Cuaca yang mendung mengiringi kepergian kami meninggalkan Mota’ain, Indonesia dan memasuki Batugade, Timor Leste. Kami menaiki sepeda motor, melintasi jembatan indah yang menjadi tapal batas RI dan RDTL. Tulisan Bem-Vindo a/ Welcome to Timor Leste yang membentang di atas jembatan, menyambut kedatangan kami di Timor Lorose. Di atas jembatan inilah biasanya para pelintas batas berfoto. Kami pun tak mau ketinggalan berfoto di atas jembatan tersebut.
Tiba di Imigrasi Timor Leste, Batugade, saya turun di depan kantor beserta semua barang bawaan (nantinya akan dimasukkan sensor x-ray), sementara teman saya memarkir sepeda motor di belakang. Ternyata pelayanan di Imigrasi Timor Leste juga tidak lebih baik dari Imigrasi Indonesia. Di depan kantor imigrasi berkumpul beberapa pemuda yang tak lain adalah calo yang menawarkan jasa mengisi kartu imigrasi. Tentu saja kami tak menggubris tawaran calo tersebut.
Kami langsung menuju loket imigrasi untuk apply Visa on Arrival. Petugas imigrasi meminta kami mengisi kartu imigrasi dan kartu bea cukai tapi anehnya kartu-kartu tersebut tidak tersedia di loket. Dia malah menyuruh kami meminta kartu imigrasi dan kartu bea cukai kepada beberapa calo di depan kantor. Dengan kesal, saya keluar ruangan untuk meminta kartu-kartu tersebut. Awalnya mereka tidak mau memberikan kartu imigrasi dan kartu bea cukai, tapi setelah saya desak dengan tegas akhirnya mereka mau memberikan juga. Benar-benar pelayanan imigrasi yang sangat buruk.
Setelah mengisi kartu imigrasi dan kartu bea cukai, kami kembali ke loket imigrasi untuk menyerahkan paspor dan kartu imigrasi. Kemudian, kami membayar biaya visa sebesar USD 30 per orang. Petugas imigrasi pun memberikan visa di paspor kami, yang ternyata visanya hanya berupa stempel (bukan kertas stiker) dengan tulisan tak jelas.
Selanjutnya, saya mengurus dokumen kendaraan di loket bea cukai yang letaknya persis di depan kantor imigrasi. Saya menyerahkan 1 lembar “Dokumen Pemasukan/Pengeluaran Sementara Kendaraan Bermotor ke dan dari Wilayah Republik Indonesia” dan mereka menggantinya dengan selembar surat berbahasa Portugis “Guia de Circulaçãõ Temporaria - Exemplar da Alfândega.” Sialnya, petugas tersebut meminta biaya administrasi USD 5. Padahal tidak ada pemberitahuan/pengumuman tentang biaya administrasi tersebut. Berarti total pengeluran di imigrasi dan bea cukai Timor Leste sebesar USD 35.
Selesai urusan imigrasi dan bea cukai, kami harus melewati petugas yang akan mengecek paspor, visa dan surat bea cukai. Selanjutnya kami harus melewati metal detector dan barang bawaan harus melewati sensor x-ray. Anehnya, saat itu mesin x ray-nya mati dan oleh petugas kami disuruh lewat begitu saja. Petugas hanya menanyakan apa saja barang bawaan kami dan tidak sampai membuka tas kami. Kami yang membawa tiga botol bensin juga tidak dipermasalahkan. Ternyata memang benar kata teman-teman, imigrasi di Timor Leste tidak terlalu ketat.
Lepas dari urusan imigrasi yang cukup ribet, kami langsung menuju tempat parkir untuk merapikan barang bawaan. Selanjutnya, kami segera tancap gas untuk melanjutkan perjalanan ke Dili yang masih jauh. Menurut informasi petugas imigrasi, jarak Batugade – Dili sekitar 115 km atau 3 jam berkendara.
Kami mulai melihat wajah Timor Leste yang sebenarnya begitu keluar dari kompleks imigrasi Batugade. Jalan raya tidak terlalu lebar dengan aspal yang mulai terkelupas menyisakan banyak lubang di sana-sini. Di kanan kiri jalan terdapat rumah-rumah penduduk yang sebagian besar sangat sederhana, berdinding bambu dan beratap ilalang. Hewan ternak seperti kambing dan babi lalu lalang dengan bebas di jalan raya, membuat kami harus waspada dan tak bisa memacu kendaraan lebih kencang. Apalagi saat itu, baru saja hujan. Banyak genangan di jalan yang berlubang dan permukaan aspal pun menjadi licin. Ternyata Timor Leste hanya megah di gerbang/perbatasan saja. Di luar imigrasi, kondisi Negara Timor Leste yang masih miskin terlihat dengan jelas.
Jalur dari Batugade ke Dili sebagian besar berada di pesisir pantai. Sebagian lagi membelah perbukitan dengan jalan yang berkelok-kelok, penuh dengan tanjakan dan turunan curam. Kondisi jalan sebagian besar rusak, banyak lubang di sana-sini. Di beberapa tempat bahkan jalan rusak total dan berubah menjadi jalan tanah berbatu. Yang paling kami takutkan adalah saat melewati jalan yang menanjak dan menikung tajam tapi kondisi aspal sudah hilang sama sekali, berganti menjadi jalan tanah berbatu. Sialnya lagi, kondisi jalan seperti itu bukan hanya sekali/dua kali kami lewati tapi berkali-kali sehingga membuat kami menahan nafas dan memaksa kami berkendara dengan sangat pelan dan ekstra hati-hati. Bahkan kami sempat mengalami kecelakaan kecil, saat melewati jalan berlubang. Motor kami jatuh tergelincir dan hampir menabrak pohon. Untungnya kami selamat dan motor kami juga tak apa-apa, hanya lecet-lecet sedikit.
Menyusuri pesisir Timor Leste, kami melewati pantai-pantai cantik yang menyegarkan mata. Ada pantai berpasir putih, pantai dengan taburan batu-batu granit hingga pantai dengan tebing yang curam. Pantai-pantai tersebut masih sepi dan alami, tanpa ada bangunan apa pun. Hanya beberapa pantai saja yang sudah dikelola pemerintah, dengan didirikan beberapa bale-bale (gazebo) di pinggir pantai. Kami selalu berhenti bila bertemu pantai-pantai cantik meski kami tak tahu apa nama pantai tersebut.
Kondisi jalan yang bagus hanya kami temui di daerah/distrik Liquça (baca Likisa). Sekitar 20-an km menjelang Kota Liquça jalan sangat bagus dengan aspal hot mix dan marka jalan yang jelas. Marka jalan tersebut berwarna kuning, seperti jalan-jalan di Eropa. Di jalan seperti inilah kami baru berani ngebut.
Selain jalan yang bagus, hal lain yang kami sukai dari Liquça adalah banyaknya bangunan-bangunan kuno peninggalan Portugis yang masih tersisa di sana. Semua bangunan tersebut menggunakan gaya arsitektur Portugis yang menarik. Sebagian bangunan dalam kondisi terawat, sebagian lagi terbengkalai. Saya yang pecinta banguna bersejarah, tentunya tak melewatkan kesempatan untuk memotret bangunan-bangunan tersebut. Selain itu, kami juga melihat sebuah masjid di Liquça, namanya masjid Syuhada’. Masjid ini merupakan satu-satunya masjid yang kami lewati dalam perjalanan dari Batugade sampai Dili. Selain masjid tersebut, tak ada masjid lagi selain Masjid An Nur di Kampung Alor, Dili. Kami berhenti sejenak di masjid tersebut untuk menunaikan Sholat Ashar.
Kami memasuki Kota Dili pukul 20.00 lebih Waktu Timor Leste. Waktu Timor Leste sama dengan Waktu Indonesia Timur, yaitu dua jam lebih cepat dari Waktu Indonesia Barat. Begitu sampai Dili, yang kami lakukan pertama kali adalah mencari hotel. Sialnya kami tak punya informasi/rekomendasi hotel yang bagus tapi murah di Dili. Sebelum berangkat, kami juga tak sempat browsing hotel murah di Dili. Alhasil, kami harus putar-putar keliling kota untuk mencari hotel murah.
Sialnya, tarif hotel di Dili sangat mahal. Dengan mata uang Dolar Amerika, tarif itu jadi semakin mahal. Tarif kamar hotel per malam untuk kamar doble/twin standard mulai USD 45 (sekitar Rp 528.750,00). Padahal hotel kelas melati, bukan hotel berbintang. Untunglah setelah berputar-putar selama satu jam lebih, kami berhasil mendapatkan hotel yang cukup murah dengan tarif USD 35 per malam, termasuk sarapan untuk berdua. Harga itu pun saya dapatkan setelah saya tawar dengan alot. Hotel ini terletak di tengah Kota Dili, tak jauh dari Palácio do Governo (Kompleks Istana Presiden dan Parlemen). Karena badan sudah capek, setelah mandi dan makan malam, kami langsung terlelap.
Keesokan harinya, kami jalan-jalan seputar Kota Dili. Suasana Portugis sangat kental terasa di Dili. Mulai dari nama-nama tempat yang menggunakan Bahasa Portugis hingga turis Portugis yang ada di mana-mana. Timor Leste menggunakan Bahasa Portugis dan Bahasa Tetun sebagai bahasa resmi/nasionalnya. Namun, Bahasa Portugis lebih dominan. Nama jalan, gedung, kantor pemerintah dan tempat-tempat umum lainnya semuanya menggunakan Bahasa Portugis. Papan reklame dan baleho sebagian besar menggunakan Bahasa Portugis. Anehnya, Kota Dili minim rambu-rambu lalu lintas/penunjuk arah. Nama jalan jarang ada, dan persimpangan jalan (pertigaan/perempatan) pun jarang ada rambu-rambunya kecuali di jalan protokol. Meski sudah membawa peta Kota Dili, beberapa kali kami nyasar karena kesulitan menemukan nama jalan.
