Tuesday, 21 October 2014

ALLURING ALOR

Mengenakan baju adat Suku Abui di Kampung Takpala

Mendengar suara pramugari yang mengumumkan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Mali, Alor, sontak saya terjaga dan mata saya langsung terbelalak melihat pemandangan elok di bawah sana. Pulau-pulau kecil bertebaran di antara laut biru membentang. Kota Kalabahi yang berada di teluk dengan bukit-bukit menjulang tinggi di belakangnya juga terlihat sangat menawan. Apalagi lokasi bandara juga berada di pinggir pantai dan di dekatnya terdapat sebuah pulau kecil dikelilingi pasir putih bersih. Pendaratan pesawat yang tidak mulus pun terlupakan oleh panorama cantik yang ada di sekitar bandara. Sungguh menjadi ucapan “Selamat Datang” yang sangat indah bagi saya. 

Bandara Mali yang berada di pinggir pantai
 
Bandara Mali
Setelah pesawat benar-benar berhenti di landasan, dan pintu pesawat dibuka oleh pramugari, saya bergegas turun bersama penumpang lainnya, menuju gedung terminal. Jangan bayangkan terminal bandara yang luas dengan fasilitas yang lengkap seperti bandara-bandara di kota besar! Bandara Mali hanyalah bandara perintis dengan gedung terminal yang sangat kecil dan fasilitas sangat sederhana. Terminal bandara hanya terdiri dari ruang kedatangan, ruang keberangkatan, ruang VIP. Tak ada kafe, restoran maupun toko souvenir. Fasilitas standar bandara seperti troli dan conveyor belt Juga tidak ada. Bagasi penumpang langsung dibagikan oleh petugas kepada penumpang di ruang kedatangan yang sangat sempit. Untungnya saya tak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lain karena saya tidak membawa bagasi. Jadi, saya langsung keluar gedung terminal mencari teman yang asli Alor, yang telah siap menjemput saya. Kalau tak ada penjemput, Anda tak usah khawatir untuk mencapai pusat Kota Kalabahi. Anda bisa naik ojek atau “taksi” (berupa mobil Avanza/Xenia tanpa ada tulisan taksi di atasnya) menuju Kalabahi yang jaraknya sekitar 16 km.

Pantai Maimol
 
Pantai Maimol
Sekitar 5 km dari Bandara Mali, saya melihat sebuah pantai cantik di sebelah kiri jalan. Saya pun meminta teman saya untuk singgah sejenak di pantai tersebut. Pantai Maimol namanya. Pantai berpasir putih dengan laut biru jernih ini merupakan salah satu pantai kebanggaan Warga Kalabahi. Setiap akhir pekan dan hari libur, biasanya pantai ini dipadati pengunjung. Namun siang itu, Pantai Maimol sangat sepi. Kami hanya melihat tiga orang pengunjung dan beberapa anak kecil yang asyik bermain air. Tak ada satu pun turis, baik turis lokal maupun turis asing seperti pantai-pantai di Bali. Padahal Pantai Maimol sangat menawan. Dengan pantai yang melengkung indah dan dihiasi beberapa pohon kelapa di tepiannya, membuat pantai ini terlihat menawan. Di pinggir jalan juga terdapat beberapa penjual jagung rebus dan makanan ringan yang siap mengakomodir pengunjung yang sedang lapar.

Kampung Takpala
Setelah menaruh tas di hotel dan makan siang di sebuah Warung Jawa di Jalan Diponegoro, Kalabahi, saya tidak mau menyia-nyiakan waktu di Alor. Bersama teman yang sekaligus berperan sebagai pemandu (guide), saya bergerak menuju Kampung Takpala. Dari Kalabahi hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai di  Kampung Takpala.

Rumah Fala Foka di Kampung Takpala
 
Kampung Takpala berada di atas bukit. Dari tempat parkir, kami harus berjalan mendaki untuk mencapai Kampung yang dihuni Suku Abui ini. Karena berada di ketinggian, pemandangan yang ditawarkan Kampung Takpala sangat memukau. Selain, deretan rumah-rumah adat berbentuk limas dan beratap ilalang, dari kampung ini terlihat panorama Teluk Kabola dan bagian kepala Pulau Alor. Ketika tiba di sana, kami disambut Pak Abner, tetua adat Kampung Takpala. Beliau mengantar kami keliling kampung sambil menjelaskan berbagai adat dan tradisi yang ada di Kampung Takpala. Di antaranya filosofi rumah adat yang berbentuk limas, suku-suku penghuni kampung, tari-tarian tradisional, dan berbagai upacara adat yang masih digelar Kampung Takpala hingga kini. Bahkan, Pak Abner memberi kesempatan kepada saya untuk berfoto mengenakan baju adat dengan memberikan donasi seikhlasnya. 

Moto Kota Kalabahi dan Tugu Perjuanagn Rakyat di pusat Kota Kalabahi
 
Kalabahi Kota Kenari
Kabupaten Alor beribukota di Kalabahi yang mempunyai julukan Kota Kenari. Julukan ini bukan tanpa alasan karena dulunya memang banyak pohon kenari (Canarium indicum) di kota ini. Kini, meskipun kenari sudah jarang ditemukan di Kalabahi, kenari masih banyak dijumpai di hutan-hutan di Alor. Buah kenari juga masih gampang didapatkan di pasar-pasar di Kalabahi.

Panorama Kota Kalabahi yang menawan dilihat dari ketinggian
 
Kalabahi merupakan kota kecil yang semarak. Kota ini mempunyai fasilitas umum yang tergolong lengkap. Mulai dari bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dan pasar tradisional. Kondisi jalan di Kalabahi juga bagus dan mulus. Di bandingkan dengan kota-kota kabupaten lainnya di Provinsi NTT, Kalabah termasuk kota paling besar dan paling ramai. Padahal letaknya di ujung timur NTT, berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Letak kota yang berada di pinggir pantai/teluk dan dipagari perbukitan, membuat kota ini sedap dipandang mata. Lokasi paling tepat untuk melihat kecantikan seutuhnya Kalabahi adalah di sebuah bukit menuju arah Otvai/Kebon Kopi. Dari sini, kita bisa melihat keseluruhan Kota Kalabahi sekaligus melihat panorama matahari terbenam (sunset) bila kita datang di sore hari, menjelang matahari terbenam.

Pantai cantik di Pulau Kepa dengan Pulau Ternate di kejauhan
 
Pulau Kepa
Di sekitar Alor terdapat sejumlah pulau kecil yang menarik. Salah satu pulau yang menarik perhatian saya adalah Pulau Kepa. Pulau ini berada di lepas pantai Desa Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat Laut Untuk mencapai Pulau Kepa, saya menyeberang dengan perahu nelayan dari Dermga Alor Kecil. Perjalanan dengan perahu menuju Pulau Kepa hanya memakan waktu tak lebih dari lima menit, Maklum, Pulau Kepa hanya dipisahkan oleh selat yang sangat sempit dengan daratan Pulau Alor, namanya Selat Kumbang atau warga setempat menyebut Mulut Kumbang. Meski sempit, selat ini cukup berbahaya karena dilalui arus yang sangat kencang/kuat.

Terumbu karang warna-warni di sekitar Pulau Kepa
 
Pulau Kepa berukuran sangat mungil. Luas pulau ini hanya sekitar 3 kilometer persegi. Walaupun kecil, pulau ini berpenghuni. Perkampungan penduduk terpusat di bagian utara dan barat pulau yang menghadap ke Pulau Alor. Daya tarik Pulau Kepa selain pantai-pantainya yang berpasir putih tak lain adalah keindahan bawah lautnya. Di sekeliling Pulau Kepa terdapat titik-titik menyelam (dive spot) yang menawan sehingga menarik kunjungan para penyelam dari berbagai negara. Bila tidak mempunyai keahlian menyelam, Anda tak perlu khawatir. Dengan snorkeling pun Anda bisa menikmati keindahan bawah laut Pulau Kepa. Bersama teman, saya pun mencoba snorkeling di bagian selatan pulau, tak jauh dari Resort La Petite Kepa yang dikelola oleh Orang Perancis. Ternyata bawah laut Pulau Kepa memang indah. Tak perlu berenang jauh ke tengah laut, saya sudah bisa melihat berbagai jenis ikan cantik warna-warni. Terumbu karang juga lumayan banyak meski sudah banyak yang rusak. Di beberapa tempat, terlihat terumbu karang yang baru tumbuh. Sayangnya, arus lautnya  sangat kuat sehingga membuat saya tak berlama-lama snorkeling di sana. Dari berbagai tempat yang pernah saya snorkeling, arus di sekitar Pulau Kepa yang paling kuat saya rasakan. 

Al Quran Tua dari Kulit Kayu
Alor tidak melulu pantai dan pulau-pulau kecil. Pulau ini juga mempunyai destinasi wisata religi yang menarik, tepatnya di Desa Alor Besar. Di desa tetangga Alor Kecil ini terdapat Al Quran dari kulit kayu yang sudah berumur ratusan tahun. Al Quran tersebut disimpan di rumah Nurdin Gogo, di samping Masjid Jami Babussholah, Desa Alor Besar.

Masjid Jami Babussholah di Desa Alor Besar
 
Saya takjub melihat Al Quran yang terbuat dari kulit kayu tersebut masih utuh dan tulisannya bisa terbaca dengan jelas. Padahal, dari keterangan  Nurdin Gogo, yang  merupakan generasi ke-14 dari Iang Gogo, Al Quran tersebut sudah berumur 800 tahun lebih. Dulunya, Al Quran ini dibawa oleh Iang Gogo, seorang ulama dari Pulau Ternate, Maluku Utara. Iang Gogo bersama keempat saudaranya (Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales Gogo) berniat menyiarkan Agama Islam di Alor dan sekitarnya, berbekal Al Quran tua dan pisau khitan. Ketika sepakat untuk berpencar, Iang Gogo memilih menetap di Desa Alor Besar, sedangkan empat saudaranya berlayar dan menetap di beberapa pulau, sekitar Alor. Keturunan Iang Gogo di Alor Besar hingga kini telah mencapai generasi ke-15.  

Al Quran tua dari kulit kayu yang berumur 800 tahun lebih
 
Menurut para sejarawan, Al Quran dari kulit kayu tersebut telah melampaui usia 800 tahun dan diakui sebagai Al Quran tertua di Indonesia bahkan di Asia. Hebatnya, Al Quran tersebut masih awet terjaga hingga kini meski tempat menyimpan Al Quarn tersebut pernah mengalamai kebakaran beberapa kali. Lembaran-lembarannya masih bisa dibuka dan ayat-ayatnya yang ditulis dengan tinta hitam dan merah juga masih bisa dibaca dengan jelas. Bahkan, Al Quran ini  sempat diboyong keluar dari Alor ke Ternate untuk dipajang saat perhelatan Festival Legu Gam Kesultanan Ternate bulan Maret 2011.

Pantai Sebanjar
Karena belum puas snorkeling di Pulau Kepa, saya melanjutkannya di Pantai Sebanjar. Pantai berpasir putih nan cantik ini merupakan salah satu spot snorkeling terbaik di Alor. Pantai Sebanjar terletak di Desa Alor Besar, hanya beberapa kilometer dari lokasi Al Quran tua. Jika berada di Bali, saya yakin pantai ini sudah dijejali hotel, resort, maupun kafe. Dengan tampilan fisik yang cantikk dan bawah laut yang menarik, Pantai Sebanjar jelas bisa memikat para investor. Sayangnya pantai ini berada di Alor yang lokasinya jauh dari Jawa dan Bali. Jadi kondisi Pantai Sebanjar masih sangat alami, tanpa polesan apa pun. Namun, kealamian inilah yang membuat saya jatuh cinta dengan Pantai Sebanjar.

Pantai Sebanjar
 
Pantai Sebanjar cantik “atas” dan “bawah.”  Secara kasat mata, pantai ini terlihat menawan karena bibir pantainya yang panjang dihiasi pasir putih dengan air laut hijau kebiruan. Bawah lautnya pun tak kalah menarik. Beberapa jenis terumbu karang dan ikan warna-warni bersemayam di sana. Memang, terumbu karangnya tak sebanyak di Pulau Kepa. Namun, di Pantai Sebanjar tak ada arus (kecuali kita berenang jauh ke tengah), sehingga lebih aman untuk snorkeling. Saya sangat betah berlama-lama snorkeling di Pantai Sebanjar sampai teman saya meminta saya menyudahi snorkeling karena masih harus melanjutkan perjalanan ke tempat lain. 

Tebing yang sangat tinggi di dekat Pantai Batu Putih
 

Pantai Batu Putih
Pantai terakhir yang kami kunjungi di Alor adalah Pantai Batu Putih. Pantai ini berada di Desa Batu Putih, Kecamatan Alor Barat Laut. Dari Pantai Sebanjar cukup jauh mencapai pantai ini, sekitar 40 menit berkendara karena kami harus mengelilingi bagian kepala Pulau Alor yang kondisi jalannya kurang bagus di beberapa tempat. Kami harus melewati jalan yang berliku-liku naik turun bukit dengan kondisi jalan sangat buruk. Bahkan mendekati lokasi Pantai Batu Putih, kami harus menuruni bukit yang sangat tinggi dengan tebing-tebing yang berdiri tegak 90 derajat. Dari atas bukit, kami sudah bisa melihat Pantai Sebanjar yang tersembunyi nun jauh di bawah sana.

Pantai Batu Putih

Lokasi Pantai Batu Putih memang tersembunyi di bawah tebing yang sangat tinggi, di sebuah teluk. Oleh karena itu, bibir pantai ini melengkung indah dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Ada yang unik dengan Pantai Batu Putih. Tidak seperti pantai kebanyakan yang bibirnya dihiasi pasir, di Pantai Batu Putih tak ada pasir. Seperti namanya, bibir pantai ini dihiasi batu-batu kecil berwarna putih tulang (cream). Sejauh mata memandang, terlihat hamparan batu-batu putih dengan berbagai ukuran, mulai dari seukuran butiran beras hingga sebesar kelereng. Hamparan batuan ini bukan hanya di satu satu dua tempat saja, melainkan di seluruh bibir Pantai Batu Putih sehingga membuat kita cukup susah untuk berjalan di atasnya. Namun, justru inilah keunikan pantai ini yang mungkin tiada duanya di Indonesia.
 

Museum 1000 Moko
Alor tak bisa dipisahkan dari moko (nekara perunggu). Di berbagai sudut pulau ini, ditemukan banyak moko sehingga membuatnya mendapat julukan “Pulau Seribu Moko.” Untuk lebih mengenal moko, saya mengunjungi Museum 1000 Moko yang letaknya di Jalan Diponegoro, tepat di depan hotel saya. Sayangnya, saat itu museum sedang direnovasi sehingga terlihat agak berantakan dan sementara ditutup untuk umum. Namun, melihat saya yang datang dari jauh, petugas museum mengizinkan saya masuk ke dalam museum dan menemani saya keliling museum.

Moko (nekara perunggu) di Museum 1000 Moko
 
Sesuai dengan namanya, museum yang diresmikan pada tahun 2004 ini menjadikan moko sebagai pajangan utamanya. Moko diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu sekitar 1000 tahun sebelum masehi. Benda mirip gendang ini bercerita banyak tentang kehidupan masa silam di Alor. Fungsinya adalah sebagai alat upacara dan mas kawin yang diwariskan secara turun temurun di keluarga hingga kini. Di ruang pamer utama museum, dipajang sejumlah moko beragam ukuran, di mana moko berukuran paling besar diletakkan di tengah. Koleksi museum lainnya adalah foto Raja-Raja Alor, tenun ikat, pakaian adat, senjata tradisional, perlengkapan dapur tradisional, serta alat-alat perikanan dan pertanian. 



Penjual kue rambut, kenari, dan jagung titi di Pasar Kadelang


Oleh-oleh Khas Alor
Sebelum meninggalkan Alor, saya diantar teman mencari oleh-oleh khas Alor di Pasar Kadelang, Kalabahi. Di pasar yang berada di dekat teluk ini, kita bisa mendapatkan berbagai macam souvenir khas alor seperti tenun ikat, kalung manik-manik, dan miniatur rumah adat Alor. Ada juga oleh-oleh makanan atau kue-kue khas Alor. Di antaranya adalah kenari, jagung titi, dan kue rambut. Sesuai julukannya sebagai Kota Kenari, kenari memang mudah didapatkan di Kalabahi, tak terkecuali di Pasar Kadelang. Kenari dijual per kilogram atau per kantong plastik kecil-kecil. Jagung titi yang bentuknya mirip berondong jagung (popcorn) tapi pipih juga dijual per kilogram. Yang paling menarik perhatian saya adalah kue rambut. Seperti namanya, kue rambut bentuknya mirip gumpalan rambut dan biasanya menjadi teman minum kopi atau teh. Kudapan ini terbuat dari adonan tepung tapioka, tepung beras, air gula pohon lontar, dan gula pasir. Untuk membuatnya tipis seperti rambut adalah melalui cetakan berbahan kaleng yang dasarnya dilubangi seperti saringan lalu diteteskan ke wajan yang telah diisi minyak panas. Adonan dibentuk seperti kerucut dengan melipatnya kemudian digoreng.

Getting There
Untuk mencapai Alor, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada dua pilihan moda transportasi menuju Alor. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa. co.id). Ini adalah cara tercepat dan termahal mencapai Alor tapi dengan jadwal yang pasti. Pilihan kedua yang lebih murah adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan sekitar 14 jam. Ferry ini hanya beroperasi seminggu dua kali dari Kupang, yaitu Hari Selasa dan Sabtu, jam 12.00 siang. Ferry akan kembali ke Kupang keesokan harinya (Rabu dan Minggu) jam 12 siang. Bagi Anda yang memiliki waktu longgar, Anda bisa memilih ferry. Namun, bila waktu Anda terbatas, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***

Friday, 17 October 2014

JELAJAH CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS

Berpose di pohon eukaliptus yang berumur 100 tahun lebih



Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal akan alamnya yang gersang dan udaranya yang panas. Hal ini disebabkan oleh rendahnya curah hujan dan tanahnya yang dipenuhi batu-batu karang. Namun di balik panas dan gersangnya Pulau Timor, tersimpan berbagai keindahan alam yang menakjubkan. Salah satunya adalah Cagar Alam Gunung Mutis. Di kawasan cagar alam ini, kita bisa melihat hutan hijau yang luas dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan aneka satwa endemik khas Timor.

Secara administratif, Cagar Alam Gunung Mutis berada di wilayah Kecamatan Fatumnasi dan Kecamatan Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) serta Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Ada beberapa pintu masuk menuju cagar alam ini tapi yang paling dekat dan paling mudah dijangkau adalah melalui Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Desa ini jaraknya sekitar 143 km dari Kupang atau 33 km dari Soe, ibu kota Kabupaten TTS.



Perjalanan menuju Desa Fatumnasi membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Dari Kupang ke Soe, kondisi jalan bagus dan mulus karena merupakan ruas jalan negara. Namun, kita harus tetap waspada karena di beberapa tempat jalan berkelok-kelok naik turun bukit. Kadang jalan menyempit karena berada di bibir jurang, kadang jalan menanjak dan menurun terjal. Lengah sedikit bisa fatal akibatnya.

Pertigaan ke arah Kapan di Soe

Dari pertigaan di Kota Soe, kita belok kiri menuju Kapan, ibu kota Kecamatan Mollo Utara. Kondisi jalan masih cukup bagus tapi mulai menyempit dan terdapat kerusakan di beberapa titik. Jalan semakin berkelok-kelok dan mendaki karena Kota Kapan terletak di dataran tinggi. Parahnya, kita akan menjumpai beberapa persimpangan jalan tanpa rambu-rambu/penunjuk arah sehingga mengharuskan kita bertanya kepada penduduk setempat agar tidak tersesat. Namun, pemandangan di kanan kiri jalan sangat menarik. Salah satu titik paling menarik adalah Kilo 12 yang berjarak 12 km dari Kota Soe. Di tempat ini, kita bisa melihat panorama gunung, bukit, jurang dan lembah yang berpadu dengan indah. Orang-orang yang melintasi rute ini biasanya berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah sambil menikmati pemandangan indah atau berfoto narsis. Saya juga tak mau ketinggalan untuk singgah sejenak dan mengabadikan panorama cantik di Kilo 12.

Pemandangan menarik yang saya jumpai di perjalanan menuju Fatumnasi


Setelah melewati Kota Kapan, kondisi jalan berubah jadi buruk. Semakin menjauh dari Kapan, kondisi jalan semakin parah. Aspal menghilang berganti menjadi jalan tanah berbatu dengan batu-batu yang besar dan tak beraturan. Keahlian berkendara jelas sangat dibutuhkan di medan seperti ini. Karena membawa sepeda motor matic yang sebenarnya tidak cocok untuk jalan off road, beberapa kali saya berhenti untuk mendinginkan mesin setelah melewati tanjakan terjal. Saya juga berhenti ketika melihat pemandangan yang menarik. Panorama di sepanjang jalan menuju Fatumnasi memang indah. Mulai dari hutan pinus, bukit marmer, hingga padang sabana dengan sapi dan kuda yang sedang merumput.



Setelah berkendara hampir dua jam dari Soe, akhirnya saya tiba di Desa Fatumnasi. Desa yang dihuni Suku Dawan (salah satu suku asli Pulau Timor) ini, berbatasan langsung dengan Cagar Alam Gunung Mutis. Udara di Fatumnasi terasa sejuk karena desa ini terletak tepat di kaki Gunung Mutis. Fatumnasi berasal dari kata Fatum dan Nasi. Fatu artinya batu dalam Bahasa Dawan, dan Nasi konon katanya banyak batuan di desa ini yang bentuknya mirip beras. Saya langsung menuju kediaman Bapak Mateos Anin, tokoh adat paling terkenal di Fatumnasi. Pak Anin memiliki Homestay sederhana bernama “Lopo Mutis”, satu-satunya penginapan di Fatumnasi yang kerap menjadi jujugan para turis dan peneliti yang ingin menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis atau mendaki Gunung Mutis. Selain itu, Pak Anin dan anaknya juga sering menjadi guide bagi para turis untuk menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis atau mendaki Gunung Mutis.



Sayangnya, saat itu Pak Anin sedang pergi ke Soe. Saya disambut Pak Stefan, yang tak lain adalah anaknya Pak Anin. Beliau juga sering mengantar turis yang ingin menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis dan mendaki Gunung Mutis. Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia mendaki gunung tertinggi di Pulau Timor yang berketinggian 2.427 meter di atas permukaan laut tersebut, sehingga hafal betul rutenya.



Sebenarnya saya juga ingin mendaki Gunung Mutis tapi tidak jadi karena waktu saya terbatas. Selain itu, saya juga tidak membawa bekal yang cukup. Jadi, saya memutuskan menunda keinginan mendaki Gunung Mutis. Sebagai gantinya, saya akan menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis dan melihat Gunung Mutis dari titik terdekatnya saja bersama Pak Stefan yang dengan senang hati akan menemani saya. 

Ume Kebubu
  

Sebelum menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis, saya jalan-jalan keliling kompleks rumah Pak Anin ditemani dua orang cucu Pak Anin sementara Pak Stefan pulang ke rumahnya untuk ganti baju. Di kompleks rumah Pak Anin terdapat beberapa bangunan, yaitu aula/pendopo untuk menerima tamu dan turis, rumah utama, 4 rumah untuk kamar tamu (homestay), dan tiga buah rumah adat khas Timor dengan atap terbuat dari ilalang berbentuk kerucut. Rumah ini biasa disebut Ume Kebubu dalam Bahasa Dawan. Semua Warga Desa Fatumnasi mempunyai Ume Kebubu selain rumah utama karena dulunya rumah asli warga desa ini memang Ume Kebubu. Sekarang, Ume Kebubu dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat menyimpan bahan makanan. Namun, di tempat Pak Anin, salah satu Ume Kebubu dimanfaatkan sebagai kamar tempat menginap para turis. Kata Pak Stefan, banyak turis asing yang ingin merasakan sensasi tidur di dalam Ume Kebubu.

Gerbang Cagar Alam Gunung Mutis di Desa Fatumnasi
  

Begitu Pak Stefan siap, kami segera berangkat menuju Cagar Alam Gunung Mutis. Ternyata pintu gerbang Cagar Alam Gunung Mutis hanya berjarak sekitar 1 km dari kediaman Pak Anin. Di dekat gerbang tersebut terdapat kantor pengelola cagar alam yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pembayaran retribusi pengunjung. Namun, saat itu tidak ada satu pun orang di sana. 

Deretan pohon eukaliptus di Cagar Alam Gunung Mutis
  
Sekawanan sapi merumput di Cagar Alam Gunung Mutis


Memasuki wilayah Cagar Alam Gunung Mutis, suasana sangat sepi. Tak ada pengunjung lain selain kami berdua. Sesekali hanya terdengar lenguhan sapi dan ringkikan kuda di kejauhan. Saat itu, kami memang melihat sekawanan sapi dan kuda yang tengah merumput di bawah pohon eukaliptus. Pohon-pohon tersebut menjulang tinggi puluhan meter karena banyak yang sudah berumur ratusan tahun. Bila angin bertiup, aroma harum akan keluar dari daun-daun eukaliptus tersebut. Tanaman eukaliptus (Eucalyptus Urophylla) yang dalam bahasa setempat disebut Ampupu memang vegetasi dominan di Cagar Alam Gunung Mutis. Selain eukaliptus, tanaman lainnya adalah cendana, rotan paku-pakuan, dan berbagai jenis lumut. Saya tidak menyangka di Indonesia ada hutan eukaliptus seluas ini. Saya kira eukaliptus hanya ada di Australia, Selandia Baru, dan negara-negara empat musim lainnya.

Bonsai Alam di Cagar Alam Gunung Mutis
 

Di antara kerimbunan pohon eukaliptus, terdapat sekumpulan pohon yang menarik perhatian saya. Penduduk setempat menyebutnya bonsai alam. Tanaman ini bentuknya memang seperti bonsai, tapi dalam ukuran yang lebih besar. Tingginya sekitar dua hingga tiga meter dengan cabang-cabang pohon meliuk-liuk ke samping, seolah ingin menggapai tanaman lain. Seluruh batang dan cabangnya ditumbuhi lumut. Uniknya, meski batang tanaman ini besar, daunnya berukuran sangat kecil. Bonsai alam ini merupakan salah satu daya tarik Cagar Alam Gunung Mutis yang memikat para turis dan peneliti dari berbagai negara.

Kondisi jalan di dalam Cagar Alam Gunung Mutis
 

Kami berjalan semakin jauh ke dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk setempat yang pulang dari ladang. Jalanan semakin buruk dan rusak. Kadang jalanan penuh batu-batu besar, kadang penuh akar-akar tanaman. Untuk mencari jalan yang lebih baik, kadang Pak Stefan memilih keluar dari jalan utama dan memilih lewat jalan setapak di antara pepohonan eukaliptus. Bahkan, beberapa kali saya harus turun dari motor karena takut jatuh, saking buruknya jalan. Sambil berjalan, biasanya saya memotret-motret aneka tanaman dan bukit-bukit batu dengan formasi unik yang banyak terdapat di cagar alam ini. 

Bukit Batu dengan formasi unik di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis
 
Jalan tanah berbatu di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis
 

Setelah berjibaku dengan medan off road di tengah hutan, akhirnya kami tiba di sebuah tempat dengan hamparan sabana yang luas dan puncak Gunung Mutis di kejauhan. Tampak kawanan sapi dan kuda yang sedang merumput di kejauhan, tapi jumlahnya tidak banyak. Menurut Pak Stefan, biasanya pagi hari kita bisa menjumpai sapi dan kuda dalam jumlah yang banyak. Saat matahari sudah bersinar terik, hewan-hewan tersebut lebih memilih untuk merumput di tempat yang rindang. Tempat ini namanya Pohong Gunung dan merupakan titik awal pendakian ke puncak Gunung Mutis. Para pendaki biasanya memarkir kendaraannya di sini, kemudian berjalan kaki sekitar dua sampai tiga jam menuju puncak Gunung Mutis. Meski tidak mendaki, saya senang berada di Pohong Gunung. Melihat padang sabana yang sangat luas dan Gunung Mutis yang menjulang tinggi di hadapan sudah menyejukkan mata saya. Mungkin suatu hari nanti saya akan kembali untuk mendaki puncak Gunung Mutis.

Puncak Gunung Mutis dilihat dari Pohong Gunung
Menuju ke sana
Cagar Alam Gunung Mutis berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan dan  Kabupaten Timor Tengah Utara, tapi gerbang yang paling mudah dijangkau berada di Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Jaraknya sekitar 33 km dari Soe (ibu kota Kabupaten TTS) atau 143 km dari Kota Kupang. Untuk mencapai Desa Fatumnasi, kita harus terbang dulu ke Kupang. Dari Kupang, kita bisa melanjutkan perjalanan ke Fatumnasi dengan menyewa kendaraan (lama perjalanan sekitar empat jam) atau naik kendaraan umum (bus) sampai Kota Soe, terus naik angkot sampai Kota Kapan dan lanjut naik ojek sampai Fatumnasi atau bisa juga naik ojek langsung dari Soe sampai Fatumnasi dengan lama perjalanan sekitar dua jam.