MENDAKI GUNUNG FATULEU








Gunung Fatuleu marupakan sebuah gunung batu setinggi 1.111 meter di atas permukaan laut (dpl) yang terletak di Desa Nunsaen, Kecamatan Fatuleu Tengah, Kabupaten Kupang. Jaraknya sekitar 57 km dari Kota Kupang atau sekitar 90 menit berkendara.  Fatuleu berasala dari kat “Fatu” dan Leu” dalam Bahasa Dawan (suku di sekitar Gunung Fatuleu) yang berarti batu keramat. Badan Gunung Fatuleu hampir seluruhnya terdiri bongkahan batu, sehingga cukup sulit untuk mendakinya. Untuk mencapai puncak gunung ini dibutuhkan waktu sekitar 30 - 45 menit. Dari puncak Gunung Fatuleu terhampar pemandangan yang menakjubkan, mulai dari perkampungan penduduk, hamparan perbukitan di sekitarnya, hingga Teluk Kupang di kejauhan. Waktu yang tepat untuk mendaki gunung ini adalah pagi hari atau sore hari menjelang matahari terbenam. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

SUATU HARI DI PULAU BESAR



Pulau Besar dilihat dari Pantai Nangahale

Di Indonesia ada beberapa pulau yang bernama Pulau Besar. Namun, yang akan saya ceritakan kali ini adalah Pulau Besar yang berada di sebelah utara Pulau Flores, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya tidak tahu pasti mengapa pulau ini dinamakan Pulau Besar. Namun, menurut keterangan penduduk setempat karena ukurannya yang paling besar dibanding pulau-pulau lainnya di Teluk Maumere. Berdasarkan data di internet luas Pulau Besar sekitar 5.000 hektar.

Kunjungan saya ke Pulau Besar tak pernah saya rencanakan sebelumnya, bahkan boleh dibilang sebuah keberuntungan karena tujuan saya sebenarnya adalah Pulau Sukun, sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Sikka yang letaknya paling jauh dari daratan Pulau Flores. Namun, karena pemilik perahu yang saya tumpangi (Pak Muhiding) mampir dulu ke Pulau Besar sebelum menuju Pulau Sukun, jadilah saya ikut menjejakkan kaki di pulau ini. Pak Muhiding akan menghadiri acara pernikahan anak kerabatnya di Kampung Nele, Pulau Besar.

Pantai barat Kampung Nele
 
Perjalanan perahu dari Pelabuhan Laurensius Say, Maumere menuju, Pulau Besar tak memakan waktu lama karena jaraknya memang tak terlalu jauh. Apalagi saat itu cuaca sedang bagus, langit biru cerah dan laut tenang tanpa gelombang. Jadinya perjalanan sangat menyenangkan dan hanya dalam waktu satu jam, kami sudah mendarat di Kampung Nele, Pulau Besar. 
 
Sebelum mendarat di Kampung Nele, Pulau Besar, saya tak punya harapan apa-apa tentang kampung ini karena saya memang belum mendengar cerita apa pun tentangnya. Namun, beberapa saat sebelum perahu merapat di Kampung Nele, saya sudah terpesona dengan kampung mungil ini. Bayangkan saja! Tepat di depan kampung ini terbentang pantai berpasir putih bersih dengan laut jernih bergradasi hijau biru. Menariknya lagi, deretan pohon kelapa dengan daunnya yang melambai-lambai tertiup angin, berbaris rapi memagari Kampung Nele dan seolah menyembunyikannya dari dunia luar. Dari laut hanya terlihat beberapa rumah warga yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kalau kita tidak turun dari perahu, pasti tak menyangka bahwa ternyata ada banyak rumah warga di Kampung Nele karena  rumah-rumah lainnya tertutup barisan pohon kelapa. 
 

Kampung Nele letaknya tersembunyi di balik barisan pohon kelapa


Sebagai informasi, Kampung Nele merupakan sebuah dusun yang terletak di bagian utara (tepatnya barat laut) Pulau Besar. Secara administratif, kampung mungil ini masuk wilayah Desa Kojagete yang pusat pemerintahnya berada di bagian selatan Pulau Besar, yang jaraknya lebih dekat dengan daratan Pulau Flores. Kampung Nele ini cukup unik karena lokasinya berada di pinggir pantai dan dikelilingi perbukitan yang cukup tinggi membuatnya terisolasi dari kampung-kampung lainnya di Pulau Besar. Tetangga terdekat Kampung Nele berjarak cukup jauh, di balik bukit dan tanjung, di sebelah timur kampuong. Tak ada jalan raya yang menghubungkan Kampung Nele dengan kampung-kampung lainnya di Pulau Besar, sehingga untuk mencapainya harus menggunakan perahu atau sampan. 


Pantai di depan Kampung Nele

 
Tiba di Kampung Nele, saya langsung diajak Pak Muhiding menuju rumah saudaranya yang lokasinya tepat di depan pantai tempat perahu kami mendarat. Rumahnya cukup sederhana, berbentuk rumah panggung dengan dinding bambu dan atap seng. Namun, panorama yang terbentang di depan rumah sangat menakjubkan. Pantai berpasir putih, laut bergradasi hijau biru, dan dua pulau kecil (Pulau Pemana dan Pulau Pemana Kecil) di kejauhan. Sudut favorit saya di rumah tersebut tak lain adalah pintu utama rumah yang letaknya tepat di atas tangga, dengan ketinggian sekitar 1,5 meter di atas permukaan tanah. Saya betah banget nongkrong di depan pintu tersebut menikmati panorama cantik di depan rumah ditemani angin yang bertiup sepoi-sepoi. Wuih, saya berasa menginap di hotel berbintang di Nusa Dua Bali yang tarifnya jutaan per malam!

Panorama menawan dari depan rumah
 
Seperti saya ceitakan sebelumnya, tujuan Pak Muhiding mengunjungi Kampung Nele adalah menghadiri acara pernikahan anak saudaranya, yang pestanya akan diadakan malam hari. Karena lokasi pesta berada di sebuah kampung terpencil di pulau kecil, tentunya semua perlengkapan pesta seperti tenda/terpal, kursi, dan sound system harus didatangkan dari pulau lain. Untungnya, pulau tetangga yang letaknya tak begitu jauh dari Pulau Besar, yaitu Pulau Pemana, terdapat jasa persewaan perlengkapan pesta. Alhasil, semua perlengkapan pesta tersebut diangkut menggunakan beberapa perahu motor karena harus melintasi selat/laut. Jadinya, aktivitas saya di Pulau Besar selain duduk-duduk menikmati keindahan pantai tentunya adalah menyaksikan aktivitas warga pulau bergotong royong menurunkan perlengkapan pesta dari perahu dan menggotongnya rame-rame ke rumah si empunya pesta yang letaknya agak jauh dari pantai. Aktivitas bongkar muat alat pesta dari perahu ke daratan sangat seru karena melibatkan banyak warga dan diselingi dengan senda gurau mereka. Sungguh pemandangan langka yang baru saya lihat seumur hidup saya.
 
Aktivitas "pendaratan" tamu di Kampung Nele

Tak berhenti sampai di situ, tamu pesta yang diundang dari pulau-pulau sekitar mau tak mau juga harus  menggunakan perahu motor sebagai alat tranportasi. Anda bisa bayangkan, betapa hebohnya tamu-tamu tersebut (yang kebanyakan kaum perempuan) saat harus turun dari perahu. Apalagi Kampung Nele tidak mempunyai dermaga yang memudahkan naik/turun penumpang ke/dari atas perahu. Mereka yang saat itu sudah berpakaian pesta lengkap dengan dandanan harus berbasah-basah nyemplung ke laut sebelum menginjak daratan. Jadinya, para perempuan harus mengangkat rok/celannya tinggi-tinggi agar tidak basah. Bagi para perempuan yang nggak mau basah, mereka akan digendong/dibopong bapak-bapak dari perahu ke daratan. Kebetulan mempelai pria juga berasal dari pulau lain (Flores). Jadinya, sang mempelai yang sudah berpakaian jas lengkap pun harus digendong agar tidak basah. Benar-benar adegan unik yang membuat saya tak bisa menahan tawa. Sayangnya saya tak sempat memotret adegan gendong-menggendong tersebut karena sudah “terpesona” duluan.
 

Pantai timur Kampung Nele


Usai menyaksikan acara pendaratan tamu dan mempelai yang heboh, saya menghabiskan sore di Kampung Nele dengan jalan-jalan di pantai. Saya berjalan menyusuri pantai dari ujung barat hingga ke ujung timur kampung yang dibatasi tanjung berbukit cukup tinggi. Setelah itu, saya ngobrol-ngobrol dengan warga setempat di pinggir pantai. Nggak disangka-sangka, saya bertemu dengan seseorang yang berasal dari kota yang sama dengan saya. jadinya, beliau mengajak ngobrol saya dengan Bahasa Jawa. Saya benar-benar nggak menyangka bisa bertemu dengan ‘tetangga’ sendiri di tempat terpencil seperti Pulau Besar ini. Rasanya senang sekali. Apalagi setelah itu beliau mengajak saya mampir ke rumahnya dan menjamu saya dengan kue dan makan malam. Saya juga numpang mandi di sumur dekat rumahnya yang airnya bening dan segar. Benar-benar rezeki tak terduga bagi saya. Sebenarnya bukan beliau yang berasal dari kota saya tapi istrinya. Karena beliau pernah tinggal lama di Jawa, jadinya fasih berbahasa Jawa.

Habis isya, pesta perkawinan di rumah saudaranya Pak Muhiding dimulai. Namun, sejak sore sound system di rumah yang punya hajatan sudah memutar lagu-lagu dengan suara keras. Kampung nele yang biasanya sunyi sepi dan belum ada listrik ini jadi lebih rame dan semarak. Namun, karena mayoritas Warga Kampung Nele beragama Islam, pemutaran lagu-lagu tersebut dihentikan saat sholat maghrib dan isyak.

Sebenarnya Pak Muhiding mengajak saya untuk menghadiri pesta di rumah saudaranya. Namun, saya terpaksa menolak ajakan itu karena saya tak membawa satu pun kemeja atau baju formal lainnya. Baju-baju yang saya bawa hanya berupa kaos oblong, polo shirt, celana pendek dan baju-baju santai lainya karena tujuan saya memang akan berlibur ke pulau. Jadinya saya menghabiskan malam di Pulau Besar dengan duduk-duduk di tepi pantai mendengarkan musik dari ponsel ditemani ombak dan rembulan yang kebetulan malam itu sinarnya cukup terang meskipun bukan bulan purnama. Hidup terasa sangat menyenangkan meski tanpa listrik maupun sinyal ponsel. Listrik hanya mengandalkan genset yang menyala selama empat jam setiap malam, dari jam 18.00 - 22.00. Pulau Besar memberi saya pelajaran berharga, bahwa kebahagiaan hidup bisa didapat di mana saja dan kapan saja. Seperti Warga Pulau Besar, meski belum bisa menikmati listrik, sinyal ponsel, jalan aspal dan berbagai fasilitas modern lainnya mereka bisa hidup bahagia. (Edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments