Thursday, 31 December 2009

PANTAI SEKONGKANG, PERMATA TERSEMBUNYI DI SUDUT PULAU SUMBAWA

Pantai Sekongkang yang cantik dan eksotis

Mungkin Anda jarang atau bahkan belum pernah mendengar Pantai Sekongkang. Padahal pantai yang berada di sudut Pulau Sumbawa ini sangat cantik dan eksotis. Pesonanya akan memukau siapa saja yang mengunjunginya. Saya sangat takjub waktu pertama kali melihat pantai ini. Saya jamin, Anda pun akan jatuh hati pada pantai ini begitu Anda melihatnya.

Pantai Sekongkang letaknya tersembunyi di sudut barat daya Pulau Sumbawa, tepatnya di Desa Sekongkang Bawah, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Untuk menuju pantai ini memang butuh perjuangan. Dari Pelabuhan Poto Tano, di ujung barat Pulau Sumbawa, Anda harus menyusuri jalan berkelok-kelok, naik turun dan kerap berlubang di sana-sini, sejauh 55 km. Namun, semua pengorbanan Anda akan terbayar lunas begitu sampai di Pantai Sekongkang. Pantai berpasir putih bersih nan lembut akan menyambut kedatangan Anda. Air laut sebening kristal berwarna hijau kebiruan pun akan menyegarkan mata Anda. Bukit-bukit yang menjulang tinggi di sekeliling pantai, semakin menambah keeksotisan Pantai Sekongkang ini.

Lokasi Pantai Sekongkang tersembunyi di sudut barat daya Pulau Sumbawa

Matahari sudah agak condong ke barat ketika saya dan Annas sampai di Pantai Sekongkang. Sinarnya sudah tidak begitu terik, namun masih terasa hangat. Saya segera check in di Tropical Beach Club & Spa Resort, satu-satunya hotel yang berada persis di pinggir Pantai Sekongkang dan merupakan hotel terbaik di Kabupaten Sumbawa Barat. Setelah menaruh barang di kamar dan ganti baju, kami segera jalan-jalan di sekitar hotel dan duduk-duduk santai di kursi malas, di pinggir kolam renang yang menghadap ke pantai. Annas malah langsung berenang di kolam renang. Saya belum pengen berenang karena masih capai, dan ingin bermalas-malasan dulu menikmati pemandangan pantai yang indah di depan hotel.

Senja di Pantai Sekongkang

Pantai Perawan nan cantik
Menjelang matahari terbenam (sunset), kami segera menuju pantai yang berada persis di depan hotel kami. Kami berjalan menyusuri Pantai Sekongkang yang berpasir putih nan lembut seperti tepung. Pasir di pantai ini benar-benar putih bersih dan lembut. Butiran pasirnya terasa sangat lembut di kaki. Saya pun memilih berjalan tanpa alas kaki agar bisa merasakan kelembutan pasir pantai ini. Kami bermain-main di pantai yang cantik ini sambil menunggu matahari terbenam. Karena menghadap ke barat, Pantai Sekongkang adalah tempat yang tepat untuk melihat sunset. Bukit-bukit yang berdiri kokoh memagari salah satu sudut pantai semakin menambah cantik foto-foto sunset Anda.

Pantai Sekongkang benar-benar sepi dan masih alami. Bak perawan, pantai ini masih murni dan belum terjamah. Akses yang cukup sulit dan lokasi yang terisolasi membuat pantai ini jarang dikunjungi turis. Turis lokal jarang yang mengetahui keberadaan Pantai Sekongkang. Justru turis asing penggemar selancar (surfing) yang banyak berdatangan ke pantai ini. Kebanyakan mereka mengetahui keberadaan Pantai Sekongkang dari mulut ke mulut. Saat kami datang ke pantai ini, tidak ada pengunjung lain selain kami berdua. Jadi kami bisa bermain-main di pantai dengan bebas tanpa terganggu pengunjung lain. Benar-benar seperti pantai pribadi.

Berpose sejenak di Pantai Sekongkang yang masih sepi dan alami

Ombak Yoyo
Pantai Sekongkang sudah terkenal sampai ke mancanegara, terutama di kalangan peselancar (surfer). Pantai Sekongkang masuk dalam daftar arena berselancar terbaik di muka bumi ini. Nggak heran apabila peselancar kelas dunia senantiasa mengagendakan kejuaraan selancar (International Surfing Championship) di pantai ini. Oleh para peselancar, ombak di Pantai Sekongkang diberi nama “Ombak Yoyo.” Pasalnya, gerakan ombak di Pantai Sekongkang ibarat mainan yoyo yang terayun-ayun naik turun, siap ditunggangi dengan papan selancar. Saya juga sempat melihat beberapa peselancar yang sedang menari-nari di atas Ombak Yoyo Pantai Sekongkang. Mereka terlihat sangat enjoy berselancar di pantai yang sepi ini. Nggak seperti pantai-pantai di Bali yang sudah penuh sesak dengan para peselancar dari berbagai penjuru dunia.

How to Get There
Bila Anda berangkat dari Jakarta atau kota-kota lain di Pulau Jawa, sebaiknya Anda terbang menuju Mataram, ibu kota provinsi NTB. Dari Mataram, dibutuhkan waktu sekitar enam jam untuk sampai ke Pantai Sekongkang. Anda bisa naik bus sampai ke Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur. Selanjutnya Anda tinggal naik ferry selama sekitar dua jam sampai ke Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa. Dari Pelabuhan Poto Tano, di ujung barat Pulau Sumbawa, Anda butuh waktu sekitar dua jam menyusuri jalan sepanjang 55 km dan sampailah Anda di Pantai Sekongkang.

Sebenarnya ada speedboat dari Pelabuhan Kayangan ke Benete. Waktu tempuhnya hanya satu setengah jam. Namun, fasilitas ini hanya diperuntukkan bagi karyawan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Selain itu, pada tanggal 18 Februari 2004, seorang pengusaha setempat melakukan kerja sama dengan PT. Merpati Nusantara untuk membuka jalur penerbangan Denpasar-Sekongkang. Lapangan terbang untuk didarati pesawat jenis Twin Otter pun disiapkan di Sekongkang. Tujuan awalnya adalah memudahkan para karyawan PT. NNT menjalankan aktivitas dan ke depannya diharapkan keberadaan lapangan terbang ini bisa menggairahkan potensi wisata di Kabupaten Sumbawa Barat, terutama daerah Sekongkang dan sekitarnya. Namun, apa daya, gara-gara bom di Kedubes Australia, di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta, pada bulan September 2004, menyebabkan penerbangan dihentikan hingga sekarang. (edyra)***

Tuesday, 29 December 2009

ADA KAMBING MAKAN KERTAS DI PULAU BUNGIN

Pulau Bungin, pulau buatan yang tersusun dari tumpukan batu karang

Rasa penasaran yang membawa saya ke Pulau Bungin. Karena ingin membuktikan kebenaran cerita kambing makan kertas di Pulau Bungin, Kamis, 24 Desember 2009, saya berkunjung ke Pulau Bungin bersama teman saya mengendarai sepeda motor. Kami berdua berangkat dari Denpasar Bali, malam hari, dan tiba di Pulau Bungin pagi hari. Kami menyeberang ke Pulau Lombok dari Pelabuhan Padang Bai, kemudian melintasi Pulau Lombok dari ujung barat sampai ujung timur dan sampai di Pelabuhan Kayangan. Dari Pelabuhan Kayangan, kami menyeberang lagi ke Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa. Selanjutnya, kami melakukan perjalanan darat menyusuri pesisir utara Pulau Sumbawa sampai ke Pulau Bungin. Total waktu perjalanan yang kami tempuh untuk mencapai Pulau Bungin sekitar sepuluh jam.

Foto satelit Pulau Bungin (Sumber : Google)

Pulau Bungin merupakan sebuah desa pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa, tepatnya di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Gampang-gampang susah untuk menemukan pulau karang nan mungil ini. Dari Jalan Lintas Sumbawa di sepanjang Kecamatan Alas, pulau ini sudah kelihatan karena jaraknya hanya sekitar 5 km dari daratan Pulau Sumbawa. Namun, tidak ada rambu-rambu atau petunjuk yang menjelaskan arah ke Pulau Bungin.

Pulau Bungin dilihat dari Jalan Lintas Sumbawa

Setelah melewati kota kecil Alas, kami harus bertanya beberapa kali kepada penduduk setempat, untuk sampai Pulau Bungin. Dari pertigaan Desa Dalam, Kecamatan Alas (di samping Masjid Darussalam), kami harus belok kiri melewati jalan tanah berbatu. Setelah menyusuri jalan tanah berbatu sejauh 4 km, nampak rumah-rumah panggung penduduk Pulau Bungin yang seperti terapung di atas laut. Kemudian kami harus melewati jalan/tanggul sepanjang 750 meter dengan lebar 2 meter. Untuk mencapai Pulau Bungin kami tidak perlu naik sampan atau perahu, karena pulau ini sudah terhubung dengan daratan Pulau Sumbawa. Warga Pulau Bungin secara swadaya membangun tanggul/jalan yang menghubungkan Pulau Bungin dengan daratan Pulau Sumbawa.

Jalan/tanggul buatan yang menghubungkan Pulau Bungin dengan daratan Pulau Sumbawa

Sekitar jam 10.30 WITA, saat matahari sedang bersinar terik, kami tiba di Pulau Bungin. Rumah-rumah panggung khas Suku Bajo berjajar rapi menyambut kedatangan kami. Ibu-ibu sedang bersantai sambil ngobrol di bawah kolong rumah panggung mereka, berlindung dari teriknya matahari Pulau Bungin yang menyengat. Kami melihat banyak kambing berkeliaran dengan bebas di pulau ini. Ada yang di depan rumah, di bawah kolong rumah, ataupun di gang-gang sempit Pulau Bungin. Penduduk Pulau Bungin yang berasal dari etnis Bajo dan Bugis, memang senang memelihara hewan ternak, baik ayam maupun kambing. Walaupun terletak dekat dengan Pulau Sumbawa, penghuni pulau ini adalah Suku Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan, bukannya Suku Sumbawa (Samawa).

Rumah di Pulau Bungin dibangun di atas tumpukan batu karang

Udara sangat panas di Pulau Bungin karena tidak ada satu pun pohon yang tumbuh di sana. Tumbuhan jenis apapun (bahkan rumput) tidak bisa tumbuh di Pulau Bungin karena pulau ini merupakan pulau karang. Teriknya matahari dan panasnya cuaca Pulau Bungin tidak menyurutkan niat kami untuk berkeliling pulau. Kami menyusuri gang-gang sempit di antara rumah-rumah penduduk yang sangat padat, untuk melihat lebih dekat keunikan Pulau Bungin. Pulau karang buatan ini memang mempunyai banyak keunikan yang tidak dimiliki pulau lain sehingga mengundang banyak orang untuk mendatanginya.

Legenda Panglima Mayo
Penduduk Pulau Bungin bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka adalah keturunan Suku Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan. Dari cerita turun temurun yang mereka percayai, dulunya luas Pulau Bungin hanya sekitar 3 hektar, teksturnya karang utuh. Penduduk pertamanya adalah Panglima Mayo, warga Suku Bajo dari Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Panglima Mayo berlayar bersama keluarganya dari Pulau Selayar menuju Pulau Sumbawa. Misi Panglima Mayo adalah mencari adiknya telah lama berlayar. Dalam perjalanannya, dia melihat “tumpukan pasir putih berbentuk bulan sabit yang menyembul di tengah laut” yang dalam Bahasa Bajo disebut “bubungin.” Kemudian, Panglima Mayo singgah dan menetap di bubungin itu. Lama kelamaan pulau tersebut dikenal dengan nama Pulau Bungin. Makanya bahasa daerah sehari-hari penduduk Pulau Bungin adalah Bahasa Bajo, bukan Bahasa Sumbawa.

Pulau Terpadat di Dunia
Pulau Bungin disebut-sebut sebagai pulau terpadat di dunia. Rata-rata 4 orang penduduk tinggal di lahan seluas 1 meter persegi. Menurut data statistik hingga tahun 2008, jumlah penduduk Pulau Bungin tercatat 3.017 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.575 jiwa dan perempuan 1.442 jiwa. Rumah-rumah penduduk tersusun sangat rapat, dengan jarak antar rumah sekitar 1,5 meter saja. Konstruksi rumah yang berbentuk panggung, terlihat merata menutupi seluruh pulau. Karena begitu rapatnya, ada beberapa atap rumah yang saling bertemu. Anda bisa bayangkan bagaimana padatnya pulau ini. Dengan luas pulau yang hanya 8 hektar (tahun 2009), penduduknya lebih dari 3.000 jiwa. Kepadatan penduduknya nggak kalah dengan Jakarta kan?

Berfoto di depan rumah penduduk Pulau Bungin

Luas Pulau Semakin Bertambah
Uniknya, Pulau Bungin dari tahun ke tahun semakin bertambah luas. Mungkin ini satu-satunya pulau di dunia yang luasnya semakin bertambah tiap tahun. Pada tahun 2002, luas Pulau Bungin adalah 6 hektar, namun sekarang (2009) luas pulau ini berkembang menjadi 8 hektar. Sejak tahun 2002, Pulau Bungin sudah menjadi desa definitif dengan nama Desa Pulau Bungin, yang terdiri dari tiga dusun. Anda pasti heran dan bertanya-tanya, “Bagaimana bisa Pulau Bungin semakin bertambah luas?”

Hukum Adat Perkawinan Warga Bungin
Hukum adat perkawinan warga Bungin yang menyebabkan Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah penduduknya. Pasalnya, dalam hukum adat tersebut diatur pasangan muda-mudi yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri di Pulau Bungin (tidak boleh keluar dari Pulau Bungin), untuk mendirikan rumah mereka. Caranya, pasangan tersebut harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ukuran lokasinya bisa mencapai 6 x 12 meter. Setelah lokasi terbentuk, barulah mereka boleh menikah dan mendirikan rumah. Itulah sebabnya luas Pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun. Dapat dikatakan, Pulau Bungin adalah pulau karang bentukan.

Kambing makan kertas di Pulau Bungin

Kambing Makan Kertas
Cerita kambing makan kertas di Pulau Bungin sudah lama saya dengar, baik dari koran maupun dari internet. Kedengarannya memang aneh dan saya belum mempercayainya kalau belum melihatnya secara langsung. Makanya, ketika berkunjung ke Pulau Bungin saya menajamkan pandangan mata saya agar melihat pemandangan unik, kambing makan kertas. Namun, saya tidak melihat satu pun kambing makan kertas di pulau itu, walaupun kambing sangat banyak di sana. Ketika sedang berhenti di dermaga Pulau Bungin, saya berbincang-bincang dengan penduduk setempat dan menanyakan kebenaran berita kambing makan kertas. Ternyata berita tersebut bukan isapan jempol belaka. Untuk membuktikannya, warga Pulau Bungin tersebut menyuruh saya memberikan kertas/koran untuk kambing. Saya pun segera memberikan selembar koran kepada kambing yang banyak berkeliaran di sekitar dermaga. Setelah menyodorkan selembar koran, saya bergerak mundur, sedikit menjauhi kambing tersebut. Dan ternyata benar. Kambing tersebut tanpa malu-malu menggigit dan memakan koran yang saya berikan. Kambing itu memakan koran dengan lahapnya, seperti kambing yang sedang makan rumput. Benar-benar pemandangan yang aneh. Saya pun segera mengabadikan pemandangan yang unik dan langka tersebut dengan kamera kesayangan saya. Menurut pemilik kambing tersebut, kambing itu juga pernah makan selembar uang Rp 20.000,00. Bahkan, pernah ada seorang turis asing yang mengenakan kain pantai berwarna hijau, lari ketakutan dikejar-kejar kambing. Namun, akhirnya turis itu merelakan kain pantainya digigit dan dimakan kambing tersebut.

Pemandangan kambing makan kertas merupakan sesuatu yang lazim bagi penduduk Pulau Bungin. Di pulau ini, kambing memang nggak punya pilihan makanan selain ikan laut, sampah kertas, dan kain bekas. Tekstur pulau yang tersusun dari gugusan batu karang tidak memungkinkan tanaman untuk tumbuh, meski hanya rumput liar. Untuk memberi makan kambing, penduduk Pulau Bungin harus mengambil rumput atau dedaunan dari daratan Pulau Sumbawa. Makanya nggak heran kalau kambing-kambing di Pulau Bungin doyan makan kertas. Namun, walaupun bertahan hidup hanya dengan makan ikan laut, sampah kertas, dan kain bekas, populasi kambing di Pulau Bungin cukup banyak.

Air Bersih Berasal dari Daratan Pulau Sumbawa
Pulau Bungin merupakan sebuah pulau yang terbuat dari gugusan batu karang sehingga tidak ada sumber air tawar di sana. Sumber air tawar bersih yang dikonsumsi penduduknya sehari-hari berasal dari “ai tawar,” sebuah sumur di daratan Pulau Sumbawa yang berjarak sekitar 800 meter dari Pulau Bungin. Meskipun letaknya berada di bibir laut, rasa air di sumur tersebut tidak asin tetapi payau., Sumur tersebut tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Airnya tetap melimpah, bahkan tidak perlu menimba untuk mengambilnya. Warga tinggal memasukkan gayung atau ember yang dipegang untuk mengambil air. Untuk menjangkau sumber air tawar tersebut, warga Pulau Bungin harus menggunakan perahu mesin dan memakan waktu sekitar 30 menit. Setiap harinya, kebutuhan air untuk mandi, mencuci, dan mengisi bak penampung dipenuhi dari sumur “ai tawar” tersebut.

Saat ini, pihak PDAM Kabupaten Sumbawa memang sudah berhasil mengalirkan air bersih ke pulau Bungin, tetapi alirannya masih kurang lancar. Hal ini disebabkan oleh pipa salurannya yang harus melalui sebuah tanjakan dan melewati dasar laut sehingga tingkat kebocorannya sulit diprediksi dan pemeliharaanya pun cukup sulit. Oleh karena itu, warga setempat masih tetap mengandalkan sumur “ai tawar” di daratan Pulau Sumbawa.

Pulau yang Makmur
Seluruh penduduk Pulau Bungin bermata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan di sana sudah menggunakan teknologi yang cukup modern untuk mencari ikan. Dengan kapal-kapal berukuran besar yang menggunakan mesin tempel dan layar, mereka bisa melaut sampai ke perairan Pulau Flores (NTT) dan perairan Maluku. Selain memburu ikan dengan jala, mereka juga terkenal piawai memburu lobster.

Walaupun seluruh penduduknya berprofesi sebagai nelayan, kehidupan warga Pulau Bungin cukup mapan. Jauh dari kesan miskin yang biasa terlihat di kampung-kampung nelayan. Hampir semua keluarga punya barang elektronik minimal pesawat televisi, lengkap dengan receiver parabola digital.

Kebutuhan belanja sehari-hari penduduk Pulau Bungin, juga lumayan tinggi. Selain produk laut, semua kebutuhan hidup harus dibeli. Mulai dari sembako hingga air bersih semua harus beli. Uniknya, kebutuhan sehari-hari tersebut seluruhnya dipenuhi oleh kaum wanita. Karena kaum pria melaut sampai berbulan-bulan, para wanitalah yang bertugas mencari uang untuk belanja sehari-hari. Mereka mencari ikan, kerang, dan teripang yang banyak terdapat di sekitar Pulau Bungin, kemudian menjualnya ke pasar. Hasilnya lumayan, mereka bisa mengantungi uang Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00 per hari.

Penduduk Pulau Bungin sangat mencintai pulaunya. Meskipun secara ekonomi sudah mapan, mereka tidak pernah berpikir untuk membeli tanah dan pindah rumah ke darat. Menurut mereka, di darat biasanya banyak godaan dan tidak aman. Makanya, warga Pulau Bungin pasti akan kembali walaupun melaut sampai berbulan-bulan. Di Pulau Bungin mereka tidak merasa khawatir soal keamanan dan kenyamanan, karena tali persaudara membuat mereka saling menjaga. Hanya satu yang mereka takuti, yaitu kebakaran. Bayangkan, dengan posisi rumah yang sangat rapat, pasti kebakaran bisa merembet dengan sangat cepat. Makanya, bila ada gejala kebakaran, semua masyarakat Pulau Bungin menjadi petugas pemadamnya.

Sekolah Dasar di Pulau Bungin

Berkat kemampuan ekonomi mereka, infrastruktur di Pulau Bungin pun terus terbenahi dari tahun ke tahun. Listrik PLN dan air PDAM sudah masuk ke sana. Saat ini sudah ada dua buah Sekolah Dasar (SD) di Pulau Bungin dan sebuah Puskesmas pembantu. Masyarakat Pulau Bungin masih mengharapkan bantuan pemerintah untuk dunia pendidikan di sana. Mereka berharap ada SMP dan SMA di Pulau Bungin, walaupun mereka harus bergotong-royong membangun lokasinya.

Kini, Pulau Bungin sudah menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Sumbawa. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke sana untuk melihat dari dekat keunikan Pulau Bungin. Selain keramahan penduduk dan keunikan pulaunya, ada hal yang pasti berkesan ketika Anda berkunjung ke Pulau Bungin. Anda bisa menikmati indahnya sunrise dan sunset di pulau yang sama. Namun, ada satu yang tak pernah berubah di pulau itu. Walaupun semua rumah memiliki kamar mandi, namun tak satu rumah pun memiliki WC. Buang air tetap dilakukan di laut. Benar-benar menarik bukan? Jadi kapan Anda akan berkunjung ke Pulau Bungin?

How to Get There
Untuk mencapai Pulau Bungin, Anda bisa`mencapainya dari Kota Sumbawa Besar ataupun Kota Mataram. Dari Sumbawa Besar, ibukota Kabupaten Sumbawa, Pulau Bungin hanya berjarak sekitar 70 km ke arah barat. Sedangkan dari Mataram, menghabiskan waktu berkendara sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan ke arah timur, sudah termasuk perjalanan laut menggunakan kapal penyeberangan Kayangan (Lombok) – Poto Tano (Sumbawa). Dari Pelabuhan Poto Tano Anda tinggal melanjutkan perjalanan darat menyusuri Jalan Lintas Sumbawa sampai ke Desa Dalam, Kecamatan Alas. Dari pertigaan Desa Dalam, Anda belok kiri melewati jalanan tanah berbatu sejauh 5 km, dan sampailah Anda di Pulau Bungin. Untuk mencapai Pulau Bungin dari Desa Dalam, Anda tidak perlu naik sampan atau perahu, karena pulau ini sudah terhubung dengan daratan Pulau Sumbawa. (edyra)***

Tuesday, 22 December 2009

PULAU SERANGAN, SUDUT BALI YANG TERLUPAKAN

Peta Pulau Serangan

Ketika baru beberapa hari tinggal di Denpasar, Bali, seorang teman mengajak saya melihat salah satu lokasi (venue) The First Asian Beach Games (ABG) di Pulau Serangan. Pesta olahraga pantai antar negara Asia yang baru digelar untuk pertama kali tersebut, memang diadakan di Bali dengan penyebaran lokasi di empat tempat yaitu, Pantai Kuta, Pantai Nusa Dua, Pantai Sanur, dan Pulau Serangan (Turtle Island). Pulau Serangan digunakan sebagai lokasi untuk cabang olahraga selancar (surfing) dan selancar angin (wind surfing).

Kunjungan pertama ke Pulau Serangan tidak meninggalkan kesan yang berarti karena saya bersama teman saya hanya melihat lokasi acara Asian Beach Games dan hanya sebentar berada di sana. Saya belum sempat mengelilingi pulau tersebut. Kesan saya tentang Pulau Serangan adalah pulau kecil yang panas dengan pemandangan pantai yang biasa saja (kurang menarik). Sepertinya nggak ada yang istimewa di pulau tersebut.

Kalau bukan karena diajak teman, mungkin saya belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Serangan. Walaupun sudah sering ke Bali, saya belum pernah mengunjungi pulau mungil yang letaknya nggak jauh dari Kota Denpasar tersebut. Saya tidak pernah mendengar hal menarik tentang Pulau Serangan selain sebagai tempat penangkaran penyu sehingga saya tidak tertarik untuk berkunjung ke sana.

Setelah kunjungan pertama saya ke Pulau Serangan, saya seperti lupa terhadap pulau ini. Saya menjelajah berbagai tempat menarik di Bali dan nggak ingat lagi dengan pulau tersebut. Setahun kemudian, saya baru teringat lagi dengan pulau mungil yang terletak sekitar 10 km di sebelah tenggara Kota Denpasar tersebut. Saya tertarik untuk berkunjung ke Pulau Serangan, gara-gara melihat foto teman saya dengan latar belakang pantai indah berpasir putih, yang ternyata adalah pantai di Pulau Serangan. Saya ingin berenang dan bermain-main di pantai indah tersebut.

Jembatan Serangan

Minggu siang, 6 Desember 2009, saya bersama teman meluncur ke Pulau Serangan. Nggak butuh waktu lama untuk mencapai pulau tersebut, dari tempat tinggal kami yang berada di pusat kota Denpasar. Hanya perlu waktu sekitar 15 menit untuk menuju ke sana. Pulau yang memiliki panjang maksium 2,9 km dan lebar 1 km ini secara administratif termasuk wilayah Kota Denpasar, Bali. Untuk menuju pulau mungil ini, Anda tidak perlu bersusah payah naik sampan atau perahu. Di atas selat sempit yang memisahkan Pulau Serangan dengan daratan Pulau Bali sudah dibangun jembatan. Jadi, Anda bisa naik mobil, sepeda motor, sepeda ataupun jalan kaki untuk menuju Pulau Serangan.

Pantai Serangan yang berpasir putih

Pantai Indah Berpasir Putih
Pulau Serangan ternyata cukup indah tidak seperti bayangan saya selama ini, panas dan gersang. Ada beberapa pantai indah berpasir putih dan dengan air laut bening biru kehijauan di pulau mungil ini. Pantai-pantai di Pulau Serangan masih alami, bersih dan cukup sepi, tidak seperti pantai-pantai di daratan Pulau Bali yang sangat ramai dengan turis. Di pinggir pantai tempat lokasi selancar, terdapat warung-warung makan sederhana yang menjual makanan dan minuman ringan. Di pantai tersebut juga ada juga tempat penyewaan kano. Bagi penggemar olahraga kano, Anda bisa bermain kano sepuasnya di Pulau Serangan.

Lokasi Kejuaraan Selancar dan Selancar Angin
Turis asing yang datang ke Pantai Serangan nggak begitu banyak. Sebagaian besar dari mereka, datang ke Pantai Serangan untuk tujuan selancar (surfing). Selain itu ada juga yang hanya ingin berjemur ataupun bermalas-malasan di pinggir pantai yang nggak begitu ramai. Ombak di Pulau Serangan memang bagus dan cocok untuk kegiatan selancar ataupun selancar angin. Pantai Serangan sering digunakan sebagai lokasi kejuaraan selancar/selancar angin tingkat internasional dan event olahraga pantai lainnya, misalnya Asian Beach Games yang diselenggarakan pada tanggal 2008.

Citra Taman Penyu di Pulau Serangan

Tempat Penangkaran Penyu
Selain pantai, Pulau Serangan juga menawarkan pesona lainnya yaitu, tempat penangkaran penyu. Ada satu tempat penangkaran penyu di pulau ini, yaitu Citra Taman Penyu. Anda bisa melihat beberapa ekor penyu hijau (Chelonia mydas) yang cukup besar di tempat ini. Anda juga bisa melihat anak penyu (tukik) yang lucu-lucu di tempat ini. Secara berkala tukik-tukik yang sudah memenuhi syarat, akan dikembalikan ke habitatnya, di laut. Biasanya, acara pelepasan tukik ke laut ini yang ditunggu-tunggu para turis karena mereka bias ikut berpartisipasi di acara ini. Menariknya, untuk masuk ke Citra Taman Penyu, Anda tidak dipungut biaya alias gratis. Anda hanya diminta untuk mengisi kotak donasi seikhlasnya, yang ada di dekat pintu masuk. Di Citra Taman Penyu juga tersedia berbagai souvenir lucu yang bisa Anda beli untuk oleh-oleh ataupun koleksi pribadi, antara lain : miniatur penyu, karang hias, cangkang/kulit kerang, dan berbagai macam aksesoris (bros, gelang, kalung) dari kerang.

Indahnya sunset di Pulau Serangan

Pulau yang Terlupakan
Yang saya herankan, tidak ada restoran, kafe ataupun hotel berbintang di Pulau Serangan. Di pulau tersebut hanya ada losmen/penginapan dan warung-warung sederhana, tidak seperti kawasan wisata lainnya di Bali yang sudah penuh sesak dengan hotel berbintang, restoran ataupun kafe. Pulau Serangan seperti pulau yang terlupakan. Jalan di pulau ini pun banyak yang rusak dan berlubang di sana-sini. Bahkan di beberapa tempat, jalan belum diaspal, misalnya jalan yang menuju ke pantai. Padahal Pulau Serangan memiliki potensi besar dalam sektor kepariwisataan, nggak kalah dengan kawasan wisata lainnya di Bali. Dulu, memang ada rencana pengembangan industri pariwisata di Pulau Serangan yang akan dilakukan oleh PT. Bali Turtle Island Development (BTID), perusahaan milik Group Bimantara (Bambang Trihatmojo dan Hutomo Mandala Putra, anak mantan Presiden Suharto). Proyek yang direncanakan oleh PT. BTID adalah membangun lapangan golf, hotel (resort), laguna, dan fasilitas penunjang pariwisata lainnya, untuk sarana rekreasi air, yacht club, dan beach club house. PT. BTID juga akan mereklamasi pantai di Pulau Serangan dan membangun jembatan yang menghubungkan Pulau Serangan dengan daratan Pulau Bali. Namun, sampai sekarang sebagian besar proyek tersebut belum berjalan. Proyek yang sudah berjalan adalah reklamasi pantai yang mengakibatkan luas Pulau Serangan menjadi 481 hektar (dulunya hanya 112 hektar), pembangunan jembatan dan laguna. Proyek lainnya belum ada tanda-tanda kapan akan dimulai.

Laguna buatan di Pulau Serangan

Pulau yang Penuh Toleransi
Pulau Serangan merupakan model yang positif bagaimana seharusnya sebuah toleransi kehidupan beragama ditumbuhkembangkan. Di pulau ini, antara penduduk beragama Hindu dengan penduduk pendatang dari Suku Bugis-Makassar yang beragama Islam, hidup rukun berdampingan. Tidak pernah terjadi bentrok/pertengkaran antar kedua pemeluk agama tersebut di pulau ini. Mereka hidup rukun dan saling membantu satu sama lain.

Masjid As Syuhada di Pulau Serangan

Wujud toleransi antar umat beragama terlihat pada saat hari-hari besar Agama Hindu dan Islam. Mereka saling menghantarkan makanan dan sama-sama menjaga suasana kondusif agar perayaan hari-hari besar keagamaan itu berlangsung dengan khusyuk dan khidmat. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kearifan lokal yang diwariskan generasi pendahulu mereka tetap terjaga dengan baik sampai saat ini. Sebagai buktinya, di Pulau Serangan terdapat sebuah pura besar (Pura Sakenan) dan sebuah masjid (Masjid As Syuhada) di Kampung Bugis.

Ikan Tongkol Asap Sambal Matah Khas Pulau Serangan
Ada makanan khas di Pulau Serangan yang patut Anda coba ketika Anda berkunjung ke sana, yaitu ikan tongkol asap sambal matah. Di Pulau Serangan terdapat belasan warung yang menjual ikan tongkol asap sambal matah. Pedagang tongkol rata-rata mampu menjual 20 ekor tongkol asap per hari dengan harga Rp 10.000,00 hingga Rp 15.000,00 per ekor. Di hari libur atau akhir pekan, penghasilan mereka bisa meningkat dua hingga tiga kali lipat.

Pembuatan makanan khas Pulau Serangan ini nggak jauh berbeda dengan ikan bakar lainnya. Sebelum dimasak, bagian dalam ikan tongkol dibersihkan lebih dulu. Setelah itu, ikan tongkol dipanggang di atas asap yang panas hingga matang. Kemudian sambal matah yang terbuat dari campuran bawang merah, cabai, daun sereh, terasi, jeruk limau, dan minyak kelapa asli disiapkan. Selanjutnya, ikan tongkol asap yang lezat pun siap disantap bersama nasi putih hangat. (edyra)***

Wednesday, 16 December 2009

DUA MALAM MENGINAP GRATIS DI KUALA LUMPUR

Bus Transnasional yang bagus dan nyaman

Dalam rangkaian “TOUR DE SOUTH EAST ASIA,” pada tanggal 13 Juli 2008, saya melakukan perjalanan dari Singapura ke Kuala Lumpur dengan naik Bus Transnasional. Saya memilih kelas ekonomi, dengan tarif yang cukup murah RM 25 (sekitar Rp 71.250,00). Jangan bayangkan bus ekonomi di Malaysia seperti bus ekonomi di Indonesia yang panas tanpa AC, dengan kursi 2-3. Walaupun kelas ekonomi, Bus Transnasional cukup bagus dan nyaman. Busnya full AC, dengan kursi 1-2 (1 di sebelah kiri dan 2 di sebelah kanan). Kalau di Indonesia sih, termasuk Kelas Super Eksekutif. Transnasional termasuk salah satu bus termurah yang melayani rute lintas negara Singapura-Kuala Lumpur pulang pergi.

Bus berangkat sekitar jam 07.30 dari pool yang berada di dekat Stasiun MRT (Mass Rapid Transit) Lavender, Singapura. Penumpang bus saat itu hanya sepuluh orang. Belum ada satu jam perjalanan, saya sudah sampai di perbatasan Singapura-Malaysia. Semua penumpang bus harus turun beserta seluruh barang bawaannya, dan antri check out di Imigrasi Singapura. Walaupun masih pagi, antrian di Imigrasi Singapura sudah sangat panjang sehingga saya harus ngantri lumayan lama. Setelah beres urusan imigrasi, saya segera kembali ke bus. Namun bus nggak langsung jalan karena masih harus menunggu penumpang lainnya yang belum beres urusan imigrasinya.

Sambil menunggu penumpang lainnya, saya jalan-jalan di sekitar Imigrasi Singapura. Sayangnya, kami tidak diperbolehkan memotret ataupun merekam video di area imigrasi tersebut. Nggak seberapa jauh dari Imigrasi Singapura, saya melihat sebuah selat sempit yang lebih mirip sungai dengan jembatan di atasnya. Ternyata, itulah Selat Johor. Selat tersebut memisahkan Singapura dengan Malaysia. Di atas Selat Johor sudah dibangun sebuah jembatan yang menurut saya biasa banget, nggak ada indah-indahnya sama sekali. Dalam benak saya selama ini, selat yang memisahkan Singapura dan Malaysia cukup luas, dengan jembatan penghubungnya yang bagus dan megah. Ternyata jembatannya biasa saja. Sebelah utara jembatan termasuk wilayah Malaysia dan sebelah selatan jembatan termasuk wilayah Singapura.

Di dalam Bus Transnasional

Setelah semua penumpang lengkap, bus melanjutkan perjalanan melintasi jembatan di atas Selat Johor. Di seberang jembatan, bus berhenti lagi untuk check in di Imigrasi Malaysia. Ini adalah kali pertama saya ke Malaysia. Sama seperti di imigrasi Singapura tadi, semua penumpang harus turun beserta seluruh barang bawaannya. Karena Imigrasi Malaysia saat itu sedang sepi, saya nggak perlu antri. Petugas imigrasinya juga baik dan ramah. Setelah barang bawaan saya melewati security check (X-ray), saya segera menuju loket paspor dan visa. Begitu menyerahkan paspor kepada petugas imigrasi, dia langsung member stempel social visit permit yang berlaku selama 30 hari di paspor saya, tanpa bertanya apapun. Saya melihat banyak petugas imigrasi perempuan yang berjilbab di Imigrasi Malaysia. Maklum, Malaysia merupakan negara Islam yang patuh menjalankan syariat Islam.

Di Imigrasi Malaysia juga tersedia berbagai peta dan brosur wisata tentang kota-kota di Malaysia. Saya segera mengambil beberapa brosur dan peta tersebut. Pemerintah Malaysia memang sangat bagus promosi wisatanya. Mereka gencar mempromosikan potensi pariwisata negaranya sampai ke negara tetangganya. Pantesan kalau pariwisata di Malaysia lebih maju daripada di Indonesia. Padahal Indonesia memiliki potensi wisata yang jauh lebih bagus dan lebih lengkap daripada Malaysia. Saya sedih kalau mengingat hal ini. Di Bandara Soekarno-Hatta yang merupakan gerbang masuk ke Indonesia, Peta Jakarta jarang tersedia. Apalagi peta-peta daerah lain di Indonesia, dijamin nggak ada. Bagaimana pariwisata di Indonesia bisa maju kalau di bandara saja tidak tersedia peta wisata.

Saya mulai melihat masjid begitu memasuki wilayah Malaysia. Rambu-rambu dan billboard iklan juga sudah berganti dengan Bahasa Melayu yang lucu dan menggelitik. Banyak nama kantor atau perusahaaan atau rambu-rambu lalu lintas dalam Bahasa Melayu yang terdengar aneh bagi Orang Indonesia seperti saya. Misalnya : Pengurup Wang Berlesen (Licenced Money Changer), Kedai Runcit (Toko Kelontong), Tandas Awam (Toilet Umum), Kedai Motosikal (Toko/Dealer Sepeda Motor), Laluan Sehala (Jalan Satu Arah), dan masih banyak lagi.

Di Johor Baru, bus berhenti sebentar di sebuah terminal, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Terminal Johor Baru nggak jauh beda dengan terminal-terminal di Indonesia. Ramai, berisik, dan semrawut. Setelah menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang, bus jalan lagi. Saat itu, saya melihat seorang ibu berjilbab bersama cucunya yang masih balita dan sangat cantik masuk bus dan duduk di kursi seberang saya.

Dalam perjalanan ke Kuala Lumpur bus berhenti sejenak di sebuah restoran, memberi kesempatan kepada para penumpang untuk makan ataupun ke toilet. Perjalanan bus dari Johor Baru ke Kuala Lumpur tidak melewati pemandangan yang indah. Setelah keluar dari Kota Johor Baru, bus melewati jalan tol terus sampai masuk Kota Kuala Lumpur dengan pemandangan kebun kelapa sawit yang cukup luas di kiri kanan jalan. Selebihnya, tidak ada pemandangan yang menarik.

Tengah hari, bus memasuki Kuala Lumpur. Dari kejauhan nampak Menara Kembar Petronas & Menara Kuala Lumpur berdiri dengan gagahnya. Saya sudah nggak sabar untuk segera melihat dari dekat dan menaiki kedua ikon Kuala Lumpur tersebut. Saya mulai membuka-buka daftar hostel di Kuala Lumpur, yang saya dapat dari internet (www.hostelworld.com).

Terminal Puduraya, Kuala Lumpur

Bus berhenti di Terminal Puduraya Kuala Lumpur. Hujan deras menyambut kedatangan saya di Kuala Lumpur. Ketika turun dari bus, saya melihat ibu berjilbab dan cucunya yang tadi duduk di seberang kursi saya, sedang kewalahan membawa barangnya. Saya pun berusaha untuk membantunya. Kami ngobrol-ngobrol sambil berjalan menuju pintu keluar terminal untuk menunggu anaknya ibu tersebut yang akan datang menjemput. Dari obrolan tersebut, saya ketahui bahwa nama ibu itu adalah Rukiah, dan beliau adalah orang Indonesia tetapi sudah tinggal lama di Malaysia. Bu Rukiah berasal dari Siak, Riau. Beliau bertanya kepada saya, “Mau menginap di mana?” Saya pun menyebut nama salah satu hostel di Kuala Lumpur, yang saya dapat dari internet. Bu Rukiah bercerita bahwa dia tinggal di sebuah apartemen di daerah Ipoh, Kuala Limpur, bersama anak lelaki, menantu, dan dua cucunya. Oh ya, salah satu cucunya adalah yang sedang bersamanya saat itu, namanya Ainur. Bu Rukiah mengizinkan saya untuk menginap di apartemennya kalau saya mau. Tentu saja saya nggak menolak. Menginap gratis di negeri orang. Siapa yang nggak mau?

Bu Rukiah bersama anak, menantu dan cucunya

Setelah menunggu lumayan lama, anak dan menantu Bu Rukiah datang juga. Nama anak lelakinya Radzli sedang menantunya saya lupa namanya. Mereka semua baik banget. Karena tahu Bu Rukiah dan saya belum makan, Bang Radzli mengajak saya makan siang di sebuah warung di dalam Terminal Puduraya. Namanya Kedai Srimanja. Ternyata penjualnya adalah Orang Nganjuk, Jawa Timur. Memang banyak sekali orang Indonesia yang mengadu nasib di Malaysia. Dan saya sudah bertemu beberapa Orang Indonesia hari ini.

Setelah makan siang, kami segera keluar terminal mencari taxi. Ternyata hujan belum juga reda, walaupun nggak sederas tadi. Kuala Lumpur sering hujan akhir-akhir ini. Nggak berapa lama, taxi pun datang dan meluncurlah kami menuju apartemenya Bu Rukiah di daerah Ipoh, pinggiran Kuala Lumpur. Bang Radzli nggak ikut kami dalam taxi, karena dia bawa sepeda motor harus kembali ke tempat kerjanya.

Ternyata Ipoh cukup jauh dari pusat kota Kuala Lumpur. Bu Rukiah tinggal di sebuah apartemen tua sederhana di daerah Ipoh. Apartemennya terdiri dari 1 ruang serba guna, 2 kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Karena kamar tidurnya cuma dua, saya harus tidur di ruang tamu. Tak apalah tidur di ruang serba guna, yang penting ada kasurnya.

Karena hujan nggak reda-reda, saya nggak bisa kemana-mana sore itu. Saya istirahat di apartemen, sambil bermain-main dengan kedua cucu Bu Rukiah. Saat maghrib tiba, saya sempatkan juga sholat maghrib berjamaah di sebuah mushola yang letaknya nggak jauh dari apartemen Bu Rukiah.

Sehabis Isya, saya diajak Bu Rukiah jalan-jalan ke tempat kerja Bang Radzli di daerah Titiwangsa, Kuala Lumpur. Tempatnya lumayan jauh dari apartemen Bu Rukiah. Kami berempat (saya, Bu Rukiah, Istri Bang Radzli, Ainur, dan adiknya) ke sana menggunakan taxi.

Bang Radzli dan teman-temanya menyambut kedatangan kami di Cafe Western Food, Titi Wangsa dengan ramah. Rupanya teman-teman Bang Radzli sudah sangat akrab dengan keluarga Bang Radzli. Saya diperkenalkan kepada mereka. Mereka semua sangat baik kepada saya. Bahkan saya ditraktir makan malam, dengan menu Kwe Tiau Goreng & Teh Tarik (teh susu khas Malaysia). Kami makan sambil ngobrol sampai malam di kafe tersebut.

Sebelum tengah malam, kami kembali ke apartemen Bu Rukiah dengan naik taxi. Saya tidur beralaskan kasur yang empuk di ruang serbaguna. Tak lupa, Bu Rukiah memberikan bantal, guling, dan selimut kepada saya. Ini merupakan pengalaman pertama saya, menginap di rumah orang yang baru saya kenal di luar negeri. Asyiknya lagi, saya menginap dengan gratis selama dua malam. Ternyata memang benar ya, kalau kita selalu baik dan ramah kepada semua orang, orang lain pun akan baik dan ramah kepada kita. Saya sudah membuktikannya sendiri.

Bu Rukiah merupakan sosok malaikat yang dikirimkan Tuhan buat saya. Beliau sangat baik hati dan sudah menganggap saya sebagai anaknya sendiri. Saya ditemani jalan-jalan di Kuala Lumpur, dimasakin kare ayam, dan diizinkan menginap di apartemennya. Bahkan, ketika saya akan mencuci baju kotor saya, Bu Rukiah melarang saya. Beliau nggak canggung untuk mencuci dan menyeterika baju-baju saya. Saya sampai nggak enak hati. Kata beliau, “Kamu istirahat saja. Kamu kan sudah cape jalan-jalan. Biar Ibu saja yang mencuci.” Benar-benar seorang ibu yang baik hati. Saya berhutang budi padanya. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas semua kebaikan ibu. (edyra)***

NIKMATNYA AIR MATA KUCING DI MALAYSIA


Air Mata Kucing yang banyak dijual di Malaysia


Anda pasti heran dan bertanya-tanya membaca judul tulisan di atas. Nggak salah nih, air mata kucing nikmat rasanya? Bagaimana mungkin air mata kucing bisa diminum?

Saya sendiri melihat dan merasakan “Air Mata Kucing” ketika sedang berkunjung ke Kuala Lumpur, Malaysia, April 2009 kemarin. Ketika sedang jalan-jalan untuk mencari oleh-oleh di Petaling Jaya (China Town-nya Kuala Lumpur), secara nggak sengaja saya melihat penjual minuman dengan nama aneh dan unik, “Air Mata Kucing.” Saya pun heran dan bertanya-tanya, “Beneran nih, air mata kucing bisa diminum?” Atau hanya istilah dalam Bahasa Melayu saja?

Penasaran, saya segera mendatangi penjual air mata kucing tersebut dan bertanya kepada penjualnya, “Terbuat dari apakah minuman tersebut?” penjual minuman tersebut pun menjawab, bahwa air mata kucing terbuat dari buah lengkeng (longan). Saya pun langsung membeli segelas air mata kucing dingin, dengan harga 1,2 Ringgit (sekitar Rp 3.500,00). Air mata kucing dijual RM 1,2 untuk gelas kecil dan RM 1,8 untuk gelas besar. Nggak mahal untuk segelas minuman dengan nama yang cukup unik. Saya langsung menenggak minuman berwarna coklat dengan isi buah lengkeng tersebut. Rasanya manis asam segar. Sangat cocok diminum di siang hari yang terik, untuk pelepas dahaga.


Ramuan Air Mata Kucing


Air mata kucing terbuat dari ramuan lo han kuo, buah lengkeng, buah kundur, gula batu, dan air. Lo han kuo (Memordicae grosvenori swingla) adalah tumbuhan merambat yang berasal dari daratan Cina. Tanaman ini dibudidayakan seperti anggur. Bentuk buahnya seperti bola, berdiameter 4-6 cm. Buah yang mentah warnanya hijau tua, sedikit mengkilat. Dalam segelas air mata kucing, terdapat beberapa butir buah lengkeng tanpa biji. Buah lengkeng di Malaysia disebut mata kucing. Pemberian nama mata kucing ini bukan tanpa alasan. Karena biji lengkeng yang berwarna hitam dan daging buahnya berwarna putih bersih mirip mata kucing, buah ini lebih populer dengan sebutan mata kucing di negeri jiran.

Cara membuat air mata kucing cukup mudah, yaitu buah lengkeng direbus sampai kadar air tertentu, kemudian merebusnya kembali dalam air mendidih hingga buah lengkeng kering mengembang dan didapatkan air yang berwarna coklat mirip seduhan air teh. Kemudian air tersebut disaring dan di dinginkan. Lalu disajikan dengan tambahan pemanis, jeruk nipis, campuran buah lo han kuo dan atau buah kundur. Bisa juga dicampur dengan teh hijau atau madu.

Selain rasanya yang segar dan nikmat, air mata kucing juga bermanfaat untuk kesehatan. Minuman ini berkhasiat untuk meredakan panas dalam, mengurangi batuk, mengeluarkan dahak, dan meningkatkan vitalitas tubuh. Khasiat air mata kucing akan semakin terasa jika diminum secara rutin setiap hari.

Bisa aja ya, Orang Malaysia memberi nama minuman untuk menarik perhatian banyak orang. Coba kalau nama minuman tersebut “Es Buah Lengkeng” bukannya "Air Mata Kucing." Mungkin nggak banyak orang yang tertarik untuk mencobanya. Lain cerita dengan air mata kucing. Dari namanya saja sudah bikin penasaran. Alhasil, orang pun tertarik untuk membeli minuman tersebut. Jadi, bila Anda sedang berkunjung ke Kuala Lumpur, jangan lupa untuk mencoba air mata kucing! Saya jamin Anda akan ketagihan. (edyra)***

(Dari berbagai sumber)

Wednesday, 9 December 2009

MENGINTIP PENYU BERTELOR DI PANTAI PANGUMBAHAN

Penyu hijau (Chelonia mydas) yang sering bertelor di Pantai Pangumbahan

Di malam yang dingin dan gelap di akhir bulan November, saya bersama Annas dan petugas hotel (yang saya lupa namanya) bergegas keluar dari hotel kami yang terletak di pinggir Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng. Tak lupa petugas hotel membawa sebuah senter, agar nanti kami bisa melihat penyu dengan jelas. Malam itu memang cukup gelap karena bulan sedang enggan bersinar. Namun, tak menyurutkan niat kami untuk melihat penyu bertelor di Pantai Pangumbahan (Turtle Beach), yang letaknya hanya sepelemparan batu dari hotel kami. Kami merasa sangat beruntung menginap di hotel tersebut, karena nggak perlu jauh-jauh kalau mau melihat penyu bertelor. Kami bisa melihat penyu bertelor dengan gratis dan cukup berjalan kaki saja dari hotel. Berbeda kalau kami menginap di hotel-hotel yang ada di sepanjang Pantai Ujung Genteng. Kami harus membayar tukang ojek, yang akan mengantar kami ke Pantai Pangumbahan, untuk bisa melihat penyu bertelor.

Pantai Pangumbahan merupakan salah satu pantai favorit para penyu untuk bertelor, selain Pantai Sukamade (Jawa Timur) dan pantai-pantai di Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur). Setiap malam selalu ada penyu yang datang ke pantai ini untuk meletakkan telornya. Makanya nggak heran, kalau para turis bule memberi nama pantai ini Turtle Beach. Dulu, ada beberapa jenis penyu yang sering bertelor di Pantai Pangumbahan, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Namun, sekarang hanya penyu hijau yang masih rajin bertelor di pantai ini. Penyu-penyu lainnya mungkin sudah punah karena banyak diburu.

Ketika kami tiba di Pantai Pangumbahan, ternyata sudah banyak orang di sana. Mereka juga ingin melihat penyu bertelor seperti kami. Mereka pada duduk diam di pinggir pantai yang gelap dan sunyi. Hanya ribuan bintang di langit yang menerangi Pantai Pangumbahan malam itu. Rupanya sudah ada seekor penyu yang sedang bertelor saat itu. Pantesan orang-orang tersebut diam tak bersuara. Pada saat melihat penyu akan bertelor, kami memang tidak boleh berisik atau menyalakan cahaya apapun di pantai, baik api, senter, ponsel ataupun lampu flash kamera karena penyu sangat sensitif terhadap suara dan cahaya. Jika penyu melihat cahaya atau mendengar suara berisik, maka dia akan mengurungkan niatnya untuk bertelor dan kembali lagi ke laut. Kasihan kan, penyu sudah berenang jauh-jauh dari tengah laut dan berjalan dengan susah payah di pantai, untuk mendapatkan tempat yang nyaman untuk bertelor tapi dia terganggu oleh suara atau cahaya. Akibatnya, dia kembali lagi ke laut, nggak jadi bertelor.

Seekor penyu hijau yang sangat besar, diameter tempurungnya hampir satu meter, sedang bersusah-payah mengeluarkan telor dari tubuhnya ke dalam sebuah lubang. Kami belum boleh mendekati penyu itu karena dia bisa terganggu dan batal bertelor. Kami hanya bisa mengintip dari kejauhan. Setelah penyu mengeluarkan beberapa butir telor, kami baru boleh mendekatinya. Bila penyu sudah mulai mengeluarkan telornya, dia akan mengalami kesulitan untuk menghentikannya. Sekali bertelor, penyu bisa mengeluarkan telor sebanyak 80 - 100 butir.

Saya dan Annas berfoto bersama penyu hijau yang sudah selesai bertelor

Pelan-pelan kami bergerak mendekati penyu yang sudah mengeluarkan banyak telor itu, agar bisa melihatnya dengan jelas. Ketika bertelor, penyu itu meneteskan air matanya. Saya sendiri nggak tahu kenapa penyu itu menangis, entah karena sakit, capek, sedih atau terharu. Saya jadi kasihan melihat penyu yang kelelahan itu menangis. Penyu itu mengeluarkan telor sangat banyak, sepertinya lebih dari lima puluh butir.

Selesai bertelor, penyu itu langsung menimbuni telornya dengan pasir. Dengan susah payah, dia mengais-ngais pasir dengan kakinya untuk menutup lubang tempatnya bertelor. Telor-telor itu harus dilindungi karena keselamatannya terancam, baik oleh binatang buas maupun tangan-tangan jahil manusia. Proses menutup lubang itu berlangsung cukup lama dan kami pun dengan sabar menungguinya.

Asyiknya naik penyu hijau!

Setelah lubangnya sempurna tertutup pasir, penyu berjalan kembali ke arah laut. Orang-orang yang sejak tadi menunggui penyu itu bertelor, langsung mengejar penyu tersebut untuk menyentuh dan memegangnya. Mereka juga memotret penyu tersebut. Saya pun nggak mau ketinggalan. Saya segera memegang-megang penyu tersebut dan memotretnya. Tak lupa saya dan Annas bergantian berfoto bersama penyu tersebut. Bahkan, saya naik ke atas tempurung penyu yang sangat besar itu. Dan penyu pun masih mampu berjalan, walaupun lebih lambat.

Rupanya, malam itu juga ada beberapa penyu yang bertelor di sudut lain Pantai Pangumbahan. Tak kurang lima ekor penyu yang meletakkan telornya di Pantai Pangumbahan yang berpasir putih lembut itu. Padahal saat itu, bukan musim penyu bertelor, lho. Menurut petugas hotel, pada saat musim bertelor (saya lupa bulan apa), jumlah penyu yang datang ke Pantai Pangumbahan sangat banyak.

Setelah puas bermain dan berfoto bersama penyu, kami membiarkan penyu tersebut kembali ke laut. Selamat jalan penyu! Kembalilah ke habitatmu! Jangan lupa untuk kembali bertelor di Pantai Pangumbahan karena kehadiranmu sangat dinantikan banyak orang. (edyra)***

Tuesday, 8 December 2009

HOTEL TANPA NAMA DI UJUNG GENTENG

Peta Ujung Genteng

Sudah lama saya memendam keinginan untuk berlibur ke Ujung Genteng, kawasan pantai indah di pesisir selatan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Beberapa kali saya melihat keindahan pantai ini di majalah dan televisi. Namun, kesempatan untuk mengunjungi Ujung Genteng baru terlaksana di akhir bulan November 2006, tepatnya pada tanggal 29 November 2006. Saya bersama Annas liburan ke Ujung Genteng dengan mengendarai sepeda motor. Kami berangkat dari Jakarta pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.00 supaya nggak terjebak macet dan bisa menikmati udara pagi yang masih sejuk. Karena belum sempat sarapan di rumah, kami berhenti buat sarapan bubur ayam di Bogor. Setelah sarapan, kami segera tancap gas ke Ujung Genteng.

Keluar dari Kota Bogor, lalu lintas mulai ramai. Kami mengendarai motor dengan santai sambil menikmati panorama yang cukup indah di sepanjang perjalanan. Setelah naik motor selama kurang lebih enam jam, akhirnya kita sampai di Ujung Genteng. Kami langsung muter-muter di sepanjang pantai untuk mencari hotel yang sesuai dengan kriteria kami, yaitu bersih, bagus, tarifnya murah, dan letaknya di pinggir pantai (sea view). Setelah nanya sana-sini sampai tiga atau empat hotel, kami belum menemukan hotel yang cocok. Karena kelelahan, kami istirahat sejenak di tepi pantai yang berpasir putih, sambil menikmati semilir angin laut dan udara yang masih bersih, sebelum melanjutkan acara hunting hotel lagi.

Annas di depan hotel tanpa nama, tempat kami menginap di Ujung Genteng

Setelah makan siang di sebuah warung, di dekat pantai, kami melanjutkan perburuan hotel lagi. Kami menyusuri Pantai Ujung Genteng dari ujung ke ujung, sampai bertemu dengan perkampungan penduduk. Keluar dari perkampungan penduduk, kami sampai di sebuah pantai yang indah dan sepi tetapi letaknya cukup jauh dari pantai utama Ujung Genteng. Belakangan baru kami ketahui kalau nama pantai tersebut adalah Pantai Pangumbahan (turis asing biasa menyebutnya Turtle Beach). Tanpa sengaja kami melihat sebuah bangunan hotel yang nampaknya belum sepenuhnya jadi tetapi pemandangannya bagus banget (sea view). Kami iseng-iseng mampir ke hotel tersebut dan ngobrol-ngobrol dengan penjaganya. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar dan sedikit tawar-menawar, akhirnya kami diperbolehkan menginap di hotel yang belum ada namanya tersebut dengan tarif Rp 90.000,00 per malam. Kami mendapat kamar di lantai atas dengan pemandangan Pantai Pangumbahan yang indah. Pantai berpasir putih dengan air laut biru jernih itu, masih alami dan sangat sepi. Ombaknya juga sangat cocok untuk surfing. Ketika ombak sedang bagus, banyak turis asing yang berselancar di Pantai Pangumbahan. Pantai itu juga merupakan tempat penyu bertelor di malam hari. Setiap malam pasti ada beberapa penyu yang meletakkan telornya di pantai ini.

Pantai Pangumbahan (Turtle Beach) yang indah dan sepi

Di depan kamar tersedia hammock untuk membaca, tiduran atau sekedar bermalas-malasan sambil menikmati keindahan Pantai Pangumbahan. Kami pun segera memanfaatkan hammock tersebut untuk membaca buku dan bermalas-malasan. Senang sekali rasanya bisa menginap di hotel yang letaknya benar-benar di tepi pantai, dengan pemandangan spektakuler tapi nggak perlu merogoh kocek cukup dalam.

Bermain di Pantai Pangumbahan menjelang sunset

Sore hari, kami bermain dan berenang-renang di Pantai Pangumbahan sambil menunggu matahari terbenam (sunset). Panorama sunset di pantai ini sangat indah, karena pantai benar-benar menghadap ke barat. Rasanya nggak afdol kalau liburan ke pantai tanpa berenang ataupun bermain air. Tidak ada orang lain di pantai, selain kami berdua. Jadi benar-benar seperti pantai pribadi. Langit jingga kemerahan, pasir putih, dan debur ombak yang berkejaran. Perpaduan alam yang sempurna, yang menciptakan ketenangan dan kedamaian. (edyra)***

Monday, 7 December 2009

DIPALAK USD 5 DI IMIGRASI KAMBOJA

Stasiun Kereta Api Hua Lampong, Bangkok

Selasa, 29 Juli 2008, jam 04.20 pagi, saya check out dari YHA Hostel, Bangkok, Thailand. Di saat para penghuni hostel dan Warga Kota Bangkok lainnya masih terlelap dibuai mimpi, saya harus meluncur ke Stasiun Kereta Api Hua Lampong, untuk mengejar kereta pertama ke Aranyaprathet (kota di perbatasan Thailand dan Kamboja), yang akan berangkat jam 05.55 pagi. Kereta dari Bangkok ke Aranyaprathet sehari hanya dua kali, yaitu jam 05.55 dan 13.05. Hari ini saya akan menempuh perjalanan panjang, yaitu dari Bangkok ke Siem Reap (Kamboja) dengan melewati kota perbatasan yaitu Aranyaprathet (Thailand) dan Poipet (Kamboja). Saya nggak mau ketinggalan kereta yang jam 05.55, karena kereta berikutnya baru akan berangkat tujuh jam lagi. Ogah banget kan kalau harus nunggu tujuh jam di stasiun?

Begitu keluar dari hostel, saya disambut oleh hujan rintik-rintik. Namun, saya tidak menghiraukan hujan rintik-rintik yang turun pagi itu. Saya langsung berjalan ke arah Silom Road, yang jaraknya sekitar 100 meter dari hostel, untuk mencari taxi. Begitu ada taxi lewat, langsung saya stop. Namun, sopir taxi tidak mau membawa saya karena dia tidak bisa berbahasa Inggris. Taxi kedua yang saya stop pun sama juga, sopirnya tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mau membawa saya. Nggak berapa lama datang taxi yang ketiga. Saya menyetopnya, dan sopir taxi pun menghentikan taxinya. Pada saat taxi ketiga berhenti, nggak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba ada seekor anjing yang menggonggong dan mengejar saya. Saya pun lari ke tengah jalan tepat di samping kanan taxi. Nggak lucu banget kan, kalau backpacking keluar negeri digigit anjing? Saya melakukan tawar-menawar dengan sopir taxi di tengah jalan. Setelah terjadi kesepakatan harga yaitu THB 50, saya langsung naik ke dalam taxi, dan taxi pun meluncur membawa saya ke Stasiun Hua Lampong. Sebenarnya jarak dari YHA Hostel ke Stasiun Hua Lampong nggak begitu jauh, hanya sekitar enam ratus meter. Namun, nggak mungkin saya jalan kaki di pagi buta dengan membawa sebuah backpack dan ransel yang segede gabon.

Jam 04.45 saya sudah sampai di Stasiun Hua Lampong. Saya langsung antri di loket untuk membeli tiket kereta ke Aranyaprathet. Untungnya, antrian nggak panjang. Mungkin, karena hari ini bukan akhir pekan, jadi nggak banyak orang ataupun turis yang mau pergi ke Aranyaprathet. Tanpa berlama-lama ngantri, tiket kereta ke Aranyaprathet pun saya dapatkan. Harga tiket kelas 3 (ekonomi) sekali jalan adalah THB 48 (sekitar Rp 14.400). Murah banget kan? Padahal jarak dari Bangkok ke Aranyaprathet cukup jauh, sekitar enam jam perjalanan dengan kereta. Harga tiket tersebut sama seperti yang saya lihat di situs http://www.seat61.com. Sebagai informasi, kereta jurusan Aranyaprathet hanya ada satu kelas, yaitu kelas 3. Namun, keretanya cukup bagus dan bersih, nggak seperti kereta ekonomi di Indonesia.

Setelah mendapatkan tiket, saya mencari tempat duduk di ruang tunggu keberangkatan. Menurut jadwal, kereta akan berangkat pukul 05.55. Ketika sedang duduk menunggu di ruang tunggu keberangkatan, iseng-iseng saya ngobrol dengan turis yang duduk di samping saya. Namanya Anne Mary, turis dari Perancis. Dia bersama ibunya dan teman lelakinya (keduanya saya lupa namanya, sebut saja Mrs. France dan Mr. Cambodia), akan pergi ke Battambang, Kamboja. Mereka akan naik kereta ke Aranyaprathet, satu kereta dengan saya. Mereka ramah dan baik hati, tapi Bahasa Inggris mereka nggak bagus.

Kereta berangkat tepat waktu, yaitu jam 05.55. Pada saat di dalam kereta, saya mendapat tempat duduk di sebelah dengan rombongan Anne Marry. Saya tidak banyak ngobrol dengan mereka, karena Bahasa Inggris mereka nggak bagus dan Bahasa Perancis saya juga pas-pasan. Saya memilih menikmati perjalanan naik kereta di Thailand ini, dengan membaca buku dan mendengarkan musik dari MP3 di ponsel saya. Kereta melewati beberapa kota dan pedesaan di pedalaman Thailand. Saya melihat banyak pemandangan unik dan menarik di sepanjang perjalanan.

Menjelang tengah hari (jam 11.45), sampailah saya di Stasiun Aranyaprathet. Begitu keluar dari kereta, saya langsung disambut tukang ojek dan tukang tuk-tuk (kendaraan mirip becak-motor/bentor di Indonesia) yang menawarkan jasa untuk mengantarkan penumpang ke perbatasan Thailand-Kamboja. Ada beberapa tukang ojek dan tukang tuk-tuk yang menghampiri saya, tapi harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan budget saya. Ketika saya tengah kebingungan mencari ojek/tuk tuk, Mr. Cambodia (bersama kedua teman Perancisnya) menawari saya untuk bergabung dengan mereka di satu tuk-tuk. Tanpa pikir panjang saya pun langsung menerima tawaran mereka. Lumayan kan, bisa menghemat biaya transportasi?

Tuk-Tuk, angkutan umum yang populer di Thailand dan Kamboja

Sebelum melanjutkan perjalanan ke perbatasan, Mr. Cambodia dan kedua temannya berhenti sejenak untuk makan di sebuah warung di luar stasiun. Saya pun diajak makan, tetapi saya menolak tawarannya. Saya merasa nggak enak. Masa udah dikasih tebengan, masih mau ditraktir. Karena saya nggak mau masuk ke dalam warung, akhirnya Anne Mary mengantarkan sebotol minuman cola dingin kepada saya. Ternyata mereka emang orang Perancis yang bener-bener baik hati.

Selanjutnya tuk-tuk mengantar kami hingga perbatasan. Kami segera antri check out di Imigrasi Thailand yang ramainya minta ampun. Kebanyakan turis backpacker dari Eropa. Saya teringat pesan di internet, bahwa kita harus berhati-hati dengan barang berharga kita sewaktu diperbatasan Thailand-Kamboja karena di sana rawan dan banyak copet. Paspor dan uang sudah saya amankan di money belt. Kamera saya taruh di backpack yang saya gendong di depan. Saya pun meraba-raba money belt saya, dan Alhamdulillah masih aman.

Gerbang Masuk Negara Kamboja di Poipet

Setelah urusan di Imigrasi Thailand beres, kami segera berjalan menuju Imigrasi Kamboja di Poipet, untuk mendapatkan Visa on Arrival. Ada kejadian lucu sekaligus nyebelin di Imigrasi Kamboja. Setelah mengisi formulir aplikasi visa dengan lengkap dan melampirkan foto, saya bersama Anne Marry & ibunya, langsung menyerahkannya ke petugas imigrasi. Petugas imigrasi meminta biaya visa ke kami USD 25 per orang. Padahal di sana, sudah jelas-jelas ditulis, visa turis = USD 20 dan visa bisnis = USD 25. Anne Mary heran melihat kejadian itu dan langsung protes ke petugas imigrasi Kamboja tersebut. Petugas imigrasi menjawab sekenanya. Katanya untuk biaya administrasi dan sebagian untuk pemerintah Thailand. Nggak mungkin banget kan, Pemerintah Thailand minta uang dari imigrasi tetangganya. Jelaslah kalau uang USD 5 masuk ke kantong para petugas imigrasi tersebut. Ternyata korupsi bukan hanya di Indonesia ya? Di Imigrasi Kamboja, yang merupakan gerbang masuk ke Kamboja, korupsi dilakukan secara terang-terangan. Saya sebenarnya tidak kaget melihat kejadian tersebut. Soalnya saya sudah mengetahuinya dari internet. Walaupun tarif resminya USD 20, pada praktiknya kita akan di-charge USD 25. Anne Mary masih heran dengan kejadian tersebut. Tahu sendiri kan di negara maju seperti Perancis, korupsi sangat jarang terjadi, bahkan bisa dibilang tidak ada. Selain itu, bagi bule setiap pengeluaran itu harus jelas tujuannya, walau sekecil apapun. Jadi dia nggak mau begitu saja memberikan uang USD 5 untuk petugas imigrasi Kamboja. Dia sampai menelepon kerabatnya yang orang Kamboja untuk menyakan hal tersebut. Dan kerabatnya bilang, kalau untuk visa turis biayanya memang USD 20. Namun, petugas imigrasi tetap bergeming. Dengan angkuhnya dia bilang, “Kalau nggak mau bayar USD 25, ya balik aja ke Thailand!” Mau nggak mau, kami harus rela dipalak USD 5? Siapa juga yang mau balik lagi ke Thailand? Orang kita sudah menempuh perjalanan panjang, lebih dari 6 jam dari Bangkok. Kalau dilihat dari jumlahnya sih kecil ya, hanya USD 5 (sekitar Rp 47.500,00). Namun, orang yang melewati perbatasan Thailand-Kamboja ini jumlahnya sangat banyak. Apalagi di musim liburan (peak season), jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan per hari. Anda bisa hitung sendiri, berapa jumlah uang hasil memalak (korupsi) yang diterima petugas imigrasi Kamboja setiap harinya.

Akhirnya dengan terpaksa Anne Mary pun mau bayar USD 25. Saya segera mengikutinya. Sebenarnya saya sudah mau bayar USD 25 sejak tadi. Namun, karena saya apply bareng sama dua turis Perancis yang baik hati itu, saya nggak enak hati kalau nggak menunggu mereka terlebih dahulu. Setelah kami bayar, nggak lama kemudian (sekitar 10 menit) Visa Kingdom of Cambodia pun tertempel di paspor saya. Ini merupakan visa pertama saya. Thanks God! Sebentar lagi saya bisa memasuki Negara Kamboja.

Visa Kerajaan Kamboja - Untuk mendapatkannya saya harus bayar USD 25

Setelah visa di tangan, kami segera cabut dari Imigrasi Kamboja yang sangat menyebalkan itu. Kami segera berjalan ke Terminal Bus Poipet (yang semrawut dan tidak mirip terminal sama sekali). Kami mencari bus sesuai dengan tujuan kami. Karena tujuan kami berbeda, kami harus berpisah di terminal ini. Mereka hendak pergi ke Battambang, sedangkan saya akan pergi ke Siem Reap. Sebelum berpisah, Mr. Cambodia dengan baik hati mengantarkan saya ke tempat bus jurusan Siem Reap. Dan kami pun berpisah di Terminal Bus Poipet. Saya bersyukur kepada Allah karena telah mengirimkan teman perjalanan yang baik hati kepada saya hari ini. Kembali, saya harus melanjutkan perjalanan seorang diri. (edyra)***

Thursday, 3 December 2009

YANG UNIK DAN MENGGELITIK DI MALAYSIA


Pada waktu jalan-jalan ke Malaysia, banyak hal menarik yang saya jumpai di sana. Di antaranya tulisan (sign) di tempat-tempat umum yang unik dan menggelitik. Bagi orang Malaysia, mungkin nggak ada yang aneh dengan sign itu karena tulisan-tulisan di sign berasal dari bahasa mereka sehari-hari, yaitu Bahasa Melayu. Namun, bagi orang Indonesia yang berbahasa Indonesia, tulisan-tulisan di sign itu terdengar aneh dan lucu. Walaupun termasuk dalam satu rumpun, Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia sedikit berbeda. Banyak kata atau istilah Bahasa Melayu yang berbeda dari Bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena Bahasa Melayu tidak mau menerima kata serapan dari bahasa asing sedangkan Bahasa Indonesia mau. Berikut ini beberapa sign yang cukup unik dan menggelitik, yang pernah saya jumpai di Kuala Lumpur dan Penang. Saya tuliskan juga padanan/terjemahannya dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.

Di Bandara
Begitu menginjakkan kaki di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), banyak sign lucu dan menarik yang menyambut kedatangan saya. Saya sampai tersenyum-senyum sendiri dibuatnya.


Ketibaan? Ketiban duren kali ya? Maksudnya sih, Kedatangan Internasional.



Perlepasan? Emang mau dilepas ke mana?
Perlepasan = Keberangkatan



Pesawatnya mau lepas landas ya?
Perlepasan Antarabangsa = Keberangkatan Internasional



Setahu saya "maklumat" adalah kata yang berasal dari Bahasa Arab, artinya : (1) pemberitahuan; pengumuman; (2) pengetahuan. Jadi, arti harfiah dari kata "maklumat" itu adalah pengumuman. Maklumat Daftar Masuk = Informasi Check In


Di Stasiun Kereta Api
Di stasiun kereta api pun banyak istilah aneh bin lucu yang bisa membuat kita ketawa cekikikan. Jangan sampai ketinggalan kereta ya!


Bukannya bilik itu kamar kecil yang terbuat dari bambu ya?
Bilik Sembahyang = Mushola
Tandas = Toilet


Di Terminal Bus
Ini dia terminal bus di Kuala Lumpur, yaitu Terminal Puduraya. Nggak jauh beda kok, dengan terminal bus di Jakarta. Bedanya lebih bersih, lebih aman, dan lebih teratur. Sebagai informasi, bus di Malaysia disebut "bas."



Terminal Puduraya


Di Jalan
Jangan ketawa-ketawa sendiri ya, melihat berbagai sign ini di jalan raya! Ntar dikira orang gila lagi.


Mohon Maaf Atas Ketidaknyamanan Ini (Sorry for The Inconvenience)



Dilarang Berjualan di Trotoar!



Poskod = Kode Pos


Di Tempat Umum Lainnya


Licenced Money Changer



Toko Obat alias Apotek



Wisma Bea Cukai



Yang ini saya nggak tahu terjemahan/padanannya dalam Bahasa Indonesia. Kalau terjemahan Bahasa Inggrisnya sih, "Civil & Sessions Court."



Gunakan palu untuk memecahkan jendela kaca ya! Jangan gunakan Tukul! Ntar dia nggak lucu lagi.



Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk



Nggak percuma ya, datang jauh-jauh ke Malaysia. Soalnya kita bisa melihat sign-sign unik ini. Padahal, percuma di atas maksudnya adalah gratis.
Orkid = Anggrek (Orchid)
Bunga Raya = Bumga Sepatu (Hibiscus)


Warisan Kebangsaan = National Heritage

Sebenarnya masih banyak lagi sign-sign aneh dan lucu lainnya tapi nggak mungkin saya tuliskan di sini semuanya. Bisa habis halaman blog ini kalau saya tuliskan semuanya. Kalau ingin melihat sign-sign lucu lebih banyak, datang ke Malaysia saja ya! (edyra)***