Mengenakan baju adat Suku Abui di Kampung Takpala |
Mendengar suara
pramugari yang mengumumkan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara
Mali, Alor, sontak saya terjaga dan mata saya langsung terbelalak melihat
pemandangan elok di bawah sana. Pulau-pulau kecil bertebaran di antara laut
biru membentang. Kota Kalabahi yang berada di teluk dengan bukit-bukit
menjulang tinggi di belakangnya juga terlihat sangat menawan. Apalagi lokasi
bandara juga berada di pinggir pantai dan di dekatnya terdapat sebuah pulau
kecil dikelilingi pasir putih bersih. Pendaratan pesawat yang tidak mulus pun
terlupakan oleh panorama cantik yang ada di sekitar bandara. Sungguh menjadi ucapan
“Selamat Datang” yang sangat indah bagi saya.
Bandara Mali yang berada di pinggir pantai |
Bandara Mali
Setelah pesawat
benar-benar berhenti di landasan, dan pintu pesawat dibuka oleh pramugari, saya
bergegas turun bersama penumpang lainnya, menuju gedung terminal. Jangan
bayangkan terminal bandara yang luas dengan fasilitas yang lengkap seperti
bandara-bandara di kota besar! Bandara Mali hanyalah bandara perintis dengan
gedung terminal yang sangat kecil dan fasilitas sangat sederhana. Terminal
bandara hanya terdiri dari ruang kedatangan, ruang keberangkatan, ruang VIP.
Tak ada kafe, restoran maupun toko souvenir. Fasilitas standar bandara seperti
troli dan conveyor belt Juga tidak
ada. Bagasi penumpang langsung dibagikan oleh petugas kepada penumpang di ruang
kedatangan yang sangat sempit. Untungnya saya tak perlu berdesak-desakan dengan
penumpang lain karena saya tidak membawa bagasi. Jadi, saya langsung keluar
gedung terminal mencari teman yang asli Alor, yang telah siap menjemput saya.
Kalau tak ada penjemput, Anda tak usah khawatir untuk mencapai pusat Kota
Kalabahi. Anda bisa naik ojek atau “taksi” (berupa mobil Avanza/Xenia tanpa ada
tulisan taksi di atasnya) menuju Kalabahi yang jaraknya sekitar 16 km.
Pantai Maimol |
Pantai
Maimol
Sekitar 5 km dari
Bandara Mali, saya melihat sebuah pantai cantik di sebelah kiri jalan. Saya pun
meminta teman saya untuk singgah sejenak di pantai tersebut. Pantai Maimol
namanya. Pantai berpasir putih dengan laut biru jernih ini merupakan salah satu
pantai kebanggaan Warga Kalabahi. Setiap akhir pekan dan hari libur, biasanya
pantai ini dipadati pengunjung. Namun siang itu, Pantai Maimol sangat sepi.
Kami hanya melihat tiga orang pengunjung dan beberapa anak kecil yang asyik bermain
air. Tak ada satu pun turis, baik turis lokal maupun turis asing seperti
pantai-pantai di Bali. Padahal Pantai Maimol sangat menawan. Dengan pantai yang
melengkung indah dan dihiasi beberapa pohon kelapa di tepiannya, membuat pantai
ini terlihat menawan. Di pinggir jalan juga terdapat beberapa penjual jagung
rebus dan makanan ringan yang siap mengakomodir pengunjung yang sedang lapar.
Kampung
Takpala
Setelah menaruh
tas di hotel dan makan siang di sebuah Warung Jawa di Jalan Diponegoro,
Kalabahi, saya tidak mau menyia-nyiakan waktu di Alor. Bersama teman yang
sekaligus berperan sebagai pemandu (guide),
saya bergerak menuju Kampung Takpala. Dari Kalabahi hanya butuh waktu 30 menit
untuk sampai di Kampung Takpala.
Rumah Fala Foka di Kampung Takpala |
Kampung Takpala
berada di atas bukit. Dari tempat parkir, kami harus berjalan mendaki untuk
mencapai Kampung yang dihuni Suku Abui ini. Karena berada di ketinggian,
pemandangan yang ditawarkan Kampung Takpala sangat memukau. Selain, deretan
rumah-rumah adat berbentuk limas dan beratap ilalang, dari kampung ini terlihat
panorama Teluk Kabola dan bagian kepala Pulau Alor. Ketika tiba di sana, kami
disambut Pak Abner, tetua adat Kampung Takpala. Beliau mengantar kami keliling
kampung sambil menjelaskan berbagai adat dan tradisi yang ada di Kampung
Takpala. Di antaranya filosofi rumah adat yang berbentuk limas, suku-suku
penghuni kampung, tari-tarian tradisional, dan berbagai upacara adat yang masih
digelar Kampung Takpala hingga kini. Bahkan, Pak Abner memberi kesempatan
kepada saya untuk berfoto mengenakan baju adat dengan memberikan donasi
seikhlasnya.
Moto Kota Kalabahi dan Tugu Perjuanagn Rakyat di pusat Kota Kalabahi |
Kalabahi
Kota Kenari
Kabupaten Alor
beribukota di Kalabahi yang mempunyai julukan Kota Kenari. Julukan ini bukan
tanpa alasan karena dulunya memang banyak pohon kenari (Canarium indicum) di kota ini. Kini, meskipun kenari sudah jarang
ditemukan di Kalabahi, kenari masih banyak dijumpai di hutan-hutan di Alor.
Buah kenari juga masih gampang didapatkan di pasar-pasar di Kalabahi.
Panorama Kota Kalabahi yang menawan dilihat dari ketinggian |
Kalabahi
merupakan kota kecil yang semarak. Kota ini mempunyai fasilitas umum yang
tergolong lengkap. Mulai dari bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dan
pasar tradisional. Kondisi jalan di Kalabahi juga bagus dan mulus. Di
bandingkan dengan kota-kota kabupaten lainnya di Provinsi NTT, Kalabah termasuk
kota paling besar dan paling ramai. Padahal letaknya di ujung timur NTT,
berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Letak kota yang berada di
pinggir pantai/teluk dan dipagari perbukitan, membuat kota ini sedap dipandang
mata. Lokasi paling tepat untuk melihat kecantikan seutuhnya Kalabahi adalah di
sebuah bukit menuju arah Otvai/Kebon Kopi. Dari sini, kita bisa melihat
keseluruhan Kota Kalabahi sekaligus melihat panorama matahari terbenam (sunset) bila kita datang di sore hari,
menjelang matahari terbenam.
Pantai cantik di Pulau Kepa dengan Pulau Ternate di kejauhan |
Pulau Kepa
Di sekitar Alor terdapat sejumlah pulau kecil
yang menarik. Salah satu pulau yang menarik perhatian saya adalah Pulau Kepa.
Pulau ini berada di lepas pantai Desa Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat Laut
Untuk mencapai Pulau Kepa, saya menyeberang dengan perahu nelayan dari Dermga
Alor Kecil. Perjalanan dengan perahu menuju Pulau Kepa hanya memakan waktu tak
lebih dari lima menit, Maklum, Pulau Kepa hanya dipisahkan oleh selat yang
sangat sempit dengan daratan Pulau Alor, namanya Selat Kumbang atau warga
setempat menyebut Mulut Kumbang. Meski sempit, selat ini cukup berbahaya karena
dilalui arus yang sangat kencang/kuat.
Terumbu karang warna-warni di sekitar Pulau Kepa |
Pulau Kepa berukuran sangat mungil. Luas pulau
ini hanya sekitar 3 kilometer persegi. Walaupun kecil, pulau ini berpenghuni.
Perkampungan penduduk terpusat di bagian utara dan barat pulau yang menghadap
ke Pulau Alor. Daya tarik Pulau Kepa selain pantai-pantainya yang berpasir
putih tak lain adalah keindahan bawah lautnya. Di sekeliling Pulau Kepa
terdapat titik-titik menyelam (dive spot)
yang menawan sehingga menarik kunjungan para penyelam dari berbagai negara.
Bila tidak mempunyai keahlian menyelam, Anda tak perlu khawatir. Dengan snorkeling pun Anda bisa menikmati
keindahan bawah laut Pulau Kepa. Bersama teman, saya pun mencoba snorkeling di bagian selatan pulau, tak
jauh dari Resort La Petite Kepa yang
dikelola oleh Orang Perancis. Ternyata bawah laut Pulau Kepa memang indah. Tak
perlu berenang jauh ke tengah laut, saya sudah bisa melihat berbagai jenis ikan
cantik warna-warni. Terumbu karang juga lumayan banyak meski sudah banyak yang
rusak. Di beberapa tempat, terlihat terumbu karang yang baru tumbuh. Sayangnya,
arus lautnya sangat kuat sehingga
membuat saya tak berlama-lama snorkeling di sana. Dari berbagai tempat yang
pernah saya snorkeling, arus di
sekitar Pulau Kepa yang paling kuat saya rasakan.
Al Quran Tua dari Kulit Kayu
Alor tidak melulu pantai dan pulau-pulau
kecil. Pulau ini juga mempunyai destinasi wisata religi yang menarik, tepatnya
di Desa Alor Besar. Di desa tetangga Alor Kecil ini terdapat Al Quran dari
kulit kayu yang sudah berumur ratusan tahun. Al Quran tersebut disimpan di
rumah Nurdin Gogo, di samping Masjid Jami Babussholah, Desa Alor Besar.
Masjid Jami Babussholah di Desa Alor Besar |
Saya takjub melihat Al Quran yang terbuat dari
kulit kayu tersebut masih utuh dan tulisannya bisa terbaca dengan jelas.
Padahal, dari keterangan Nurdin Gogo,
yang merupakan generasi ke-14 dari Iang
Gogo, Al Quran tersebut sudah berumur 800 tahun lebih. Dulunya, Al Quran ini
dibawa oleh Iang Gogo, seorang ulama dari Pulau Ternate, Maluku Utara. Iang
Gogo bersama keempat saudaranya (Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales
Gogo) berniat menyiarkan Agama Islam di Alor dan sekitarnya, berbekal Al Quran
tua dan pisau khitan. Ketika sepakat
untuk berpencar, Iang Gogo memilih menetap di Desa Alor Besar, sedangkan empat
saudaranya berlayar dan menetap di beberapa pulau, sekitar Alor. Keturunan Iang
Gogo di Alor Besar hingga kini telah mencapai generasi ke-15.
Al Quran tua dari kulit kayu yang berumur 800 tahun lebih |
Menurut para
sejarawan, Al Quran dari kulit kayu tersebut telah melampaui usia 800 tahun dan
diakui sebagai Al Quran tertua di Indonesia bahkan di Asia. Hebatnya, Al Quran tersebut
masih awet terjaga hingga kini meski tempat menyimpan Al Quarn tersebut pernah
mengalamai kebakaran beberapa kali. Lembaran-lembarannya masih bisa dibuka dan
ayat-ayatnya yang ditulis dengan tinta hitam dan merah juga masih bisa dibaca dengan
jelas. Bahkan, Al Quran ini sempat
diboyong keluar dari Alor ke Ternate untuk dipajang saat perhelatan Festival
Legu Gam Kesultanan Ternate bulan Maret 2011.
Pantai Sebanjar
Karena belum puas snorkeling di Pulau Kepa, saya melanjutkannya di Pantai Sebanjar.
Pantai berpasir putih nan cantik ini merupakan salah satu spot snorkeling terbaik di Alor. Pantai Sebanjar terletak di Desa
Alor Besar, hanya beberapa kilometer dari lokasi Al Quran tua. Jika berada di
Bali, saya yakin pantai ini sudah dijejali hotel, resort, maupun kafe. Dengan
tampilan fisik yang cantikk dan bawah laut yang menarik, Pantai Sebanjar jelas
bisa memikat para investor. Sayangnya pantai ini berada di Alor yang lokasinya
jauh dari Jawa dan Bali. Jadi kondisi Pantai Sebanjar masih sangat alami, tanpa
polesan apa pun. Namun, kealamian inilah yang membuat saya jatuh cinta dengan
Pantai Sebanjar.
Pantai Sebanjar |
Pantai Sebanjar cantik “atas” dan
“bawah.” Secara kasat mata, pantai ini
terlihat menawan karena bibir pantainya yang panjang dihiasi pasir putih dengan
air laut hijau kebiruan. Bawah lautnya pun tak kalah menarik. Beberapa jenis
terumbu karang dan ikan warna-warni bersemayam di sana. Memang, terumbu
karangnya tak sebanyak di Pulau Kepa. Namun, di Pantai Sebanjar tak ada arus
(kecuali kita berenang jauh ke tengah), sehingga lebih aman untuk snorkeling. Saya sangat betah
berlama-lama snorkeling di Pantai
Sebanjar sampai teman saya meminta saya menyudahi snorkeling karena masih harus melanjutkan perjalanan ke tempat
lain.
Tebing yang sangat tinggi di dekat Pantai Batu Putih |
Pantai Batu Putih
Pantai terakhir yang kami kunjungi di Alor
adalah Pantai Batu Putih. Pantai ini berada di Desa Batu Putih, Kecamatan Alor
Barat Laut. Dari Pantai Sebanjar cukup jauh mencapai pantai ini, sekitar 40
menit berkendara karena kami harus mengelilingi bagian kepala Pulau Alor yang
kondisi jalannya kurang bagus di beberapa tempat. Kami harus melewati jalan
yang berliku-liku naik turun bukit dengan kondisi jalan sangat buruk. Bahkan
mendekati lokasi Pantai Batu Putih, kami harus menuruni bukit yang sangat
tinggi dengan tebing-tebing yang berdiri tegak 90 derajat. Dari atas bukit,
kami sudah bisa melihat Pantai Sebanjar yang tersembunyi nun jauh di bawah sana.
Pantai Batu Putih |
Lokasi Pantai Batu Putih memang tersembunyi di bawah tebing yang sangat tinggi, di sebuah teluk. Oleh karena itu, bibir pantai ini melengkung indah dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Ada yang unik dengan Pantai Batu Putih. Tidak seperti pantai kebanyakan yang bibirnya dihiasi pasir, di Pantai Batu Putih tak ada pasir. Seperti namanya, bibir pantai ini dihiasi batu-batu kecil berwarna putih tulang (cream). Sejauh mata memandang, terlihat hamparan batu-batu putih dengan berbagai ukuran, mulai dari seukuran butiran beras hingga sebesar kelereng. Hamparan batuan ini bukan hanya di satu satu dua tempat saja, melainkan di seluruh bibir Pantai Batu Putih sehingga membuat kita cukup susah untuk berjalan di atasnya. Namun, justru inilah keunikan pantai ini yang mungkin tiada duanya di Indonesia.
Museum 1000 Moko
Alor tak bisa dipisahkan dari moko (nekara
perunggu). Di berbagai sudut pulau ini, ditemukan banyak moko sehingga
membuatnya mendapat julukan “Pulau Seribu Moko.” Untuk lebih mengenal moko,
saya mengunjungi Museum 1000 Moko yang letaknya di Jalan Diponegoro, tepat di
depan hotel saya. Sayangnya, saat itu museum sedang direnovasi sehingga
terlihat agak berantakan dan sementara ditutup untuk umum. Namun, melihat saya
yang datang dari jauh, petugas museum mengizinkan saya masuk ke dalam museum
dan menemani saya keliling museum.
Moko (nekara perunggu) di Museum 1000 Moko |
Sesuai dengan namanya, museum yang diresmikan
pada tahun 2004 ini menjadikan moko sebagai pajangan utamanya. Moko
diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu sekitar 1000 tahun sebelum masehi.
Benda mirip gendang ini bercerita banyak tentang kehidupan masa silam di Alor.
Fungsinya adalah sebagai alat upacara dan mas kawin yang diwariskan secara
turun temurun di keluarga hingga kini. Di ruang pamer utama museum, dipajang sejumlah
moko beragam ukuran, di mana moko berukuran paling besar diletakkan di tengah. Koleksi
museum lainnya adalah foto Raja-Raja Alor, tenun ikat, pakaian adat, senjata
tradisional, perlengkapan dapur tradisional, serta alat-alat perikanan dan
pertanian.
Penjual kue rambut, kenari, dan jagung titi di Pasar Kadelang |
Oleh-oleh Khas Alor
Sebelum meninggalkan Alor, saya diantar teman
mencari oleh-oleh khas Alor di Pasar Kadelang, Kalabahi. Di pasar yang berada
di dekat teluk ini, kita bisa mendapatkan berbagai macam souvenir khas alor
seperti tenun ikat, kalung manik-manik, dan miniatur rumah adat Alor. Ada juga
oleh-oleh makanan atau kue-kue khas Alor. Di antaranya adalah kenari, jagung
titi, dan kue rambut. Sesuai julukannya sebagai Kota Kenari, kenari memang
mudah didapatkan di Kalabahi, tak terkecuali di Pasar Kadelang. Kenari dijual
per kilogram atau per kantong plastik kecil-kecil. Jagung titi yang bentuknya
mirip berondong jagung (popcorn) tapi
pipih juga dijual per kilogram. Yang paling menarik perhatian saya adalah kue
rambut. Seperti namanya, kue rambut bentuknya mirip gumpalan rambut dan
biasanya menjadi teman minum kopi atau teh. Kudapan ini terbuat dari adonan
tepung tapioka, tepung beras, air gula pohon lontar, dan gula pasir. Untuk
membuatnya tipis seperti rambut adalah melalui cetakan berbahan kaleng yang
dasarnya dilubangi seperti saringan lalu diteteskan ke wajan yang telah diisi
minyak panas. Adonan dibentuk seperti kerucut dengan melipatnya kemudian
digoreng.
Getting
There
Untuk
mencapai Alor, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang
ada dua pilihan moda transportasi menuju Alor. Pilihan pertama adalah dengan pesawat
Trans Nusa (www.transnusa. co.id). Ini adalah cara tercepat dan termahal
mencapai Alor tapi dengan jadwal yang pasti. Pilihan kedua yang lebih murah adalah
dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan
sekitar 14 jam. Ferry ini hanya beroperasi seminggu dua kali dari Kupang, yaitu
Hari Selasa dan Sabtu, jam 12.00 siang. Ferry akan kembali ke Kupang keesokan
harinya (Rabu dan Minggu) jam 12 siang. Bagi Anda yang memiliki waktu longgar,
Anda bisa memilih ferry. Namun, bila waktu Anda terbatas, satu-satunya cara
adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***