MENJADI TOM HANKS DI SUVARNABHUMI AIRPORT

Suvarnabhumi Airport yang cantik dan artistik

Ada pameo yang beredar di kalangan backpacker, yaitu : “Anda belum layak disebut backpacker sejati, kalau belum pernah menginap di bandara, stasiun ataupun terminal.” Dulunya saya tidak mempercayai pameo tersebut. Nggak kebayang deh, kalau harus menginap di tempat-tempat keramaian yang biasanya tidak aman tersebut. Menginap di bandara mungkin masih mending (bila terpaksa). Secara, bandara biasanya bersih, luas, dan relatif aman. Namun, kayaknya nggak mungkin banget menginap di terminal bus ataupun stasiun kereta api yang ramai, bising, tidak bersih dan tidak aman. Apalagi kebanyakan terminal bus dan stasiun kereta api di Indonesia sangat rawan penodongan atau penjambretan. Membayangkan saja saya ngeri, apalagi kalau mengalaminya. Kalau disuruh memilih sih, mendingan nggak usah deh menginap di ketiga tempat tersebut.

Foto dulu ah!

Nggak disangka-sangka, saya harus mengalami juga kejadian menginap di bandara. Tepatnya, di Suvarnabhumi Airport, Bangkok, Thailand. Saya terpaksa menginap di Suvarnabhumi Airport untuk menghindari tragedi ketinggalan pesawat lagi karena urusannya bakal panjang dan ribet. Secara, saya pernah ketinggalan pesawat di Kuala Lumpur, waktu mau terbang ke Hanoi. Tiket pesawat hangus dan saya harus membeli tiket baru dengan harga yang super mahal untuk bisa ikut penerbangan berikutnya. Itu pun kalau masih ada kursi kosong. Selain itu juga untuk menghemat biaya hotel dan transportasi Suvarnabhumi Airport-Bangkok pulang pergi. Soalnya jadwal penerbangan saya berikutnya (Bangkok-Denpasar) pagi banget, yaitu jam 06.15. Tahu sendiri kan, untuk penerbangan internasional kita diharuskan check in dua jam sebelum waktu keberangkatan. Artinya jam 04.15 pagi buta, saya harus sudah berada di Suvarnabhumi Airport yang jaraknya jauh banget dari Bangkok, sekitar 25 km atau 1 jam berkendara. Sementara mencari taxi pagi-pagi buta di Bangkok juga rada-rada susah. Apalagi kalau kita nggak bisa berbahasa Thailand. Sopir taxi biasanya males mengantar kita. Jadi, untuk mencegah kejadian nggak asyik tersebut, saya pilih amannya saja, menginap di bandara. Saya berencana menginap di mushola bandara, seperti yang dilakukan oleh teman saya tahun kemarin. Masa backpacker nggak pernah menginap di bandara?

Pengalaman pertama menginap di bandara, ternyata nggak sedih-sedih amat. Nggak sengeri yang saya bayangkan. Sebaliknya, saya menjumpai hal-hal seru dan menarik. Karena pesawat yang membawa saya dari Hanoi mendarat di Suvarnabhumi Airport siang hari, saya punya banyak waktu untuk menjelajahi Suvarnabhumi Airport yang besar, luas dan megah. Luas bangunan terminal aja mencapai meter persegi. Terminal bandara terdiri dari 4 lantai, dengan peruntukan sebagai berikut : lantai 1 (dasar) untuk halte bus dan taxi; lantai 2 untuk kedatangan (arrivals) baik domestik maupun internasional; lantai 3 untuk pertokoan, restoran, money changer, tempat pijat dan spa, serta kantor perwakilan maskapai; dan lantai 4 untuk keberangkatan (departures) baik domestik maupun internasional. Asyiknya lagi, terdapat taman bunga yang indah dan cukup luas di sebelah timur terminal bandara. Kalau Anda sudah bosan dan suntuk berada di dalam terminal bandara, anda bisa keluar terminal dan lari ke taman untuk menyegarkan mata anda. Jadi, Anda nggak perlu khawatir bila terpaksa harus transit (lumayan lama) di Suvarnabhumi Airport. Dijamin nggak bakal bosan, deh.

Tempat penitipan barang (left baggage) di Suvarnabhumi Airport


Penjelajahan di Suvarnabhumi Airport saya mulai dari lantai 2 (terminal kedatangan). Setelah urusan bagasi dan imigrasi beres, saya segera menitipkan ransel saya yang segede gabon (waktu ditimbang, beratnya mencapai 13,7 kg) di tempat penitipan barang (left baggage) yang terletak di lantai 3, tepatnya di dekat Gate 2. Sebagai informasi, anda bisa menitipkan tas, koper ataupun ransel anda di left baggage, dengan biaya THB 100 (sekitar Rp 29.000,00) per item, per 24 jam. Bila lebih dari 24 jam, anda akan dikenakan biaya THB 50 (sekitar Rp 14.500,00) per ítem, per 12 jam. Nggak menguras kantong kan? Hanya dengan THB 100, Anda bisa jalan-jalan dengan santai tanpa harus repot-repot dan susah payah menggendong tas yang berat.

Setelah beres urusan tas, saya segera mencari makan siang. Perut sudah keroncongan karena tadi pagi nggak sempat sarapan. Gimana mau sarapan? Jam 06.00 pagi saya harus berangkat ke Noi Bai International Airport, Hanoi, Vietnam. Yang ada, saya hanya sempat makan beberapa potong biskuit dan sekotak susu kemasan. Mau beli nasi di pesawat, nggak ada (padahal biasanya ada). Saat itu hanya tersedia sandwich, burger,dan hotdog. Males banget deh, pagi-pagi makan burger atau hotdog. Untungnya Bandara Suvarnabhumi sangat ramah terhadap backpacker. Restoran dengan berbagai macam pilihan harga, dari yang murah sampai yang mewah semuanya ada. Minimarket (convenient store) seperti Seven Eleven dan Family Mart pun ada. Setelah keliling lantai 3 bandara, akhirnya saya menemukan kios makanan yang sesuai selera (terdapat menu nasi) dan harganya cukup bersahabat dengan kantong. Nama kiosnya The Miracle Food Village.” Makanan yang dijual di resto tersebut, cukup beragam dan asyiknya lagi bersertifikat halal, antara lain : nasi ayam, nasi goreng kepiting, nasi briyani ayam, mi goreng ayam, burger, sandwich, hotdog, dan spaghetti. Saya pun membeli nasi goreng kepiting (crab fried rice) di kios makanan tersebut. Di Indonesia saya belum pernah menjumpai menu tersebut. Ternyata rasanya cukup yummy, kok.

Mushola di Suvarnabhumi Airport, terletak di lantai 3

Selesai makan siang, saya segera mencari mushola untuk menunaikan sholat zuhur. Untungnya, letak mushola nggak jauh dari tempat saya makan. Salut banget deh, dengan Pemerintah Thailand yang sangat memperhatikan fasilitas umum dan menghormati semua agama. Walaupun Thailand bukan negara muslim (mayoritas penduduk Thailand beragama Budha), pemerintah menyediakan sebuah mushola di Suvarnabhumi Airport. Letaknya, di lantai 3 dekat Gate 7. Selesai sholat, saya lanjutkan jalan-jalan keliling bandara. Saya sangat menikmati “terdampar” di Suvarnabhumi Airport. Saya jelajahi semua sudut bandara, dari lantai 1 sampai lantai 4. Window shopping dari satu toko ke toko lainnya. Selain itu, saya juga bisa membaca buku dan majalah di beberapa toko buku yang ada di sana. Bosan di dalam terminal bandara, saya jalan-jalan di taman bunga untuk menyegarkan mata. Di sebelah timur terminal, terdapat taman bunga yang cukup luas dan indah. Lumayan untuk mengobati mata yang capek setelah melihat hiruk-pikuk orang di dalam terminal bandara.

Saya berasa jadi Tom Hanks di film “THE TERMINAL”. Saya nggak pernah menyangka akan mengalami kejadian seperti yang dialami Viktor Navorski (Tom Hanks) di film tersebut. The Terminal bercerita mengenai Viktor Navorski (yang diperankan Tom Hanks) yang terjebak di Terminal Bandara Internasional John F. Kennedy, New York, setelah dia tidak diperbolehkan memasuki Amerika Serikat dan pada waktu yang sama tidak dapat kembali ke negara asalnya karena revolusi sedang berlangsung. Sayangnya saya nggak ketemu Catherine Zeta-Jones (pasangannya Tom Hanks di film The Terminal) tuh, di Suvarnabhumi Airport.

Taman Bunga yang indah di Suvarnabhumi Airport

Malam hari, perut sudah minta diisi lagi. Saya pun membeli makan malam di kios makanan yang sama dengan tadi siang, yaitu “The Miracle Food Village.” Namun kali ini, saya pilih menu yang beda, yaitu nasi ayam dan telor (Chicken Rice). Setelah makan malam, saya kembali ke mushola untuk menunaikan Sholat Isya. Selepas Sholat Isya, saya duduk-duduk sambil membaca majalah di dalam mushola. Sebenarnya sih, sudah pengen merebahkan diri di karpet mushola. Secara, tadi pagi saya bangun pagi-pagi banget agar tidak ketinggalan pesawat Hanoi-Bangkok. Setelah mendarat di Suvarnabhumi Airport, saya langsung jalan-jalan keliling bandara yang sangat luas. Jadinya belum sempet istirahat. Makanya jam 09.00 malam, mata saya udah ngantuk banget. Namun, sebisa mungkin saya nggak tidur dulu. Soalnya di mushola masih banyak orang yang beribadah.

Interior mushola di Suvarnabhumi Airport

Setelah lewat jam 10.00 malam, mushola mulai sepi. Di dalam mushola hanya ada saya dan seorang bule yang sudah tidur dengan nyenyaknya sejak tadi. Saya pun mulai merebahkan diri di atas karpet, di sudut mushola. Tentunya dengan memakai bantal leher Air Asia kesayangan saya. Namun, saya nggak bisa langsung terlelap. Semakin malam, AC mushola terasa semakin dingin. Saya pun mulai memakai sarung tangan dan kain sarung untuk selimut. Saya mencari-cari kaos kaki di dalam tas, nggak ketemu juga. Rupanya kaos kaki saya berada di tas ransel yang saya titipkan di left baggage. Terpaksa deh, tidur meringkuk kedinginan.

Semula saya mengira hanya saya yang akan menginap di mushola. Ternyata, semakin malam semakin banyak orang yang tidur di dalam musola. Sialnya di dekat saya, ada seorang bapak-bapak yang ngoroknya sangat stereo alias keras banget. Jadi makin susah tidur, deh. Di luar mushola juga banyak banget orang yang bermalam, terutama turis-turis backpacker. Mereka bergeletakan di sembarang tempat. Ada yang rebahan di kursi, tidur sambil duduk, ataupun tidur di lantai beralaskan kain. Saya jadi merasa lebih beruntung dari mereka. Sementara yang lain tidur kedinginan dengan posisi yang nggak nyaman, saya bisa tidur dengan nyaman di dalam mushola. Berarti, saya sudah menjadi backpacker sejati, nih. (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

KENA CEKAL DI IMIGRASI BANDARA NGURAH RAI

Paspor, Boarding Pass, dan Kartu Imigrasi

Senangnya bisa liburan keluar negeri lagi. Apalagi tujuan liburan kali ini adalah Ha Long Bay, Vietnam (dengan mampir dulu di Bangkok). Destinasi wisata yang sudah saya impikan sejak lama. Pada tahun 2008, saya sudah berniat pergi ke Ha Long Bay, bahkan saya sudah membeli tiket pesawat Kuala Lumpur-Hanoi. Namun, saya tidak jadi terbang ke Hanoi gara-gara ketinggalan pesawat. Tiket pesawat seharga MYR 274,50 (sekitar Rp 856.000,00) pun melayang sia-sia. (Sebel banget deh, kalau ingat kejadian itu). Makanya kali ini saya tidak mau ketinggalan pesawat lagi. Saya berangkat ke Bandara Ngurah Rai, Bali lebih awal, yaitu pukul 09.45 WITA (padahal jadwal keberangkatan pesawat pukul 11.55 WITA), agar lebih tenang dan tidak perlu ngantri lama untuk check in. Kali ini, saya akan terbang langsung ke Bangkok dengan Air Asia (maskapai andalan para backpacker). Saya beruntung banget bisa mendapatkan tiket Denpasar-Bangkok-Denpasar dengan harga promo Rp 355.000,00 (tarif dasarnya Rp 0). Saya membeli tiket tersebut, sudah lama banget, yaitu Mei 2009.

Begitu sampai di bandara, saya langsung menuju check in counter Air Asia yang ternyata antriannya sudah cukup panjang. Selesai check in, saya langsung mengisi Kartu Imigrasi (Departure & Arrival Card) yang dibagikan oleh petugas check in Air Asia, untuk selanjutnya saya serahkan kepada petugas imigrasi. Selanjutnya, saya menuju Unit Pelayanan Fiskal Luar Negeri untuk meminta stempel dan stiker bebas fiskal. Karena sudah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak alias NPWP (warga negara yang baik nih), kalau mau jalan-jalan keluar negeri, saya tidak perlu membayar biaya fiskal yang besarnya mencapai Rp 2.500.000,00 (sejak 1 Januari 2009). Lumayan banget kan! Bisa menghemat biaya jalan-jalan. Setelah mendapat stempel dan stiker bebas fiskal, saya langsung bayar airport tax sebesar Rp 150.000,00. Inilah jeleknya sistem transportasi udara di Indonesia. Harga tiket pesawat belum termasuk airport tax. Padahal di luar negeri, airport tax sudah termasuk tiket pesawat. Jadi kita tidak perlu repot-repot lagi ngantri (yang kadang cukup menyita waktu), untuk bayar airport tax.

Check in sudah, bebas fiskal sudah, dan airport tax pun sudah. Tinggal minta stempel keberangkatan (departure) di counter imigrasi nih. Saya pun langsung menuju ke counter imigrasi, yang untungnya nggak perlu antri karena sedang sepi. Saya segera menyerahkan paspor, kartu imigrasi, dan boarding pass kepada petugas imigrasi. Setelah menggesek paspor saya dan melihat data di komnputer, petugas imigrasi bertanya kepada saya, “Sebelumnya pernah ada masalah nggak dengan paspor?” Saya jawab aja nggak pernah. Selama ini, saya memang nggak pernah mengalami masalah apapun dengan paspor saya. ”Paspor Anda kena cekal,” kata petugas imigrasi. Waduh! Ada apa, nih? Emangnya saya salah apa? Saya kan bukan buronan, koruptor ataupun teroris. Kok, paspor saya bisa kena cekal? Perasaan, beberapa kali saya keluar negeri, fine-fine aja tuh. Tidak ada masalah apapun dengan paspor saya. Saya balik bertanya kepada petugas imigrasi, “Kenapa saya dicekal Pak?” Petugas imigrasi menjawab, “Mungkin nama Anda sama dengan nama seorang yang termasuk dalam Daftar Cekal Imigrasi? Nah, lho. Aneh banget, kan? Masa gara-gara nama saya sama dengan nama seseorang yang termasuk dalam Daftar Cekal Imigrasi, langsung dicekal begitu saja. Emang segampang itu ya, untuk mencekal seseorang?

Saya berusaha tetap tenang walaupun sebenarnya rada-rada panik. Untungnya petugas imigrasi tersebut baik. Dia tetap memberikan stempel keberangkatan di paspor saya, tetapi saya harus minta paraf dulu kepada supervisornya di ruang imigrasi Bandara Ngurah Rai. Dia menelepon supervisornya, kemudian menyuruh saya menuju ruangan supervisornya. Saya langsung menuju ruang imigrasi Bandara Ngurah Rai dan menyerahkan paspor saya ke petugas imigrasi yang ada di sana. Petugas imigrasi itupun bertanya kepada saya, kenapa saya dicekal, mau kemana tujuan saya, dan ada keperluan apa ke sana. Saya jawab aja, kalau saya nggak tahu kenapa tiba-tiba saya bisa kena cekal. Saya jelaskan juga kalau saya mau ke Bangkok untuk jalan-jalan. Kemudian, petugas imigrasi lainnya (mungkin bawahan supervisor tersebut), mengambil paspor saya dan membawanya masuk ke sebuah ruangan. Saya pun menunggu sambil harap-harap cemas.

Beberapa saat kemudian (nggak sampai 10 menit), petugas imigrasi mengembalikan paspor saya lengkap dengan paraf dari petugas imigrasi. Gott sei dank! Akhirnya beres juga paspor saya. Saya senang banget paspor saya nggak jadi dicekal. Padahal, saya sempet khawatir nggak bisa terbang dan batal liburan. Betapa sedih dan malunya saya kalau nggak jadi liburan. Soalnya teman-teman kantor sudah pada tahu kalau saya akan liburan ke Thailand dan Vietnam. Bahkan mereka sudah memesan oleh-oleh segala. Saya pun langsung menuju ruang tunggu keberangkatan (untuk menunggu boarding) dengan lega dan gembira. Jangan sampai terulang lagi deh, kejadian menyebalkan seperti ini. Floating Market (Thailand) dan Ha Long Bay (Vietnam) sudah menunggu nih. (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

SHOLAT JUMAT DI MASJID MIRASUDDEEN BANGKOK

Masjid Mirasuddeen Bangkok, Thailand

Setiap kali jalan-jalan keluar negeri, saya selalu berusaha mencari masjid dan melakukan sholat di dalamnya. Bila memungkinkan, saya ikut sholat berjamaah di masjid tersebut. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Malaysia, memang gampang banget menemukan masjid. Masjid bertebaran di mana-mana, dan biasanya terletak di tempat-tempat strategis. Namun, di negara-negara yang sebagian besar penduduknya non muslim, susah sekali menemukan masjid. Masjid hanya ada beberapa buah (kadang hanya ada sebuah masjid di sebuah kota) dan biasanya letaknya tersembunyi (nyempil) sehingga susah dicari. Makanya saya senang banget kalau bisa menemukan masjid di luar negeri, terutama di negara yang berpenduduk mayoritas non muslim.

Saya sudah melakukan sholat (baik sendirian ataupun berjamaah) di beberapa masjid di luar negeri, antara lain : Masjid Sultan (Singapura), Masjid Negara (Kuala Lumpur, Malaysia), Masjid Kapitan Keling (Penang, Malaysia), Masjid Mirasuddeen (Bangkok, Thailand), dan Masjid Kowloon (Hongkong). Di antara masjid-masjid tersebut, yang paling sering saya kunjungi adalah Masjid Mirasuddeen, Bangkok. Terakhir, saya mengunjungi Masjid Mirasudeen adalah pada hari Jumat, 8 Januari 2010, untuk melakukan sholat jumat di sana. Saya cukup sering mengunjungi masjid ini karena saya pernah berlibur cukup lama di Bangkok (sekitar dua minggu) dan saya sudah tiga kali berkunjung ke Bangkok (Bangkok memang salah satu kota favorit saya). Bahkan, saya kenal dengan salah satu imam masjidnya, yaitu Pak Abdurrahman. Beliau berasal dari Bukit Tinggi Sumatera Barat, tapi sejak kecil sudah tinggal di Bangkok sehingga sudah agak-agak lupa dengan Bahasa Indonesia. Saya cukup sering ngobrol dengan Pak Abdurrahman karena beliau sangat baik dan ramah. Biasanya kami ngobrol setelah selesai sholat berjamaah.

Masjid Mirasudeen terletak di kawasan bisnis yang sibuk di Bangkok, tepatnya di Silom Road, Soi Pradit (Soi 20), Bangkok, Thailand. Soi merupakan jalan kecil/gang di Thailand. Bangunan Masjid Mirasudeen nggak begitu besar, tapi terdiri dari dua lantai. Masjid ini bahkan tidak mempunyai halaman. Walaupun sederhana, Masjid Mirasudden bersih dan terawat. Tempat wudhu untuk laki-laki terletak di sebelah kanan masjid, sedangkan tempat wudhu untuk perempuan terletak di sebelah kiri masjid. Yang unik, tempat wudhu di masjid ini ada tempat duduknya. Jadi, Anda bisa berwudhu sambil duduk. Toilet juga tersedia di sebelah kiri masjid. Toiletnya cukup bersih dan wangi.

Jumat, 8 Januari 2010, di sela-sela acara jalan-jalan saya di Bangkok, saya menyempatkan diri untuk melakukan Sholat Jumat di Masjid Mirasuddeen. Saya ingin merasakan bagaimana rasanya Sholat Jumat di negeri orang, apalagi ini di negara yang mayoritas penduduknya non muslim (Budha). Saya bela-belain berjalan cukup jauh untuk bisa Sholat Jumat di Masjid Mirasuddeen, karena saat itu saya sedang berada di Wat Yannava (Kuil Budha), yang berada di dekat Sungai Chao Phraya. Saya datang ke masjid ini sekitar pukul 12.20 Waktu Bangkok, 10 menit sebelum khotib membacakan khutbah. Saya langsung mengambil air wudhu di sebelah kanan masjid kemudian Sholat Qobliyah Jumat. Sebelum khutbah dimulai, pengurus masjid membacakan beberapa pengumuman dalam Bahasa Inggris. Saya senang sekali mendengarnya. Dalam hati saya berkata, berarti khutbah akan disampaikan dalam Bahasa Inggris,nih. Jadi saya bisa memahami isi khutbah.

Tepat pukul 12.30, muazin mengumandangkan azan. Setelah itu, khotib langsung membacakan khutbah, yang sayangnya dalam Bahasa Thai. Saya jadi heran. Sebagian besar jamaah Sholat Jumat yang hadir di Masjid Mirasudeen adalah para pendatang dari berbagai negara, antara lain dari Arab, Afrika, India, Bangladesh, dan Pakistan. Namun, khutbah dibacakan dalam Bahasa Thai. Alhasil saya jadi ngantuk berat. Saya seperti dininabobokan, mendengarkan khutbah dalam Bahasa Thai. Mendengarkan khutbah dalam Bahasa Indonesia aja kadang bikin saya ngantuk, apalagi dalam Bahasa Thai yang tidak saya mengerti sama sekali. Untunglah khotib nggak berlama-lama membacakan khutbah, kurang lebih hanya 20 menit. Setelah khutbah selesai, langsung dilanjutkan dengan Sholat Jumat berjamaah. Pukul 13.05 Sholat Jumat pun selesai.

Saya sangat bersyukur bisa melakukan Sholat Jumat di Bangkok. Secara, Thailand merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Budha sehingga rada susah menemukan masjid di Bangkok. Makanya, saya senang banget bisa menunaikan Sholat Jumat di Masjid Mirasuddeen, Bangkok. Apalagi, ini merupakan pengalaman pertama saya Sholat Jumat di luar negeri. Jadi, nggak bakal terlupakan deh. (edyra)***
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments