Tuesday, 18 February 2014

TERJERAT PESONA LARANTUKA

Menikmati keindahan Kota Larantuka dari Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara



Sesaat sebelum pesawat yang membawa saya terbang dari Kupang, mendarat di Bandara Gewayantana, Larantuka, saya dibuat terpana. Di bawah sana, saya melihat sebuah kota yang bertengger di kaki gunung, di depannya laut biru menghampar luas, dan tepat di belakangnya gunung tinggi menjulang! Sejenak saya terdiam, mendapat kejutan selamat datang berupa panorama alam yang luar biasa indah bak lukisan. Baru kali ini saya melihat sebuah kota yang berada di antara gunung dan laut. Saya yakin, siapa pun yang melihat Larantuka dari ketinggian pasti akan terpesona. Begitu juga dengan saya. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan kota kecil, di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ini.

Bandara Mungil yang Cantik
Begitu pesawat mendarat di Bandara Gewayantana dan saya turun dari pesawat, Larantuka memberikan kejutan lagi buat saya. Panorama sekitar bandara yang menawan membuat saya semakin jatuh cinta dengan Larantuka. Bandara Gewayantana bukanlah bandara yang megah dengan berbagai fasilitas modern seperti bandara-bandara di Jawa. Sebaliknya, Bandara Gewayantana hanyalah bandara perintis yang kecil dengan fasilitas sangat sederhana. Landasan pacunya hanya sepanjang 1.400 meter dan gedung terminalnya sangat kecil, dengan ruangan yang sempit. Terminal kedatangan kira-kira hanya berukuran 3 x 3 meter. Tak ada troli, tak ada conveyor belt. Jadi, bagasi akan dibagikan langsung oleh petugas bandara kepada para penumpang sesuai nomor masing-masing. Namun, di balik fasilitasnya yang sederhana, Bandara Gewayantana mempunyai keistimewaan tersendiri. Tak lain adalah suasana bandara yang bersih dan asri serta panorama di sekitarnya yang menakjubkan. Begitu turun dari pesawat, penumpang akan disambut taman kecil dengan bunga-bunga cantik aneka warna yang berada di antara apron dan gedung terminal. Di kejauhan, berdiri gagah Gunung Ile Mandiri yang menjulang setinggi 1.501 meter sebagai latar belakangnya. Saat saya datang, puncak Gunung Ile Mandiri tertutup awan tapi tak mengurangi keindahannya.

 Bandara Gewayantana dengan panorama yang indah

Tak ada taksi ataupun bus, yang akan membawa turis/pengunjung ke pusat kota Larantuka. Pilihannya hanyalah mobil travel atau ojek. Saya memilih naik ojek karena selain lebih murah juga lebih cepat. Apalagi jarak bandara ke pusat kota Larantuka tak begitu jauh, hanya sekitar 10 km. Saya langsung minta di antar ke sebuah hotel yang berada di daerah Postoh, tak jauh dari Pelabuhan Larantuka.

Setelah check in di hotel, saya menghubungi teman yang asli Larantuka via telepon untuk meminta informasi tentang penyewaan sepeda motor ataupun tukang ojek yang bisa mengantar saya mengunjungi tempat-tempat menarik di Larantuka. Pasalnya, kendaraan umum di Larantuka tidak menjangkau semua tempat wisata yang ada di sana. Jadi pilihannya adalah menyewa kendaraan atau naik ojek. Sebenarnya teman saya ingin menemani saya jalan-jalan keliling Larantuka. Namun, karena hari itu dia ada jadwal mengajar, jadinya tidak bisa menemani saya. Sebagai gantinya, dia mencarikan tukang ojek yang sekaligus berperan jadi guide (pemandu) untuk saya.

Taman Doa Mater Dolorosa
Sambil menunggu tukang ojek datang, saya jalan-jalan dulu ke Taman Doa Mater Dolorosa yang berada tak begitu jauh dari hotel. Taman ini berada di pinggir pantai, di Jalan Basuki Rachmat. Di taman ini terdapat 12 bangunan berbentuk rumah mini berjajar di sepanjang bibir pantai. Di tiap bangunan terdapat pahatan gambar berwarna emas yang menceritakan Prosesi Jalan Salib. Di ujung sebelah utara terdapat sebuah patung besar berwarna putih menghadap altar dengan tulisan Mater Dolorosa (artinya  Bunda Dukacita). Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang sedang duduk sambil memangku Yesus dengan raut wajah yang sedih.
  

  Bangunan yang menggambarkan Prosesi Jalan Salib di Taman Doa Mater Dolorosa

Di seberang jalan, berdiri sebuah kapel (gereja kecil) dengan arsitektur bangunan yang cantik dan menarik, yang tak lain adalah Kapel Tuan Ana. Nun jauh di belakang kapel, berdiri menjulang Gunung Ile Mandiri yang saat itu puincaknya tertutup awan. Taman Doa Mater Dolorosa beserta Kapel Tuan Ana ini merupakan salah satu ikon (landmark) Kota Larantuka. Tak heran kalau tempat ini selalu menjadi tujuan utama sekaligus objek foto favorit para turis yang berkunjung ke Larantuka. Untungnya pagi itu, suasana sangat sepi, tak ada pengunjung lain selain saya. Jadi saya bisa memotret dengan leluasa. 

  Patung Mater Dolorosa dan kapel Tuan Ana

Sebenarnya masih banyak kapel-kapel cantik lainnya di Larantuka karena kota ini memang mempunyai julukan sebagai “Kota Seribu Kapel.” Namun, saya harus menunda kunjungan ke kapel-kapel tersebut karena teman saya sudah menelpon saya, memberitahukan bahwa tukang ojek yang saya pesan sudah tiba di hotel. Saya pun segera kembali ke hotel.

Tiba di hotel, saya langsung disambut seseorang yang duduk di depan kamar hotel saya. Dia adalah Bang Rauf, tukang ojek sekaligus guide yang direkomendasikan teman saya. Dia akan menemani saya jalan-jalan keliling Larantuka. Dia menanyakan ke saya, mau ke mana saja hari ini. Saya pun menyebutkan beberapa tempat yang saya tahu, di antaranya Danau Asmara, Pantai Weri, dan Pantai Kawaliwu. Bang Rauf pun siap untuk mengantar saya ke tempat-tempat tersebut.

Danau Asmara
Tempat pertama yang akan kami kunjungi adalah Danau Asmara. Namanya yang terdengar indah dan romantis, membuat saya penasaran. Sayangnya, danau tersebut letaknya cukup jauh dari Larantuka dan jalan menuju ke sana sebagian besar rusak. Namun, karena Bang Rauf tahu saya sangat ingin ke Danau Asmara, dia siap mengantar saya ke sana.

Perjalanan menuju Danau Asmara memang butuh perjuangan dan kesabaran. Jalan yang sebagian besar rusak dengan lubang menganga di sana-sini membuat pengendara sepeda motor harus waspada dan ekstra hati-hati. Apalagi saat itu sedang musim penghujan, sehingga jalan menjadi licin dan banyak genangan di mana-mana. Untunglah Bang Rauf sangat lihai mengendarai sepeda motor meski jalan sangat buruk. Jadi saya bisa membonceng dengan tenang tanpa khawatir jatuh.

Setelah dua jam lebih berkendara, kami pun tiba di tempat parkir Danau Asmara. Dari tempat parkir, kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak di antara pepohonan yang lebat sejauh 300 meter. Jalan setapak tersebut sebagian sudah disemen dan sebagian masih berupa jalan tanah. Di beberapa tempat jalan tertutup rumput/semak-semak dan terhalang pohon tumbang. Kondisinya sangat licin karena saat itu sedang musim penghujan. Tak ada rambu-rambu ataupun penunjuk arah yang menunjukkan Danau Asmara. Kalau tidak diantar pemandu ataupun warga asli Larantuka, saya yakin turis/pengunjung akan kesulitan menemukan Danau Asmara.

 Jalan menuju Danau Asmara

Danau Asmara terbentuk akibat letusan Gunung Sodoberawao Kobanara pada tahun 400 - 500 SM. Danau ini berada di bagian kepala naga Pulau Flores, tepatnya di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga. Jaraknya sekitar 45 km dari pusat Kota Larantuka. Karena sebagian besar jalannya rusak, jarak yang hanya 45 km tersebut harus ditempuh selama 2 jam lebih berkendara. Namun, perjuangan berat menuju Danau Asmara akan terbayar lunas begitu sampai di sana. Mata kita akan dimanjakan oleh danau berbentuk oval, dengan diameter sekitar 500 meter dan kedalaman sekitar 20 meter. Air danau yang tenan, pepohonan yang hijau di sekeliling danau, dan kicauan burung yang bersahutan membuat suasana terasa damai dan menenteramkan.
 

Danau Asmara yang tenang dan indah

Sebenarnya nama asli Danau Asmara adalah Danau Waibelen ini. Namun, danau cantik ini lebih dikenal dengan nama Danau Asmara karena konon ada kisah asmara nan tragis yang pernah terjadi di sana. Menurut penduduk setempat, dulu ada sepasang kekasih yang nekad bunuh diri di danau ini karena cinta mereka tidak direstui oleh orang tua mereka. Kemudian, jasad mereka menjadi sepasang buaya putih yang menjadi penghuni tetap Danau Asmara hingga kini. Kedua buaya tersebut tidak akan menampakkan diri kepada pengunjung. Mereka hanya akan menampakkan diri jika dipanggil dengan upacara adat, dengan serangkaian ritual khusus yang dipimpin tetua adat setempat.

  Pantai Weri yang indah tapi sepi

Pantai Weri
Berada di ujung timur Pulau Flores, membuat Larantuka memiliki banyak pantai cantik. Salah satunya adalah Pantai Weri yang berada tak jauh dari pusat kota. Pantai Weri merupakan pantai kebanggaan Warga Larantuka. Pantai ini berpasir putih kekuningan dengan air laut yang bening. Meski berada di kota, Pantai Weri cukup bersih dan indah. Tak ada sampah yang berserakan di pantai ini sehingga membuat pengunjung nyaman. Selain itu, Pantai Weri juga masih sangat alami. Tak ada kafe, restoran atapun warung makan di sekitar pantai. Aktivitas yang bisa kita lakukan di Pantai Weri adalah berenang, berjemur, bermain pasir atau sekedar bermalas-malasan di tepi pantai sambil membaca buku. Dari pantai ini, kita juga bisa melihat Pulau Adonara di sebelah timur. Bila ingin melihat panorama matahari terbit (sunrise), Pantai Weri merupakan lokasi yang tepat karena menghadap ke timur.

Pantai Kawaliwu
Dari Pantai Weri kami bergerak menuju pantai lainnya, yaitu Pantai Kawaliwu. Pantai ini berada di Desa Kawaliwu, Kecamatan Lewolema. Jaraknya sekitar 20 km dari pusat Kota Larantuka. Panorama di Pantai Kawaliwu tergolong biasa saja. Di salah satu sudut pantai dihiasi batu-batu besar sementara di bagian lain dihiasi pasir hitam dan kerikil-kerikil kecil yang menghampar luas. Berbeda dengan Pantai Weri yang menghadap ke timur, Pantai Kawaliwu menghadap ke barat sehingga cocok untuk melihat panorama matahari terbenam (sunset).
 
Pantai Kawaliwu dengan batu-batu berserakan yang membuatnya semakin eksotis

Selain hamparan kerikil dan batu-batu besar, ada satu keunikan yang membuat Pantai Kawaliwu jadi istimewa. Tak lain adalah adanya sumber air panas di pinggir pantai. Dengan menggali lubang di antara kerikil-kerikil di tepi pantai, maka akan keluar mata air panas yang mengandung belerang. Saat berkunjung ke Pantai Kawaliwu, kami bertemu beberapa orang yang sedang mandi air hangat di pinggir pantai. Mereka menggali beberapa lubang di tepi pantai, kemudian mandi dengan air hangat tersebut.  Karena penasaran, saya pun mencoba menyibak air yang berada di lubang-lubang tersebut. Ternyata airnya memang hangat. Di beberapa lubang, airnya malah terasa panas. Suhunya sekitar 70 - 80 derajat Celcius. 
 
Mata air panas di tepi Pantai Kawaliwu

Sebenarnya saya ingin merasakan kehangatan mata air panas di Pantai Kawaliwu dengan mandi di sana. Apalagi menurut penduduk setempat, air hangat tersebut bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit karena mengandung belerang. Namun, saya mengurungkan niat saya untuk mandi karena hari masih sore dan udara masih panas. Rasanya kurang pas mandi air hangat di tengah cuaca yang panas. Saya memilih untuk merendam kaki saja di lubang-lubang berisi air panas untuk menghilangkan pegal-pegal setelah seharian jalan-jalan keliling Larantuka. Sambil merendam kaki, saya menikmati panorama Pantai Kawaliwu dengan debur ombak yang berkejaran. Benar-benar pantai yang unik. Baru di Flores ini, saya bisa melihat sumber air panas yang letaknya di bibir pantai.

Menyeberang ke Pulau Adonara
Setelah puas berendam air panas di Pantai Kawaliwu, kami kembali ke kota Larantuka. Bang Rauf akan mengajak saya melihat panorama terindah kota Larantuka dengan menyeberang ke pulau sebelah, yaitu Pulau Adonara. Kami pun segera menuju ke Pelabuhan Larantuka yang lokasinya di tengah kota. Dari pelabuhan tersebut, kami menyeberang dengan perahu motor menuju Pelabuhan Tobilota di Pulau Adonara. Penyeberangan Larantuka - Tobilota dan sebaliknya, dilayani perahu motor kecil dan berlangsung setiap hari, dari pagi sampai sore. Lama penyeberangan memakan waktu sekitar 15 menit, tergantung arus dan gelombang.

 Kota Larantuka dilihat dari atas perahu dalam perjalanan ke Pulau Adonara

Ternyata benar kata Bang Rauf. Saat perahu mulai bergerak membelah Selat Adonara, panorama cantik Kota Larantuka mulai terlihat. Kota Larantuka dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri dan latar depan Selat Adonara terlihat sangat menawan. Sayangnya, saya tak bisa memotret dengan leluasa karena perahu terayun-ayun gelombang. Kata Bang Rauf, nanti saja kalau sudah mendarat di Pelabuhan Tobilota, saya bisa memotret dengan leluasa.

 Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara

 Kota Larantuka dilihat dari Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara

Tak sampai 15 menit, perahu merapat di Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara. Dari sini, panorama Kota Larantuka di kejauhan terlihat sangat menakjubkan. Kota Larantuka terlihat seperti terapung di atas laut dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri yang berdiri gagah di belakangnya. Persis seperti foto-foto yang saya lihat di internet. Segera saya memotret panorama mengagumkan tersebut. Rupanya, dari Pelabuhan Tobilota inilah kita bisa melihat panorama terindah kota Larantuka. Panorama Gunung Ile Mandiri, Kota Larantuka, dan Selat Adonara berpadu menghasilkan panorama alam yang luar biasa indah seperti lukisan karya maestro ternama. Rasanya, tak berlebihan kalau Larantuka mendapat predikat sebagai salah satu kota terindah di Indonesia. Saya benar-benar jatuh cinta dengan Larantuka, dan rasanya sangat berat untuk meninggalkan kota ini. Semoga suatu hari nanti, saya bisa berkunjung kembali ke Larantuka.

Getting There
Cara tercepat untuk mencapai Kota Larantuka adalah lewat jalur udara. Anda harus terbang dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT . Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa terbang dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa.co.id) atau Susi Air (www.susiair.com) menuju Larantuka. Jadwal pesawat Trans Nusa ataupun Susi Air hanya beberapa kali dalam seminggu (tidak setiap hari). Untuk memastikan jadwal pesawat ke Larantuka, Anda bisa melihat situs masing-masing atau menghubungi via telepon. Pilihan lainnya, Anda bisa terbang ke Surabaya atau Denpasar. Kemudian dari Surabaya atau Denpasar, Anda bisa terbang ke Maumere, kota tetangga Maumere. Selanjutnya, dari Maumere, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Larantuka dengan bus yang memakan waktu sekitar 3 jam. Maskapai yang melayani penerbangan Surabaya/Denpasar - Maumere adalah Sky Aviation (www.sky-aviation.co.id) dan Lion Air (www.lionair.co.id). Sebenarnya Anda juga bisa mengunjungi Larantuka lewat jalur laut dari Surabaya, tapi jadwalnya tidak pasti (dua minggu sekal dan waktu perjalanan sangat lama). Jadi, saya tidak menyarankan opsi ini. (edyra)***

Where to Stay
Hotel Asa
Jl. Soekarno-Hatta, Weri, Larantuka
Telp. (0383) 2325 018
Tarif : mulai Rp 350.000,00

Hotel Lestari
Jl. Yos Sudarso No. 3, Larantuka
Telp. (0383) 2325 517
Tarif : mulai Rp 200.000,00

Hotel Fortuna I dan II
Jl. Basuki Rachmat No. 171, Larantuka
Telp. (0383) 21140, 21383
Tarif : mulai Rp 100.000,00

Hotel Kartika
Jl. Niaga No. 4, Postoh, Larantuka
Telp. (0383) 21888
Tarif : mulai Rp 85.000,00

4 comments:

  1. Bagus bgt ni..
    Bang klo sewa motor dan guide perhari berapa ya?
    Abang ksna pas lg bukan Paskahan ya?

    ReplyDelete
  2. Ada kontaknya Bang Rauf nggak, bang? Sepertinya bagus jadi guide kl solo travelling kesana. Hihihi

    ReplyDelete
  3. Sewa motor Rp 100.000,00 per hari. Dulu punya kontaknya Bang Rauf tapi sayangnya sekarang udah ganti nomor HP-nya.

    ReplyDelete
  4. Saya sdh Di larantuka Bang, Ada yg nyewain motor gak disini Bang?

    ReplyDelete