Mengagumi keindahan Danau Kawah Sirung |
Saya percaya kalau tidak ada yang kebetulan di
dunia ini. Semua hal terjadi sudah diatur yang kuasa atas kehendak-Nya. Begitu
juga yang saya alami ketika akan mendaki Gunung Sirung di Pulau Pantar, NTT.
Sehari sebelum pendakian, pesawat yang membawa saya dari Kupang terbang cukup
rendah di atas Pulau Pantar sebelum mendarat di Bandara Mali, Pulau Alor.
Padahal biasanya pesawat yang menuju Alor tidak terbang di atas Pulau Pantar
melainkan di atas Kota Kalabahi, Alor. Karena saya duduk di pinggir jendela
sebelah kiri, saya bisa melihat dengan jelas panorama Pulau Pantar di bawah
sana. Tampak juga Gunung Sirung dengan danau kawahnya yang berwarna hijau
mempesona. Alhasil, saya seperti dibisiki untuk segera mendaki Gunung Sirung
dan melihat dari dekat kawah cantiknya.
Puncak Gunung Sirung dan kawahnya dilihat dari jendela pesawat |
Perjalanan
Panjang yang Menguras Tenaga
Bukan perkara yang mudah untuk mencapai Gunung
Sirung. Saya harus berganti-ganti moda transportasi, mulai dari pesawat, kapal
motor (perahu) hingga sepeda motor. Pertama, saya harus terbang dulu ke Kota
Kalabahi di Pulau Alor. Selanjutnya, bersama teman yang asli Alor (Syaban),
saya harus melanjutkan perjalanan dengan kapal motor dari Pelabuhan Pantai
Reklamasi Kalabahi menuju Pelabuhan Baranusa, di Pulau Pantar. Perjalanan
berperahu ini memakan waktu hampir lima jam dengan melewati Teluk Mutiara,
Selat Pantar, dan Teluk Blangmerang. Untungnya perjalanan berperahu ini sangat
menyenangkan karena cuaca cerah dan laut tenang tanpa gelombang. Sepanjang
jalan mata kami disuguhi berbagai pemandangan menarik, mulai dari perbukitan
hijau, pulau-pulau kecil, pantai-pantai berpasir putih hingga aktivitas para
nelayan di laut. Yang paling menarik perhatian saya adalah atraksi lumba-lumba yang
menari-nari lincah tak jauh dari perahu kami. Kontan saja tarian lumba-lumba
ini membuat mata saya berbinar-binar dan menghilangkan segala rasa bosan. Sayangnya,
saya selalu terlambat mengabadikan tarian lumba-lumba tersebut karena terpana melihat
kelincahan mereka.
Jalan raya yang rusak parah dan berubah menjadi jalan setapak di Pulau Pantar |
Setelah perahu mendarat di Pelabuhan Baranusa,
kami harus melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor menuju Desa Mauta, desa untuk
memulai pendakian ke Gunung Sirung. Perjalanan ini cukup menguras tenaga karena
kami harus menempuh jarak sekitar 25 km, menyusuri jalanan di Pulau Pantar yang
kondisinya sangat buruk. Ruas jalan cukup sempit dan berkelok-kelok naik turun
bukit. Sebagian besar aspal jalan sudah hilang, menyisakan jalan tanah berbatu.
Bahkan di beberapa tempat, jalan berubah menjadi jalan setapak dengan
rerumputan lebat di kanan kirinya. Kami juga harus menyeberangi sungai
belerang tanpa jembatan. Parahnya lagi, tak ada satu pun rambu-rambu lalu
lintas ataupun penunjuk arah. Padahal kami menjumpai beberapa
pertigaan/perempatan jalan. Alhasil, setiap bertemu persimpangan jalan, kami
harus bertanya arah jalan menuju Desa Mauta kepada penduduk setempat agar tidak
tersesat.
Menyeberangi Sungai Belerang dengan jembatan darurat |
Menginap
di Desa Mauta
Setelah berjibaku dengan jalanan rusak selama
satu setengah jam, akhirnya kami tiba di Desa Mauta. Kami langsung menuju rumah
Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa Mauta yang berada tak jauh dari lapangan
dan gereja. Sebenarnya, kami ingin menuju rumah Kepala Desa. Namun, menurut keterangan
warga desa yang kami temui, saat ini jabatan Kepala Desa Mauta memang lagi
kosong. Tugas kepala desa untuk sementara dipegang oleh kaur pemerintahan,
namanya Pak Yahya. Bila ada turis/pengunjung yang ingin mendaki Gunung Sirung,
Warga Desa Mauta biasanya menyarankan untuk singgah ke rumah Pak Yahya.
Tiba di rumah Pak Yahya, kami disambut dengan
ramah oleh beliau dan saudara-saudaranya. Kami ngobrol-ngobrol di halaman rumah
Pak Yahya ditemani secangkir kopi. Dari obrolan tersebut, banyak informasi
tentang Desa Mauta dan Gunung Sirung yang kami ketahui. Desa Mauta merupakan
desa terdekat dengan Gunung Sirung. Desa ini terletak di kaki Gunung Sirung dan
berada di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut sehingga
udaranya sejuk. Desa Mauta terdiri dari empat dusun yaitu Kaka Mauta,
Koliabang, Alikalang dan Owangkala. Pusat pemerintahan desa berada di Dusun
Kakamauta, di mana rumah Pak Yahya berada.
Hati saya cukup miris melihat keadaan Desa
Mauta. Sebagian besar penduduk desa masih berada di bawah garis kemiskinan,
dengan rumah-rumah penduduk masih banyak yang berdinding bambu dan beratap
ilalang. Jalan desa rusak dan listrik belum masuk. Penerangan hanya
mengandalkan lampu dari tenaga surya (solar
cell) yang hanya menyala sekitar empat jam, dari jam 18.00 sampai jam 22.00.
Parahnya lagi, tidak ada sumber air bersih di Desa Mauta. Kebutuhan air bersih
hanya mengandalkan air hujan yang ditampung dalam bak-bak penampungan. Memang
sangat menyedihkan. Indonesia sudah merdeka hampir 70 tahun tapi masih ada
warganya yang belum bisa menikmati lisrik dan air bersih.
Namun, ketiadaan listrik di Desa Mauta membawa
keuntungan juga buat kami. Di malam hari, suasana Desa Mauta benar-benar sepi
mencekam. Tak ada suara musik, televisi ataupun kendaraan. Yang terdengar hanya
suara lolongan anjing dan binatang malam lainnya. Warga Desa Mauta kebanyakan
tidur cepat karena tak ada hiburan. Malam itu kami juga tidur lebih cepat karena
badan kami kecapekan melakukan setelah melakukan perjalanan hampir seharian.
Dengan tidur lebih cepat, kami berharap besok tidak bangun kesiangan dan bisa
mendaki Gunung Sirung dalam kondisi badan yang fit.
Mendaki
Gunung Sirung
Pendakian ke Gunung Sirung kami mulai tepat
pukul 04.50 pagi, saat Warga Dusun Kakamauta masih terlelap dibuai mimpi. Dalam
pendakian kali ini, kami ditemani oleh Pak Musa, pemandu (guide) yang biasa mengantar
para turis/pengunjung mendaki Gunung Sirung. Untuk mendaki gunung yang terakhir
meletus pada tanggal 12 Mei 2012 ini, pendaki memang harus ditemani oleh
seorang pemandu karena jalur pendakian yang tidak begitu jelas. Selain itu,
Gunung Sirung juga masih dianggap angker/keramat oleh warga setempat.
Jalur pendakian ke puncak Gunung Sirung di antara rerumputan lebat |
Berbekal lampu senter, Pak Musa memimpin
pendakian pagi itu. Awalnya kami melewati ladang milik penduduk dengan jalan
setapak yang mendatar, dengan semak-semak di kanan kirinya. Tak lama kemudian,
jalan semakin menyempit karena tertutup rerumputan yang lebat. Celana saya pun
basah kuyup karena embun yang menempel di rerumputan tersebut. Semakin lama,
jalan makin menanjak dan bervariasi. Kadang jurang di sisi kanan jalan, kadang
di sisi kiri. Rumput juga semakin lebat dan tinggi. Di beberapa tempat, jalan
tak terlihat sama sekali karena tertutup rumput lebat sengan ketinggian mencapai dua meter, melebihi tinggi orang
dewasa. Sebenarnya, saya agak bergidik melihat medan pendakian yang rimbun
tertutup rerumputan yang lebat karena
saya tahu persis tempat seperti itu biasanya lokasi favorit untuk persembunyian
ular. Namun, mau tak mau kami harus melewati jalan tersebut karena tak ada jalan/rute lain.
Hutan Kayu Putih di Gunung Sirung |
Sekitar satu jam berjalan, kami tiba di sebuah
medan yang agak lapang yang ditumbuhi banyak pohon kayu putih (Melaleuca leucadendra). Jalan
agak mendatar namun tak lama kemudian mulai menanjak terjal. Tanaman sentigi (Phempis acidula) juga mulai terlihat di
beberapa tempat. Di titik ini, matahari mulai menampakkan sinar jingganya di
ufuk timur. Nampak laut biru dan Pulau Alor di kejauhan. Gagal sudah rencana
kami melihat sunrise di puncak Gunung
Sirung. Tapi tak mengapa, yang penting kami bisa tiba di bibir Kawah Sirung dengan selamat dan bisa melihat keindahannya
dari dekat.
Puncak Gunung Sirung tertutup asap belerang |
Terpesona
Kawah Sirung
Sekitar pukul 06.05 tibalah kami di bibir kaldera
Gunung Sirung. Puncak Gunung Sirung yang berada di ketinggian 862 meter di atas
permukaan laut, nampak samar-samar tertutup awan dan kepulan asap belerang. Namun,
Danau Kawah Sirung berada jauh di bawah kami. Meski masih terlihat agak gelap
karena belum terkena sinar matahari, Danau Kawah Sirung sudah menampakkan
pesonanya. Dengan warna hijau keabuan (hijau mint) dan kepulan asap belerang di salah satu sudutnya, Danau Kawah
Sirung mampu membius kami. Sesaat kami bengong menyaksikan panorama menawan di
hadapan kami. Segala rasa capek dan lelah mendadak hilang berganti rasa kagum
dan takjub.
Danau Kawah Sirung yang cantik berwarna hijau mint |
Agar bisa melihat Danau Kawah Sirung lebih
luas, saya mengajak Syaban dan Pak Musa turun mendekati danau. Kami berjalan
menyusuri jalan setapak di pinggiran kawah ke arah kanan. Ternyata jalan menuju
kawah tidak mudah. Kami harus melewati jalanan berbatu, melompati sungai kecil
yang mengering dan padang rumput (savana) yang tak begitu luas. Bahkan, saya
hampir jatuh ke jurang karena batu besar yang saya injak longsor. Namun,
perjuangan kami mendapat hadiah yang sepadan. Dari dekat, Danau Kawah Sirung
terlihat lebih memukau. Danau kawahnya terlihat lebih luas dan warnanya
terlihat makin cantik karena sudah terkena sinar matahari. Tak henti-hentinya
saya memotret Danau Kawah Sirung yang menakjubkan tersebut. Menurut Pak Musa,
warna Danau Kawah Sirung sering berubah-ubah. Mulai dari hijau mint seperti sekarang, hijau toska,
hijau kebiruan hingga putih susu. Sampai sekarang, belum ada yang meneliti
fenomena perubahan warna Danau Kawah Sirung.
Savana di dekat Danau Kawah Sirung |
Saya sangat bersyukur bisa melihat Danau Kawah
Sirung dari dekat tanpa tertutup asap ataupun kabut. Warna kawahnya sangat
mempesona dan memuat saya terpana. Asyiknya lagi, saya bisa menikmati keindahan
tersebut dan memotretnya dengan leluasa tanpa terganggu pengunjung lain.
Benar-benar pengalaman yang mengesankan.
Danau Kawah Sirung dilihat dari dekat |
Menuju ke
sana
Untuk mencapai Gunung Sirung, Anda harus
terbang dulu ke Kupang, NTT, kemudian lanjut terbang ke Kalabahi, di Pulau
Alor. Dari Kalabahi, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Baranusa, di Pulau
Pantar dengan kapal motor selama 4 - 5 jam. Dari Baranusa, Anda bisa naik ojek
sekitar 1,5 jam hingga tiba di Dusun Kakamauta, Desa Mauta, Kecamatan Pantar
Tengah. Dari Desa Mauta Anda harus jalan kaki mendaki selama sekitar satu jam
hingga tiba di puncak Gunung Sirung.
Tips Mengunjungi Gunung Sirung
1.
Perahu dari Kalabahi, Alor ke Baranusa, Pantar hanya sekali
sehari. Perahu berangkat dari Pelabuhan Pantai Reklamasi Kalabahi jam 07.30
pagi dengan biaya Rp 50.000,00 per orang. Perjalanan memakan waktu 4 -5 jam
tergantung cuaca (angin dan gelombang).
2.
Dari Baranusa ke Desa Mauta (desa terdekat untuk memulai pendakian
ke Gunung Sirung) tidak ada kendaraan umum. Satu-satunya cara menuju ke sana
adalah dengan ojek atau menyewa sepeda motor.
3.
Gunung Sirung hanya tidak bisa sepanjang tahun. Pada pada
bulan-bulan tertentu, pendakian dilarang terutama saat musim berbunga
(Agustus-September) dan musim sebelum panen (Desember-Maret) tanaman jambu
monyet.
4.
Waktu terbaik untuk mendaki Gunung Sirung adalah pagi hari sebelum
matahari terbit. Di pagi hari, Danau Kawah Sirung biasanya memancarkan warna
terindahnya tanpa tertutup asap atau kabut. Di siang/sore hari, Danau Kawah
Sirung biasanya tertutup kabut pekat.
5.
Tidak ada hotel atau penginapan di Desa Mauta. Untuk menginap,
Anda bisa menumpang di rumah Kepala Desa Mauta dengan meminta izin terlebih
dahulu.
6.
Bawalah bekal makanan dan minuman dari Kalabahi karena di Desa
Mauta tidak ada restoran atau warung makan.
7.
Untuk mendaki Gunung Sirung, kenakan celana panjang dan kaos/baju
lengan panjang (jaket) karena Anda akan melewati medan penuh rerumputan yang
sangat lebat dengan ketinggian lebih dari dua meter.
8.
Kenakan sepatu atau sandal gunung yang kokoh karena Anda akan
melewati jalan setapak penuh rerumputan dan batu/kerikil tajam.***
No comments:
Post a Comment