MENYUSURI JEMBATAN BATU PULAU KOJADOI





Kabupaten Sikka di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur memiliki banyak pulau kecil. Setidaknya ada 17 pulau kecil yang bertebaran di Teluk Maumere, yang berada di sebelah utara Kota Maumere. Dari 17 pulau tersebut, hanya 8 pulau yang berpenghuni yaitu : Pulau Babi, Pulau Pangabatang, Pulau Dambilah, Pulau Kojadoi, Pulau Besar (Kojagete), Pulau Pemana Besar, Pulau Palue, dan Pulau Sukun. Satu pulau yang menarik perhatian saya berkat keunikannya adalah Pulau Kojadoi.

Perkenalan pertama saya dengan Pulau Kojadoi berawal dari situs wisata Kota Maumere. Saya tak sengaja menemukan situs tersebut ketika sedang mencari informasi wisata seputar Flores. Nggak tahunya di situs tersebut terdapat sedikit informasi tentang Pulau Kojadoi dengan beberapa fotonya. Yang membuat saya tertarik adalah foto jembatan batu yang menghubungkan Pulau Kojadoi dengan Pulau Kojagete (lebih terkenal dengan sebutan Pulau Besar). Saya penasaran ingin melihat secara langsung keunikan jembatan tersebut. Makanya, ketika ada kesempatan berkunjung ke Maumere, saya meluangkan waktu khusus untuk menyambangi Pulau Kojadoi.

Pulau Kojadoi berada di Teluk Maumere, tepatnya di sebelah selatan Pulau Besar. Konon, nama pulau ini pemberian dari Raja Maumere. Kojadoi berasal dari dua kata dalam Bahasa Maumere, yaitu “Koja” yang berarti kenari dan “Doi” yang berarti kecil. Secara administratif, pulau ini termasuk dalam wilayah Desa Kojadoi, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka. Untuk mencapai Pulau Kojadoi dari Maumere cukup mudah. Kita bisa naik perahu motor dari Pelabuhan Laurensius Say, Maumere atau dari Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Perjalanan dari Pelabuhan L. Say, Maumere memakan waktu cukup lama, yaitu sekitar dua jam karena jaraknya cukup jauh. Sedangkan dari Desa Nangahale hanya memakan waktu satu jam. Karena itulah, saya dan teman memilih untuk naik perahu dari Desa Nangahale walau harus berkendara dulu selama 40 menit dari Maumere, yang penting tidak berlama-lama di laut.


Perjalanan berperahu dari Desa Nangahale ke Pulau Kojadoi di awal November kemarin sangat menyenangkan. Cuaca cerah dengan langit biru bersih tanpa awan. Laut juga tenang tanpa ombak dan gelombang. Di kejauhan nampak sebuah pulau yang cukup besar, tak lain adalah Pulau Besar. Dari penjelasan Pak Marjuni (pemilik perahu), pulau yang nampak seperti sebuah pulau itu sebenarnya terdiri dari tiga pulau, yaitu Pulau Besar, Pulau Dambilah dan Pulau Pangabatang. Karena terlihat dari kejauhan dan letak pulau-pulau tersebut memang berdekatan maka tampak menyatu. Nantinya kalau sudah dekat, pulau itu akan terlihat terpisah. Sedangkan Pulau Kojadoi yang kami tuju belum kelihatan sama sekali.

Benar apa yang dikatakan Pak Marjuni. Semakin berlayar ke tengah laut, pulau yang nampak seperti menyatu tadi ternyata terdiri dari tiga pulau, dengan pulau yang paling besar adalah Pulau Besar. Sedangkan Pulau Kojadoi terlihat seperti menempel dengan Pulau Besar karena letaknya memang berdekatan, hanya terpisah selat dangkal sejauh 500 meter. 


Setelah satu jam berlayar, akhirnya kami tiba di Pulau Kojadoi. Pak Marjuni sengaja menambatkan perahunya di dekat jembatan batu yang menghubungkan Pulau Kojadoi dengan Pulau Besar, bukan di dermaga Pulau Kojadoi. Tentunya saya kegirangan karena tak perlu berjalan jauh untuk mencapai jembatan batu tersebut.


Saya pun segera meloncat turun dari perahu dan bergerak menuju Jembatan Batu Kojadoi. Di bawah terik matahari yang menyengat dan angin laut yang sepoi-sepoi, saya berjalan menyusuri jembatan yang menjadi ikon Pulau Kojadoi. Namun, tak mudah berjalan di atas jembatan batu karang. Permukaan batu karang yang tidak rata dan lebar jembatan yang hanya sekitar 2 meter, mengharuskan saya berjalan ekstra hati-hati agar tidak jatuh ke laut. Apalagi saya berjalan sambil membawa tripod dan memotret-motret jembatan tersebut. Jadinya, harus pelan-pelan jalannya. 

 

Jembatan Kojadoi merupakan hasil swadaya Warga Kojadoi tanpa bantuan pemerintah. Jembatan tersebut dibuat untuk mempermudah mobilitas Warga Kojadoi menuju Pulau Besar. Maklum, sumber air bersih, ladang, sekolah, dan pusat pemerintahan desa berada di Pulau Kojadoi. Otomatis setiap hari Warga Kojadoi bolak-balik ke Pulau Besar.

Saat ini, Jembatan Kojadoi sedang diperbaiki. Warga Kojadoi mempertinggi jembatan tersebut dengan menimbunnya dengan batu-batu apung (vulkanik) tapi belum beres semuanya. Awalnya jembatan batu tersebut hanya terbuat dari tumpukan batu karang yang tak seberapa tinggi. Alhasil, pada saat air laut pasang, jembatan sepanjang 500 meter tersebut pun tenggelam dan warga kesulitan untuk berjalan di atasnya, terutama anak-anak sekolah. Karena itulah Warga Kojadoi menambah tinggi jembatan tersebut.

 

Selesai mengabadikan Jembatan Kojadoi, saya berjalan menuju bukit batu yang ada di ujung barat Pulau Kojadoi. Sebagai informasi, Pulau Kojadoi diapit oleh dua bukit batu, satu di ujung timur (lebih pendek) dan satu di ujung barat (lebih tinggi). Saya mendaki bukit di ujung barat saat matahari tepat di atas kepala sehingga sangat menguras tenaga. Apalagi permukaan bukit tersebut, semuanya tertutup batu-batu vulkanik berukuran besar-besar, sehingga tidak mudah mendakinya. Namun, segala perjuangan saya mendaki Bukit Batu Kojadoi terbayar lunas begitu sampai di puncak bukit. Dari puncak bukit tersebut terhampar panorama menakjubkan. Mulai dari Jembatan Kojadoi yang meliuk indah di tengah laut, rumah-rumah penduduk yang sangat padat, bukit batu di ujung timur pulau hingga laut biru di sekeliling Pulau Kojadoi. Semuanya menarik untuk dijadikan objek foto. 

 


Turun dari bukit batu, saya berjalan menyusuri jalan semen yang merupakan satu-satunya jalan yang membelah Pulau Kojadoi. Di kanan kiri jalan, berjajar rumah-rumah warga yang sebagian besar berbentuk rumah panggung dengan dinding kayu/bambu dan beratap seng. Beberapa rumah warga malah didirikan di atas laut lengkap dengan sampan/perahu di depan rumahnya. Ada juga sebuah masjid yang cukup besar di tengah-tengah pulau. Penghuni Pulau Kojadoi memang bukan Suku Flores (Maumere). Mereka semua merupakan Suku Buton yang beragama Islam dan berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Semua laki-laki Kojadoi berprofesi sebagai nelayan yang biasa pergi melaut hingga berbulan-bulan. Sementara para perempuan biasa mencari ikan/kerang di sekitar pulau dan berladang di Pulau Besar untuk menambah penghasilan sehari-hari. Tak heran kalau siang itu suasana pulau cukup lengang. Tak banyak Warga Kojadoi yang saya jumpai selain ibu-ibu dan anak-anak. Namun, saya beruntung bisa melihat aktivitas ibu-ibu sedang menenun di bawah kolong rumah panggung. Saya pun mampir untuk ngobrol-ngobrol sejenak dengan ibu tersebut. Rupanya, menenun adalah kegiatan sampingan Perempuan Kojadoi selain mencari ikan dan berladang. Untuk menyelesaikan selembar kain, biasanya membutuhkan waktu sekitar satu minggu. Kain-kain tersebut biasanya dijual di Maumere dan uangnya digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. 

 

Setelah menyaksikan ibu-ibu menenun, saya berjalan menuju Dermaga La Malino (satu-satunya dermaga/pelabuhan di Pulau Kojadoi) ditemani anak-anak Kojadoi. Mereka sangat ramah dengan pendatang seperti saya. Mereka juga sangat senang difoto, meski awalnya malu-malu. Anak-anak tersebut tampak gembira meski kehidupan mereka sangat sederhana. Bayangkan, di saat anak-anak kota biasa bermain dengan komputer, laptop, tablet, dan lain-lain, anak-anak Kojadoi belum bisa menikmati listrik sepenuhnya. Listrik hanya menyala di malam hari karena berasal dari solar cell dan genset. Namun, mereka bisa menjalani hidupnya dengan bahagia. 

 

Ternyata banyak hal yang saya dapat dari Pulau Kojadoi. Selain keindahan alam, saya juga mendapat pelajaran tentang kesederhanaan, kebahagiaan, dan rasa bersyukur. Bila ada kesempatan, suatu hari nanti saya akan kembali ke Pulau Kojadoi dan menginap di sana barang semalam, agar bisa merasakan denyut kehidupan Warga Kojadoi sepenuhnya.

 

How to Get There
Untuk mencapai Pulau Kojadoi, Anda harus terbang ke Maumere, Pulau Flores, NTT. Sampai saat ini belum ada penerbangan langsung dari Jakarta atau kota-kota di Pulau Jawa menuju Maumere. Anda harus terbang dulu ke Denpasar, Bali atau Kupang, NTT kemudian lanjut terbang ke Maumere. Dari Maumere Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Desa Nangahale (desa terdekat dengan Pulau Kojadoi), dengan naik angkot, ojek atau menyewa kendaraan. Dari Desa Nangahale, Anda bisa menyewa perahu nelayan untuk mencapai Pulau Kojadoi. Perjalanan berperahu menuju Pulau Kojadoi memakan waktu sekitar satu jam bila cuaca sedang bagus (laut tenang tanpa ombak dan gelombang). (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

8 REASONS TO VISIT KUPANG

Menikmati keindahan Bendungan Tilong



Kota Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT), memang bukan destinasi wisata populer di Indonesia. Letaknya yang cukup jauh/terpencil dan tak ada sesuatu yang terkenal dari Kupang, membuatnya makin tidak dilirik wisatawan. Berbeda dengan tetangganya di NTT, yaitu Pulau Komodo dengan Komodonya dan Pulau Flores dengan Danau Kelimutunya yang sudah mendunia.  Namun, tidak populer bukan berarti tidak menarik. Banyak hal menarik di Kupang (Pulau Timor) yang menarik untuk dikunjungi. Berikut delapan alasan untuk mengunjungi Kupang.

Pantai Tablolong

1. Pantai Tablolong
Kota Kupang berada di sebuah teluk. Tak heran kalau kota ini memiliki banyak pantai cantik. Salah satu pantai yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Kupang adalah Pantai Tablolong. Pantai ini terletak di Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Dari Kota Kupang jaraknya sekitar 30 km atau sekitar 45 menit berkendara. Pantai Tablolong berpasir putih bersih dengan air laut hijau kebiruan. Kontur pantainya landai dan ombaknya tak begitu besar sehingga aman untuk berenang atau sekedar bermain air. Pasir pantainya juga cukup luas sehingga nyaman untuk berjemur. Asyiknya lagi, Pantai Tablolong masih alami. Tak ada bangunan hotel, kafe maupun restoran di pinggir pantai. Pedagang asongan pun tak ada. Yang ada hanyalah beberapa lopo-lopo (gazebo dalam bahasa setempat) dan toilet yang dibangun pemerintah setempat untuk kenyamanan pengunjung.

Kolam air berwarna biru jernih di dalam Gua Kristal

2. Gua Kristal
Tak jauh dari pusat Kota Kupang terdapat sebuah gua yang unik. Gua Kristal namanya. Gua ini terletak di Desa Bolok, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Jaraknya hanya sekitar 13 km dari Kota Kupang atau sekitar 30 menit berkendara. Kalau gua kebanyakan bentuknya hanya berupa lubang memanjang horizontal di dalam tanah, Gua Kristal berbeda. Gua ini berbentuk semi vertikal karena hanya beberapa meter dari pintu masuk gua, posisi gua berubah menurun terjal dengan lantai gua tertutup batu-batu besar. Selain itu, Gua Kristal juga mempunyai keistimewaan lain berupa kolam dengan air sangat jernih di dasar gua. Meski dari kejauhan, dasar kolam kelihatan dengan jelas, saking beningnya air kolam. Kolam ini akan terlihat biru berkilauan seperti kristal ketika terkena sinar matahari sehingga dinamakan Gua Kristal. Kolam ini bentuknya memanjang dan cukup luas, dengan air berasa payau. Berenang di kolam ini terasa sangat nyaman karena tak ada arus ataupun ombak, dan pastinya Anda terbebas dari teriknya sinar matahari yang membuat kulit gosong.

Bendungan Tilong

3. Bendungan Tilong
Kota Kupang dan Pulau Timor pada umumnya rawan terhadap kekeringan karena kondisi tanah yang berkarang dan curah hujan yang rendah. Karena itu, pemerintah membangun banyak bendungan untuk menampung air. Bendungan terdekat dari Kota Kupang yang menarik untuk dikunjungi adalah Bendungan Tilong. Bendungan ini berada di Desa Noelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Bendungan yang dibangun pada tahun 1995 -2001 memiliki area genangan seluas 192 hektar dengan kapasitas tampung 19 juta meter kubik. Dengan air yang berwarna hijau dan panorama alam sekitar yang indah, menjadikan Bendungan Tilong lokasi asyik untuk disambangi. Bagi pengemar fotografi, Bendungan Tilong juga sangat fotogenik untuk dipotret dari berbagai sudut. Namun, jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman karena di sekitar Bendungan Tilong tak ada satu pun restoran, warung makan atau pedagang asongan. 

Pantai Liman dan Bukit Liman di kejauhan, di Pulau Semau

4. Pulau Semau
Di Teluk Kupang terdapat beberapa pulau kecil yang indah. Salah satu pulau yang layak untuk dikunjungi adalah Pulau Semau. Untuk mencapai Pulau Semau dari Kupang cukup mudah. Anda tinggal naik perahu  motor dari Pelabuhan Tenau yang beroperasi tiap hari dari jam 06.00 pagi sampai jam 06.00 sore. Penyeberangan ke Pelabuhan Hansisi, Pulau Semau memakan waktu 30 - 45 menit tergantung cuaca (angin dan gelombang). Daya tarik utama Pulau Semau adalah pantai-pantainya yang masih perawan dengan pasir putih bersih dan air laut biru jernih. Tiga pantai-pantai terbaik di Semau adalah Pantai Otan, Pantai Uihmake, dan Pantai Bukit Liman. Selain pantai, pesona lain Pulau Semau adalah Gua Letbaun yang berada di Desa Letbaun. Di dalam gua ini terdapat kolam berair biru yang bisa Anda manfaatkan untuk berenang. Air kolam berasa payau karena airnya berasal dari laut.

Air Terjun Oehala

 5. Air Terjun Oehala
Pulau Timor yang berbukit-bukit mempunyai banyak air terjun. Air terjun yang sayang untuk dilewatkan adalah Air Terjun Oehala. Air terjun ini terletak di  Desa Oehala, Kecamatan , Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Jaraknya sekitar 120 km dari Kota Kupang atau 10 km dari Kota Soe, ibu kota Kabupaten TTS. Air Terjun Oehala sangat unik, karena bentuknya bertingkat-tingkat (cascading) dengan total tingkatan ada tujuh tingkat, belum termasuk tingkatan yang kecil. Di bawah tingkatan air terjunnya terbentuk  kolam dengan air yang berwarna hijau toska karena dasar kolam adalah batu-batu kapur yang berwarna putih. Kolam ini biasanya dimanfaatkan pengunjung untuk mandi atau bermain air. Dengan pepohonan rindang yang menaunginya, membuat suasana di sekitar Air Terjun Oehala menjadi sejuk dan asri sehingga membuat pengunjung betah untuk berlama-lama di sana.

Pantai Kolbano
 
6. Pantai Kolbano
Pantai berpasir putih, hitam atau kelabu sudah biasa. Di Pulau Timor terdapat pantai sangat unik dengan hamparan batuan warna-warni di bibir pantainya, yakni Pantai Kolbano. Pantai eksotis ini terletak di Desa Kolbano, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Anda tak akan melihat pasir di Pantai Kolbano kecuali Anda datang saat laut sedang surut.. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan batu warna-warni di pinggir pantai berpadu laut biru muda (turquoise) yang membentang luas. Sesekali terlihat debur ombak berkejaran menjilati tepian pantai yang ditaburi batu aneka warna. Batu kerikil warna-warni memang menjadi ciri khas Pantai Kolbano yang membedakannya dengan pantai yang lain.Uniknya lagi, batu-batu tersebut mempunyai bentuk, ukuran dan warna yang berankea ragam. Ada yang bulat, lonjong, oval, kubus, prisma, dan lain-lain. Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang sebesar kelereng hingga sekepalan tangan orang dewasa. Yang paling menarik adalah warna-warni batuan tersebut. Mulai dari warna-warna standard batuan, hitam, putih, kelabu hingga warna-warna yang cantik seperti merah, merah muda (pink), coklat, peach, jingga dan abu-abu kehijauan. Bahkan ada yang batu yang berwarna gradasi paduan beberapa warna dengan motif mirip marmer.

 
Sapi-sapi merumput di bawah pepohonan eukaliptus di Cagar Alam Gunung Mutis

7. Cagar Alam Gunung Mutis
Tidak semua bagian Pulau Timor gersang dan panas. Bila Anda ingin merasakan dan melihat hutan yang hijau dengan udara yang sejuk, datanglah ke Cagar Alam Gunung Mutis. Secara administratif, Cagar Alam Gunung Mutis berada di wilayah Kecamatan Fatumnasi dan Kecamatan Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) serta Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Ada beberapa pintu masuk menuju cagar alam ini tapi yang paling dekat dan paling mudah dijangkau adalah melalui Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Desa ini jaraknya sekitar 143 km dari Kupang atau 33 km dari Soe, ibu kota Kabupaten TTS. Di Cagar Alam Gunung Mutis Anda bisa melihat tanaman eukaliptus (Eucalyptus Urophylla), bonsai alam, cendana, rotan, dan paku-pakuan. Eukaliptus yang dalam bahasa setempat disebut Ampupu memang vegetasi dominan di Cagar Alam Gunung Mutis. Eukaliptus di sana sudah banyak yang berumur ratusan tahun dengan pohon tinggi menjulang belasan meter. Selain hutan eukaliptus, daya tarik lain Cagar Alam Gunung Mutis adalah Gunung Mutis. Gunung  ini merupakan gunung tertinggi di Pulau Timor dengan ketinggian mencapai 2.427 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai puncak Gunung Mutis, Anda harus mendaki sekitar tiga jam dari Pohong Gunung (pos terakhir tempat memarkir kendaraan). 



8. Sei
Setiap daerah biasanya mempunyai makanan/kue khas yang bisa dijadikan oleh-oleh. Begitu juga dengan Kupang. Kota ini mempunyai beragam makanan lezat yang cocok untuk jadi buah tangan. Salah satunya adalah sei. Sei merupakan olahan daging asap yang berbentuk lembaran tipis. Sei terbuat dari daging sapi atau babi. Sei dikemas dalam plastik vakum dan ditempatkan di freezer dengan keadaan beku. Jika ingin membawa Sei sebagai oleh-oleh, sebaiknya Anda membelinya sehari sebelum keberangkatan karena daging siap saji ini hanya bertahan di suhu ruangan selama tiga hari. Sei sebenarnya adalah makanan khas Pulau Rote (pulau kecil di sebelah barat laut Kupang, Pulau Timor). Kata “sei” berasal dari Bahasa Rote yang artinya daging yang disayat dalam ukuran kecil memanjang, lalu diasapi dengan bara api sampai matang.*



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments