QUTUB MINAR, MENARA KEMENANGAN BERUKIR AYAT SUCI AL QURAN





Puluhan sopir bajaj (rickshaw) menyambut saya dan teman ketika keluar dari Stasiun Metro (kereta api bawah tanah) Qutab Minar. Mereka menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke Qutub Minar yang katanya berjarak 3 km dengan tarif yang seragam, Rs 50,00 (sekitar Rp 10.000,00). Iseng-iseng saya menawar Rs 30,00 kepada salah satu sopir bajaj, tapi dia tidak mau. Kami pun pura-pura tidak butuh dan terus berjalan ke arah jalan raya. Ternyata sopir bajaj tadi mengejar kami dan menurunkan harganya menjadi Rs 40,00. Karena tak tahan dengan udara yang panas dan sinar matahari yang menyengat, saya pun menerima tawarannya. Saat itu, India memang sedang memasuki musim panas. Suhu udara berkisar antara 36 - 38 derajat Celcius, sehingga tidak nyaman untuk berjalan kaki di siang bolong. karena akan membuat kami cepat lelah dan haus. Jadi, cara paling nyaman untuk mencapai Qutub Minar adalah dengan naik bajaj. 

Stasiun Metro Qutub Minar
 
Pilihan kami untuk naik bajaj menuju Qutub Minar ternyata sangat tepat. Pasalnya, perjalanan menuju kompleks situs peninggalan Islam ini melewati jalan rusak dan berdebu. Selain itu, juga tak ada penunjuk arah/rambu-rambu sama sekali. Kalau berjalan kaki, tentu kami akan kebingungan dan harus bertanya ke warga setempat.

Tiba di kompleks Qutub Minar, suasana sangat ramai. Saya dan teman langsung menuju pintu gerbang yang berada di kiri jalan untuk membeli tiket masuk. Anehnya, loket penjualan tiket ternyata berada di seberang jalan, satu kompleks dengan tempat parkir. Alhasil, kami pun harus balik dan menyeberang jalan, menuju loket penjualan tiket.

Tiket masuk kami dapatkan dengan mudah tanpa perlu ngantri karena loket untuk turis asing sedang kosong. Harga tiket untuk turis asing Rs 250,00 (sekitar Rp 50.000,00) per orang, dan untuk turis lokal (India) hanya Rs 20,00. Sebenarnya saya jengkel dengan perbedaan harga tiket yang sangat jauh tersebut, tapi tidak kaget lagi. Hampir semua tempat wisata di India memang memberlakukan diskriminasi tarif masuk yang sangat besar terhadap turis asing. Bahkan di Taj Mahal harga tiket masuknya Rs 750,00 untuk turis asing dan Rs 20,00 untuk turis lokal.

Mughal Garden
 
Setelah mendapat tiket, kami segera masuk ke kompleks Qutub Minar. Sebuah taman asri yang bernama Mughal Garden menyambut kami di sebelah kanan jalan. Nampak beberapa turis lokal duduk-duduk santai di atas rumput hijau taman tersebut. Ada juga anak-anak yang berlarian di sana. Tak jauh dari Taman Mughal, berdiri Masjid Mughal yang mungil. Meski sudah berusia ratusan tahun, masjid yang dibangun pada era Kekaisaran Mughal tersebut masih terlihat bagus dan masih digunakan untuk sholat hingga saat ini. 

Ala'i Darwaza
  
Kami terus berjalan mendekati Qutub Minar tapi kami tidak langsung menuju ke sana. Kami mampir dulu ke sebuah bangunan kecil berbentuk kotak/kubus dengan kubah di atasnya. Bangunan yang berada di sebelah selatan Qutub Minar tersebut bernama Ala’i Darwaza yang tak lain adalah pintu gerbang memasuki area Masjid Quwwat-ul-Islam dan Qutub Minar. Dinding bangunan ini terbuat dari batu bata merah dengan kombinasi batu marmer putih yang dihiasi ukiran bunga, geometris, dan kaligrafi Al Qur’an. Sayangnya ornamen ini sudah banyak yang terkelupas dimakan usia sehingga mengurangi keindahan bangunan tersebut.

Madrasah Alauddin
 
Kami bergerak ke tempat yang lebih tinggi di sebelah barat. Di sana terdapat bangunan Madrasah Alauddin. Bangunan tanpa atap ini tampak eksotis karena dindingnya terbuat dari batu alam yang dibiarkan terbuka tanpa dilapisi semen. Pintu dan lorongnya yang berbentuk melengkung seperti kubah juga membuatnya sedap dipandang mata. Tak heran kalau banyak pengunjung banyak yang memanfaatkan tempat ini untuk berfoto.  

  

Di depan bangunan Madrasah Alauddin ada sebuah taman dengan bunga-bunga dan beberapa pohon peneduh yang rindang. Selain sebagai tempat bersantai, taman ini juga menjadi lokasi strategis untuk mengamati dan memotret Qutub Minar karena dari tempat ini Qutub Minar yang berdiri menjulang setinggi 72,5 meter terlihat dengan jelas tanpa terhalang bangunan lain. Adanya reruntuhan bangunan di sekitarnya, justru semakin menambah eksotisme Qutub Minar yang sudah berusia ratusan tahun.

 

Qutub Minar (Minar : kata yang berasal dar Bahasa Urdu yang berarti menara) merupakan sebuah menara yang terbuat dari batu bata merah dengan ketinggian mencapai 72,5 meter. Menara ini dibangun atas perintah Sultan Qutub-Ud-Din Aibak pada tahun 1193 sebagai tanda kemenangan atas Raja Hindu di Delhi. Qutub Minar dibuat dari batu bata merah dengan bentuk tabung yang semakin mengecil di bagian atasnya. Diameter dasarnya 14,32 meter dan diameter atasnya mengecill menjadi 2,75 meter. Menara bata merah tertinggi di dunia ini terdiri dari lima lantai/tingkat dengan ketinggian yang berbeda-beda. Tiga lantai pertama terbuat dari bata merah seluruhnya sedangkan dua lantai teratasnya terbuat dari bata merah dengan hiasan/aksen batu marmer putih. Setiap lantainya dilengkapi dengan balkon yang melingkar dengan ornamen yang berbeda setiap lantainya, tetapi masih mengadopsi gaya khas Mughal. Dinding luar menara ini dihiasi Kaligrafi ayat suci Al Qur’an yang sangat indah. Sementara itu, di dalam menara terdapat 379 anak tangga untuk mencapai puncak. Dulunya, pengunjung bisa menaiki Qutub Minar hingga puncak. Namun, setelah terjadi kecelakaan di dalam menara yang menewaskan puluhan pengunjung pada tahun 1981, Pemerintah India melarang pengunjung menaiki Qutub Minar menara.  

 

 

Berdiri paling tinggi di antara bangunan-bangunan lain di sekitarnya membuat Qutub Minar sering tersambar petir. Selain itu, menara ini juga pernah diguncang gempa bumi berskala besar beberapa kali. Kejadian tersebut mengakibatkan kerusakan di beberapa bagian Qutub Minar tapi hebatnya Qutub Minar masih tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Hal ini terjadi karena menara ini dibangun di atas fondasi batu yang kuat dan susunan bata merah di menara juga sangat rapat, rapi, dan nyaris tanpa cacat. Dengan berbagai keistimewaan yang dimilikinya, tak heran kalau Qutub Minar dinobatkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites) oleh UNESCO.

 

Tak jauh dari Qutub Minar, tepatnya di sebelah timur laut, berdiri Masjid Quwwat-ul-Islam. Masjid tertua di Delhi ini juga tak kalah unik dengan Qutub Minar. Masjid ini dibangun dengan model terbuka (hanya sisi timur/depan yang diberi dinding) dengan ratusan pilar batu berjajar rapi sebagai tiang penopang masjid. Uniknya, pilar-pilar tersebut dihiasi ukiran bercorak Hindu. Maklum, dulunya masjid ini adalah Kuil Agama Hindu. Ketika Islam masuk ke Delhi, beberapa bagian kuil dihancurkan dan sebagian dipertahankan, termasuk pilar-pilar tersebut.

 

Berjalan ke utara, kami tiba di sebuah bangunan yang terbuat dari bata merah tanpa atap. Di dalam banguna itu terdapat sebuah makam dengan batu nisan terbuat dari batu marmer putih yang tak lain adalah makam Sultan Shamsud-Din Iltutmish, menantu Sultan Qutub-ud-Din Aibak. Yang membuat saya terkagum-kagum, dinding bangunan makam tersebut dihiasi ukiran dengan detil yang rumit dan kaligrafi ayat-ayat Al Quran yang indah. Di dinding sebelah barat makam terdapat sebuah mihrab yang terbuat dari batu marmer putih, beda dengan dinding bangunan lainnya yang terbuat dari bata merah. Menariknya lagi, seluruh bagian mihrab tersebut dihiasi ukiran dan kaligrafi ayat suci Al Quran yang sangat cantik.

 

Di ujung utara Kompleks Qutub Minar terdapat sebuah bangunan yang belum jadi bernama Ala’i Minar. Bangunan setinggi 24,5 meter ini dibangun oleh Ala-ud-Din Khalji pada abad ke-12. Konon, bangunan ini akan dibuat menara dengan tinggi dua kali lipat Qutub Minar. Namun, pembangunan tersebut terhenti karena Ala-ud-Din Khalji meninggal dunia ketika Alai minar mulai dibangun. Alhasil, hanya fondasi menara yang sudah jadi. Andai saja Ala’i Minar selesai dibangun pasti menambah keindahan kompleks Qutub Minar.

Menuju ke sana
Untuk mencapai Qutub Minar, Anda harus terbang ke New Delhi, ibu kota India. Dari Jakarta tidak ada penerbangan langsung ke New Delhi. Biasanya pesawat akan transit dulu di Singapura, Kuala Lumpur atau Bangkok sebelum terbang ke New Delhi. Selanjutnya, dari New Delhi Anda bisa naik taksi menuju Qutub Minar. Kalau ingin lebih hemat, dari pusat Kota New Delhi Anda bisa naik Metro (kereta bawah tanah) jalur kuning (jurusan Huda City Center) dan turun di Stasiun Qutab Minar. Kemudian,naik bajaj hingga tiba di Qutub Minar.

Things to Know

  • Untuk mengunjungi India, Warga Negara Indonesia harus memiliki Visa India. Namun, sekarang sudah ada fasilitas Visa on Arrival yang bisa Anda dapatkan di bandara-bandara Internasional di India, atau kalau mau lebih praktis Anda bisa mengurus Electric Tourist Visa (e-TV) secara on line.
  • Waktu terbaik mengunjungi India adalah dari Bulan November sampai Maret saat India memasuki musim dingin. Saat memasuki musim panas, cuaca di India sangat panas dengan suhu udara bisa mencapai 45 derajat Celcius.
  • Bila Anda mengunjungi India saat musim panas, jangan lupa bawa masker karena kota-kota di India sangat berdebu.
  • Waktu terbaik mengunjung/memotreti Qutub Minar adalah sore hari karena kompleks situs ini akan terkena sinar matahari dari arah barat sehingga Anda bisa mendapatkan pencahayaan yang baik untuk foto Anda.
  •  Qutub Minar merupakan situs peninggalan peradaban Islam. Karena itu, kenakan busana yang sopan dan menutup aurat.
  • Sediakan waktu minimal dua jam untuk menjelajah dan memotret Qutub Minar karena kompleks situs bersejarah ini cukup luas serta mempunyai banyak bangunan eksotis dan fotogenik.***


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

LOVELY ISLAND CALLED LEMBATA



Menikmati semilir angin rumput savana di Bukit Wolor Pass





Saya harus mengetuk-ngetuk pintu terminal kedatangan Bandara Wunopito, Lewoleba untuk masuk ke dalamnya. Gara-gara keasyikan memotret panorama menawan di sekitar bandara, saya terkunci sendirian di luar gedung terminal sementara penumpang lainnya sudah masuk ke dalam gedung terminal sejak tadi. Untunglah, tak lama kemudian seorang petugas keamanan berbaik hati membukakan pintu untuk saya sambil berkata, “Maaf Mas. Saya kira sudah tidak ada penumpang lagi, makanya pintu saya kunci.” Saya pun tersenyum sambil melangkah masuk ke dalam terminal kedatangan yang tak seberapa luas. Baru kali ini saya merasakan terkunci di luar terminal bandara. Rupanya, inilah “kejutan” Selamat Datang ala Lembata bagi saya. Hmmm, sebuah kejutan yang unik.

Bandara Wunopito dengan panorama yang menawan

Lovely Airport
Bandara Wunopito yang merupakan salah satu gerbang masuk Pulau Lembata hanyalah bandara perintis tapi panorama di sekitar bandara juara. Lokasi bandara berada persis di pinggir pantai berpasir putih dengan laut biru bening. Di kejauhan nampak Gunung Ile Boleng yang berdiri gagah di Pulau Adonara.  Dengan landas pacu hanya sepanjang 1.200 meter, bandara ini hanya bisa didarati pesawat jenis Cassa, Cessna, maupun Fokker. Gedung terminalnya sangat mungil, tanpa ada troli maupun conveyor belt. Setiap harinya hanya ada satu pesawat jenis Fokker 50 yang mendarat maupun terbang dari Bandara Wunopito. Tak heran kalau setelah semua penumpang masuk/keluar dari gedung terminal, petugas bandara segera mengunci semua pintu terminal. Kalau ada penumpang yang melipir  seperti saya pasti akan terkunci di luar gedung terminal. Jangan harap ada taksi ataupun bus untuk mencapai pusat kota. Satu-satunya alat transportasi yang ada hanya ojek. Untung pusat kotanya hanya berjarak 3 km dari bandara. Jadi, naik ojek pun nyaman-nyaman saja, seperti yang saya lakukan pagi itu untuk mencapai hotel yang berada tak jauh dari Pelabuhan Lewoleba.

Lembata at a Glance
Kalau Anda belum pernah mendengar nama Pulau Lembata, saya maklum tapi sedih juga. Soalnya pulau ini cukup mungil dan letaknya jauh di belantara Nusa Tenggara Timur, tepatnya  di sebelah timur Pulau Adonara dan di sebelah barat Pulau Pantar. Pada zaman penjajahan Belanda pulau ini dikenal dengan nama Pulau Lomblen. Namun, sejak tanggal 1 Juli 1967 namanya diubah menjadi Lembata. Dulunya Lembata hanyalah sebuah kecamatan dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di Larantuka. Namun, sejak tanggal 7 Maret 1999 Lembata menjadi sebuah kabupaten baru dengan Lewoleba sebagai ibu kotanya. Meski krang terdengar gaungnya di Indonesia, Lembata sangat terkenal ke berbagai penjuru dunia berkat tradisi berburu paus yang dilakukan Warga Desa Lamalera secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu dan masih berlanjut hingga kini. Selain itu, Lembata juga menyimpan berbagai pesona alam yang menarik, mulai dari gunung berapi yang masih aktif, padang savana yang luas, pantai berpasir putih nan perawan hingga alam bawah laut yang menakjubkan. 

Gunung Ile Ape dilihat dari Pantai Wunopito, Lewoleba

Lovely Mountain
Seperti pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Lembata juga mempunyai sebuah gunung berapi yang masih aktif hingga kini, yaitu Gunung Ile Ape. Gunung setinggi 1.450 meter di atas permukaan laut ini terlihat jelas dari berbagai sudut Kota Lewoleba,  membuat saya penasaran untuk mendekatinya. Bukan, bukan untuk mendakinya tapi sekedar melihatnya dari dekat. Sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk mendaki Gunung Ile Ape. Kata teman-teman yang pernah mendaki Gunung Ile Ape, hanya butuh waktu 3 - 4 jam untuk mencapai puncak gunung ini dari desa terdekat. Sejauh ini, ada dua jalur untuk memulai pendakian ke gunung yang juga disebut Lewotolok oleh Warga Lembata ini, yaitu via Desa Jontona di Kecamatan Ile Ape Timur atau via Desa Lewotolok di Kecamatan Ile Ape. Keduanya menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Namun, karena keterbatasan waktu dan tidak ada persiapan pendakian, saya memutuskan untuk tidak mendaki Gunung Ile Ape dalam kunjungan ke Lembata kali ini. Saya hanya mengelilingi gunung ini dan memandanginya dari dekat.  

Rumah-rumah penduduk bertengger di tebing dekat laut di Kawasan Ile Ape

Gunung Ile Ape berada di bagian semenanjung Pulau Lembata yang biasa disebut “Kepala Burung” oleh Warga Lembata. Semenanjung ini terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Ile Ape dan Kecamatan Ile Ape Timur. Semenanjung yang berada di bagian barat laut Pulau Lembata ini sangat menarik karena dikelilingi Teluk Waienga di sebelah timur, Laut Flores di sebelah utara, dan Teluk Lewoleba di sebelah barat. Saya dan teman mengelilingi Semenanjung Kepala Burung berlawanan arah jarum jam, yaitu dari sisi selatan, timur, utara dan barat. Banyak hal menarik yang kami temui saat mengelilingi semenanjung ini. Mulai dari pantai berpasir hitam, pantai berbatu-batu, sumber belerang yang telah mengering, kampung adat dengan rumah-rumah unik, hingga perkampungan penduduk yang bertengger di tebing curam, di pinggir laut. Sepanjang perjalanan tersebut, Gunung Ile Ape berdiri gagah di dekat saya dan puncaknya pun terlihat dengan jelas. Kadang di depan, kadang di sebelah kiri, kadang di sebelah kanan. Dari berbagai sudut, gunung ini terlihat menarik dan sayang untuk tidak dipotret. Tak terhitung berapa kali saya meminta teman saya untuk menghentikan kendaraannya agar saya bisa memotret. Untunglah dia sabar menuruti keinginan saya. Ada satu fakta menarik tentang Kawasan Ile Ape, yaitu  seluruh sumber air di  kawasan ini mengandung belerang karena letaknya berada di dekat gunung api yang masih aktif. Alhasil, warga pun harus membeli air minum untuk keperluan memasak sehari-hari.

Lovely Hills
Kontur Pulau Lembata sebagian besar berbukit-bukit. Menariknya lagi bukit-bukit tersebut ditumbuhi rerumputan dan semak-semak membentuk savana yang luas. Ada dua bukit yang harus kita datangi saat mengunjungi Lembata, yakni Bukit Wolor Pass dan Bukit Doa Watomiten. Kedua bukit tersebut letaknya berdekatan, tepatnya berada di Desa Bour, Kecamatan Nagawutung. Di hari kedua kunjungan saya di Lembata, saya dan teman menyambangi kedua bukit tersebut.

Bukit, savana, dan laut biru dilihat dari Bukit Wolor Pass

Bukit pertama yang kami jumpai dalam perjalanan dari Kota Lewoleba adalah Bukit Wolor Pass. Bukit yang berjarak sekitar 15 km dari Lewoleba ini berada persis di pinggir jalan raya yang menuju Kecamatan Nagawutung. Jadi, kita tak akan kesulitan menemukannya walaupun tak ada satu pun rambu-rambu atau petunjuk arah yang menunjukkan jalan ke Bukit Wolor Pass. Di bukit ini sudah dibuat semacam pelataran untuk memudahkan pengunjung melihat pemandangan sekitar. Ada juga beberapa lopo-lopo (gazebo) yang bisa kita manfaatkan untuk berlindung dari teriknya matahari Lembata. Pemandangan dari bukit ini tak perlu ditanyakan lagi. Mulai dari bukit-bukit yang tinggi menjulang, savana luas membentang, pantai berpasir putih dengan laut biru jernih, hingga Gunung Ile Boleng yang tinggi menjulang di Pulau Adonara. Saya sampai tak bisa berkata-kata dibombardir panorama menakjubkan di sekeliling saya. Yang bisa saya lakukan hanya bersyukur dan mengabadikan panorama menawan tersebut dengan kamera kesayangan saya.

 
Patung Bunda Maria Segala Bangsa di puncak Bukit Doa Watomiten

Sekitar 4 km di sebelah barat Bukit Wolor Pass terdapat Bukit Doa Watomiten. Namun, tidak seperti Bukit Wolor Pass, untuk mencapai puncak bukit ini kita butuh perjuangan. Kita harus berjalan mendaki sekitar 1 km karena jalan menuju puncak bukit masih berupa jalan tanah berbatu yang tak memungkinkan kendaraan melewatinya. Bukit Doa Watomiten merupakan kawasan wisata rohani dan tempat ziarah bagi umat Kristiani. Di kawasan bukit ini telah dibangun 14 pos (stasi) lengkap dengan patung-patung untuk prosesi Jalan Salib. Pos-pos tersebut melambangkan kesengsaraan Yesus mulai dari penangkapan, penyiksaan, penyaliban sampai pemakaman. Di puncak bukit terdapat Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi tujuh meter. Pada saat kedatangan saya, Kawasan Bukit Doa Watomiten belum sepenuhnya jadi. Nantinya akan dibangun seribu patung yang juga mencerminkan wisata rohani di dasar laut tak jauh dari bukit tersebut. Pembangunan seribu patung tersebut sudah dimulai dari sekarang dan diharapkan selesai pada tahun 2019.

Pantai Waijarang saat sedang surut
 
Lovely Beaches
Lembata merupakan sebuah pulau kecil sehingga kita bisa menemukan pantai di mana-mana. Menariknya lagi, selain cantik pantai-pantai di Lembata juga masih perawan, belum “dirusak” oleh berbagai bangunan komersial seperti hotel, kafe maupun restoran. Pantai pertama di Lembata (selain pantai di dalam kota) yang saya dan teman kunjungi adalah Pantai Waijarang. Pantai ini terletak di Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan dan berjarak sekitar 14 km dari Lewoleba. Pantai Waijarang berpasir putih dengan air laut biru jernih. Garis pantainya cukup panjang dan kontur pantainya landai sehingga aman untuk berenang ataupun bermain air. Dari pantai ini, Gunung Ile Boleng yang berada di Pulau Adonara terlihat dengan jelas. Pantai Waijarang juga sudah dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti : lopo-lopo, toilet dan tempat parkir yang cukup luas. Tak heran kalau pantai ini selalu ramai dikunjungi Warga Lewoleba di akhir pekan dan hari-hari libur.

Pantai Mingar yang cantik dan masih alami

Dari Pantai Waijarang kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Mingar. Pantai ini berada di ujung barat daya Pulau Lembata, tepatnya di Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung. Jaraknya sekitar 35 km dari Lewoleba. Perjalanan ke Pantai Mingar sangat menantang karena jalan menuju pantai ini sebagian besar rusak parah. Di beberapa tempat  aspal jalan sudah hilang sama sekali tinggal menyisakan jalan tanah berbatu-batu besar. Parahnya lagi, kami juga harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Untungnya Lembata sedang memasuki musim kemarau sehingga debit air di sungai cukup kecil. Namun, segala perjuangan kami untuk mencapai Pantai Mingar terbayar lunas begitu kami tiba di sana. Pantai berpasir putih bersih dengan air laut biru muda menyambut kedatangan kami. Garis pantainya sangat panjang dan hamparan pasir putihnya sangat luas. Di ujung barat nampak Tanjung Naga dan Pulau Suwanggi yang mungil di seberangnya. Yang perlu diperhatikan, ombak di Pantai Mingar cukup besar karena pantai ini menghadap ke Laut Sawu. Pada musim-musim tertentu, ombak di pantai ini sangat besar sehingga cocok untuk olahraga selancar (surfing). Saat itulah, turis-turis dari berbagai negara mendatangi Pantai Mingar untuk berselancar di sana.  

Sunset menakjubkan di Pelabuhan Lewoleba


Lovely Sunset
Salah satu kegiatan yang tak pernah saya lewatkan jika sedang berada di pulau kecil yang dikelilingi banyak pantai adalah melihat panorama matahari terbenam (sunset). Asyiknya, ada banyak tempat menarik untuk melihat detik-detik tenggelamnya sang surya di Lembata. Salah satunya adalah di Pelabuhan Lewoleba. Di kompleks pelabuhan ini, tepatnya di bagian timur telah dibangun beberapa lopo-lopo dan dermaga yang menjorok ke tengah laut. Tempat ini biasanya dipadati warga setempat di sore hari menjelang matahari terbenam, tak terkecuali sore itu. Ada yang berenang, ada yang duduk-duduk di dermaga, dan ada pula yang membawa kamera dan tripod untuk mengabadikan sunset seperti saya. Matahari terbenam di Pelabuhan Lewoleba memang menakjubkan karena kita tidak hanya melihat matahari dan laut. Dari tempat ini, kita akan melihat bulatan bola matahari berwarna jingga perlahan-lahan tenggelam ke cakrawala memendarkan warna kuning keemasan di lautan. Panorama ini dipercantik dengan kehadiran Gunung Ile Boleng yang berdiri menjulang, kapal yang berjajar di dermaga dan aktivitas warga setempat. Saya pun tak henti-hentinya menekan tombol rana kamera untuk mengabadikan panorama menawan tersebut.



How to Get There
Untuk mencapai Pulau Lembata Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Kemudian lanjut naik pesawat menuju Lewoleba. Bila Anda punya banyak waktu longgar, Anda juga bisa naik kapal fery dari Kupang menuju Larantuka  yang memakan waktu sekitar 15 jam. Dari Larantuka, Anda bisa naik kapal cepat (dua jam) atau fery (4 jam) menuju Lewoleba. Sayangnya ferry ini hanya berangkat seminggu 3 kali dari Kupang, yaitu Hari Selasa, Kamis dan Minggu.(Edyra)***

Where to Stay
Hotel Rejeki
Jl. Trans Lembata, Lewoleba
Telp. : (0383) 41028
Tarif : Mulai Rp 100.000,00

Hotel Olympic
Jl. Trans Lembata, Lewoleba
Tarif : Mulai Rp 250.000,00

New An Nisa Beach Hotel & Restaurant (satu-satunya hotel di pinggir pantai di Lewoleba)
Jl. SGB Bungsu, Lewoleba
Telp : (0383) 41052
Tarif : Mulai Rp 100.000,00


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments