ALLURING ALOR
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
09:29
Mengenakan baju adat Suku Abui di Kampung Takpala |
Mendengar suara
pramugari yang mengumumkan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara
Mali, Alor, sontak saya terjaga dan mata saya langsung terbelalak melihat
pemandangan elok di bawah sana. Pulau-pulau kecil bertebaran di antara laut
biru membentang. Kota Kalabahi yang berada di teluk dengan bukit-bukit
menjulang tinggi di belakangnya juga terlihat sangat menawan. Apalagi lokasi
bandara juga berada di pinggir pantai dan di dekatnya terdapat sebuah pulau
kecil dikelilingi pasir putih bersih. Pendaratan pesawat yang tidak mulus pun
terlupakan oleh panorama cantik yang ada di sekitar bandara. Sungguh menjadi ucapan
“Selamat Datang” yang sangat indah bagi saya.
Bandara Mali yang berada di pinggir pantai |
Bandara Mali
Setelah pesawat
benar-benar berhenti di landasan, dan pintu pesawat dibuka oleh pramugari, saya
bergegas turun bersama penumpang lainnya, menuju gedung terminal. Jangan
bayangkan terminal bandara yang luas dengan fasilitas yang lengkap seperti
bandara-bandara di kota besar! Bandara Mali hanyalah bandara perintis dengan
gedung terminal yang sangat kecil dan fasilitas sangat sederhana. Terminal
bandara hanya terdiri dari ruang kedatangan, ruang keberangkatan, ruang VIP.
Tak ada kafe, restoran maupun toko souvenir. Fasilitas standar bandara seperti
troli dan conveyor belt Juga tidak
ada. Bagasi penumpang langsung dibagikan oleh petugas kepada penumpang di ruang
kedatangan yang sangat sempit. Untungnya saya tak perlu berdesak-desakan dengan
penumpang lain karena saya tidak membawa bagasi. Jadi, saya langsung keluar
gedung terminal mencari teman yang asli Alor, yang telah siap menjemput saya.
Kalau tak ada penjemput, Anda tak usah khawatir untuk mencapai pusat Kota
Kalabahi. Anda bisa naik ojek atau “taksi” (berupa mobil Avanza/Xenia tanpa ada
tulisan taksi di atasnya) menuju Kalabahi yang jaraknya sekitar 16 km.
Pantai Maimol |
Pantai
Maimol
Sekitar 5 km dari
Bandara Mali, saya melihat sebuah pantai cantik di sebelah kiri jalan. Saya pun
meminta teman saya untuk singgah sejenak di pantai tersebut. Pantai Maimol
namanya. Pantai berpasir putih dengan laut biru jernih ini merupakan salah satu
pantai kebanggaan Warga Kalabahi. Setiap akhir pekan dan hari libur, biasanya
pantai ini dipadati pengunjung. Namun siang itu, Pantai Maimol sangat sepi.
Kami hanya melihat tiga orang pengunjung dan beberapa anak kecil yang asyik bermain
air. Tak ada satu pun turis, baik turis lokal maupun turis asing seperti
pantai-pantai di Bali. Padahal Pantai Maimol sangat menawan. Dengan pantai yang
melengkung indah dan dihiasi beberapa pohon kelapa di tepiannya, membuat pantai
ini terlihat menawan. Di pinggir jalan juga terdapat beberapa penjual jagung
rebus dan makanan ringan yang siap mengakomodir pengunjung yang sedang lapar.
Kampung
Takpala
Setelah menaruh
tas di hotel dan makan siang di sebuah Warung Jawa di Jalan Diponegoro,
Kalabahi, saya tidak mau menyia-nyiakan waktu di Alor. Bersama teman yang
sekaligus berperan sebagai pemandu (guide),
saya bergerak menuju Kampung Takpala. Dari Kalabahi hanya butuh waktu 30 menit
untuk sampai di Kampung Takpala.
Rumah Fala Foka di Kampung Takpala |
Kampung Takpala
berada di atas bukit. Dari tempat parkir, kami harus berjalan mendaki untuk
mencapai Kampung yang dihuni Suku Abui ini. Karena berada di ketinggian,
pemandangan yang ditawarkan Kampung Takpala sangat memukau. Selain, deretan
rumah-rumah adat berbentuk limas dan beratap ilalang, dari kampung ini terlihat
panorama Teluk Kabola dan bagian kepala Pulau Alor. Ketika tiba di sana, kami
disambut Pak Abner, tetua adat Kampung Takpala. Beliau mengantar kami keliling
kampung sambil menjelaskan berbagai adat dan tradisi yang ada di Kampung
Takpala. Di antaranya filosofi rumah adat yang berbentuk limas, suku-suku
penghuni kampung, tari-tarian tradisional, dan berbagai upacara adat yang masih
digelar Kampung Takpala hingga kini. Bahkan, Pak Abner memberi kesempatan
kepada saya untuk berfoto mengenakan baju adat dengan memberikan donasi
seikhlasnya.
Moto Kota Kalabahi dan Tugu Perjuanagn Rakyat di pusat Kota Kalabahi |
Kalabahi
Kota Kenari
Kabupaten Alor
beribukota di Kalabahi yang mempunyai julukan Kota Kenari. Julukan ini bukan
tanpa alasan karena dulunya memang banyak pohon kenari (Canarium indicum) di kota ini. Kini, meskipun kenari sudah jarang
ditemukan di Kalabahi, kenari masih banyak dijumpai di hutan-hutan di Alor.
Buah kenari juga masih gampang didapatkan di pasar-pasar di Kalabahi.
Panorama Kota Kalabahi yang menawan dilihat dari ketinggian |
Kalabahi
merupakan kota kecil yang semarak. Kota ini mempunyai fasilitas umum yang
tergolong lengkap. Mulai dari bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dan
pasar tradisional. Kondisi jalan di Kalabahi juga bagus dan mulus. Di
bandingkan dengan kota-kota kabupaten lainnya di Provinsi NTT, Kalabah termasuk
kota paling besar dan paling ramai. Padahal letaknya di ujung timur NTT,
berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Letak kota yang berada di
pinggir pantai/teluk dan dipagari perbukitan, membuat kota ini sedap dipandang
mata. Lokasi paling tepat untuk melihat kecantikan seutuhnya Kalabahi adalah di
sebuah bukit menuju arah Otvai/Kebon Kopi. Dari sini, kita bisa melihat
keseluruhan Kota Kalabahi sekaligus melihat panorama matahari terbenam (sunset) bila kita datang di sore hari,
menjelang matahari terbenam.
Pantai cantik di Pulau Kepa dengan Pulau Ternate di kejauhan |
Pulau Kepa
Di sekitar Alor terdapat sejumlah pulau kecil
yang menarik. Salah satu pulau yang menarik perhatian saya adalah Pulau Kepa.
Pulau ini berada di lepas pantai Desa Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat Laut
Untuk mencapai Pulau Kepa, saya menyeberang dengan perahu nelayan dari Dermga
Alor Kecil. Perjalanan dengan perahu menuju Pulau Kepa hanya memakan waktu tak
lebih dari lima menit, Maklum, Pulau Kepa hanya dipisahkan oleh selat yang
sangat sempit dengan daratan Pulau Alor, namanya Selat Kumbang atau warga
setempat menyebut Mulut Kumbang. Meski sempit, selat ini cukup berbahaya karena
dilalui arus yang sangat kencang/kuat.
Terumbu karang warna-warni di sekitar Pulau Kepa |
Pulau Kepa berukuran sangat mungil. Luas pulau
ini hanya sekitar 3 kilometer persegi. Walaupun kecil, pulau ini berpenghuni.
Perkampungan penduduk terpusat di bagian utara dan barat pulau yang menghadap
ke Pulau Alor. Daya tarik Pulau Kepa selain pantai-pantainya yang berpasir
putih tak lain adalah keindahan bawah lautnya. Di sekeliling Pulau Kepa
terdapat titik-titik menyelam (dive spot)
yang menawan sehingga menarik kunjungan para penyelam dari berbagai negara.
Bila tidak mempunyai keahlian menyelam, Anda tak perlu khawatir. Dengan snorkeling pun Anda bisa menikmati
keindahan bawah laut Pulau Kepa. Bersama teman, saya pun mencoba snorkeling di bagian selatan pulau, tak
jauh dari Resort La Petite Kepa yang
dikelola oleh Orang Perancis. Ternyata bawah laut Pulau Kepa memang indah. Tak
perlu berenang jauh ke tengah laut, saya sudah bisa melihat berbagai jenis ikan
cantik warna-warni. Terumbu karang juga lumayan banyak meski sudah banyak yang
rusak. Di beberapa tempat, terlihat terumbu karang yang baru tumbuh. Sayangnya,
arus lautnya sangat kuat sehingga
membuat saya tak berlama-lama snorkeling di sana. Dari berbagai tempat yang
pernah saya snorkeling, arus di
sekitar Pulau Kepa yang paling kuat saya rasakan.
Al Quran Tua dari Kulit Kayu
Alor tidak melulu pantai dan pulau-pulau
kecil. Pulau ini juga mempunyai destinasi wisata religi yang menarik, tepatnya
di Desa Alor Besar. Di desa tetangga Alor Kecil ini terdapat Al Quran dari
kulit kayu yang sudah berumur ratusan tahun. Al Quran tersebut disimpan di
rumah Nurdin Gogo, di samping Masjid Jami Babussholah, Desa Alor Besar.
Masjid Jami Babussholah di Desa Alor Besar |
Saya takjub melihat Al Quran yang terbuat dari
kulit kayu tersebut masih utuh dan tulisannya bisa terbaca dengan jelas.
Padahal, dari keterangan Nurdin Gogo,
yang merupakan generasi ke-14 dari Iang
Gogo, Al Quran tersebut sudah berumur 800 tahun lebih. Dulunya, Al Quran ini
dibawa oleh Iang Gogo, seorang ulama dari Pulau Ternate, Maluku Utara. Iang
Gogo bersama keempat saudaranya (Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales
Gogo) berniat menyiarkan Agama Islam di Alor dan sekitarnya, berbekal Al Quran
tua dan pisau khitan. Ketika sepakat
untuk berpencar, Iang Gogo memilih menetap di Desa Alor Besar, sedangkan empat
saudaranya berlayar dan menetap di beberapa pulau, sekitar Alor. Keturunan Iang
Gogo di Alor Besar hingga kini telah mencapai generasi ke-15.
Al Quran tua dari kulit kayu yang berumur 800 tahun lebih |
Menurut para
sejarawan, Al Quran dari kulit kayu tersebut telah melampaui usia 800 tahun dan
diakui sebagai Al Quran tertua di Indonesia bahkan di Asia. Hebatnya, Al Quran tersebut
masih awet terjaga hingga kini meski tempat menyimpan Al Quarn tersebut pernah
mengalamai kebakaran beberapa kali. Lembaran-lembarannya masih bisa dibuka dan
ayat-ayatnya yang ditulis dengan tinta hitam dan merah juga masih bisa dibaca dengan
jelas. Bahkan, Al Quran ini sempat
diboyong keluar dari Alor ke Ternate untuk dipajang saat perhelatan Festival
Legu Gam Kesultanan Ternate bulan Maret 2011.
Pantai Sebanjar
Karena belum puas snorkeling di Pulau Kepa, saya melanjutkannya di Pantai Sebanjar.
Pantai berpasir putih nan cantik ini merupakan salah satu spot snorkeling terbaik di Alor. Pantai Sebanjar terletak di Desa
Alor Besar, hanya beberapa kilometer dari lokasi Al Quran tua. Jika berada di
Bali, saya yakin pantai ini sudah dijejali hotel, resort, maupun kafe. Dengan
tampilan fisik yang cantikk dan bawah laut yang menarik, Pantai Sebanjar jelas
bisa memikat para investor. Sayangnya pantai ini berada di Alor yang lokasinya
jauh dari Jawa dan Bali. Jadi kondisi Pantai Sebanjar masih sangat alami, tanpa
polesan apa pun. Namun, kealamian inilah yang membuat saya jatuh cinta dengan
Pantai Sebanjar.
Pantai Sebanjar |
Pantai Sebanjar cantik “atas” dan
“bawah.” Secara kasat mata, pantai ini
terlihat menawan karena bibir pantainya yang panjang dihiasi pasir putih dengan
air laut hijau kebiruan. Bawah lautnya pun tak kalah menarik. Beberapa jenis
terumbu karang dan ikan warna-warni bersemayam di sana. Memang, terumbu
karangnya tak sebanyak di Pulau Kepa. Namun, di Pantai Sebanjar tak ada arus
(kecuali kita berenang jauh ke tengah), sehingga lebih aman untuk snorkeling. Saya sangat betah
berlama-lama snorkeling di Pantai
Sebanjar sampai teman saya meminta saya menyudahi snorkeling karena masih harus melanjutkan perjalanan ke tempat
lain.
Tebing yang sangat tinggi di dekat Pantai Batu Putih |
Pantai Batu Putih
Pantai terakhir yang kami kunjungi di Alor
adalah Pantai Batu Putih. Pantai ini berada di Desa Batu Putih, Kecamatan Alor
Barat Laut. Dari Pantai Sebanjar cukup jauh mencapai pantai ini, sekitar 40
menit berkendara karena kami harus mengelilingi bagian kepala Pulau Alor yang
kondisi jalannya kurang bagus di beberapa tempat. Kami harus melewati jalan
yang berliku-liku naik turun bukit dengan kondisi jalan sangat buruk. Bahkan
mendekati lokasi Pantai Batu Putih, kami harus menuruni bukit yang sangat
tinggi dengan tebing-tebing yang berdiri tegak 90 derajat. Dari atas bukit,
kami sudah bisa melihat Pantai Sebanjar yang tersembunyi nun jauh di bawah sana.
Pantai Batu Putih |
Lokasi Pantai Batu Putih memang tersembunyi di bawah tebing yang sangat tinggi, di sebuah teluk. Oleh karena itu, bibir pantai ini melengkung indah dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Ada yang unik dengan Pantai Batu Putih. Tidak seperti pantai kebanyakan yang bibirnya dihiasi pasir, di Pantai Batu Putih tak ada pasir. Seperti namanya, bibir pantai ini dihiasi batu-batu kecil berwarna putih tulang (cream). Sejauh mata memandang, terlihat hamparan batu-batu putih dengan berbagai ukuran, mulai dari seukuran butiran beras hingga sebesar kelereng. Hamparan batuan ini bukan hanya di satu satu dua tempat saja, melainkan di seluruh bibir Pantai Batu Putih sehingga membuat kita cukup susah untuk berjalan di atasnya. Namun, justru inilah keunikan pantai ini yang mungkin tiada duanya di Indonesia.
Museum 1000 Moko
Alor tak bisa dipisahkan dari moko (nekara
perunggu). Di berbagai sudut pulau ini, ditemukan banyak moko sehingga
membuatnya mendapat julukan “Pulau Seribu Moko.” Untuk lebih mengenal moko,
saya mengunjungi Museum 1000 Moko yang letaknya di Jalan Diponegoro, tepat di
depan hotel saya. Sayangnya, saat itu museum sedang direnovasi sehingga
terlihat agak berantakan dan sementara ditutup untuk umum. Namun, melihat saya
yang datang dari jauh, petugas museum mengizinkan saya masuk ke dalam museum
dan menemani saya keliling museum.
Moko (nekara perunggu) di Museum 1000 Moko |
Sesuai dengan namanya, museum yang diresmikan
pada tahun 2004 ini menjadikan moko sebagai pajangan utamanya. Moko
diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu sekitar 1000 tahun sebelum masehi.
Benda mirip gendang ini bercerita banyak tentang kehidupan masa silam di Alor.
Fungsinya adalah sebagai alat upacara dan mas kawin yang diwariskan secara
turun temurun di keluarga hingga kini. Di ruang pamer utama museum, dipajang sejumlah
moko beragam ukuran, di mana moko berukuran paling besar diletakkan di tengah. Koleksi
museum lainnya adalah foto Raja-Raja Alor, tenun ikat, pakaian adat, senjata
tradisional, perlengkapan dapur tradisional, serta alat-alat perikanan dan
pertanian.
Penjual kue rambut, kenari, dan jagung titi di Pasar Kadelang |
Oleh-oleh Khas Alor
Sebelum meninggalkan Alor, saya diantar teman
mencari oleh-oleh khas Alor di Pasar Kadelang, Kalabahi. Di pasar yang berada
di dekat teluk ini, kita bisa mendapatkan berbagai macam souvenir khas alor
seperti tenun ikat, kalung manik-manik, dan miniatur rumah adat Alor. Ada juga
oleh-oleh makanan atau kue-kue khas Alor. Di antaranya adalah kenari, jagung
titi, dan kue rambut. Sesuai julukannya sebagai Kota Kenari, kenari memang
mudah didapatkan di Kalabahi, tak terkecuali di Pasar Kadelang. Kenari dijual
per kilogram atau per kantong plastik kecil-kecil. Jagung titi yang bentuknya
mirip berondong jagung (popcorn) tapi
pipih juga dijual per kilogram. Yang paling menarik perhatian saya adalah kue
rambut. Seperti namanya, kue rambut bentuknya mirip gumpalan rambut dan
biasanya menjadi teman minum kopi atau teh. Kudapan ini terbuat dari adonan
tepung tapioka, tepung beras, air gula pohon lontar, dan gula pasir. Untuk
membuatnya tipis seperti rambut adalah melalui cetakan berbahan kaleng yang
dasarnya dilubangi seperti saringan lalu diteteskan ke wajan yang telah diisi
minyak panas. Adonan dibentuk seperti kerucut dengan melipatnya kemudian
digoreng.
Getting
There
Untuk
mencapai Alor, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang
ada dua pilihan moda transportasi menuju Alor. Pilihan pertama adalah dengan pesawat
Trans Nusa (www.transnusa. co.id). Ini adalah cara tercepat dan termahal
mencapai Alor tapi dengan jadwal yang pasti. Pilihan kedua yang lebih murah adalah
dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan
sekitar 14 jam. Ferry ini hanya beroperasi seminggu dua kali dari Kupang, yaitu
Hari Selasa dan Sabtu, jam 12.00 siang. Ferry akan kembali ke Kupang keesokan
harinya (Rabu dan Minggu) jam 12 siang. Bagi Anda yang memiliki waktu longgar,
Anda bisa memilih ferry. Namun, bila waktu Anda terbatas, satu-satunya cara
adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***JELAJAH CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
10:47
Berpose di pohon eukaliptus yang berumur 100 tahun lebih |
Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal akan
alamnya yang gersang dan udaranya yang panas. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya curah hujan dan tanahnya yang dipenuhi batu-batu
karang. Namun di balik panas dan gersangnya Pulau Timor, tersimpan berbagai
keindahan alam yang menakjubkan. Salah satunya adalah Cagar Alam Gunung Mutis. Di
kawasan cagar alam ini, kita bisa melihat hutan hijau yang luas dengan
pepohonan yang menjulang tinggi dan aneka satwa endemik khas Timor.
Secara
administratif, Cagar Alam Gunung Mutis berada di wilayah Kecamatan Fatumnasi
dan Kecamatan Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) serta Kecamatan
Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Ada beberapa pintu masuk menuju
cagar alam ini tapi yang paling dekat dan paling mudah dijangkau adalah melalui
Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Desa ini jaraknya sekitar
143 km dari Kupang atau 33 km dari Soe, ibu kota Kabupaten TTS.
Perjalanan
menuju Desa Fatumnasi membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Dari Kupang ke Soe,
kondisi jalan bagus dan mulus karena merupakan ruas jalan negara. Namun, kita
harus tetap waspada karena di beberapa tempat jalan berkelok-kelok naik turun
bukit. Kadang jalan menyempit karena berada di bibir jurang, kadang jalan
menanjak dan menurun terjal. Lengah sedikit bisa fatal akibatnya.
Pertigaan ke arah Kapan di Soe |
Dari
pertigaan di Kota Soe, kita belok kiri menuju Kapan, ibu kota Kecamatan Mollo
Utara. Kondisi jalan masih cukup bagus tapi mulai menyempit dan terdapat
kerusakan di beberapa titik. Jalan semakin berkelok-kelok dan mendaki karena Kota
Kapan terletak di dataran tinggi. Parahnya, kita akan menjumpai beberapa
persimpangan jalan tanpa rambu-rambu/penunjuk arah sehingga mengharuskan kita
bertanya kepada penduduk setempat agar tidak tersesat. Namun, pemandangan di
kanan kiri jalan sangat menarik. Salah satu titik paling menarik adalah Kilo 12
yang berjarak 12 km dari Kota Soe. Di tempat ini, kita bisa melihat panorama
gunung, bukit, jurang dan lembah yang berpadu dengan indah. Orang-orang yang
melintasi rute ini biasanya berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah sambil
menikmati pemandangan indah atau berfoto narsis. Saya juga tak mau ketinggalan
untuk singgah sejenak dan mengabadikan panorama cantik di Kilo 12.
Pemandangan menarik yang saya jumpai di perjalanan menuju Fatumnasi |
Setelah
melewati Kota Kapan, kondisi jalan berubah jadi buruk. Semakin menjauh dari
Kapan, kondisi jalan semakin parah. Aspal menghilang berganti menjadi jalan
tanah berbatu dengan batu-batu yang besar dan tak beraturan. Keahlian
berkendara jelas sangat dibutuhkan di medan seperti ini. Karena membawa sepeda
motor matic yang sebenarnya tidak
cocok untuk jalan off road, beberapa
kali saya berhenti untuk mendinginkan mesin setelah melewati tanjakan terjal.
Saya juga berhenti ketika melihat pemandangan yang menarik. Panorama di
sepanjang jalan menuju Fatumnasi memang indah. Mulai dari hutan pinus, bukit
marmer, hingga padang sabana dengan sapi dan kuda yang sedang merumput.
Setelah
berkendara hampir dua jam dari Soe, akhirnya saya tiba di Desa Fatumnasi. Desa
yang dihuni Suku Dawan (salah satu suku asli Pulau Timor) ini, berbatasan
langsung dengan Cagar Alam Gunung Mutis. Udara di Fatumnasi terasa sejuk karena
desa ini terletak tepat di kaki Gunung Mutis. Fatumnasi berasal dari kata Fatum
dan Nasi. Fatu artinya batu dalam Bahasa Dawan, dan Nasi konon katanya banyak
batuan di desa ini yang bentuknya mirip beras. Saya langsung menuju kediaman
Bapak Mateos Anin, tokoh adat paling terkenal di Fatumnasi. Pak Anin memiliki Homestay sederhana bernama “Lopo Mutis”,
satu-satunya penginapan di Fatumnasi yang kerap menjadi jujugan para turis dan
peneliti yang ingin menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis atau mendaki Gunung
Mutis. Selain itu, Pak Anin dan anaknya juga sering menjadi guide bagi para turis untuk menjelajah
Cagar Alam Gunung Mutis atau mendaki Gunung Mutis.
Sayangnya,
saat itu Pak Anin sedang pergi ke Soe. Saya disambut Pak Stefan, yang tak lain
adalah anaknya Pak Anin. Beliau juga sering mengantar turis yang ingin
menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis dan mendaki Gunung Mutis. Sudah tak
terhitung lagi berapa kali dia mendaki gunung tertinggi di Pulau Timor yang
berketinggian 2.427 meter di atas permukaan laut tersebut, sehingga hafal betul
rutenya.
Sebenarnya
saya juga ingin mendaki Gunung Mutis tapi tidak jadi karena waktu saya
terbatas. Selain itu, saya juga tidak membawa bekal yang cukup. Jadi, saya
memutuskan menunda keinginan mendaki Gunung Mutis. Sebagai gantinya, saya akan
menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis dan melihat Gunung Mutis dari titik
terdekatnya saja bersama Pak Stefan yang dengan senang hati akan menemani saya.
Ume Kebubu |
Sebelum
menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis, saya jalan-jalan keliling kompleks rumah
Pak Anin ditemani dua orang cucu Pak Anin sementara Pak Stefan pulang ke
rumahnya untuk ganti baju. Di kompleks rumah Pak Anin terdapat beberapa
bangunan, yaitu aula/pendopo untuk menerima tamu dan turis, rumah utama, 4
rumah untuk kamar tamu (homestay),
dan tiga buah rumah adat khas Timor dengan atap terbuat dari ilalang berbentuk
kerucut. Rumah ini biasa disebut Ume
Kebubu dalam Bahasa Dawan. Semua Warga Desa Fatumnasi mempunyai Ume Kebubu
selain rumah utama karena dulunya rumah asli warga desa ini memang Ume Kebubu.
Sekarang, Ume Kebubu dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat menyimpan bahan
makanan. Namun, di tempat Pak Anin, salah satu Ume Kebubu dimanfaatkan sebagai
kamar tempat menginap para turis. Kata Pak Stefan, banyak turis asing yang ingin
merasakan sensasi tidur di dalam Ume Kebubu.
Gerbang Cagar Alam Gunung Mutis di Desa Fatumnasi |
Begitu
Pak Stefan siap, kami segera berangkat menuju Cagar Alam Gunung Mutis. Ternyata
pintu gerbang Cagar Alam Gunung Mutis hanya berjarak sekitar 1 km dari kediaman
Pak Anin. Di dekat gerbang tersebut terdapat kantor pengelola cagar alam yang
sekaligus berfungsi sebagai tempat pembayaran retribusi pengunjung. Namun, saat
itu tidak ada satu pun orang di sana.
Deretan pohon eukaliptus di Cagar Alam Gunung Mutis |
Sekawanan sapi merumput di Cagar Alam Gunung Mutis |
Memasuki
wilayah Cagar Alam Gunung Mutis, suasana sangat sepi. Tak ada pengunjung lain selain
kami berdua. Sesekali hanya terdengar lenguhan sapi dan ringkikan kuda di
kejauhan. Saat itu, kami memang melihat sekawanan sapi dan kuda yang tengah
merumput di bawah pohon eukaliptus. Pohon-pohon tersebut menjulang tinggi
puluhan meter karena banyak yang sudah berumur ratusan tahun. Bila angin
bertiup, aroma harum akan keluar dari daun-daun eukaliptus tersebut. Tanaman
eukaliptus (Eucalyptus Urophylla)
yang dalam bahasa setempat disebut Ampupu
memang vegetasi dominan di Cagar Alam Gunung Mutis. Selain eukaliptus, tanaman
lainnya adalah cendana, rotan paku-pakuan, dan berbagai jenis lumut. Saya tidak
menyangka di Indonesia ada hutan eukaliptus seluas ini. Saya kira eukaliptus
hanya ada di Australia, Selandia Baru, dan negara-negara empat musim lainnya.
Bonsai Alam di Cagar Alam Gunung Mutis |
Di
antara kerimbunan pohon eukaliptus, terdapat sekumpulan pohon yang menarik
perhatian saya. Penduduk setempat menyebutnya bonsai alam. Tanaman ini
bentuknya memang seperti bonsai, tapi dalam ukuran yang lebih besar. Tingginya
sekitar dua hingga tiga meter dengan cabang-cabang pohon meliuk-liuk ke
samping, seolah ingin menggapai tanaman lain. Seluruh batang dan cabangnya
ditumbuhi lumut. Uniknya, meski batang tanaman ini besar, daunnya berukuran
sangat kecil. Bonsai alam ini merupakan salah satu daya tarik Cagar Alam Gunung
Mutis yang memikat para turis dan peneliti dari berbagai negara.
Kondisi jalan di dalam Cagar Alam Gunung Mutis |
Kami
berjalan semakin jauh ke dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sesekali kami
berpapasan dengan penduduk setempat yang pulang dari ladang. Jalanan semakin
buruk dan rusak. Kadang jalanan penuh batu-batu besar, kadang penuh akar-akar
tanaman. Untuk mencari jalan yang lebih baik, kadang Pak Stefan memilih keluar
dari jalan utama dan memilih lewat jalan setapak di antara pepohonan eukaliptus.
Bahkan, beberapa kali saya harus turun dari motor karena takut jatuh, saking
buruknya jalan. Sambil berjalan, biasanya saya memotret-motret aneka tanaman
dan bukit-bukit batu dengan formasi unik yang banyak terdapat di cagar alam
ini.
Bukit Batu dengan formasi unik di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis |
Jalan tanah berbatu di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis |
Setelah
berjibaku dengan medan off road di
tengah hutan, akhirnya kami tiba di sebuah tempat dengan hamparan sabana yang
luas dan puncak Gunung Mutis di kejauhan. Tampak kawanan sapi dan kuda yang
sedang merumput di kejauhan, tapi jumlahnya tidak banyak. Menurut Pak Stefan,
biasanya pagi hari kita bisa menjumpai sapi dan kuda dalam jumlah yang banyak.
Saat matahari sudah bersinar terik, hewan-hewan tersebut lebih memilih untuk
merumput di tempat yang rindang. Tempat ini namanya Pohong Gunung dan merupakan
titik awal pendakian ke puncak Gunung Mutis. Para pendaki biasanya memarkir
kendaraannya di sini, kemudian berjalan kaki sekitar dua sampai tiga jam menuju
puncak Gunung Mutis. Meski tidak mendaki, saya senang berada di Pohong Gunung.
Melihat padang sabana yang sangat luas dan Gunung Mutis yang menjulang tinggi
di hadapan sudah menyejukkan mata saya. Mungkin suatu hari nanti saya akan kembali
untuk mendaki puncak Gunung Mutis.
Puncak Gunung Mutis dilihat dari Pohong Gunung |
Menuju ke
sana
Cagar Alam Gunung Mutis berada di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan dan
Kabupaten Timor Tengah Utara, tapi gerbang yang paling mudah dijangkau
berada di Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Jaraknya sekitar
33 km dari Soe (ibu kota Kabupaten TTS) atau 143 km dari Kota Kupang. Untuk
mencapai Desa Fatumnasi, kita harus terbang dulu ke Kupang. Dari Kupang, kita
bisa melanjutkan perjalanan ke Fatumnasi dengan menyewa kendaraan (lama
perjalanan sekitar empat jam) atau naik kendaraan umum (bus) sampai Kota Soe,
terus naik angkot sampai Kota Kapan dan lanjut naik ojek sampai Fatumnasi atau bisa
juga naik ojek langsung dari Soe sampai Fatumnasi dengan lama perjalanan
sekitar dua jam.
Subscribe to:
Posts (Atom)