Berkunjung ke Dili kurang lengkap jika tidak mampir ke Tanjung Fatucama. Tempat ini berada sekitar 7 km di sebelah timur Kota Dili. Dalam perjalanan ke Tanjung Fatucama, kami melewati beberapa pantai cantik, di antaranya adalah Pantai Pasir Putih (Praia da Areia Branca). Kami berhenti sejenak di pantai yang sesuai namanya, memang berpasir putih dan berair jernih ini. Pantai Pasir Putih merupakan salah satu pantai kebanggan Warga Dili yang selalu ramai dipadati turis. Kebanyakan turis Portugis yang berjemur di pantai ini. Pantai Pasir Putih sudah dilengkapi dengan hotel dan restoran/kafe yang menyajikan menu internasional.
Tanjung Fatucama hanya berjarak beberapa ratus meter dari Pantai Pasir Putih. Anda hanya perlu jalan kaki 5 menit dari Pantai Pasir Putih. Tanjung Fatucama merupakan sebuah tanjung dengan bukit menjulang tinggi yang diapit dua pantai cantik di kanan kirinya. Di sebelah kanan/timur tanjung merupakan Pantai dan di sebelah kiri/barat tanjung merupakan Pantai Kristus Raja (Praia de Cristo Rei). Selain kedua pantai cantik tersebut, keistimewaan Tanjung Fatucama adalah adanya Patung Kristus Raja (Cristo Rei) raksasa di puncak Bukit Fatucama. Patung yang menjadi ikon (landmark) Kota Dili ini dibangun pada tahun 1996, dalam rangka peringatan 20 tahan integrasi Timor Timur ke Indonesia. Patung ini berdiri di atas bola dunia (globe) dengan wajah menghadap ke Kota Dili. Tingginya yang mencapai 27 meter-melambangkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 di Indonesia-membuat patung ini terlihat dari pusat Kota Dili. Patung Cristo Rei di Bukit Fatucama merupakan Patung Yesus Kristus tertinggi kedua di dunia setelah Patung Christ The Redeemer di Rio de Janeiro, Brazil, yang mempunyai ketinggian 36 meter. Karena berada di puncak bukit, kami harus mendaki ratusan anak tangga untuk melihat dari dekat Patung Cristo Rei. Cukup menguras tenaga memang. Namun, perjuangan kami terbayar lunas begitu sampai di puncak bukit. Selain bisa melihat Patung Cristo Rei yang tinggi menjulang, kami juga bisa melihat dua pantai cantik berpasir putih dan Kota Dili di kejauhan. Pulau Atauro di seberang lautan juga terlihat dengan jelas.
Dari Tanjung Fatucama kami kembali ke Kota Dili. Kami berhenti sejanak di depan Palácio do Governo, Kompleks Istana Presiden dan Parleman yang berada di pusat kota, dekat pantai. Sayangnya, saat itu Palácio do Governo sedang direnovasi sehingga kami tak bisa memotretnya. Kami memilih untuk duduk-duduk di tepi pantai yang berada di depan/seberang Palácio do Governo. Dengan trotoar yang lebar, pepohonan yang rindang, dan bangku-bangku semen yang cukup nyaman, membuat tempat ini menjadi tempat nongkrong favorit Warga Dili. Posisinya yang menghadap ke barat juga menjadi lokasi yang sempurna untuk menyaksiakn panorama matahari terbenam (sunset). Namun, kami tak sempat menyaksikan sunset dari sana karena kami harus meninggalkan Dili siang hari.
Sebelum meninggalkan Dili, kami singgah sejenak di Kampung Alor yang berjarak 4 km dari pusat Kota Dili. Dinamakan Kampung Alor karena konon pendatang dari Pulau Alor, NTT, yang pertama kali menempatii daerah ini. Kampung Alor merupakan tempat bermukimnya umat muslim di Dli. Di kampung ini terdapat banyak warung makan halal yang aman bagi umat muslim. Penjualnya kebanyakan orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Dili. Harga makanan di warung-warung tersebut juga relatif lebih murah dibandingkan tempat lainnya di Dili. Selain itu, di Kampung Alor juga terdapat sebuah masjid yang merupakan masjid terbesar di Dili /Timor Leste, yaitu Masjid An Nur. Senang rasanya bisa menemukan masjid di kota yang mayoritas penduduknya non muslim. Kami sempat menunaikan sholat zuhur di masjid ini, sebelum meninggalkan Dili.
Kunjungan ke Kampung Alor menjadi penutup petualangan kami di Timor Leste. Dari Kampung Alor, kami akan kembali ke Kupang melewati perbatasan Batugade - Mota’ain. (Selesai).
No comments:
Post a Comment