JELAJAH ROTE, PULAU SERIBU LONTAR DI UJUNG SELATAN INDONESIA

Menikmati keindahan Pantai Tunggaoen

Yang namanya rezeki, memang tak bisa diduga datangnya. Seperti yang saya alami baru-baru ini. Sudah lama saya memimpikan perjalanan ke Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, tak disangka-sangka, saya mendapat tugas dari kantor untuk sebuah pekerjaan di sana. Tentu saja saya langsung menerima tugas tersebut tanpa perlu mikir dua kali. Saya memang penasaran dengan pulau yang terkenal dengan Sasando dan Topi Ti’ilangganya ini. Apalagi Pulau Rote juga menyandang status sebagai pulau yang letaknya paling selatan di Indonesia. Rasanya ada kebanggan tersendiri jika saya bisa menginjakkan kaki di ujung selatan negeri ini. 

Asyiknya lagi, ada seorang teman asal Kupang tapi sudah tinggal cukup lama di Pulau Rote, yang akan menemani perjalanan saya. Saya tak perlu kebingungan mencari akomodasi dan informasi tempat-tempat menarik di Rote. Bahkan teman saya bersedia meminjamkan sepeda motornya, untuk saya gunakan menjelajah Pulau Rote. Betapa senangnya saya. 

Perjalanan ke Pulau Rote kami awali dari Pelabuhan Tenau, Kupang. Dari pelabuhan ini, saya dan teman naik Kapal Cepat Express Bahari 8 B menuju Pelabuhan Ba’a, di Pulau Rote. Ada dua pilihan kelas di kapal ini, yaitu tiket kelas ekonomi seharga Rp 140.000,00 dan tiket kelas VIP seharga Rp 190.000,00. Karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas ekonomi dan kelas VIP (selain tempat duduk di VIP yang lebih longgar dan AC yang lebih dingin), kami memilih tiket kelas ekonomi. 

Perjalanan dari Pelabuhan Tenau, Kupang menuju Pelabuhan Ba’a, Pulau Rote memakan waktu sekitar 2 jam, tergantung cuaca (kecepatan angin dan gelombang). Untungnya saat perjalanan kemarin, cuaca sangat cerah dan laut pun sangat tenang tanpa gelombang. Laut Sawu yang terkenal dengan ombaknya yang ganas, saat itu sangat tenang seolah menyambut kedatangan kami dengan gembira. Jadi perjalanan ke Pulau Rote sangat menyenangkan. Kapal berangkat dari Pelabuhan Tenau, Kupang pukul 08.30 (molor 30 menit dari jadwal) dan merapat di Pelabuhan Ba’a, Rote pukul 10.30. 

Cuaca panas dan sinar matahari yang terik menyengat menyambut kedatangan saya dan teman di Pulau Rote. Panorama di sekitar Pelabuhan Ba’a yang indah, dengan air laut yang biru jernih membuat saya langsung kesengsem dengan Rote dan tak sabar ingin segera menjelajahinya. Namun, saya harus menunda dulu niat meng-explore Rote karena harus menyelesaikan urusan pekerjaan terlebih dahulu. Syukurlah urusan pekerjaan ternyata tak memakan waktu lama. Dengan bantuan teman-teman di Rote yang baik hati, pekerjaan saya sudah beres di sore hari. Tibalah saatnya berpetualang di Pulau Rote. 

Tiang Bendera
Ketika menginjakkan kaki pertama kali di Pelabuhan Ba’a, Pulau Rote, saya melihat sebuah tanjung dengan rumah-rumah beratap merah dan hijau di kejauhan. Di sekitarnya tampak laut biru menyejukkan mata. Pikir saya, pasti itu salah satu hotel (resort) di Rote. Ternyata dugaan saya keliru. Kata teman saya, tempat itu merupakan salah satu tempat wisata di Rote, namanya Tiang Bendera. Karena penasaran dengan keunikan nama tempat tersebut, sore hari, saya meminta teman untuk mengantarkan saya ke sana. 

Tiang Bendera berada tak jauh dari pusat Kota Ba’a, jaraknya hanya sekitar 5 km. Namun, kondisi jalan menuju tempat ini sangat buruk. Sekitar 2 km pertama, kondisi jalan masih bagus karena merupakan jalan utama di Rote. Setelah masuk ke perkampungan penduduk dan melewati perbukitan, kondisi jalan berubah drastis menjadi jalan tanah berbatu yang berkelok-kelok naik turun. Parahnya lagi, tak ada satu pun rambu-rambu atau penunjuk arah di sepanjang jalan menuju Tiang Bendera. Untunglah dalam kunjungan ke Tiang Bendera, saya diantar menggunakan mobil oleh teman-teman yang asli Rote. Jadi, saya tak perlu susah payah menanyakan jalan ke penduduk setempat dan tentunya bebas dari acara tersesat. 

Tak sampai setengah jam, kami pun tiba di Tiang Bendera. Tak ada seorang pun di sana selain rombongan kami. Nampak sejumlah lopo-lopo (semacam bale-bale/gazebo) dengan atap berwarna merah dan sebagian hijau di pinggir pantai yang berpasir putih. Rupanya lopo-lopo ini yang tadi pagi saya kira hotel. Meski saat itu sedang surut, pesona pantai di sekitar Tiang Bendera tidak ikut surut. Pantai berpasir putih ini tetap kelihatan cantik dengan hiasan sejumlah batu karang dengan beragam bentuk dan ukuran di sana-sini. Ada satu pulau karang yang menjadi pusat perhatian di pantai ini, tak lain adalah tempat berdirinya tiang bendera yang letaknya agak di tengah laut.

 
Tiang Bendera

Karena laut sedang surut, kami bisa mencapai pulau karang tersebut dengan cukup mudah. Namun, untuk mendaki pulau karang tersebut ternyata tak semudah yang dibayangkan. Pasalnya seluruh permukaan pulau berupa karang-karang runcing dan tajam. Kalau tidak memakai alas kaki yang kuat, mustahil untuk bisa mencapai puncak pulau karang ini. Syukurlah, saya dan teman-teman berhasil mencapai puncak pulau tanpa terluka sedikit pun. Dari puncak pulau karang tersebut, panorama indah di sekeliling terhampar dengan jelas. Tanpa dikomando, saya segera mengabadikan panorama cantik tersebut dengan kamera kesayangan saya. 

Dinamakan Tiang Bendera karena di kawasan pantai tersebut terdapat sebuah tugu beton setinggi 2,5 meter yang berdiri di atas pulau karang, di tengah laut. Konon katanya, tiang tersebut merupakan tiang peninggalan Belanda, tempat mereka mengibarkan benderanya sebagai tanda bahwa Pulau Rote merupakan wilayah jajahannya. Saya tak menyangka bahwa Belanda juga sempat menjejakkan kaki di Pulau Rote. 

 
 Panorama sunset di Tiang Bendera tak kalah dengan Tanah Lot, Bali

Tiang Bendera merupakan salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan panorama matahari terbenam (sunset) di Rote. Kata teman-teman yang asli Rote, keindahan sunset di Tiang Bendera tak kalah dengan keindahan sunset di Tanah Lot, Bali. Makanya kami sengaja menunggu momen sunset tersebut. Dan penantian kami tak sia-sia. Di saat sunset, panorama di sekitar Tiang Bendera sangat menakjubkan. Semburat sinar jingga kemerahan di sekitar pulau karang membuatnya makin menawan, sangat mirip dengan Tanah Lot. Bedanya, di pulau karang tersebut tak ada pura. Tak henti-hentinya saya menekan rana kamera, untuk menangkap detik-detik matahari terbenam di Tiang Bendera yang sangat mempesona. 

Pantai Nemberala
Salah satu tempat wisata paling terkenal di Pulau Rote adalah Pantai Nemberala. Pantai ini tersohor sampai ke mancanegara berkat kedahsyatan ombaknya. Para penggemar olahraga selancar (surfing) dari berbagai penjuru dunia rajin mendatangi pantai yang sudah lama menjadi andalan wisata Rote ini. Makanya saya tak mau melewatkan kunjungan ke sana. Di hari kedua di Pulau Rote, saya mengagendakan waktu sehari penuh untuk menjelajah pantai-pantai di bagian barat daya Rote, termasuk Nemberala. Saya nekad berpetualang sendirian karena teman saya sudah harus kembali ke Kupang. Modal saya adalah sepeda motor pinjaman dari teman dan selembar Peta Pulau Rote yang saya download dari internet. 

Jarak dari Kota Ba’a ke Pantai Nemberala sekitar 40 km. Biasanya perjalanan Ba’a - Pantai Nemberala memakan waktu sekitar satu jam. Namun, saya menempuhnya dalam waktu hampir dua jam karena di sepanjang jalan menuju Pantai Nemberala, tak ada rambu-rambu atau petunjuk arah sama sekali. Setiap menemui pertigaan/perempatan jalan, saya selalu bertanya ke penduduk setempat. Sialnya, saya sempat kesasar karena sewaktu di pertigaan tidak ada orang sama sekali yang bisa saya tanyaian arah jalan ke Pantai Nemberala. Saya tidak menyangka bahwa jalan menuju objek wisata terkenal seperti Pantai Nemberala, tidak ada rambu-rambu/petunjuk arahnya sama sekali. 

 
Kuda merumput di savana, tak jauh dari pantai

Kondisi jalan jari Kota Ba’a menuju Pantai Nemberala sebagian besar sudah mulus (karena baru saja dibangun), kecuali beberapa kilometer mendekati Desa Nemberala. Pemandangan sepanjang jalan juga sangat indah. Mulai dari rumah-rumah penduduk yang sebagian masih beratap ilalang, ratusan pohon lontar, hingga sapi-sapi dan kuda-kuda yang merumput di savana. Di beberapa spot yang menarik, misalnya di savana saya berhenti sebentar untuk memotret panorama eksotis tersebut. Ratusan pohon lontar/siwalan (Borassus flabellifer) juga dengan mudah saya jumpai di sepanjang jalan, baik di kota, di pekarangan rumah penduduk, di hutan maupun di pinggir pantai. Tak heran kalau Pulau Rote mendapat julukan sebagai Pulau Seribu Lontar. 

 
 Pohon lontar bisa dijumpai dengan mudah di berbagai sudut Pulau Rote

Setelah menempuh perjalanan sekitar 90 menit, saya tiba di Pantai Nemberala. Hamparan pasir putih dan air laut hijau toska menyambut kedatangan saya. Deretan pohon kelapa di pinggir pantai makin mempercantik Pantai Nemberala. Rasa capek dan penat akibat perjalanan jauh mendadak hilang melihat pantai cantik terhampar di hadapan. Asyiknya lagi, pantai sangat sepi hanya ada satu dua orang pengunjung selain saya. Saya segera mencari tempat yang agak teduh di bawah pohon agar terlindung dari terik matahari yang menyengat. Sambil menikmati keindahan Pantai Nemberala saya menyantap bekal yang saya bawa. 

 
 Pantai Nemberala

Ada yang aneh dengan Pantai Nemberala. Tak ada tanda/tulisan yang menunjukkan bahwa pantai tersebut adalah Pantai Nemberala selain gerbang “Selamat Datang di Pantai Wisata Nemberala” yang jaraknya masih sekitar 3 km dari pantai. Sebagian besar hotel yang berada di pinggir pantai juga tidak memasang papan nama atau penunjuk arahnya. Kalau tidak bertanya ke penduduk setempat, saya tidak akan tahu letak hotel-hotel tersebut, kecuali hotel yang berada di pinggir jalan utama yang sudah memasang papan nama. 

 
 Jalan di Desa Nemberala dengan jajaran pohon kelapa di kanan kirinya

Pantai Bo’a
Dari Pantai Nemberala saya melanjutkan perjalanan ke Pantai Bo’a yang jaraknya sekitar 4 km dari Pantai Nemberala. Perjalanan menuju Pantai Bo’a sangat menyenangkan. Saya melewati jalan berpagar deretan pohon kelapa di antara perkampungan penduduk. Rumah-rumah penduduk yang sebagian masih beratap ilalang dengan pagar terbuat dari tumpukan batu karang membuat panorama makin eksotis. Warga Rote, terutama yang tinggal di pedesaan memang mempunyai kebiasaan memagari rumah mereka dengan tumpukan batu karang. Saya yang baru pertama kali melihat pemandangan tersebut, benar-benar terpesona. Beberapa kali saya berhenti untuk memotret rumah-rumah penduduk dengan pagar unik tersebut. 

 
 Rumah-rumah penduduk di Desa Nemberala yang berpagar tumpukan batu karang

Tepat tengah hari, saya tiba di Pantai Bo’a. Nampak beberapa turis asing membawa papan selancar di pinggir pantai. Namun, mereka hanya melihat-lihat suasana pantai tanpa berselancar. Saat itu, ombak di Pantai Bo’a memang sedang tidak bagus. Ombaknya pecah dan kecil sehingga tidak bisa untuk selancar. 

 
Pantai Bo'a, surga peselancar di Pulau Rote

Pantai Bo’a memang salah satu pantai dengan ombak terbaik di Indonesia. Meski nama pantai ini kalah populer dibandingkan dengan Pantai Nemberala, namun ombak di Pantai Bo’a jauh lebih bagus. Sebenarnya, pantai yang dicari para turis untuk berselancar di Pulau Rote adalah Pantai Bo’a bukan Pantai Nemberala. Namun, mereka menginap di Pantai Nemberala karena di sanalah terdapat hotel dan penginapan (home stay) dengan berbagai pilihan tarif. Sementara itu, di Pantai Bo’a belum ada satu pun hotel/penginapan. Saat saya ke sana, sedang ada pembangunan sebuah hotel di ujung Pantai Bo’a. 

Pantai Tunggaoen
Pantai terakhir yang saya sambangi di kawasan Rote Barat Daya adalah Pantai Tunggaoen. Saya menemukan pantai ini secara tak sengaja. Sebenarnya tujuan saya adalah Pantai Oeseli. Namun, karena sepeda motor saya hampir kehabisan bensin dan saya tidak menemukan penjual bensin, saya terpaksa mengurungkan niat ke Pantai Oeseli. Pasalnya jarak dari Pantai Bo’a ke Pantai Oeseli masih lumayan jauh dan jalannya semakin jelek (aspal yang sudah rusak). Daripada saya kehabisan bensin di tengah jalan dan harus melakukan adegan dramatis mendorong sepeda motor berkilo-kilometer di tengah cuaca yang terik, lebih baik saya membatalkan kunjungan ke Pantai Oeseli. 
 
 Pantai Tunggaoen yang cantik dan masih alami

Saya segera memutar balik sepeda motor, kembali ke Pantai Nemberala. Sekitar 2 km lepas dari Pantai Bo’a, saya bertemu pertigaan dengan jalan tanah yang sepertinya mengarah ke pantai. Saya pun membelokkan sepeda motor menyusuri jalan tersebut yang ternyata hanya beberapa ratus meter. Ternyata dugaan saya benar. Saya tiba di sebuah pantai yang sangat sepi tanpa ada satu orang pun pengunjung. Pantainya berpasir putih dengan air laut berwarna hijau toska. Menariknya lagi, ada batu karang berbentuk seperti kodok, di sebelah kanan pantai, sedikit di tengah laut. Tak pelak lagi, batu karang tersebut membuat pantai yang belum saya ketahui namanya tersebut semakin fotogenik. 

 
 Batu karang miripp kodok di Pantai Tunggaoen

Saya puaskan diri bermain-main di pantai tersebut. Mulai dari berenang, bermain pasir hingga foto-foto dengan berbagai gaya. Saya benar-benar menikmati kesendirian saya di pantai cantik nan sunyi tersebut. Kapan lagi saya bisa bermain-main di “pantai pribadi” tanpa gangguan orang lain kalau bukan di Pulau Rote. 

Keasyikan bermain di pantai, membuat saya lupa waktu. Tanpa terasa matahari mulai beranjak ke barat. Sinarnya sudah tidak segarang saat kedatangan saya. Saya pun harus mengakhiri kenikmatan di “pantai pribadi” yang baru saya temukan. Rasanya berat sekali meninggalkan pantai secantik ini. Namun, mau tak mau saya harus meninggalkannya karena perjalanan panjang telah menanti. Saya harus menempuh jarak sekitar 50 km untuk kembali ke Kota Ba’a, tempat hotel saya berada. 

Ketika hendak meninggalkan pantai, saya melihat dua orang penduduk setempat sedang berjalan di pantai. Saya mendekati mereka, untuk menanyakan nama pantai cantik tersebut. Sejak tadi, saya memang penasaran dengan nama pantai ini, karena tak ada petunjuk/papan nama yang menunjukkan nama pantai. Ternyata namanya adalah Pantai Tunggaoen, sama seperti nama desa tempat pantai tersebut berada. Saya pun pulang dengan tersenyum puas setelah mengetahui nama pantai tersebut. 

Batu Termanu

Keesokan harinya, sebelum meninggalkan Pulau Rote, saya menyempatkan diri mengunjungi salah satu tempat paling terkenal di Pulau Rote, namanya Batu Termanu. Sejak kedatangan saya kemarin, teman saya, merekomendasikan saya untuk mengunjungi tempat ini. Apalagi jaraknya juga tak begitu jauh dari Kota Ba’a, hanya sekitar 7 km. Makanya saya tertarik untuk mengunjunginya. 

Tepat jam 09.00 pagi, saya berangkat dengan sepeda motor menuju Batu Termanu dan 10 menit kemudian saya sudah sampai di sana. Seperti tempat-tempat wisata lainnya di Rote, suasana di Batu Termanu juga sangat sepi dan masih alami. Tak ada pengunjung lain, ketika saya tiba di sana. Padahal saat itu adalah akhir pekan (Sabtu) di mana tempat-tempat wisata pada umumnya ramai didatangi para pengunjung. 

 
 Batu Suelai

Batu Termanu merupakan dua buah bukit batu yang berada di sebuah tanjung dan di lepas pantai tak jauh dari tanjung tersebut. Dua batu unik ini terletak di Desa Onatali, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao. Kedua batu tersebut mempunyai nama, yaitu Batu Suelai yang ukurannya lebih besar dan masih berada di daratan Pulau Rote, serta Batu Hun yang lebih kecil dan berada di lepas pantai. Menurut masyarakat setempat, Batu Suelai diyakini berjenis kelamin pria sedangkan Batu Hun berjenis kelamin wanita. Pada saat-saat tertentu, kedua batu ini bisa bergerak sendiri. Batu Termanu diyakini berasal dari kepulauan di Maluku, yang dapat berpindah-pindah sampai menetap di tempatnya sekarang ini. Mereka menganggap kedua batu ini sebagai batu keramat di mana saat Rote mengalami kemarau panjang, maka melalui Mane Leo (tokoh adat/kepala suku) sebagai pemimpin dari rumpun keluarga “Suelai Hun” melakukan upacara adat di kaki batu untuk memohon turunnya hujan.

Terlepas dari berbagai mitos dan cerita mistis yang menyelimutinya, Batu Termanu sangat menarik. Bagi Anda yang menyukai tantangan, Anda bisa mendaki Batu Termanu sampai puncak. Dari puncak inilah Anda bisa panorama menakjubkan di sekitar Batu Termanu. Mulai dari “pasangan” Batu Suelai, yaitu Batu Hun yang berada agak di tengah laut, bukit-bukit gersang yang ditumbuhi pohon-pohon lontar, hingga pantai-pantai cantik di sekitarnya. 
 
Pantai Batu Termanu yang indah dan sepi

Bagi Anda yang tak ingin susah payah mendaki Batu Termanu, Anda tak perlu khawatir. Anda masih bisa menikmati sisi lain Batu Termanu, tak lain adalah Pantai Batu Termanu yang indah dengan hamparan pasir putih dan batu karang di tepian pantainya. Di pantai tersebut telah dibangun sejumlah bale-bale (lopo-lopo dalam bahasa setempat) yang bisa Anda manfaatkan untuk berlindung dari teriknya matahari Pulau Rote. Ada juga sebuah hotel yang berdiri tak jauh dari pantai. 

 
 Lopo-lopo di Pantai Batu Termanu

Karena Pantai Batu Termanu menghadap ke barat, tentunya sangat tepat untuk menyaksikan panorama matahari terbenam (sunset) di sana. Anda bisa menunggu sunset dengan duduk-duduk di lopo-lopo yang telah disediakan. Sayangnya saya tidak bisa melihat sunset di Batu Termanu karena siang nanti, saya harus meninggalkan Rote. Semoga suatu hari nanti saya bisa kembali lagi ke Batu Termanu untuk menyaksikan sunset yang menakjubkan di sana. 

Getting There
Untuk mencapai Pulau Rote, Anda harus terbang dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sampai saat ini, penerbangan langsung ke Kupang bisa melalui tiga kota, yaitu : Jakarta, Surabaya dan Denpasar. Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa mencapai Pulau Rote dengan dua cara : jalur laut atau jalur udara, dengan penjelasan sebagai berikut : 
1. Untuk jalur udara, maskapai yang melayani rute Kupang - Rote - Kupang adalah Trans Nusa (www.transnusa.co.id) dan Susi Air (www.susiair.com) dengan jadwal seminggu 3 kali, Senin, Rabu dan  Jumat/Sabtu. Namun, jadwal ini bisa berubah-ubah tergantung cuaca. Untuk memastikan jadwal penerbangan ke Rote dan sebaliknya, Anda bisa cek di situs masing-masing.

2. Untuk jalur laut ada 2 pilihan : kapal lambat (ferry) atau kapal cepat (speed boat)
a. Bila Anda memilih ferry, Anda harus naik ferry dari Pelabuhan Bolok, Kupang. Ferry berangkat dari Kupang setiap hari, pukul 08.00 WITA dan berlabuh di Pelabuhan Pantai Baru, Rote (sekitar 1 jam perjalanan ke Kota Ba’a). Perjalanan dengan ferry memakan waktu sekitar 4 jam. Harga tiket kelas ekonomi untuk penumpang tanpa kendaraan Rp 33.800,00 dan tiket untuk penumpang dengan sepeda motor Rp 79.900,00. Bila Anda membawa kendaraan ke Rote, satu-satunya cara adalah dengan naik ferry karena kapal cepat hanya memuat penumpang (orang). 
b. Bila Anda memilih kapal cepat, Anda harus naik kapal cepat dari Pelabuhan Tenau, Kupang. Kapal berangkat dari Kupang setiap hari, pukul 08.00 WITA dan berlabuh di Pelabuhan Ba’a, Rote. Perjalanan dengan kapal cepat memakan waktu sekitar 2 jam. Harga tiket kelas ekonomi Rp 150.000,00 dan kelas VIP Rp 190.000,00. 

Where to Stay 
Hotel Ricky
Jl. Gereja, Ba’a, Pulau Rote, NTT
Telp. : (0380) 871045, 871025
Tarif : mulai Rp 100.000,00

Hotel Grace
Jl. Pabean No. 12, Ba’a, Pulau Rote, NTT
Telp. : (0380) 841055
Tarif : mulai Rp 100.000,00

Hotel Tiberias
Batu Termanu, Desa Onatali, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, NTT
Telp. : (0380) 8110700
www.rotebeachresort.com
Tarif : mulai Rp 150.000,00

Nemberala Beach Resort***
Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, NTT www.nemberalabeachresort.com
Tarif : mulai USD 170

T-Land Resort*** 
Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, NTT
www.t-landresort.com
Tarif : mulai USD 145

Where to Eat 
Sampai saat ini belum ada restoran/kafe yang representatif di Pulau Rote, baik di Kota Ba’a maupun Pantai Nemberala. Yang ada hanya warung-warung makan sederhana seperti Warung Jawa atau Rumah Makan Padang di Kota Ba’a. Di kawasan Pantai Nemberala hanya ada satu rumah makan sederhana, namanya Rumah Makan Tessa Lifu Delha. Itu pun sering tutup. Namun, Anda tak perlu khawatir. Biaya kamar di hotel-hotel yang berada di Pantai Nemberala, biasanya sudah termasuk makan tiga kali sehari. Tanyakan urusan makan ini, pada saat reservasi atau saat kedatangan Anda. 

What to Do
Berenang, surfing, snorkeling, memancing dan mengunjungi pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Rote. Anda juga bisa mengenal lebih dekat adat dan budaya masyarakat Pulau Rote dengan mengunjungi desa-desa di pedalaman pulau. 

When to Go
Waktu terbaik untuk mengunjungi Pulau Rote adalah di musim kemarau (Juni - Oktober) karena pada saat itu cuaca cerah dan gelombang di Selat Rote juga tidak begitu besar/tinggi sehingga perjalanan dengan ferry/kapal cepat tetap aman. Ombak di Pantai Nemberala dan Bo’a juga sedang bagus-bagusnya, sehingga cocok untuk olahraga selancar (surfing). Di luar bulan-bulan tersebut (terutama di Bulan November - Februari), gelombang di Selat Rote sangat tinggi dan membahayakan. Jadwal ferry dan kapal cepat menjadi tidak menentu di bulan-bulan tersebut dan sering dibatalkan mendadak bila cuaca buruk (angin besar/gelombang tinggi). (edyra)*** 
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments