Monday, 23 December 2013

RIDING MOTORBIKE, CROSSING BORDER TO TIMOR LESTE (1) : KUPANG - SOE - KEFAMENANU - NAPAN - WINI - MOTA’AIN


Gara-gara provokasi seorang teman, akhirnya jadi juga saya main ke negara tetangga, Timor Leste. Tak tanggung-tanggung, kami mengendarai sepeda motor dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Dili, Timor Leste. Sebenarnya tak ada niat sedikit pun, jalan-jalan ke Timor Leste naik sepeda motor. Mengingat jarak yang sangat jauh (ratusan kilometer), akses jalan yang buruk di wilayah Timor Leste, dan ribetnya urusan administrasi untuk membawa sepeda motor keluar negeri. Namun, karena teman saya begitu gigih merayu dan memprovokasi saya, akhirnya saya mau juga. Kapan lagi bisa jalan-jalan melintasi perbatasan (border crossing) membawa sepeda motor? Mumpung tinggal di Kupang dan ada teman ngajakin, rasanya rugi banget kalau tidak menengok tetangga sebelah, yang dulunya merupakan provinsi ke-27 di Indonesia. Dan ternyata, perjalanan kami memang sangat seru dan penuh petualangan tak terduga. Berikut cerita selengkapnya. 

Petualangan ke Timor Leste kami mulai dari Kota Kupang, tempat di mana saya tinggal belakangan ini. Tepat pukul 07.30 pagi, di akhir pekan yang cerah, di pertengahan bulan November, saya dan teman (Harry) berangkat dari Kupang, setelah memastikan semua perbekalan siap dan sepeda motor kesayangan (Bonito, si Honda Beat) dalam kondisi prima. Untuk keluar dari Kota Kupang, kami berkendara menyusuri Jalan Timor Raya menuju arah Soe/Kefamenanu. Jalanan tak beguitu ramai pagi itu. Hanya di sekitar Pasar Oesao yang lumayan ramai dan semrawut karena pedagang banyak memakan bahu jalan dan jalan di depan pasar juga sudah mulai rusak. Lepas dari Pasar Oesao, jalan mulai bagus lagi dan sepi sehingga kami bisa memacu kendaraan lebih cepat. 

Di tengah perjalanan, kami berhenti beberapa kali di SPBU untuk mengisi bensin. Kami juga membekal bensin dalam botol air mineral agar tidak kehabisan bensin di tengah jalan. Maklum, kapasitas tangki Bonito sangat sedikit (tak sampai 3 liter). Selain itu, keberadaan SPBU di Pulau Timor sangat jarang (hanya ada di kota kabupaten dan beberapa di kota kecamatan) dan harga bensin eceran cukup mahal, Rp 8.000,00 - Rp 10.000,00 per liter. Jadi, untuk menghindari risiko kehabisan bensin di tengah jalan dan sekaligus untuk menghemat, solusinya adalah membawa bekal bensin di dalam botol air mineral.


Kami juga berhenti di beberapa spot menarik. Salah satunya di Jembatan Noelmina, yang menjadi batas Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jembatan ini jaraknya sekitar 77 km dari Kota Kupang. Jembatan Noelmina merupakan jembatan terpanjang di Pulau Timor dan NTT, dengan panjang mencapai 240 km. Setiap orang yang melakukan perjalanan dari Kupang ke arah timur (Soe, Kefamenanu, Timor Leste, dan lain-lain) pasti melewati Jembatan Noelmina karena satu-satunya jembatan yang menghubungkan Kabupaten Kupang dengan kabupaten/kota-kota lainnya di sebelah timur. 

Puas mengabadikan Jembatan Noelmina dengan kamera kesayangan, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dari Jembatan Noelmina menuju Soe jaraknya hanya sekitar 32 km tapi jalannya berkelok-kelok dan mendaki cukup tinggi karena Soe berada di dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut. Kami harus berkendara dengan hati-hati di jalur ini agar bisa tiba di Soe dengan selamat. Perjalanan masih panjang, dan kami tak mau terjadi hal-hal yang tidak kami inginkan. 

Sekitar pukul 10.00 kami tiba di Soe, kota kecil dengan udara yang sejuk. Kami berhenti sejenak di kota ini, untuk mengisi bensin di SPBU. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. 

Ruas jalan antara Soe dan Kefamenanu sangat menantang karena jalannya berkelok-kelok naik turun bukit dan aspal jalan sudah banyak yang terkelupas. Teman-teman di Kupang, juga sudah memberi tahu kami, bahwa kondisi jalan antara Soe - Kefamenanu sangat buruk dan berkelok-kelok. Bahkan, mereka tidak menyarankan kami untuk mengendarai sepeda motor. Mereka lebih menyarankan kami naik bus/mobil travel saja, bila ingin berkunjung ke Dili agar lebih nyaman. Namun, karena kami berjiwa petualang, kami tetap kekeuh bersepeda motor. 


Ternyata kondisi jalan dari Soe ke Kefamenanu memang luar biasa. Dari Soe ke Niki-Niki (kota kecamatan di antara Soe dan Kefamenanu) kondisi jalan masih lumayan bagus, tapi sudah berkelok-kelok. Nah, dari Niki-Niki ke Kefamenanu kondisi jalan sangat buruk. Jalannya tidak rata (bergelombang), banyak lubang, kelokan-kelokannya sangat tajam, dan kanan/kiri jurang. Bahkan di sebuah tikungan yang tajam, aspal jalan sudah hilang sama sekali dan terdapat tanah longsor. Kami harus berjalan pelan dan ekstra hati-hati melewati rute ini. Lengah sedikit, kami bisa terperosok ke dalam jurang. 

Menjelang tengah hari, kami tiba dengan selamat di Kefamenanu. Kami disambut cuaca mendung dan hujan rintik-rintik. Kami segera mencari SPBU untuk mengisi bensin lagi. Karena hujan makin deras dan perut sudah keroncongan, selesai mengisi bensin kami segera mencari rumah makan untuk mengisi perut. Tak disangka-sangka, ternyata banyak rumah makan/warung Jawa di Kefamenanu. Mulai dari Solo, Lamongan hingga Kediri. Pilihan kami jatuh pada Rumah Makan Kediri karena letaknya strategis di pinggir jalan utama dan saat itu suasananya paling ramai. 

Usai makan, hujan belum juga reda. Kami manfaatkan waktu tersebut untuk membaca peta lagi. Kami melihat-lihat rute jalan yang akan kami lalui, yang sepertinya masih jauh. Saat itu, di meja sebelah saya melihat dua orang pemuda yang juga selesai makan, sedang ngobrol-ngobrol sambil menunggu hujan reda seperti kami. Saya dekati mereka untuk bertanya arah jalan menuju Desa Napan dan Desa Wini, dua desa terluar Indonesia yang letaknya berbatasan dengan Enclave Oecussi, Timor Leste. Menurut dua pemuda tersebut, akses jalan menuju Desa Napan sudah bagus, karena baru saja diperbaiki. Namun, jalan menuju Desa Wini kurang bagus dan medannya berliku-liku. Perjalanan ke Desa Napan memakan waktu tak sampai satu jam sedangkan ke Desa Wini yang berada di pinggir pantai, memakan waktu sekitar satu setengah jam. 

Bila Anda melihat Peta Timor Leste, Anda akan melihat sebuah distrik/wilayah yang letaknya terpisah cukup jauh dari wilayah utama Negara Timor Leste. Wilayah tersebut tak lain adalah Enclave Oecussi. Enclave merupakan daerah kantong suatu negara yang letaknya terpisah dari wilayah utama suatu negara dan dikelilingi negara lain. Enclave Oecussi ini dikelilingi tiga kabupaten di Provinsi NTT, yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Rencananya, kami akan masuk ke Enclave Oecussi melalui Desa Napan atau Desa Wini, yang berada di wilayah Kabupaten Kabupaten Timor Tengah Utara. Dua desa inilah yang letaknya paling dekat dengan Kefamenanu, dan di sana sudah terdapat tempat pemeriksaan imigrasi. 

