Monday, 7 December 2009

DIPALAK USD 5 DI IMIGRASI KAMBOJA

Stasiun Kereta Api Hua Lampong, Bangkok

Selasa, 29 Juli 2008, jam 04.20 pagi, saya check out dari YHA Hostel, Bangkok, Thailand. Di saat para penghuni hostel dan Warga Kota Bangkok lainnya masih terlelap dibuai mimpi, saya harus meluncur ke Stasiun Kereta Api Hua Lampong, untuk mengejar kereta pertama ke Aranyaprathet (kota di perbatasan Thailand dan Kamboja), yang akan berangkat jam 05.55 pagi. Kereta dari Bangkok ke Aranyaprathet sehari hanya dua kali, yaitu jam 05.55 dan 13.05. Hari ini saya akan menempuh perjalanan panjang, yaitu dari Bangkok ke Siem Reap (Kamboja) dengan melewati kota perbatasan yaitu Aranyaprathet (Thailand) dan Poipet (Kamboja). Saya nggak mau ketinggalan kereta yang jam 05.55, karena kereta berikutnya baru akan berangkat tujuh jam lagi. Ogah banget kan kalau harus nunggu tujuh jam di stasiun?

Begitu keluar dari hostel, saya disambut oleh hujan rintik-rintik. Namun, saya tidak menghiraukan hujan rintik-rintik yang turun pagi itu. Saya langsung berjalan ke arah Silom Road, yang jaraknya sekitar 100 meter dari hostel, untuk mencari taxi. Begitu ada taxi lewat, langsung saya stop. Namun, sopir taxi tidak mau membawa saya karena dia tidak bisa berbahasa Inggris. Taxi kedua yang saya stop pun sama juga, sopirnya tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mau membawa saya. Nggak berapa lama datang taxi yang ketiga. Saya menyetopnya, dan sopir taxi pun menghentikan taxinya. Pada saat taxi ketiga berhenti, nggak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba ada seekor anjing yang menggonggong dan mengejar saya. Saya pun lari ke tengah jalan tepat di samping kanan taxi. Nggak lucu banget kan, kalau backpacking keluar negeri digigit anjing? Saya melakukan tawar-menawar dengan sopir taxi di tengah jalan. Setelah terjadi kesepakatan harga yaitu THB 50, saya langsung naik ke dalam taxi, dan taxi pun meluncur membawa saya ke Stasiun Hua Lampong. Sebenarnya jarak dari YHA Hostel ke Stasiun Hua Lampong nggak begitu jauh, hanya sekitar enam ratus meter. Namun, nggak mungkin saya jalan kaki di pagi buta dengan membawa sebuah backpack dan ransel yang segede gabon.

Jam 04.45 saya sudah sampai di Stasiun Hua Lampong. Saya langsung antri di loket untuk membeli tiket kereta ke Aranyaprathet. Untungnya, antrian nggak panjang. Mungkin, karena hari ini bukan akhir pekan, jadi nggak banyak orang ataupun turis yang mau pergi ke Aranyaprathet. Tanpa berlama-lama ngantri, tiket kereta ke Aranyaprathet pun saya dapatkan. Harga tiket kelas 3 (ekonomi) sekali jalan adalah THB 48 (sekitar Rp 14.400). Murah banget kan? Padahal jarak dari Bangkok ke Aranyaprathet cukup jauh, sekitar enam jam perjalanan dengan kereta. Harga tiket tersebut sama seperti yang saya lihat di situs http://www.seat61.com. Sebagai informasi, kereta jurusan Aranyaprathet hanya ada satu kelas, yaitu kelas 3. Namun, keretanya cukup bagus dan bersih, nggak seperti kereta ekonomi di Indonesia.

Setelah mendapatkan tiket, saya mencari tempat duduk di ruang tunggu keberangkatan. Menurut jadwal, kereta akan berangkat pukul 05.55. Ketika sedang duduk menunggu di ruang tunggu keberangkatan, iseng-iseng saya ngobrol dengan turis yang duduk di samping saya. Namanya Anne Mary, turis dari Perancis. Dia bersama ibunya dan teman lelakinya (keduanya saya lupa namanya, sebut saja Mrs. France dan Mr. Cambodia), akan pergi ke Battambang, Kamboja. Mereka akan naik kereta ke Aranyaprathet, satu kereta dengan saya. Mereka ramah dan baik hati, tapi Bahasa Inggris mereka nggak bagus.

Kereta berangkat tepat waktu, yaitu jam 05.55. Pada saat di dalam kereta, saya mendapat tempat duduk di sebelah dengan rombongan Anne Marry. Saya tidak banyak ngobrol dengan mereka, karena Bahasa Inggris mereka nggak bagus dan Bahasa Perancis saya juga pas-pasan. Saya memilih menikmati perjalanan naik kereta di Thailand ini, dengan membaca buku dan mendengarkan musik dari MP3 di ponsel saya. Kereta melewati beberapa kota dan pedesaan di pedalaman Thailand. Saya melihat banyak pemandangan unik dan menarik di sepanjang perjalanan.

Menjelang tengah hari (jam 11.45), sampailah saya di Stasiun Aranyaprathet. Begitu keluar dari kereta, saya langsung disambut tukang ojek dan tukang tuk-tuk (kendaraan mirip becak-motor/bentor di Indonesia) yang menawarkan jasa untuk mengantarkan penumpang ke perbatasan Thailand-Kamboja. Ada beberapa tukang ojek dan tukang tuk-tuk yang menghampiri saya, tapi harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan budget saya. Ketika saya tengah kebingungan mencari ojek/tuk tuk, Mr. Cambodia (bersama kedua teman Perancisnya) menawari saya untuk bergabung dengan mereka di satu tuk-tuk. Tanpa pikir panjang saya pun langsung menerima tawaran mereka. Lumayan kan, bisa menghemat biaya transportasi?

Tuk-Tuk, angkutan umum yang populer di Thailand dan Kamboja

Sebelum melanjutkan perjalanan ke perbatasan, Mr. Cambodia dan kedua temannya berhenti sejenak untuk makan di sebuah warung di luar stasiun. Saya pun diajak makan, tetapi saya menolak tawarannya. Saya merasa nggak enak. Masa udah dikasih tebengan, masih mau ditraktir. Karena saya nggak mau masuk ke dalam warung, akhirnya Anne Mary mengantarkan sebotol minuman cola dingin kepada saya. Ternyata mereka emang orang Perancis yang bener-bener baik hati.

Selanjutnya tuk-tuk mengantar kami hingga perbatasan. Kami segera antri check out di Imigrasi Thailand yang ramainya minta ampun. Kebanyakan turis backpacker dari Eropa. Saya teringat pesan di internet, bahwa kita harus berhati-hati dengan barang berharga kita sewaktu diperbatasan Thailand-Kamboja karena di sana rawan dan banyak copet. Paspor dan uang sudah saya amankan di money belt. Kamera saya taruh di backpack yang saya gendong di depan. Saya pun meraba-raba money belt saya, dan Alhamdulillah masih aman.

Gerbang Masuk Negara Kamboja di Poipet

Setelah urusan di Imigrasi Thailand beres, kami segera berjalan menuju Imigrasi Kamboja di Poipet, untuk mendapatkan Visa on Arrival. Ada kejadian lucu sekaligus nyebelin di Imigrasi Kamboja. Setelah mengisi formulir aplikasi visa dengan lengkap dan melampirkan foto, saya bersama Anne Marry & ibunya, langsung menyerahkannya ke petugas imigrasi. Petugas imigrasi meminta biaya visa ke kami USD 25 per orang. Padahal di sana, sudah jelas-jelas ditulis, visa turis = USD 20 dan visa bisnis = USD 25. Anne Mary heran melihat kejadian itu dan langsung protes ke petugas imigrasi Kamboja tersebut. Petugas imigrasi menjawab sekenanya. Katanya untuk biaya administrasi dan sebagian untuk pemerintah Thailand. Nggak mungkin banget kan, Pemerintah Thailand minta uang dari imigrasi tetangganya. Jelaslah kalau uang USD 5 masuk ke kantong para petugas imigrasi tersebut. Ternyata korupsi bukan hanya di Indonesia ya? Di Imigrasi Kamboja, yang merupakan gerbang masuk ke Kamboja, korupsi dilakukan secara terang-terangan. Saya sebenarnya tidak kaget melihat kejadian tersebut. Soalnya saya sudah mengetahuinya dari internet. Walaupun tarif resminya USD 20, pada praktiknya kita akan di-charge USD 25. Anne Mary masih heran dengan kejadian tersebut. Tahu sendiri kan di negara maju seperti Perancis, korupsi sangat jarang terjadi, bahkan bisa dibilang tidak ada. Selain itu, bagi bule setiap pengeluaran itu harus jelas tujuannya, walau sekecil apapun. Jadi dia nggak mau begitu saja memberikan uang USD 5 untuk petugas imigrasi Kamboja. Dia sampai menelepon kerabatnya yang orang Kamboja untuk menyakan hal tersebut. Dan kerabatnya bilang, kalau untuk visa turis biayanya memang USD 20. Namun, petugas imigrasi tetap bergeming. Dengan angkuhnya dia bilang, “Kalau nggak mau bayar USD 25, ya balik aja ke Thailand!” Mau nggak mau, kami harus rela dipalak USD 5? Siapa juga yang mau balik lagi ke Thailand? Orang kita sudah menempuh perjalanan panjang, lebih dari 6 jam dari Bangkok. Kalau dilihat dari jumlahnya sih kecil ya, hanya USD 5 (sekitar Rp 47.500,00). Namun, orang yang melewati perbatasan Thailand-Kamboja ini jumlahnya sangat banyak. Apalagi di musim liburan (peak season), jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan per hari. Anda bisa hitung sendiri, berapa jumlah uang hasil memalak (korupsi) yang diterima petugas imigrasi Kamboja setiap harinya.

Akhirnya dengan terpaksa Anne Mary pun mau bayar USD 25. Saya segera mengikutinya. Sebenarnya saya sudah mau bayar USD 25 sejak tadi. Namun, karena saya apply bareng sama dua turis Perancis yang baik hati itu, saya nggak enak hati kalau nggak menunggu mereka terlebih dahulu. Setelah kami bayar, nggak lama kemudian (sekitar 10 menit) Visa Kingdom of Cambodia pun tertempel di paspor saya. Ini merupakan visa pertama saya. Thanks God! Sebentar lagi saya bisa memasuki Negara Kamboja.

Visa Kerajaan Kamboja - Untuk mendapatkannya saya harus bayar USD 25

Setelah visa di tangan, kami segera cabut dari Imigrasi Kamboja yang sangat menyebalkan itu. Kami segera berjalan ke Terminal Bus Poipet (yang semrawut dan tidak mirip terminal sama sekali). Kami mencari bus sesuai dengan tujuan kami. Karena tujuan kami berbeda, kami harus berpisah di terminal ini. Mereka hendak pergi ke Battambang, sedangkan saya akan pergi ke Siem Reap. Sebelum berpisah, Mr. Cambodia dengan baik hati mengantarkan saya ke tempat bus jurusan Siem Reap. Dan kami pun berpisah di Terminal Bus Poipet. Saya bersyukur kepada Allah karena telah mengirimkan teman perjalanan yang baik hati kepada saya hari ini. Kembali, saya harus melanjutkan perjalanan seorang diri. (edyra)***

1 comment: