasirnya putih dan air lautnya biru muda, menyejukkan mata. Di pinggir pantai kami melihat sebuah gubuk tanpa penghuni, dengan rumput laut yang dijemur di depannya. Sebenarnya, saya ingin berenang-renang di pantai tersebut. Namun, karena target utama kami (Gua Letbaun) belum ketemu, saya mengurungkan niat. Saya dan teman duduk-duduk di bawah sebuah pohon rindang di tepi Pantai Letbaun, sambil menikmati bekal makan siang yang kami bawa dari Kupang. Nikmat sekali, makan siang sambil memandang laut biru dan ombak berkejaran di kejauhan.
Cangkang kima untuk membuat garam di Pantai Letbaun
Selesai makan siang, saya jalan-jalan di pantai. Saya melihat puluhan cangkang kima (kerang raksasa) dijajar rapi di tepi pantai, tak jauh dari gubug kosong tersebut. Sebagian cangkang kosong, sebagian berisi air. Rupanya cangkang-cangkang kima tersebut merupakan tempat membuat garam. Hal ini saya ketahui belakangan, setelah bertanya ke salah seorang Warga Desa Letabaun. Penduduk setempat membuat garam secara tradisional dengan cara menampung air laut di dalam cangkang-cangkang kima. Kemudian, air laut di dalam cangkang kima tersebut dibiarkan begitu saja terkena sinar matahari hingga menguap dan membentuk kristal-kristal garam. Sinar matahari di Pulau Semau yang selalu terik, suhu udara yang panas, dan angin yang bertiup cukup kencang, membuat proses pembuatan garam tersebut lebih mudah tanpa harus memakai kincir angin.
Gua Letbaun
Tak jauh dari Pantai Letbaun, terdapat sebuah perkampungan nelayan. Kami bermaksud mengunjungi kampung tersebut untuk melihat suasana di sana sekaligus untuk menanyakan arah jalan menuju Gua Letbaun. Namun, baru beranjak beberapa meter dari Pantai Letbaun, kami melihat seorang bapak bersama anaknya mengendarai sepeda motor. Kami mendekati bapak tersebut dan menghentikannya untuk menanyakan Gua Letbaun. Bapak tersebut malah menyuruh kami mengikutinya.
Kami mengikuti Bapak tersebut sampai tiba di Desa Letbaun. Bapak tersebut berhenti di depan sebuah rumah, yang ternyata adalah rumah temannya. Oleh Bapak tersebut kami diperkenalkan kepada Pak Ansi yang ternyata sering mengantar turis yang ingin melihat Gua Letbaun. Kami diajak mampir ke rumah Pak Ansi dan diajak ngobrol-ngobrol sebelum diantarkan ke Gua Letbaun.
Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan Pak Ansi dan Warga Letbaun lainnya, kami baru tahu kalau ternyata ada tiga buah gua di Desa Letbaun. Ketiga gua tersebut letaknya berjauhan dan masing-masing ada sumber/kolam airnya. Sayangnya, waktu kami tanya apa nama gua-gua tersebut, semua kompak menjawab tak ada namanya. Mereka menyebutnya, Gua Letbaun begitu saja. Karena tidak ada namanya, saya namakan saja Gua Letbaun 1, 2, dan 3. Gua Letbaun 1 (payau), yang akan saya kunjungi berada tak jauh dari rumah Pak Ansi dan di dalamnya ada kolam air payau. Gua Letbaun 2 (tawar), berada agak jauh di tengah hutan, dan di dalamnya ada sumber air tawar. Sumber air di dalam gua tersebut baru ditemukan belakangan ini, dan akan dimanfaatkan untuk kebutuhan air sehari-hari Warga Desa Letbaun, mengingat susahnya mencari sumber air tawar di desa tersebut. Gua Letbaun 3, letaknya paling jauh (di dekat pantai). Untuk melihat kolam air di gua ini juga cukup sulit, karena posisinya jauh di dalam gua yang minim penerangan.
Pak Ansi bertanya kepada kami, akan mengunjungi gua yang mana. Sebenarnya kami ingin mengunjungi ketiga gua tersebut. Namun, karena keterbatasan waktu kami memutuskan untuk mengunjungi Gua Letbaun 1 dan 2 saja. Pasalnya kami juga ingin mengunjungi tempat-tempat menarik lainnya di Pulau Semau selain gua. Kalau kami mengunjungi ketiga gua, bisa-bisa kami tak punya waktu untuk melihat pantai-pantai cantik di Pulau Semau.
Jalan setapak menuju Gua Letbaun 1 (payau)
Pak Ansi dan seorang temannya mengantarkan kami ke Gua Letbaun 1 (payau). Jaraknya tak sampai 1 km dari rumah Pak Ansi. Dari perempatan terakhir Desa Letbaun, kami belok kiri sekitar 300 meter, kemudian berjalan kaki menyusuri jalan setapak sekitar 200 meter. Memang tidak ada rambu-rambu/penunjuk arah sama sekali menuju Gua Letbaun 1. Kalau tidak diantarkan Pak Ansi atau Warga Desa Letbaun rasanya susah bagi para turis untuk menemukan gua ini.
Suasana Gua Letbaun 1 cukup ramai, ketika rombongan kami datang. Ada seorang ibu sedang mencuci baju dan tujuh anak kecil sedang mandi dan berenang-renang di dalam kolam gua. Mereka mandi sambil bercanda ria dengan teman-temannya di dalam kolam gua yang bening. Sesekali, mereka meloncat terjun ke dalam kolam dari batu di pinggir kolam.
Anak-anak mandi dan berenang-renang di kolam Gua Letbaun 1
Melihat keceriaan anak-anak bermain air di kolam yang bening, saya jadi tergoda untuk gabung bersama mereka. Namun, saya mengurungkan niat tersebut karena ada ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Selain itu perjalanan di Pulau Semau masih panjang. Saya hanya membenamkan air ke dalam kolam yang memang bening banget, dan mencicipi airnya yang ternyata memang asin (payau). Setelah itu saya jalan-jalan untuk menjelajah sisi lain gua.
Kolam air bening di Gua Letbaun 1
Gua Letbaun 1 bentuknya unik. Tidak seperti gua kebanyakan yang bentuknya hanya lubang memanjang horizontal di dalam tanah, Gua Letbaun 1 beda. Gua ini berada di sebuah cekungan berbentuk menyerupai lingkaran/mangkok di bawah pohon. Untuk masuk ke dalam Gua Letbaun 1, kami harus turun ke cekungan/pelataran terlebih dahulu. Kemudian belok kiri untuk melihat kolam berair biru atau belok kanan untuk melihat sisi gua yang kering, yang banyak dihiasi stalaktit-stalaktit unik.
Stalaktit-stalaktit di Gua Letbaun 1
Karena sudah melihat sisi kiri Gua Letbaun 1 yang ada kolamnya, saatnya saya bergerak ke sisi kanan gua. Sisi kanan ini tak begitu luas, dengan langit-langit gua yang rendah. Untuk masuk ke dalam gua, kami harus berjalan menunduk agar kepala kami tidak kepentok stalaktit/langit-langit gua. Sisi kanan Gua Letbaun, memang lebih banyak stalaktitnya. Stalaktit-stalaktit tersebut menggantung indah di langit-langit gua. Ada juga kolam air kecil, tapi letaknya tersembunyi/terhimpit di antara batu-batuan dan dinding gua sehingga tidak bisa dimasuki.
Selanjutnya, Pak Ansi membawa kami ke Gua Letbaun 2 (tawar). Lokasi gua ini berada di dalam hutan dan agak jauh dari jalan. Dari pinggir jalan, kami harus berjalan kaki sekitar 400 meter menyusuri jalan setapak berbatu. Dalam perjalanan menuju Gua Letbaun 2 ini, kami bertemu dengan 3 orang Warga Desa Letbaun yang baru pulang dari ladang. Tak disangka-sangka, mereka malah ikut bersama rombongan kami menuju Gua Letbaun Suasana jadi semakin ramai.
Sinar matahari yang terik dan suhu udara yang sangat panas membuat perjalanan menuju Gua Letbaun 2 terasa berat. Apalagi saat itu, matahari sedang berada tepat di atas kepala alias tengah hari. Alhasil, kami jadi keringetan dan gampang haus. Sebentar-sebentar saya berhenti untuk minum agar tidak dehidrasi.
Pintu masuk Gua Letbaun2
Untunglah lokasi Gua Letbaun 2 berada di bawah pepohonan yang besar dan rindang. Jadi udaranya terasa sejuk. Mulut gua cukup lebar dan sebagian tertutup akar-akar pohon. Di dalam gua kami melihat banyak burung walet yang beterbangan. Menurut Warga Desa Letbaun, memang banyak sarang walet di dalam gua ini.
Suasana di dalam gua cukup gelap dan rada-rada seram. Langit-langit gua dihiasi statlaktit tapi tak begitu banyak. Sumber air tawar berada di dalam gua, yang posisinya menurun cukup dalam. Untuk melihat sumber air tersebut, kami harus turun cukup dalam dan membawa lampu senter karena suasana gua sangat gelap akibat sinar matahari tak bisa menembus masuk ke dalam gua.
Pak Ansi berniat mengantar kami melihat sumber air di dalam gua dengan bantuan penerangan senter ponsel, tapi kami menolaknya dengan halus. Melihat gua yang gelap dan lembab, kami jadi rada-rada ngeri, takut ada ular (binatang yang paling saya benci dan takuti). Makanya, kami tidak tertarik untuk melihat sumber air yang berada jauh di dalam gua tersebut.
Walaupun tidak bisa melihat sumber air di dalam Gua Letbaun 2, kami tetap merasa beruntung bisa melihat gua ini. Beginilah untungnya, kalau kita mau berinteraksi dengan warga setempat. Kita bisa tahu tempat-tempat menarik yang tersembunyi, yang tidak diketahui khalayak ramai. Seperti yang kami alami di Desa Letbaun, Pulau Semau. Kami benar-benar tak menyangka, Warga Desa Letbaun begitu baik dan ramah kepada turis/pendatang seperti kami.
Pantai Batuinan
Puas menjelajah gua, saatnya berburu pantai-pantai cantik di Pulau Semau. Seperti pulau-pulau kecil pada umumnya, Pulau Semau juga dikelilingi pantai-pantai cantik berpasir putih. Salah satunya adalah Pantai Otan.
Untuk menuju Pantai Otan, dari Pelabuhan Hansisi sebenarnya ada jalan tersendiri, tidak perlu melalui Desa Letbaun. Namun, dari informasi yang diberikan oleh Pak Ansi, saya tak perlu kembali ke Hansisi untuk mencapai Pantai Otan. Kami bisa melalui jalan di pesisir selatan Pulau Semau. Melalui rute ini, kami akan bertemu sejumlah pantai cantik dan jaraknya pun lebih dekat. Sayangnya, jalan di pesisir selatan Pulau Semau sebagian besar belum beraspal. Di beberapa tempat yang dekat dengan pantai, kami harus melewati jalan berpasir yang cukup sulit dilalui. Perlu keahlian dan kehati-hatrian ekstra untuk melewati jalan berpasir ini.
Namun, di balik susahnya jalan di pesisir selatan Pulau Semau, kami diberi anugerah lain. Sepanjang jalan menuju Pantai Otan, mata kami dimanjakan oleh pantai-pantai elok nan rupawan. Semuanya masih sepi dan alami, dengan air laut biru muda. Benar-benar pemandangan yang menyejukkan mata. Di sebuah pantai yang unik, kami berhenti. Namanya Pantai Batuinan karena berada di Desa Batuinan. Keunikan pantai ini adalah bibir pantainya tidak dhiasi pasir putih namun dihiasi karang-karang tajam dan runcing dengan formasi yang unik. Air lautnya sangat bening berwarna biru muda. Ombak di pantai ini cukup besar sehingga bisa menimbulkan cipratan air yang cukup tinggi saat ombak menghantam karang di tepi pantai.
Pantai Otan
Selain melewati pantai-pantai cantik, kami juga melewati beberapa perkampungan penduduk dengan rumah-rumah bergaya tradisional. Rumah-rumah tersebut berdinding bambu dan beratap ilalang. Sesekali kami berhenti, untuk memotret panorama eksotis yang sudah jarang kami lihat ini.
Kami terus berkendara hingga tiba di Desa Otan. Di sebuah perempatan, tak jauh dari SPBU kecil yang sudah tutup di Desa Otan, saya celingak-celinguk mencari orang untuk bisa saya tanyai di mana letak Pantai Otan. Sialnya, Di siang bolong yang panas tersebut, tak ada satu pun penduduk Desa Otan yang kelihatan di jalan. Nampaknya mereka sedang beristirahat di rumah, berlindung dari teriknya matahari Pulau Semau yang bena-benar menyengat. Untunglah, tak lama kemudian kami melihat seorang pemuda sedang mengendarai sepeda motor. Kami pun mendekati pemuda tersebut, untuk bertanya letak Pantai Otan. Ternyata Pantai Otan tak jauh dari perempatan tersebut. Kami hanya perlu berjalan lurus sekitar 200 meter untuk tiba di Pantai Otan.
Pantai Otan yang cantik dan tenang
Suasana benar-benar sepi ketika kami tiba di Pantai Otan. Tak ada pengunjung lain, selain kami berdua. Tak ada warung atau pun kafe. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah pantai berpasir putih dan laut biru muda yang luas membentang. Di kejauhan, nampak seorang nelayan sedang memanen rumput laut. Saya benar-benar heran melihat pantai secantik Pantai Otan, kok tidak ada pengunjungnya sama sekali. Padahal Pantai Otan merupakan pantai yang paling terkenal di Pulau Semau. Kalau berada di Bali atau Jawa, saya yakin Pantai Otan pasti sudah penuh dengan hotel, kafe ataupun restoran.
Pantai Uihmake
Dari Pantai Otan, kami melanjutkan perburuan pantai dengan menyusuri pesisir selatan Pulau Semau. Lagi-lagi kami bertemu pantai-pantai cantik dengan air laut biru muda. Salah satu hal yang paling saya suka dari Pulau Semau, tak lain adalah pantai-pantainya yang berpasir putih bersih dan berarir biru muda. Kami sampai bingung, mau pilih pantai yang mana karena hampir semua pantainya indah.
Rumput laut yang banyak saya temui di pesisir selatan Pulau Semau
Kami juga bertemu perkampung nelayan dengan jemuran rumput laut di depan rumah. Pulau Semau merupakan salah satu penghasil rumput laut yang cukup besar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak heran kalau rumput laut bisa dilihat dengan mudah di perkampungan penduduk yang berada di dekat pantai.
Setelah melewati jalan menanjak tak jauh dari Desa Bokonusan, kami melihat pantai yang luar bisa cantik di kiri jalan, nun jauh di bawah tebing. Tanpa dikomando, kami langsung berhenti untuk memotret-motret pantai menawan tersebut. Pantai yang letaknya berada di bawah tebing tersebut ternyata bernama Pantai Uhimake. Hal ini saya ketahui, setelah saya bertanya kepada salah seoarang warga yang sedang melintas di jalan.
Pantai Uihmake yang luar biasa indah merupakan pantai favorit saya di Pulau Semau
Melihat pantai secantik Uihmake, saya tergoda untuk mencumbui pasirnya yang putih bersih dan airnya yang hijau kebiruan. Apalagi sejak tadi, saya belum merasakan bermain air di pantai-pantai Pulau Semau. Makanya, saya dan teman langsung menuruni tebing, untuk mencapai bibir pantai. Selanjutnya, kami puas-puasin menikmati pantai cantik nan perawan tersebut. Mandi, berenang, dan bermain pasir, bisa kami lakukan dengan leluasa di Pantai Uihmake tanpa takut terganggu kehadiran pengunjung lain. Letak pantai yang agak tersembunyi di bawah tebing dan jauh dari perkampungan penduduk membuat Pantai Uihmake tak dilirik pengunjung. Padahal, pantai ini sangat menawan. Bagi saya, Pantai Uihmake merupakan pantai terindah di Pulau Semau yang sayang untuk dilewatkan. Saya benar-benar merasa beruntung bisa menemukan Pantai Uihmake.
Tak terasa hari beranjak sore. Kami harus segera meninggalkan Pantai Uihmake dan kembali ke Pelabuhan Hansisi, untuk naik perahu yang akan membawa kami kembali ke Kupang. Sebenarnya masih banyak pantai-pantai cantik di Pulau Semau yang belum kami kunjungi. Mungkin, suatu hari nanti saya akan kembali ke Pulau Semau untuk mengunjungi pantai-pantai cantik yang belum sempat kami singgahi.
Getting There
Untuk mencapai Pulau Semau, Anda harus terbang dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Sampai saat ini, penerbangan langsung ke Kupang (dari arah barat) bisa melalui tiga kota, yaitu : Jakarta, Surabaya, dan Denpasar. Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa mencapai Pulau Semau dengan naik perahu motor. Perahu motor Kupang - Semau - Kupang beroperasi setiap hari, dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 17.00, tapi tergantung cuaca. Bila cuaca buruk (angin kencang/gelombang tinggi), biasanya perahu tidak beroperasi. Perahu berangkat dari Pelabuhan Tenau, Kupang dan berlabuh di Pelabuhan Hansisi, Pulau Semau, dengan memakan waktu sekitar 30 menit, bila cuaca bagus. Perahu motor Kupang - Semau - Kupang tidak hanya melayani orang, tapi juga sepeda motor. Biasanya, satu perahu bisa mengangkut paling banyak lima sepeda motor. Biaya penyeberangan sekali jalan untuk orang Rp 15.000,00 dan sepeda motor Rp 40.000,00.
Where to Stay
Sampai saat ini belum tersedia hotel/penginapan di Pulau Semau, jadi Anda harus menginap di Kupang. Jika tetap ingin menginap di Pulau Se
Swiss-Bellin Kristal***
Jl. Timor Raya No. 59, Kupang
Telp. (0380) 825 100
www.swiss-belhotel.com
Tarif : mulai Rp 477.000,00
Hotel On The Rock***
Jl. Timor Raya No. 2, Kupang
Telp. (0380) 858 6100
www.ontherockhotel.com
Tarif : mulai Rp 652.900,00
Hotel Sasando***
Jl. R.A. Kartini No. 1, Kupang
Telp. (0380) 833 334, 833 8130
Tarif : mulai Rp 441.900,00
Hotel Ima**
Jl. Timor Raya No. 122, Kupang
Telp. (0380) 827 473, 834 445
Tarif : mulai Rp 375.000,00
Hotel Astiti**
Jl. Jend. Sudirman No. 166, Kupang
Telp. (0380) 832 622, 821 810
Tarif : mulai Rp 350.000,00
Where to Eat
Sampai dengan hari ini, belum ada satu pun restoran (warung makan) di Pulau Semau. Bahkan warung makan sederhana pun tidak ada. Jadi, anda harus membawa bekal makanan dan minuman dari Kupang agar tidak kelaparan di sana.
What to Do
Banyak hal bisa dilakukan di Pulau Semau. Mulai dari berenang, snorkeling, memancing hingga menyusuri gua. Bagi Anda penggemar pantai, Pulau Semau adalah surganya. Anda bisa menikmati keindahan pantai-pantai di Pulau Semau, sesuka hati Anda tanpa takut terganggu pengunjung lain. Semua pantai di Pulau Semau memiliki panorama yang indah dengan pasir putih dan lautnya yang hijau kebiruan. Asyiknya lagi, pantai-pantai di sana masih sepi dan alami. Tak ada hotel, kafe ataupun restoran di pantai-pantai tersebut. Biaya masuk ataupun biaya parkir juga tidak ada.
When to Go
Waktu terbaik untuk mengunjungi Pulau Semau adalah di musim kemarau (April - Oktober) karena pada saat itu cuaca cerah dan gelombang di Selat Semau juga tidak begitu besar/tinggi sehingga perjalanan dengan perahu motor tetap aman. Kondisi jalan di Pulau Semau yang sebagian besar belum diaspal, juga lebih mudah dilewati di musim kemarau. Pada musim hujan, jalan-jalan tersebut akan menajdi becek dan berlumpur sehingga sulit untuk dilalui. (edyra)***
info yang menrik, awal bulan depan saya akan ke kupang, adakah info untuk sewa motor di kupang?? terima kasih
ReplyDeleteDi Kupang nggak ada tempat rental motor khusus kayak di Bali. Coba aja tanya ke hotel tempat kamu menginap atau sewa ke tukang ojek aja! Dulu, Lavalon Seaview Hostel nyewain motor tapi kurang tahu sekarang masih nyewain atau nggak.
ReplyDeleteKalau mau nginap di pulau semau memungkinkan nggak sih?
ReplyDeleteBisa, sekarang katanya udah ada hotel/penginapan. Atau bisa juga bawa tenda/ngecamp.
ReplyDelete