Setiap
orang tidak ada yang ingin mengalami kesialan/kecelakaan kapan pun dan di mana
pun. Apalagi saat jalan-jalan ke tempat idaman. Yang terbayang hanyalah sesuatu
yang indah-indah. Namun, seperti kata pepatah, malang tak dapat ditolak, untung
tak dapat diraih. Kesialan bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana
saja karena biasanya terjadi di luar kehendak kita. Entah karena bencana alam,
cuaca yang tidak bersahabat, kondisi medan/jalan yang buruk, atasan yang arogan
atau oknum yang tak bertanggung jawab. Berikut delapan pengalaman paling
apes/sial yang pernah saya alami ketika jalan-jalan. Kebetulan semuanya terjadi
di luar negeri.
Ketinggalan
Pesawat di Malaysia
Bagi
orang yang sering berpergian menggunakan pesawat, biasanya pernah mengalami kejadian ketinggalan pesawat barang sekali atau dua kali. Sialnya, saya termasuk dalam kelompok
tersebut. Bukan hanya sekali, saya sudah pernah ketinggalan pesawat tiga kali
(semoga tidak akan pernah terjadi lagi). Dua kali terjadi di Indonesia,
dua-duanya terjadi di Bandara Juanda, Surabaya dan sekali terjadi di Kuala
Lumpur, Malaysia. Saat ketinggalan pesawat di Indonesia sih, saya tidak merasa
sial-sial amat. Soalnya, saya masih bisa ngeles ke petugas
airline dengan
1001 macam alasan, sehingga tiket saya tidak hangus dan masih bisa saya gunakan
untuk terbang keesokan harinya, tanpa mengeluarkan biaya tambahan sepeser pun.
Yang menyebalkan adalah ketika saya ketinggalan pesawat di Kuala Lumpur. Saya
harus merelakan tiket promo Kuala Lumpur - Hanoi, yang nggak murah-murah amat,
hangus dengan mengenaskan. Ceritanya, saya harus terbang jam 06.30 pagi dan
saat itu saya menginap di rumah kenalan yang berada nun jauh di Ipoh (luar
Kuala Lumpur). Karena saat itu saya masih newbie backpacker
yang kurang informasi dan tidak tahu kalau ada bus langsung dari Stasiun Kuala Lumpur Central
menuju Kuala
Lumpur International Airport, Low Cost Carrier Terminal (LCCT),
markasnya Air Asia, saya harus ketinggalan pesawat dengan sukses dan
mengenaskan. Meskipun saya sudah berusaha mati-matian merayu petugas Air Asia,
agar saya bisa ikut penerbangan berikutnya, ternyata usaha saya tak membawa
hasil. Tiket saya hangus dan tak bisa diapa-apakan lagi. Karena tiket ke Hanoi
untuk keesokan harinya sangat mahal, mau tak mau saya harus mengubah total rencana
perjalanan (itinerary)
dan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Hat Yai, Thailand. Rute awal
perjalanan, Kuala Lumpur - Hanoi (Vietnam) - Kamboja - Thailand, harus saya
balik total menjadi Kuala Lumpur - Thailand - Kamboja - Vietnam.
Dipalak
US$ 5 di Imigrasi Kamboja
Yang
namanya pungutan liar (pungli), ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia. Di
Kamboja juga ada pungli. Anehnya, malah terjadi di kantor/pos imigrasi, yang
merupakan gerbang masuk ke negara tersebut, tepatnya di Pos Imigrasi Poipet,
yang berbatasan dengan Aranyaprathet, Thailand. Saat itu saya akan memasuki
Kamboja lewat jalur darat, dari Kota Aranyaprathet, Thailand.
Kamboja
memberlakukan kebijakan Visa on Arrival
bagi Warga Negara Indonesia dan sejumlah negara lainnya dengan syarat yang
cukup mudah, yaitu mengisi formulir aplikasi visa, melampirkan foto 4 x 6 cm,
dan membayar biaya visa sebesar US$ 20 untuk visa turis atau US$ 25 untuk visa
bisnis. Namun, saat itu, saya dan turis-turis lainnya diminta membayar biaya
visa turis sebesar US$ 25. Saya
sebenarnya tidak kaget melihat kejadian tersebut. Soalnya saya sudah
mengetahuinya dari internet. Walaupun tarif resminya USD 20, pada praktiknya
kita akan di-charge
USD 25.Waktu kami tanyakan, US$ 5 buat apa? Petugas imigrasi menjawab sekenanya. Katanya untuk biaya
administrasi dan sebagian untuk Pemerintah Thailand. Alasan yang nggak masuk
akal. Nggak mungkin banget Pemerintah Thailand minta uang dari imigrasi
tetangganya. Jelaslah kalau uang US$ 5 masuk ke kantong para petugas imigrasi
tersebut. Kalau kami tidak mau bayar sebesar US$ 25, kami tidak akan diberi
visa dan berarti kami tak bisa memasuki Kamboja. Jadi, mau tak mau saya dan
turis-turis lainya membayar biaya tambahan US$ 5. (Cerita lengkap tentang hal
ini, sudah saya tulis di blog ini dengan judul “Dipalak US$ 5
di Imigrasi Kamboja”).
Kehabisan
Uang di Ho Chi Minh City, Vietnam
Mata
Uang Vietnam yang bernama Dong, termasuk salah mata uang yang langka. Karena
nilai tukarnya sangat rendah, Dong jarang dijual di negara lain, bahkan di
negara-negara tetangganya seperti Laos, Kamboja, dan Thailand. Beruntung, saat
itu saya masih bisa mendapat Dong di Batam, meski jumlahnya tak seberapa.
Singkat
cerita, setelah puas liburan tiga hari di Ho Chi Minh City, saya berniat
melanjutkan perjalanan ke Hanoi dan selanjutnya ke Ha Long Bay, tujuan utama
saya. Saya sangat penasaran dengan Ha Long Bay, teluk cantik
yang dihiasi ratusan pulau-pulau karang aneka bentuk. Saya pun berkeliling dari
satu biro perjalanan ke biro perjalanan lainya untuk mencari tiket bus termurah
ke Hanoi. Setelah mendapat harga tiket termurah, saya berniat membayarnya.
Karena saat itu uang Dong saya tinggal sedikit dan tak cukup untuk membayar
tiket bus Ho Chi Minh City - Hanoi, saya bilang ke petugas untuk mengambil uang
dulu di ATM. Saya segera mencari ATM yang ada tanda logo Master Card-nya. Saya
coba menarik uang di ATM bank lokal (Vietnam), nggak bisa. Saya coba lagi ke
beberapa ATM bank yang ada logo Master Card-nya,
tetap nggak bisa padahal saya sangat yakin saldo saya masih banyak. Saya pun
mulai panik. Akhirnya saya coba menarik di ATM bank dengan jaringan
internasional (HSBC dan Citibank) tapi tetap tidak bisa. Sialnya, saat itu saya
hanya membawa selembar kartu ATM dari salah satu bank pemerintah di Indonesia
dan tidak membawa kartu kredit. Pasalnya, sebelumnya saya bisa menarik uang di
mesin ATM bank lokal (tanpa masalah), saat berada di Thailand dan Kamboja.
Jadi, saya pun berpikir saya bisa menarik uang di mesin ATM bank, di
Vietnam. Saya pun langsung menuju Kantor Tourist Information
Center yang berada di pusat kota, untuk menanyakan masalah saya. Ternyata
jawabannya mengejutkan. Kata petugas tersebut, meski kartu ATM saya ada logo Master Card-nya
(yang notabene bisa diterima secara internasional), saya tetap tidak bisa
menarik uang di mesin ATM bank-bank di Vietnam, kalau bank saya tidak ada kerja
sama dengan bank-bank di Vietnam. Baru kali ini, saya mengetahui hal tersebut.
Saya pun speechless.
Pupus sudah harapan saya untuk mengunjungi Ha Long Bay, salah satu tempat
wisata impian saya. Mau tak mau, saya harus kembali ke Phnom Penh, Kamboja
karena uang saya hanya cukup untuk membeli tiket bus ke Phnom Penh. Saya juga
harus merubah kembali itinerary
perjalanan, karena tidak jadi berkeliling Vietnam.
Saya
pun kembali ke biro perjalanan tempat saya booking tiket bus
ke Hanoi dan membatalkannya. Sebagai gantinnya, saya membeli tiket bus ke Phnom
Penh untuk keesokan harinya. Petugas di biro perjalanan tersebut juga ikut
prihatin dengan kejadian yang menimpa saya dan berharap sayab tidak kapok
berlibur di Vietnam.
Keesokan
harinya, saya pun melanjutkan perjalanan dengan bus ke Phnom Penh. Saat tiba di
Phnom Penh, saya langsung pergi ke salah satu mesin ATM bank yang ada logo Master Card-nya
untuk menarik uang. Seperti yang saya tebak, uang dolar pun keluar dari mesin
ATM tanpa kendala. Sebelumnya, saya sudah pernah menarik uang di mesin ATM bank
di Kamboja dan tidak ada masalah apa pun.
Kecelakaan
di Sumbawa
Suasana
Jalan Lintas Sumbawa di Pulau Sumbawa tergolong sepi. Kendaraan jarang-jarang
dan kondisi jalan cukup mulus. Namun, di beberapa tempat, jalan banyak yang
rusak dan berlubang. Selain itu kondisi jalan berkelok-kelok naik turun bukit
dengan laut atau jurang di kanan kirinya. Bagi yang biasa berkendara di
kota-kota besar di Jawa, pasti sangat senang berkendara di Sumbawa, karena
jalan sangat sepi dan tak ada kemacetan. Bahkan saking sepinya, jalan sudah
seperti jalan pribadi, terutama di luar kota. Begitu juga dengan teman saya
(Anas), yang saat itu tengah membonceng saya. Dia memacu sepeda motor dengan
kecepatan tinggi, ketika melakukan perjalanan dari Sumbawa ke Bali. Sialnya,
saat melewati turunan yang curam di luar kota ( di antara Dompu dan Sumbawa
Besar), tiba-tiba di tengah jalan ada lubang menganga cukup besar. Karena Anas
mengerem mendadak, tak pelak lagi, kami pun jatuh dengan suksesnya. Seingat
saya, kami berguling-guling sampai tiga kali, sebelum kendaraan benar-benar
berhenti. Untungnya, saat itu saya tidak terluka sedikit pun. Lecet-lecet pun
tidak. Namun, Anas mengalami luka yang cukup parah di lututnya dan celananya
pun robek. Karena lokasi kecelakaan di luar kota yang jauh dari perkampungan
penduduk, kami tak bisa menemukan rumah sakit/puskesmas/dokter untuk berobat.
Rumah sakit hanya ada di Kota Sumbawa Besar yang jaraknya masih beberapa puluh
kilometer lagi. Kami pun harus bersabar dan melanjutkan perjalanan ke Sumbawa
Besar. Sesampainya di Sumbawa Besar, kami segera ke Rumah Sakit Umum untuk
berobat. Di rumah sakit, dokter menyarankan kami untuk tidak melanjutkan
perjalanan ke Bali, karena luka di lutut Anas cukup parah. Kalau pun tetap
ingin melanjutkan perjalanan, kami disarankan untuk naik mobil. Namun, kami tak
mungkin menunda perjalanan karena besok harus kembali bekerja. Anas juga tak
mau melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum, karena jadwalnya tidak
menentu dan lebih repot karena harus pindah-pindah bus dan fery. Saat itu (dan
sampai sekarang), tidak ada kendaraan umum (bus) yang melayani trayek Sumbawa
Besar - Denpasar langsung. Jadinya kami pun melanjutkan perjalanan dengan
sepeda motor dengan pelan. Pepatah "Biar Lambat Asal Selamat"
benar-benar kami ikuti. Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan darat
ratusan kilometer dan menyeberangi dua selat (Selat Alas dan Selat Lombok)
dengan fery, kami tiba di Denpasar dengan selamat.
Traveling
on a Wheelchair
Siapa
pun orangnya, saya yakin tidak ada yang berkeinginan (atau sekedar
membayangkan) jalan-jalan menggunakan kursi roda, kecuali memang pengguna kursi
roda. Begitu juga dengan saya. Tak pernah sedikit pun terbersit di benak saya,
bahwa saya akan mengalami kejadian jalan-jalan menggunakan kursi roda. Namun,
tak disangka-sangka, akhirnya saya mengalami kejadian traveling on a
wheelchair. Tragisnya lagi, saat itu saya bepergian seorang diri. Berikut
cerita lengkapnya.
Pagi
hari, sebelum berangkat ke Bali, saya jatuh dari pohon rambutan. Akibatnya kaki
kanan saya terkilir. Setelah dipijat oleh tetangga yang biasa memijat, saya pun
berangkat ke Bali dengan naik bus dulu ke Surabaya. Dari Surabaya, saya
melanjutkan perjalanan dengan pesawat ke Bali. Perjalanan Pati - Surabaya yang
memakan waktu lima jam lebih, membuat kaki saya semakin membengkak besar. Tiba
di Terminal Purabaya, Sidoarjo, kaki saya membengkak besar dan saya kesulitan
berjalan. Untunglah halte Bus DAMRI jurusan Bandara Juanda, berada di dekat
tempat penurunan bus antar kota antar provinsi yang saya naiki. Dengan pincang
dan tertatih-tatih, saya pun berjalan menuju halte Bus DAMRI dan segera naik.
Begitu
sampai di Bandara Juanda, masih dengan kaki pincang dan tertatih-tatih saya
berjalan menuju kounter check in. Melihat
saya berjalan dengan pincang, petugas check in menawari
saya untuk memakai kursi roda. Petugas tersebut juga meminta saya
menandatangani Surat Pernyataan bermaterai yang intinya berisi saya sakit tapi
bisa melanjutkan perjalanan dengan pesawat dan tidak akan menuntut ke maskapai
bila ada sesuatu terjadi berkaitan dengan penyakit/kaki saya. Selesai check in, petugas
mendorong saya dengan kursi roda ke ruang tunggu keberangkatan yang berada di
lantai dua. Sebenarnya saya malu, naik kursi roda. Namun, karena saya memang
sudah benar-benar tak bisa berjalan, mau tak mau saya harus naik kursi roda.
Saat
boarding, saya
didahulukan daripada penumpang lain. Karena lokasi pesawat cukup jauh dari
ruang tunggu, penumpang harus naik bus terlebih dahulu. Saya yang mengggunakan
kursi roda, diantar menggunakan mobil khusus sampai ke depan tangga pesawat.
Saya merasa seperti orang penting, diantar dengan mobil khusus hingga
benar-benar tiba di depan pesawat.
Saat
tiba di Bandara Ngurah Rai, Bali, petugas dengan kursi roda juga telah
menyambut saya di depan tangga pesawat. Kemudian, saya didorong petugas
tersebut hingga tiba di depan lokasi penjemputan penumpang di mana telah siap
teman yang menjemput saya.
Diusir
di Bandara Charles de Gaulle, Paris
Untuk
menghindari tragedi ketinggalan pesawat dan sekaligus menghemat biaya
akomodasi, biasanya saya memilih tidur di bandara bila penerbangan saya
pagi-pagi banget. Begitu juga saat di Paris. Pesawat Easy Jet yang akan membawa
saya ke Roma, Italia keesokan harinya akan berangkat pukul 06.30 pagi dari
Bandara Charles de Gaulle, Paris. Saya pun menginap di bandara utama Kota Paris
tersebut.
Tempat
favorit saya untuk menginap di bandara adalah musholla. Asyiknya, di Bandara
Charles de Gaulle terdapat beberapa mushola. Salah satunya ada di terminal
keberangkatan, yang akan saya datangi. Dengan bermodal peta bandara dan
melihat petunjuk arah, saya segera menuju mushola tersebut. Tiba di mushola
yang saat itu sedang kosong, saya segera meletakkan kopor dan backpack di pojok
ruangan. Kemudian, saya mengambil air wudhu dan menunaikan sholat maghrib dan
isya (jamak qashar). Selesai sholat, saya segera merebahkan diri di samping tas
saya. Niat saya mau tidur tapi mata tak mau terpejam.
Tak
lama kemudian, datanglah empat orang anak muda (seingat saya, 2 cowok dan 2
cewek berjilbab) berwajah Melayu. Dari omongannya, sepertinya mereka berasal
dari Malaysia. Dan tebakan saya pun benar. Mereka berempat adalah mahasiswa
asal Malaysia yang sedang menuntut ilmu di Eropa. Saat itu, mereka sedang
jalan-jalan di Paris. Saya pun ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka. Setelah
itu, saya pamit untuk tidur. Namun nggak tahu kenapa, mata saya enggan
terpejam. Padahal seharian saya cukup lelah jalan-jalan keliling Paris.
Menjelang
tengah malam, keempat mahasiswa asal Malaysia tersebut meninggalkan mushola.
Saya pun kembali sendirian di dalam mushola. Karena suasana yang sepi dan badan
cukup letih, akhirnya saya terlelap.
Tak
sampai satu jam tidur, saya terbangun karena mendengar teriakan dan pintu
mushola sudah terbuka. Di depan pintu mushola, berdiri dua orang sekuriti
berbadan tinggi besar dan berkulit hitam sambil menuntun seekor anjing herder
yang cukup besar. Saya yang baru bangun tidur, shock melihat
pemandangan tak sedap di depan mata. Dengan nada suara tinggi (membentak),
salah seorang di antara mereka menanyai saya dalam Bahasa Perancis. Meski saya
tahu sedikit-sedikit apa yang mereka ucapkan, saya pura-pura nggak tahu Bahasa
Perancis. “I don’t speak French,” jawab saya dengan ketus. Mereka pun bertanya
dalam Bahasa Inggris, “What language do you speak?” Saya jawab aja, “English.”
Kemudian, mereka bertanya panjang lebar kepada saya dalam Bahasa Inggris .
Mulai dari asal dari mana, mau ke mana, mengapa tidur di mushola, dan
lain-lain. Saya pun jawab apa adanya. Selanjutnya, mereka mengusir saya agar
segera meninggalkan mushola tersebut. Karena malas berdebat dan berurusan
dengan mereka, saya pun terpaksa meninggalkan mushola tersebut dan mencari
tempat tidur di dekat ruang tunggu keberangkatan. Untunglah saat itu banyak
kursi kosong, sehingga saya bisa merebahkan badan untuk istirahat.
Baru
sekali itu, saya diusir dengan kasar saat tidur di mushola bandara. Beberapa
kali saya tidur di mushola bandara, aman-aman saja. Sebelumnya, saya pernah
menginap dengan nyaman di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok; LCCT, Kuala Lumpur;
Bandara Birmingham, Inggris dan Bandara Stansted, London tanpa ada
gangguan/pengusiran.
Tiket
Pesawat Hangus
Ada
yang bilang, kesempatan tidak datang dua kali. Makanya, bila ada maskapai
menggelar promo tiket murah ke tempat idaman dan kebetulan waktunya cocok
(berdekatan dengan hari libur/tanggal merah) tanpa pikir panjang langsung saya
beli. Dalam benak saya, yang terpikir hanyalah saya bisa jalan-jalan ke tempat
impian dengan tiket yang murah. Urusan izin/cuti, nanti bisa diatur. Ternyata,
urusan izin/cuti tak semudah yang saya bayangkan. Apalagi bila mendapat
atasan/kepala kantor yang super duper menyebalkan, seperti yang saya alami.
Alamat tiket-tiket promo bakalan hangus dengan menyedihkan. Penyebab tiket saya
hangus, macam-macam. Sebagian besar terjadi karena keadaan di luar kehendak
saya, sebagian lagi terjadi karena kecerobohan saya. Di antaranya adalah tidak
ada waktu untuk mengurus visa karena terlalu sibuk, kebijakan pemberian Visa on
Arrival di suatu negara yang tiba-tiba dicabut, cuti ditolak kepala kantor,
dan yang paling menyebalkan adalah tiba-tiba ada tugas/pekerjaan mendadak di
kantor yang harus saya selesaikan secepatnya. Kalau sudah begitu, dengan
terpaksa dan berurai air mata, saya harus merelakan tiket-tiket promo hangus
tak terpakai. Sejauh ini, tiket-tiket saya yang hangus adalah rute-rute berikut
: London - Eindhoven, Perth - Melbourne, Melbourne - Sydney, dan Kuala Lumpur -
Yangon. Sangat mengenaskan memang!
Dikejar
Anjing di Bali
Salah
satu hal yang paling saya benci di Bali adalah banyaknya anjing di sana, baik
anjing liar maupun anjing yang dipelihara Warga Bali. Bagi saya, anjing-anjing
tersebut sangat mengganggu dan menakutkan. Suara gonggongannya nggak enak
didengar, air liurnya najis besar (bagi umat muslim), dan gigitannya bisa
menimbulkan penyakit rabies. Sialnya, tetangga depan rumah di Bali memelihara
banyak anjing. Anjing-anjing tersebut seringkali menggonggong dan mengejar
orang tanpa alasan yang jelas meski sudah sering melihat/ mengenali kita.
Jadinya, saya harus selalu waspada ketika keluar pagar rumah.
Tragedi
dikejar anjing ini terjadi pada tahun 2005, ketika saya belum tinggal di Bali.
Saat itu saya menemani seorang teman (Budi), mencari alamat rumah temannya di
sebuah kompleks perumahan, di daerah Sidakarya, Denpasar. Berbekal alamat yang
diirim via SMS, sehabis maghrib, kami naik sepeda motor mencari alamat
tersebut. Saat itu Budi yang membawa sepeda motor dan saya jadi pemboncengnya.
Memasuki
kompleks perumahan yang kami tuju di daerah Sidakarya, Budi memperlambat sepeda
motor agar lebih mudah menemukan alamat rumah temannya. Apalagi jalan/gang di
kompleks perumahan tersebut cukup sempit. Entah gimana ceritanya, kami salah
jalan dan masuk ke gang buntu. Sialnya lagi, di dekat ujung gang ada dua ekor
anjing, masing-masing di kanan dan kiri gang. Perasaan kami nggak enak meski
saat itu kedua anjing tersebut diam tak menggonggong. Budi segera memutar
sepeda motor untuk kembali ke jalan yang benar (keluar gang). Saat itulah,
tiba-tiba kedua anjing tersebut dengan kompak mengejar kami. Budi pun memacu
sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Karena ketakutan, saya yang dibonceng
spontan mengangkat kaki ke atas sambil berpegangan erat. Tanpa dikomando, kami
berdua pun berteriak, "Tolooong, dikejar anjing!"
Untunglah
di pertigaan, di ujung gang, kami melihat sekelompok bapak-bapak sedang
nongkrong. Jadi kedua anjing menyebalkan tersebut berhenti mengejar kami dan
selamatlah kami. Kami segera ngacir dari tempat tersebut karena malu dan
sedikit trauma. Kami juga tidak jadi berkunjung ke rumah temannya Budi karena
ternyata alamatnya susah dicari dan trauma kami belum hilang. Kami langsung
kembali ke hotel dan sejak saat itu, kami nggak mau lagi melewati gang-gang
sempit ketika berkunjung ke Bali.
Itulah
beberapa pengalaman paling sial yang saya alami saat jalan-jalan. Walaupun
pahit saat mengalaminya, namun indah saat mengenangnya. Dan pastinya ada
hikmah/pelajaran berharga yang dapat saya ambil dari berbagai kesialan
tersebut. Semoga ke depannya, saya tidak akan pernah mengalami lagi berbagai
kesialan tersebut. Apakah teman-teman ada yang mengalami kesialan yang lebih
parah daripada yang saya alami? (edyra)***
haha dikejar anjing euyy
ReplyDeleteYukk wisata ke Dieng bersama kami cukup klik dan lihat penawaran di Paket Wisata Dieng website kami Paket Wisata Dieng
just share info aja, RATU MEDIKA adalah toko online yang menjual kursi roda travelling untuk jalan-jalan. Kursi roda liburan (kursi roda bepergian) ukuran kecil dan ringan. Kursi roda haji yang biasa digunakan saat naik haji dan naik pesawat. Kursi roda lipat ukuran mini yang ringan dan praktis masuk bagasi pesawat, untuk lebih jelasnya dapat membuka link ini: KursiRoda.Net
ReplyDelete