Sekitar satu jam menunggu, hujan tak kunjung reda. Awan mendung masih menggelayut dan hujan rintik-rintik belum juga berhenti. Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan mengenakan jas hujan karena jarak yang harus kami tempuh masih lumayan jauh dan kami belum tahu medan/jalan. Kami tak mau ambil risiko kemalaman di jalan. Pasalnya, menurut dua pemuda di warung tadi, jalan menuju Desa Wini banyak melewati hutan yang sepi, dengan jalan berkelok-kelok naik turun. 

Dari Kefamenanu hanya ada satu jalan menuju Desa Napan tapi tidak ada rambu-rambu/petunjuk arah yang menunjukkan jalan menuju ke sana. Untunglah kami masih ingat petunjuk dari dua pemuda di warung tadi, bahwa dari rumah makan tersebut kita tinggal lurus saja. Nanti setelah ketemu pertigaan di Desa Faenake,belok kiri ke Desa Napan atau belok kanan ke Desa Wini. 

Sekitar 20 menit berjalan, kami menjumpai sebuah pertigaan tanpa rambu-rambu. Karena tak ada orang yang bisa kami tanyai, kami belok ke kiri seperti instruksi dari dua pemuda di rumah makan tadi. Tak lama kemudian, kami melihat seorang penduduk desa yang sepertinya baru pulang dari ladang. Kami bertanya ke bapak tersebut, untuk memastikan arah jalan menuju Desa Napan. Ternyata jalan yang kami pilih sudah benar. Dari tempat tersebut, perbatasan Desa Napan dengan Desa Bobometo, Enclave Oecussii hanya tinggal 10 km. 

Mendengar jarak yang tinggal 10 km lagi, kami semakin semangat berkendara. Apalagi jalan yang kami lalui sangat bagus dan mulus. Aspalnya hotmix dan marka jalannya sangat jelas. Rupanya jalan di tersebut baru saja diperbaiki pemerintah. Lalu lintas di jalan juga sangat sepi, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya sesekali kami berpapasan dengan sepeda motor penduduk desa yang berjalan kaki. 

Memasuki Desa Napan, hujan mulai reda. Saya tahu kalau sudah tiba di Desa Napan, karena saya melihat sebuah balai desa bertuliskan Desa Napan. Suasana desa di tapal batas Indonesia ini, tak jauh beda dengan desa-desa lainya di NTT. Rumah-rumah penduduk cukup bagus (walau sederhana) dan listrik (PLN) sudah masuk. Fasilitas umum seperti Sekolah Dasar dan Puskesmas Pembantu juga sudah ada di Desa Napan. Saya senang melihat Desa Napan tidak diabaikan pemerintah Indonesia. Memang sudah seharusnya pemerintah memberi perhatian lebih pada desa-desa di perbatasan karena di sanalah nasionalisme seseorang diuji. Bila desa di perbatasan diabaikan pemerintah, bukan tak mungkin desa tersebut akan dicaplok negara tetangga. 

Kami terus berkendara hingga tiba di sebuah jalan dengan portal membentang dan pos militer (TNI) di kanan jalan. Di kiri jalan terdapat kompleks bangunan militer yang di salah satu dindingnya bertuliskan “Selamat Datang Pos Napan Bawah Satgas Pamtas RI - RDTL.” Ada juga tulisan “Tamu Harap Lapor.” Rupanya kami telah tiba di perbatasan. Kami segera memarkir kendaraan di kompleks militer tersebut dan melapor kepada dua tentara yang sedang bertugas di pos jaga. Mereka menanyakan maksud kedatangan kami, kartu identitas, asal dari mana, dan lain-lain. Kami pun menunjukkan KTP sambil menjelaskan maksud kedatangan kami yang tak lain hanya untuk melihat kondisi di perbatasan Indonesia - Enclave Oecussi, Timor Leste dan foto-foto di perbatasan tersebut. Ternyata, tidak sembarang orang bisa memasuki perbatasan kecuali yang berkepentingan dan memiliki identitas yang jelas. Perbatasan tersebut buka dari jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 sore. 

Karena penasaran dengan Enclave Oecussi yang tidak pernah masuk berita/media, kami menanyakan beberapa hal tentang wilayah kantong Timor Leste tersebut di antaranya bagaimana cara membawa sepeda motor ke sana, kondisi jalan di wilayah Enclave Oecussi dan jarak dari Desa Napan ke Pante Macassar (ibu kota Distrik/Enclave Oecussi). Tentara tersebut menjelaskan bahwa untuk masuk ke Timor Leste kami harus membawa paspor dan selanjutnya membayar Visa on Arrival (VoA) sebesar USD 30 (sekitar Rp 352.500,00) di Imigrasi Timor Leste. Untuk membawa sepeda motor kami harus mengurus surat-surat di Kantor Bea Cukai yang berada tak jauh dari pos militer tersebut. Kondisi jalan di wilayah Enclave Oecussi dia tidak tahu pasti karena belum pernah masuk namun yang pasti lebih buruk daripada jalan di Indonesai. Jarak menuju Pante Macassar cukup jauh, sekitar 1,5 jam berkendara. 

Setelah mendengar penjelasan tentara tersebut, kami memutuskan untuk tidak jadi masuk ke Enclave Oecussi, Timor Leste dari Desa Napan. Kami hanya akan foto-foto saja di tapal batas (garis perbatasan 2 negara). Oleh tentara tersebut, kami dizinkan foto-foto di tapal batas namun jangan sampai masuk ke wilayah Negara Timor Leste yang berada di seberang garis. Tentara tersebut juga mengingatkan kami untuk lapor dulu di pos polisi perbatasan dan kantor imigrasi sebelum foto-foto di perbatasan. 

Kami mengikuti semua instruksi yang diberikan tentara tersebut. Kami lapor di pos polisi kemudian lapor di tempat pemeriksaan imigrasi. Petugas imigrasi yang hanya 1 orang itu, langsung mencari stempel melihat kedatangan kami. Dia mengira kami akan melintas batas dan memasuki Negara Timor Leste. Setelah kami jelaskan bahwa kami hanya ingin foto-foto saja di perbatasan, dia nampak bingung. Mungkin sebelumnya, tak ada orang yang iseng seperti kami datang jauh-jauh hanya untuk foto-foto di perbatasan. Petugas tersebut memberi tahu bahwa seharusnya kami tak perlu lapor ke tempat pemeriksaan imigrasi jika hanya untuk foto-foto di perbatasan. Bila akan melintas batas (memasukii Timor Leste) baru kami wajib lapor di tempat pemeriksaan imigrasi untuk cap paspor. 

Kami langsung berjalan ke perbatasan RI – RDTL (Republik Demokratik Timor Leste) yang berjarak hanya sekitar 100 meter dari Tempat Pemeriksaan Imigrasi Napan tersebut. Perbatasan RI - RDTL ditandai dengan berakhirnya jalan bagus yang dibatasi dengan garis melintang di ujung jalan. Di luar garis tersebut sudah termasuk wilayah Negara Timor Leste. Di kanan kiri garis tersebut terdapat bangunan semacam tugu yang terbuat dari bata merah : di kiri jalan Tugu Negara Timor Leste dan di kanan jalan Tugu Negara Indonesia. Tugu tersebut kondisinya sangat sederhana karena merupakan tugu lama warisan Indonesia yang dulunya merupakan tugu perbatasan Provinsi NTT dan Provinsi Timor Timur pada saat Timor Timur masih bergabung dengan Indonesia. Yang menarik perhatian kami, kondisi jalan di perbatasan dua negara ini sangat kontras. Jalan di wilayah Indonesia sangat bagus, aspal hot mix mulus dan marka jalan yang sangat jelas. Sementara kondisi jalan di wilayah Timor Leste sudah mulai rusak dan tanpa ada marka jalan. Saya sangat bangga melihat kondisi jalan di perbatasan Indonesia yang sangat bagus tersebut. 

Segera saja kami memotret kondisi fisik perbatasan RI - RDTL tersebut. Mulai dari tugu, garis batas hingga kondis jalan yang sangat kontras. Tak lupa saya berfoto dengan pose berdiri sambil kaki mengangkang di atas garis batas negara, kaki kanan di wilayah Indonesia dan kaki kiri di wilayah Timor Leste. Alhasil, saya bisa berdiri di dua negara dalam waktu yang bersamaan. Saya senang sekali bisa menginjakkan kaki di perbatasan RI – RDTL. 

Puas foto-foto di perbatasan, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Wini. Kami harus kembali lagi ke pertigaan Desa Faenake yang berjarak sekitar 12 km, kemudian belok kanan menuju Desa Wini. Perjalanan menuju Wini sangat menantang karena kami harus melewati jalan yang berliku-liku naik turun bukit. Kondisi jalan juga kurang bagus, sempit dan banyak asal yang mulai rusak/terkelupas sehingga menimbulkan banyak lubang. Sepanjang jalan kami melewati banyak hutan dengan desa/pemukiman penduduk yang cukup jarang. Kami tidak melihat penjual bensin eceran ataupun tukang tambal ban di sepanjang jalur ini. Kalau kehabisan bensin atau ban bocor, urusan bakal panjang dan repot. Untunglah kami membawa bekal bensin dalam botol air mineral sehingga terbebas dari risiko kehabisan bensin. 

Setelah menempuh jarak sekitar 50 km dari Desa Napan, kami tiba di Desa Wini. Suasana desa sudah gelap, karena kami tiba di sana selepas maghrib. Kami langsung mencari warung makan, untuk mengisi perut sekaligus mencari informasi hotel/penginapan di Wini. Seperti di Kefamenanu, di Wini juga banyak terdapat Warung Jawa, terutama Warung Jawa Timur (Kediri dan Lamongan). Ada juga Warung Padang. Kami memilih Warung Lamongan yang berada di dekat pertigaan jalan. Untuk makan malam, kami memesan nasi goreng spesial. Rasanya nikmat sekali makan nasi goreng panas di tengah cuaca dingin karena habis hujan. 

Sambil makan, saya ngobrol-ngobrol dengan pemilik warung yang berasal dari Lamongan. Rupanya dia sudah merantau cukup lama di Wini, yaitu dari tahun 1993. Dulunya dia berjualan di Pante Macassar, Enclave Oecussi, Timor Leste karena di sana lebih ramai daripada di Wini. Setelah Timor Leste merdeka pada tahun 1999, dia dan teman-temannya dari Jawa pindah ke Wini dan berjualan di Wini sampai sekarang. 

Menurut informasi pemilik warung, di Wini tidak ada hotel. Yang ada hanya sebuah penginapan sederhana yang letaknya di dekat masjid, di pinggir pantai, sekitar 4 km dari Desa Wini. Selesai makan kami mencari masjid yang merupakaan satu-satunya masjid di Desa Wini, untuk menunaikan sholat. Kemudian kami melanjutkan pencarian penginapan. Karena tak ada petunjuk arah ke penginapan tersebut, kami bertanya beberapa kali ke penduduk setempat untuk menemukannya. 

Susah payah kami mencari penginapan tak bernama tersebut, ternyata tak membawa hasil. Saat kami tiba di sana, penginapan sedang penuh malam itu. Kami pun keluar penginapan dengan kecewa. Padahal kami sudah membayangkan tidur di atas kasur yang empuk setelah seharian penuh berkendara. Selanjutnya, kami bertanya kepada bapak-bapak di sebuah warung yang berada tak jauh dari penginapan tersebut. Kata Bapak tersebut, ada sebuah penginapan di Desa Wini, yaitu di rumah Pak Syukur Mahmud yang letaknya tak jauh dari perbatasan. Menurut Bapak tersebut, sangat mudah menemukan Rumah Pak Syukur Mahmud karena sebagian besar penduduk Wini kenal/tahu beliau yang tak lain adalah tokoh terkemuka di Desa Wini. 

Tanpa membuang waktu, kami segera menuju rumah Pak Syukur Mahmud. Rumahnya sederhana tapi halamanya luas. Di halaman belakang terdapat bangunan seperti rumah kos-kosan dengan kamar berderet dan beberapa truk. Sayangnya Pak Syukur Mahmud sedang keluar rumah dan istrinya sedang tidur. Para karyawan yang kami temui, menyuruh kami menunggu sampai Pak Syukur Mahmud datang. 

Untunglah tak berapa lama kemudian Pak Syukur Mahmud datang. Saya segera menemui beliau dan mengutarakan maksud untuk menginap. Ternyata di rumah Pak Syukur Mahmud tak ada penginapan. Kamar-kamar di belakang yang mirip kos-kosan merupakan kamar untuk para karyawan/pekerjanya. Namun, Pak Syukur Mahmud tetap mengizinkan kami menginap di rumahnya dengan kondisi seadanya, hanya kamar berkarpet, tanpa ranjang/kasur. Kalau kami mau, kami diperbolehkan menginap dengan gratis. Karena tak ada pilihan lain, kami menerima tawaran Pak Syukur Mahmud. Yang penting kami bisa istirahat dengan nyaman karena besok akan melanjutkan perjalanan panjang ke Dili, Timor Leste. 

Keesokan harinya kami berniat melanjutkan perjalanan ke Enclave Oecussi melewati perbatasan Wini. Sebelum berangkat, tak lupa kami berpamitan dengan Pak Syukur Mahmud sekaligus mengucapkan terima kasih karena telah diizinkan menginap gratis di rumahnya. Pak Syukur Mahmud bercerita kepada kami, bahwa dia memang menyediakan sebuah kamar di rumahnya untuk para musafir yang kemalaman di jalan sesuai pesan mendiang ayahnya. Betapa mulia hati Pak Syukur. 

Perbatasan Wini hanya berjarak 400 meter dari rumah Pak Syukur Mahmud. Seperti di perbatasan Napan, kami harus menjalani serangkaian prosedur untuk memasuki perbatasan, yaitu melapor ke tentara yang jaga, cap paspor di imigrasi, baru boleh melenggang ke Timor Leste. Pada saat ngobrol-ngobrol di pos tentara kami mendapat informasi bahwa untuk membawa sepeda motor ke Timor Leste kami harus mengurus surat di kantor bea cukai yang berada di Kompleks Pelabuhan Atapupu bukan kantor bea cukai yang ada di Wini. Padahal Atapupu jaraknya cukup jauh dari Wini, sekitar 1 jam berkendara. Selain itu, Visa on Arrival (VoA) Timor Leste menerapkan kebijakan single entry. Artinya visa tersebut hanya berlaku untuk sekali masuk. Begitu sudah keluar dari wilayah Enclave Oecussi, Timor Leste, visa tersebut sudah tak berlaku lagi. Bila ingin masuk lagi ke Timor Leste lewat perbatasan Batugade (untuk perjalanan ke Dili) kami harus membayar VoA lagi sebesar USD 30. 

Dengan mempertimbangkan dua hal tersebut, kami memutuskan tidak jadi memasuki Enclave Oecussi. Kami hanya akan melintas perbatasan sampai masuk ke Imigrasi Timor Leste di Sakato. Untuk masuk ke wilayah Timor Leste kami harus ditemani/diantar oleh salah seorang tentara. Untunglah seorang tentara yang baik hati bernama Nasution mau mengantarkan kami sampai ke Imigrasi Timor Leste yang megah sehingga kami bisa leluasa foto-foto di sana. Bahkan kami sempat foto bersama dengan petugas imigrasi dan tentara Timor Leste di dalam ruangan kantor imigrasi. 

Perbatasan RI dan RDTL di Wini - Sakato berupa sungai kecil. Di atas sungai tersebut terdapat sebuah jembatan. Dulunya, di tengah-tengah jembatan terdapat garis perbatasan dua negara. Sayangnya sekarang garis batas tersebut sudah lenyap karena aspal di jembatan sudah terkelupas. Seharusnya Pemerintah RI dan RDTL memperbaiki jembatan tersebut dan menorehkan kembali garis batas dua negara. 

Melihat Kantor Imigrasi Indonesia dan kantor-kantor lainnya di perbatasan Wini yang kondisinya sangat sederhana saya jadi sedih. Pasalnya Kantor Imigrasi Timor Leste sangat bagus dan megah. Bangunannya pun masih baru dengan gaya arsitektur yang modern. Beda jauh dengan Kantor Imigrasi Indonesia yang sangat sederhana. Padahal Perbatasan Wini - Sakato ini merupakan salah satu perbatasan utama yang paling sering dilewati para pelintas batas selain Perbatasan Mota’ain - Batugade. Pejabat, pegawai pemerintah dan masyarakat Timor Leste dari Dili dan wilayah Timor Leste lainnya pasti melintasi perbatasan ini jika akan berkunjung ke Enclave Oecussi. 

Dari Perbatasan Wini - Sakato kami bergerak ke Perbatasan Mota’ain - Batugade untuk masuk ke wilayah utama Timor Leste. Kami ingin menjejakkan kaki di Dili, ibu kota Timor Leste. Sebelum menuju Mota’ain kami mengisi bensin dulu di Atambua dan membekal bensin sebanyak 3 botol air mineral. Pasalnya harga bensin di Timor Leste sangat mahal. Tak lupa kami juga mengurus surat di Kantor Bea Cukai Atapupu. Anehnya, petugas di Kantor Bea Cukai Atapupu bilang bahwa di kantor tersebut tak ada computer dan printer. Jadi tidak bisa membuat surat untuk kami. Oleh petugas tersebut, kami diminta pergi ke rental pengetikan yang berada di dekat Bank NTT (sekitar 2 km dari Kantor Bea Cukai Atapupu) dengan membawa paspor, SIM, dan STNK. Kami juga diminta mem-foto copy STNK, SIM, dan paspor pengendara (driver). Namun, jika tidak ketemu kios foto copy, tidak apa-apa. Pemilik rental sudah tahu surat yang dimaksud karena sudah biasa membuat. 

Saya benar-benar heran dengan pelayanan Kantor Bea Cukai Atapupu. Menurut saya, tidak mungkin kantor bea cukai tidak mempunyai komputer dan printer. Apalagi perbatasan Mota’ain - Batugade merupakan perbatasan paling ramai, yang setiap harinya dilewati ratusan orang pelintas batas. Saya pikir, pasti ada yang “nggak beres” dengan Kantor Bea Cukai Atapupu. Pasalnya saya melihat dengan jelas di kantor tersebut ada sebuah komputer dan printer di sudut ruangan. Saya tidak tahu apakah kedua alat tersebut masih berfungsi atau tidak, tapi yang pasti kedua alat itu ada. 

Karena waktu kami terbatas, kami tak mau berdebat dengan petugas bea cukai tersebut. Kami ikuti saja perintahnya. Kami segera menuju rental komputer yang dimaksud. Kami sempat kebingungan mencari rental komputer tersebut karena tidak ada papan namanya. Untunglah, kami bisa menemukannya setelah bertanya kepada salah seorang warga. Sialnya, listrik sedang padam saat kami tiba di rental komputer. Oleh pemilik rental, kami diminta menunggu karena biasanya mati lampu tidak berlangsung lama. 

Tiga puluh menit menunggu, listrik belum juga menyala. Tiba-tiba pemilik rental datang dan bilang akan menyalakan genset. Saya dan teman saling berpandangan heran karena tak mengira dia mempunyai genset. Anehnya lagi, kenapa nggak dari tadi dia menyalakan genset? Benar-benar aneh. Saya jadi berpikir, kok banyak sekali halangan untuk mengunjungi Negara Timor Leste? Ada apa dengan negara ini? 

Pemilik rental komputer meminjam paspor, SIM, dan STNK untuk membuat surat bea cukai. Karena yang mengendarai sepeda motor teman saya, paspor dan SIM dialah yang diminta untuk pembuatan surat tersebut. Untuk pembonceng tidak perlu, karena tidak ada data yang diminta. 

Tak sampai 10 menit surat yang bernama “Dokumen Pemasukan/Pengeluaran Sementara Kendaraan Bermotor ke dan dari Wilayah Republik Indonesia” pun jadi. Karena namanya panjang, kami menyebutnya DPPSKB saja. Pemilik rental tersebut memberikan DPPSKB sebanyak 4 lembar (rangkap) kepada saya dan meminta ongkos sebesar Rp 50.000,00. Saya pun kaget dengan mahalnya biaya rental tersebut, masa 4 lembar surat biayanya Rp 50.000,00? Padahal dia hanya mengganti data sebanyak 13 nomor/poin, di antaranya : nama pengemudi, nomor SIM, nomor paspor, nama pemilik, kebangsaaan, dan lain-lain. Gila! Saya dipalak Rp 50.000,00 hanya untuk 4 lembar surat yang tinggal copy paste saja. Padahal seharusnya surat ini gratis, bila kita meminta ke kantor bea cukai yang “benar.” 

Kami segera kembali ke Kantor Bea Cukai Atapupu untuk meminta tanda tangan dan stempel petugas. Setelah menandatangani dan memberi stempel, petugas tersebut meminta selembar surat “Dokumen Pemasukan/Pengeluaran Sementara Kendaraan Bermotor ke dan dari Wilayah Republik Indonesia” sebagai arsip. Jadi, kami masih mempunyai 3 lembar lagi. Kami tidak mengeluarkan biaya apa pun di Kantor Bea Cukai Atapupu. 

Dari Kantor Bea Cukai Atapupu, kami bergerak menuju Kantor Polisi Sektor Mota’ain tak jauh dari perbatasan untuk menitipkan STNK. Sebagai informasi, untuk membawa kendaraan keluar negeri, STNK harus dititipkan di kantor polisi terdekat dengan perbatasan. Sebagai gantinya, polisi akan memberikan “Surat Tanda Registrasi Pengoperasian (STRP) Ranmor Indonesia yang Masuk di Wilayah RDTL.” Surat ini diberikan dengan gratis. Jadi, kami juga tidak mengeluarkan biaya sepeser pun di kantor polisi. Kami hanya butuh sabar menunggu karena saat itu sedang banyak yang mengurus surat tersebut. 

Urusan surat beres, kami langsung meluncur ke perbatasan Mota’ain. Di perbatasan, kami harus melakukan serangkaian prosedur untuk bisa keluar Indonesia dan memasuki Timor Leste. Pertama kami harus cap paspor di imigrasi, setelah mengisi kartu imigrasi. Perlu Anda ketahui, di loket imigrasi Mota’ain, banyak calo yang menawarkan jasa mengisi kartu imigrasi. Mereka mendekati kami sambil memberikan kartu imigrasi dan menawarkan jasa mengisinya. Dengan tegas, kami menolak tawaran mereka dan mengembalikan kartu imigrasi tersebut karena setahu saya kartu imigrasi bisa diperoleh dengan gratis di loket/kounter imigrasi. Saat kami menyerahkan paspor, ternyata petugas imigrasi baru memberikan kartu imigrasi kepada kami untuk kami isi. Saya benar-benar heran, mengapa kartu imigrasi tersebut tidak ditaruh saja di depan loket sehingga terlihat oleh para pelintas batas. Dengan begitu, para pelintas batas tidak kebingungan dan tidak akan terjebak calo. Calo-calo tersebut seharusnya juga dilarang berkeliaran di dekat loket imigrasi/perbatasan demi kenyamanan para pelintas batas. 

Selesai urusan imigrasi, kami menuju pos polisi di perbatasan untuk menunjukkan STRP dari Kantor Polisi Sektor Mota’Ain. Selanjutnya kami menuju Kantor Bantu Pelayanan Bea Cukai Mota’Ain untuk menunjukkan STRP dari Kantor Polisi Sektor Mota’Ain dan DPPSKB dari Kantor Bea Cukai. Petugas akan mengecek dokumen tersebut dan mengeluarkan “Nota Pemeriksaaan Kendaraan Bermotor Pelintas Batas (Pengeluaran Sementara)” untuk ditandatangani pengendara. Akhirnya selesai juga segala urusan administrasi yang melelahkan. Saatnya menembus perbatasan, menuju Timor Leste. Ternyata ribet juga ya, prosedur membawa kendaraan keluar negeri … (bersambung)* 

1 comment: