Wednesday, 16 December 2009

DUA MALAM MENGINAP GRATIS DI KUALA LUMPUR

Bus Transnasional yang bagus dan nyaman

Dalam rangkaian “TOUR DE SOUTH EAST ASIA,” pada tanggal 13 Juli 2008, saya melakukan perjalanan dari Singapura ke Kuala Lumpur dengan naik Bus Transnasional. Saya memilih kelas ekonomi, dengan tarif yang cukup murah RM 25 (sekitar Rp 71.250,00). Jangan bayangkan bus ekonomi di Malaysia seperti bus ekonomi di Indonesia yang panas tanpa AC, dengan kursi 2-3. Walaupun kelas ekonomi, Bus Transnasional cukup bagus dan nyaman. Busnya full AC, dengan kursi 1-2 (1 di sebelah kiri dan 2 di sebelah kanan). Kalau di Indonesia sih, termasuk Kelas Super Eksekutif. Transnasional termasuk salah satu bus termurah yang melayani rute lintas negara Singapura-Kuala Lumpur pulang pergi.

Bus berangkat sekitar jam 07.30 dari pool yang berada di dekat Stasiun MRT (Mass Rapid Transit) Lavender, Singapura. Penumpang bus saat itu hanya sepuluh orang. Belum ada satu jam perjalanan, saya sudah sampai di perbatasan Singapura-Malaysia. Semua penumpang bus harus turun beserta seluruh barang bawaannya, dan antri check out di Imigrasi Singapura. Walaupun masih pagi, antrian di Imigrasi Singapura sudah sangat panjang sehingga saya harus ngantri lumayan lama. Setelah beres urusan imigrasi, saya segera kembali ke bus. Namun bus nggak langsung jalan karena masih harus menunggu penumpang lainnya yang belum beres urusan imigrasinya.

Sambil menunggu penumpang lainnya, saya jalan-jalan di sekitar Imigrasi Singapura. Sayangnya, kami tidak diperbolehkan memotret ataupun merekam video di area imigrasi tersebut. Nggak seberapa jauh dari Imigrasi Singapura, saya melihat sebuah selat sempit yang lebih mirip sungai dengan jembatan di atasnya. Ternyata, itulah Selat Johor. Selat tersebut memisahkan Singapura dengan Malaysia. Di atas Selat Johor sudah dibangun sebuah jembatan yang menurut saya biasa banget, nggak ada indah-indahnya sama sekali. Dalam benak saya selama ini, selat yang memisahkan Singapura dan Malaysia cukup luas, dengan jembatan penghubungnya yang bagus dan megah. Ternyata jembatannya biasa saja. Sebelah utara jembatan termasuk wilayah Malaysia dan sebelah selatan jembatan termasuk wilayah Singapura.

Di dalam Bus Transnasional

Setelah semua penumpang lengkap, bus melanjutkan perjalanan melintasi jembatan di atas Selat Johor. Di seberang jembatan, bus berhenti lagi untuk check in di Imigrasi Malaysia. Ini adalah kali pertama saya ke Malaysia. Sama seperti di imigrasi Singapura tadi, semua penumpang harus turun beserta seluruh barang bawaannya. Karena Imigrasi Malaysia saat itu sedang sepi, saya nggak perlu antri. Petugas imigrasinya juga baik dan ramah. Setelah barang bawaan saya melewati security check (X-ray), saya segera menuju loket paspor dan visa. Begitu menyerahkan paspor kepada petugas imigrasi, dia langsung member stempel social visit permit yang berlaku selama 30 hari di paspor saya, tanpa bertanya apapun. Saya melihat banyak petugas imigrasi perempuan yang berjilbab di Imigrasi Malaysia. Maklum, Malaysia merupakan negara Islam yang patuh menjalankan syariat Islam.

Di Imigrasi Malaysia juga tersedia berbagai peta dan brosur wisata tentang kota-kota di Malaysia. Saya segera mengambil beberapa brosur dan peta tersebut. Pemerintah Malaysia memang sangat bagus promosi wisatanya. Mereka gencar mempromosikan potensi pariwisata negaranya sampai ke negara tetangganya. Pantesan kalau pariwisata di Malaysia lebih maju daripada di Indonesia. Padahal Indonesia memiliki potensi wisata yang jauh lebih bagus dan lebih lengkap daripada Malaysia. Saya sedih kalau mengingat hal ini. Di Bandara Soekarno-Hatta yang merupakan gerbang masuk ke Indonesia, Peta Jakarta jarang tersedia. Apalagi peta-peta daerah lain di Indonesia, dijamin nggak ada. Bagaimana pariwisata di Indonesia bisa maju kalau di bandara saja tidak tersedia peta wisata.

Saya mulai melihat masjid begitu memasuki wilayah Malaysia. Rambu-rambu dan billboard iklan juga sudah berganti dengan Bahasa Melayu yang lucu dan menggelitik. Banyak nama kantor atau perusahaaan atau rambu-rambu lalu lintas dalam Bahasa Melayu yang terdengar aneh bagi Orang Indonesia seperti saya. Misalnya : Pengurup Wang Berlesen (Licenced Money Changer), Kedai Runcit (Toko Kelontong), Tandas Awam (Toilet Umum), Kedai Motosikal (Toko/Dealer Sepeda Motor), Laluan Sehala (Jalan Satu Arah), dan masih banyak lagi.

Di Johor Baru, bus berhenti sebentar di sebuah terminal, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Terminal Johor Baru nggak jauh beda dengan terminal-terminal di Indonesia. Ramai, berisik, dan semrawut. Setelah menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang, bus jalan lagi. Saat itu, saya melihat seorang ibu berjilbab bersama cucunya yang masih balita dan sangat cantik masuk bus dan duduk di kursi seberang saya.

Dalam perjalanan ke Kuala Lumpur bus berhenti sejenak di sebuah restoran, memberi kesempatan kepada para penumpang untuk makan ataupun ke toilet. Perjalanan bus dari Johor Baru ke Kuala Lumpur tidak melewati pemandangan yang indah. Setelah keluar dari Kota Johor Baru, bus melewati jalan tol terus sampai masuk Kota Kuala Lumpur dengan pemandangan kebun kelapa sawit yang cukup luas di kiri kanan jalan. Selebihnya, tidak ada pemandangan yang menarik.

Tengah hari, bus memasuki Kuala Lumpur. Dari kejauhan nampak Menara Kembar Petronas & Menara Kuala Lumpur berdiri dengan gagahnya. Saya sudah nggak sabar untuk segera melihat dari dekat dan menaiki kedua ikon Kuala Lumpur tersebut. Saya mulai membuka-buka daftar hostel di Kuala Lumpur, yang saya dapat dari internet (www.hostelworld.com).

Terminal Puduraya, Kuala Lumpur

Bus berhenti di Terminal Puduraya Kuala Lumpur. Hujan deras menyambut kedatangan saya di Kuala Lumpur. Ketika turun dari bus, saya melihat ibu berjilbab dan cucunya yang tadi duduk di seberang kursi saya, sedang kewalahan membawa barangnya. Saya pun berusaha untuk membantunya. Kami ngobrol-ngobrol sambil berjalan menuju pintu keluar terminal untuk menunggu anaknya ibu tersebut yang akan datang menjemput. Dari obrolan tersebut, saya ketahui bahwa nama ibu itu adalah Rukiah, dan beliau adalah orang Indonesia tetapi sudah tinggal lama di Malaysia. Bu Rukiah berasal dari Siak, Riau. Beliau bertanya kepada saya, “Mau menginap di mana?” Saya pun menyebut nama salah satu hostel di Kuala Lumpur, yang saya dapat dari internet. Bu Rukiah bercerita bahwa dia tinggal di sebuah apartemen di daerah Ipoh, Kuala Limpur, bersama anak lelaki, menantu, dan dua cucunya. Oh ya, salah satu cucunya adalah yang sedang bersamanya saat itu, namanya Ainur. Bu Rukiah mengizinkan saya untuk menginap di apartemennya kalau saya mau. Tentu saja saya nggak menolak. Menginap gratis di negeri orang. Siapa yang nggak mau?

Bu Rukiah bersama anak, menantu dan cucunya

Setelah menunggu lumayan lama, anak dan menantu Bu Rukiah datang juga. Nama anak lelakinya Radzli sedang menantunya saya lupa namanya. Mereka semua baik banget. Karena tahu Bu Rukiah dan saya belum makan, Bang Radzli mengajak saya makan siang di sebuah warung di dalam Terminal Puduraya. Namanya Kedai Srimanja. Ternyata penjualnya adalah Orang Nganjuk, Jawa Timur. Memang banyak sekali orang Indonesia yang mengadu nasib di Malaysia. Dan saya sudah bertemu beberapa Orang Indonesia hari ini.

Setelah makan siang, kami segera keluar terminal mencari taxi. Ternyata hujan belum juga reda, walaupun nggak sederas tadi. Kuala Lumpur sering hujan akhir-akhir ini. Nggak berapa lama, taxi pun datang dan meluncurlah kami menuju apartemenya Bu Rukiah di daerah Ipoh, pinggiran Kuala Lumpur. Bang Radzli nggak ikut kami dalam taxi, karena dia bawa sepeda motor harus kembali ke tempat kerjanya.

Ternyata Ipoh cukup jauh dari pusat kota Kuala Lumpur. Bu Rukiah tinggal di sebuah apartemen tua sederhana di daerah Ipoh. Apartemennya terdiri dari 1 ruang serba guna, 2 kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Karena kamar tidurnya cuma dua, saya harus tidur di ruang tamu. Tak apalah tidur di ruang serba guna, yang penting ada kasurnya.

Karena hujan nggak reda-reda, saya nggak bisa kemana-mana sore itu. Saya istirahat di apartemen, sambil bermain-main dengan kedua cucu Bu Rukiah. Saat maghrib tiba, saya sempatkan juga sholat maghrib berjamaah di sebuah mushola yang letaknya nggak jauh dari apartemen Bu Rukiah.

Sehabis Isya, saya diajak Bu Rukiah jalan-jalan ke tempat kerja Bang Radzli di daerah Titiwangsa, Kuala Lumpur. Tempatnya lumayan jauh dari apartemen Bu Rukiah. Kami berempat (saya, Bu Rukiah, Istri Bang Radzli, Ainur, dan adiknya) ke sana menggunakan taxi.

Bang Radzli dan teman-temanya menyambut kedatangan kami di Cafe Western Food, Titi Wangsa dengan ramah. Rupanya teman-teman Bang Radzli sudah sangat akrab dengan keluarga Bang Radzli. Saya diperkenalkan kepada mereka. Mereka semua sangat baik kepada saya. Bahkan saya ditraktir makan malam, dengan menu Kwe Tiau Goreng & Teh Tarik (teh susu khas Malaysia). Kami makan sambil ngobrol sampai malam di kafe tersebut.

Sebelum tengah malam, kami kembali ke apartemen Bu Rukiah dengan naik taxi. Saya tidur beralaskan kasur yang empuk di ruang serbaguna. Tak lupa, Bu Rukiah memberikan bantal, guling, dan selimut kepada saya. Ini merupakan pengalaman pertama saya, menginap di rumah orang yang baru saya kenal di luar negeri. Asyiknya lagi, saya menginap dengan gratis selama dua malam. Ternyata memang benar ya, kalau kita selalu baik dan ramah kepada semua orang, orang lain pun akan baik dan ramah kepada kita. Saya sudah membuktikannya sendiri.

Bu Rukiah merupakan sosok malaikat yang dikirimkan Tuhan buat saya. Beliau sangat baik hati dan sudah menganggap saya sebagai anaknya sendiri. Saya ditemani jalan-jalan di Kuala Lumpur, dimasakin kare ayam, dan diizinkan menginap di apartemennya. Bahkan, ketika saya akan mencuci baju kotor saya, Bu Rukiah melarang saya. Beliau nggak canggung untuk mencuci dan menyeterika baju-baju saya. Saya sampai nggak enak hati. Kata beliau, “Kamu istirahat saja. Kamu kan sudah cape jalan-jalan. Biar Ibu saja yang mencuci.” Benar-benar seorang ibu yang baik hati. Saya berhutang budi padanya. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas semua kebaikan ibu. (edyra)***

No comments:

Post a Comment