TAK ADA BUAYA DI PULAU BUAYA




Ada banyak pulau bernama Buaya di Indonesia. Baik di Indonesia barat, tengah maupun timur. Namun, yang akan saya ceritakan berikut ini adalah Pulau Buaya yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Kabupaten Alor.  

Perkenalan pertama saya dengan Pulau Buaya berawal dari tayangan acara petualangan (traveling) di televisi beberapa tahun silam. Tayangan tersebut menunjukkan keindahan Pulau Buaya yang dikelilingi pasir putih dan laut biru jernih, yang membuat saya tergoda untuk mengunjunginya. Namun, saya harus memendam keinginan mengunjungi Pulau Buaya karena lokasinya sangat jauh dari Jakarta (tempat saya tinggal waktu itu), yang pastinya butuh waktu dan biaya yang lumayan untuk bisa mengunjunginya.

Hari berganti, waktu berlalu. Seiring dengan kesibukan yang meningkat dan banyak destinasi wisata baru, saya mulai lupa dengan Pulau Buaya. Hingga akhirnya saya mengunjungi Alor. Namun, saat kunjungan pertama ke Alor saya tidak sempat mampir ke Pulau Buaya karena keterbatasan waktu. Akhirnya saya memutuskan bahwa kunjungan ke Alor berikutnya, saya harus mengunjungi Pulau Buaya yang selama ini menjadi impian saya.

 

Pantai Baolang dengan sumber air tawar
Untuk mengunjungi Pulau Buaya, dari Kota Kalabahi saya dan teman naik sepeda motor menuju Pantai Baolang, pantai terdekat dengan Pulau Buaya. Dari pantai ini, kami akan melanjutkan perjalanan dengan perahu motor menuju Pulau Buaya. Pantai Baolang berjarak sekitar 20 km dari pusat Kota Kalabahi atau sekitar 30 menit berkendara. Setiap hari, ada kendaraan umum (angkot) dari Kalabahi menuju Pantai Baolang.

 

Dari Pantai Baolang, Pulau Ternate dan Pulau Buaya terlihat dengan jelas karena jaraknya cukup dekat.  Karena itu, di Pantai Baolang dibangun sebuah dermaga untuk memudahkan perahu dari Pulau Buaya dan Pulau Ternate berlabuh dan bongkar muat barang. Secara visual, tampilan Pantai Baolang kurang menarik. Pantainya berpasir hitam dengan taburan batu kerikil yang menutupinya. Ada juga hutan mangrove di dekatnya. Namun, ada hal unik yang menarik perhatian saya di pantai ini. Tak lain adalah adanya sumber air tawar yang berada persis di pinggir pantai. Awalnya saya tak percaya kalau air yang keluar di antara pasir dan kerikil di tepi Pantai Baolang tawar. Namun, setelah saya mencicipinya ternyata airnya memang tawar dan segar. Mata air di Pantai Baolang ini memang menjadi sumber air andalan bagi pulau Buaya dan Pulau Ternate yang tidak punya sumber air tawar. Setiap pagi dan sore, Warga kedua pulau tersebut akan datang dengan perahu lengkap dengan jerigen untuk mengambil air. Mereka juga biasa mandi di pantai dengan air tawar tersebut. Pagi itu, saya juga melihat seorang pemuda sedang mandi di sumber air tawar tersebut.

 

Menuju Pulau Buaya
Untuk mencapai Pulau Buaya saya menumpang perahu penduduk. Setiap pagi dan sore selalu ada perahu menuju Pulau Buaya dan kembali ke Baolang karena warga mengambil air dari pantai tersebut. Perjalanan perahu dari Pantai Baolang menuju Pulau Buaya cukup singkat. Dalam waktu 15 menit, perahu sudah berlabuh di Pulau Buaya.

Pantai berpasir putih dan laut hijau toska (turquoise) sebening kristal menyambut kedatangan saya dan teman di Pulau Buaya. Di depan pulau, tampak Pulau Ternate yang seperti gunung menyembul di tengah laut. di sebelah barat tampak Pulau Pantar dengan pasir putihnya. Sementara di laut, terlihat beberapa anak sedang berenang dan bermain air dengan riang. Sungguh sambutan yang sangat menyenangkan bagi saya, membuat saya semakin tak sabar untuk menjelajah pulau ini.

 

Disambut Keramahan Warga
Kami segera turun dari perahu dan berjalan menuju perkampungan penduduk yang berada persis di pinggir pantai. Di Pulau Buaya hanya ada satu desa yang lokasinya terpusat di bagian selatan pulau yang menghadap ke Pulau Ternate. Seperti umumnya penduduk pulau kecil, Warga Pulau Buaya juga sangat baik dan ramah kepada pendatang/turis seperti kami. Baru saja kami melangkah menuju kampung, beberapa warga menyapa kami dengan ramah. Bahkan, seorang Bapak bernama Alimudin mengajak kami mampir ke rumahnya. Tentu saja kami tak menolaknya. 

 

Dari obrolan bersama Pak Alimudin dan anak-anaknya, kami mendapat banyak informasi tentang Pulau Buaya. Ternyata penduduk pulau ini cukup padat. Saat ini (2016) jumlah penduduk Pulau Buaya mencapai 1300 orang lebih, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Berbeda dengan penduduk pulau-pulau lain di NTT yang sebagian besar beragama Kristen/Katolik, penduduk Pulau Buaya semuanya beragama Islam. Di pulau ini terdapat sebuah masjid yang menjadi pusat ibadah warga, yaitu Masjid Al Ijtihad.

 

Jelajah Pulau Bersama Anak-Anak
Setelah ngobrol-ngobrol sejenak dengan Pak Alimuddin dan anak-anaknya, saya dan teman berniat menjelajah Pulau Buaya. Tujuan kami adalah Pantai Obi Singa yang berada di bagian selatan (belakang) pulau. Ada dua cara untuk mencapai Pantai Obi Singa yang lokasinya cukup jauh dari Kampung Pulau Buaya, yaitu berjalan kaki atau naik perahu. Kami memilih untuk berjalan kaki agar bisa melihat keindahan  daratan Pulau Buaya.

Dalam perjalanan menuju Pantai Obi Singa, kami ditemani anak-anak Pulau Buaya. Mereka diajak oleh anaknya Pak Alimuddin untuk menemani kami menjelajah Pulau Buaya. Tentunya kami sangat senang karena perjalanan jadi lebih seru dengan canda tawa anak-anak tersebut. Anak-anak Pulau Buaya memang biasa menemani turis/pendatang yang mengunjungi Pulau Buaya. Bila mereka melihat turis berkunjung ke Pulau Buaya, tanpa diminta mereka dengan senang hati akan menemani turis tersebut.



Ternyata lokasi Pantai Obi Singa lumayan jauh dari Kampung Pulau Buaya. Kami harus berjalan melewati perkampungan penduduk, ladang/kebun warga, dan padang rumput (savana) yang cukup luas. Perjalanan cukup menguras tenaga karena saat itu matahari bersinar terik dan tak ada angin bertiup. Selain itu, jalur yang kami lewati juga naik turun dan tak banyak pohon tinggi. Jadi sebentar-sebentar saya berhenti untuk minum agar tidak dehidrasi. 

 

Setelah 30 menit berjalan, akhirnya kami tiba di Pantai Obi Singa. Saya bersorak gembira melihat pantai berpasir putih terbantang luas di hadapan. Debur ombak yang berkejaran dan beningnya air laut yang menyejukkan mata seolah menghapus segala rasa lelah saya. Pantai Obi Singa memang mempesona. Garis pantainya cukup panjang, bibir pantainya dihiasi pasir putih dan bebatuan hasil pecahan karang. Asyiknya lagi, pantai ini masih alami (tanpa ada bangunan apa pun) dan sangat sepi. Saat itu, tak ada pengunjung lain selain rombongan kami.



Puas menikmati keindahan Pantai Obi Singa, kami berjalan ke arah barat menyusuri tepian pantai. Ternyata kami menemukan banyak pantai cantik di sepanjang jalan. Karakter pantainya bermacam-macam, ada yang berpasir putih, ada yang berbatu-batu, ada pulau yang dihiasi tebing-tebing curam. Namun, ada kesamaan pantai-pantai tersebut, yaitu airnya sangat bening dengan warna bergradasi hijau kebiruan. Di sebuah pantai yang dihiasi karang-karang terjal dan sedikit pasir putih, anak-anak berhenti untuk mandi dan bermain air. Saya pun tak melewatkan berenang-renang bersama anak-anak tersebut. Rasanya senang sekali bisa bermain di pantai yang indah bersama anak-anak pulau yang polos dan ceria. 
 
Usai bermain bersama anak-anak di pantai, saya dan teman berniat kembali ke Kampung Pulau Buaya dan selanjutnya menuju Pulau Pantar. Namun, kali ini kami tidak melewati jalan yang sama dengan saat keberangkatan tadi. Anak-anak mengajak kami melewati jalur lain agar kami bisa melihat sisi lain Pulau Buaya, tepatnya bagian moncong pulau. Ternyata jalur yang harus kami lewati cukup jauh. Medannya juga naik turun dan belak-belok sehingga sangat menguras tenaga. Namun kami tak menyesal karena kami jadi lebih tahu suasana Pulau Buaya. Kami juga bisa membuktikan bahwa di Pulau Buaya memang tak ada buaya. Dinamakan Pulau Buaya karena bentuk fisik pulau tersebut memang mirip buaya. Dilihat dari berbagai sudut, pulau ini berbentuk seperti buaya dengan moncongnya berada di sebelah barat.  
 

How to Get There
Pulau Buaya berada di wilayah Kabupaten Alor, NTT. Untuk mencapai pulau ini, dari Jakarta (Jawa) Anda harus terbang dulu ke Kupang, kemudian terbang ke Alor. Dari Kalabahi (ibu kota Kabupaten Alor) lanjutkan perjalanan dengan angkot, ojek atau bisa juga menyewa kendaraan menuju Desa Baolang, desa terdekat untuk menyeberang ke Pulau Buaya. Selanjutnya, Anda bisa ikut perahu penduduk atau menyewa perahu nelayan untuk menyeberang ke Pulau Buaya. Saat cuaca bagus, dalam waktu 15-20 menit Anda akan tiba di Pulau Buaya. (Edyra)***


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

DI BALIK KEINDAHAN PULAU PANGABATANG


Pulau Pangabatang yang mungil dan indah




Pulau Pangabatang adalah sebuah pulau mungil yang terletak di Teluk Maumere, sebelah utara Pulau Flores. Secara administratif, pulau ini masuk ke dalam wilayah Desa Perumaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Pangabatang terkenal akan keindahan pantai dan alam bawah lautnya. Tak heran kalau pulau mungil ini ramai dikunjungi turis di akhir pekan atau hari libur. Apalagi setelah Pulau Pangabatang menjadi lokasi syuting acara jalan-jalan di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Jadi semakin banyak turis yang datang, baik turis lokal maupun turis asing.  Sayangnya, kebanyakan turis hanya menjelajah bagian timur dan selatan pulau yang jauh dari pemukiman penduduk. Memang bagian tersebut sangat indah, karena terdapat sebuah tanjung dengan pasir putih yang memanjang ke tengah laut saat laut surut dengan air laut biru muda (turquoise). Sangat jarang turis yang menyempatkan diri mampir ke perkampungan penduduk yang ada di ujung barat pulau sehingga tidak tahu keadaan yang sesungguhnya Pulau Pangabatang. 

Tanjung pasir putih di ujung timur Pulau Pangabatang
 
Ketika pertama kali mengunjungi Pulau Pangabatang, saya juga seperti turis kebanyakan yang hanya menjelajah bagian timur pulau. Kegiatan yang saya lakukan hanyalah snorkeling dan bermain-main di pantai tanpa mampir ke perkampungan penduduk. Namun, karena saya masih penasaran dan belum puas dengan Pulau Pangabatang ini, saya datang lagi mengunjungi pulau cantik ini satu tahun kemudian. Tak tanggung-tanggung, dalm kunjungan kedua kali ini, saya menginap semalam di sana. Karena di Pangabatang tak ada hotel atau penginapan, saya menginap di rumah penduduk (kenalannya teman), namanya Pak Sartono. Sayangnya saat itu, Pak Sartono sedang melaut sehingga saya tidak bisa bertemu beliau. Namun, istri, anak dan adik Pak Sartono mau menerima kedatangan saya dengan tangan terbuka meski kami belum pernah ketemu/kenal sebelumnya. Bahkan anak dan adik beliau mau menemani saya keliling pulau dan bermain-main di pantai. Tetangga beliau yang tak lain adalah Kepala Dusun Pulau Pangabatang (Pak Ba’ding) juga menemani saya ngobrol-ngobrol di rumah Pak Sartono. Dari mereka, saya mendengar banyak cerita dan fakta menarik sekaligus miris tentang Pulau Pangabatang yang belum diketahui banyak orang. Berikut beberapa fakta tentang Pulau Pangabatang yang mungkin belum Anda ketahui.

Air laut sebening kaca berwarna hijau toska di sebelah barat Pulau Pangabatang
 
Dimiliki Seseorang
Pulau Pangabatang dimiliki oleh seseorang (saya tak bisa menyebutkan namanya) yang tinggal di Maumere. Untungnya pemilik pulau ini adalah Warga Negara Indonesia asli (bukan orang asing) dan beliau baik hati mengizinkan pulaunya ditinggali penduduk tanpa memungut bayaran sepeser pun. Jadi, Warga Pulau Pangabatang stastusnya adalah numpang di pulau tersebut.

Pemukiman penduduk di Pulau Pangabatang tergenang air laut saat pasang
 
Tergenang saat pasang
Pulau Pangabatang memiliki daratan yang luasnya hanya sekitar hektar dengan kontur pulau yang datar. Hanya bagian tengah pulau terdapat bukit batu dengan ketinggian tak sampai 10 meter di atas permukaan laut.  Anehnya, pemukiman penduduk berada di ujung barat pulau yang permukaannya datar dan rendah. Alhasil, saat air laut pasang, pemukiman tersebut akan tergenang air laut dengan ketinggian sampai selutut orang dewasa.

Tidak ada listrik
Sampai dengan tahun 2016, PLN belum masuk ke Pangabatang. Untuk penerangan di malam hari, warga mengandalkan genset yang dimiliki beberapa orang di sana. Listrik tersebut menyala dari jam 18.00 - 22.00 setiap harinya.

Tidak ada sumber air tawar
Seperti kebanyakan pulau kecil lainnya, di Pangabatang juga tidak ada sumber air tawar. Jadi, untuk keperluan makan dan minum, warga Pangabatang harus mengambil air dari daratan Pulau Flores atau mengandalkan air hujan yang ditampung di bak-bak penampungan. Untuk keperluan mandi dan mencuci sehari-hari, penduduk mengambil air dari sumur di pulau yang airnya payau. Ada tiga buah sumur di Pangabatang tapi semua airnya payau.

Tidak punya toilet
Sebagian besar warga Pangabatang belum memiliki kamar mandi dan toilet yang layak. Kamar mandi hanya beruba bilik sederhana tanpa ada toilet. Beberapa rumah yang letaknya persis di bibir pantai memiliki toilet dengan pembuangan langsung di laut. Yang tidak punya toilet, mereka biasa buang air besar di hutan bakau (mangrove) di bagian selatan kampung. Pada kunjungan kedua saya di Pangabatang, di sana sedang dibangun sarana MCK (WC Umum) bantuan dari pemerintah.

Belum ada sekolah
Sampai saat ini, di Pangabatang belum terdapat sekolah “yang sebenarnya”. Di pulau tersebut hanya terdapat satu Sekolah Dasar dari kelas I sampai kelas III. Bagi murid yang naik ke kelas IV harus melanjutkan sekolah di pulau tetangga (Pulau Dambila dan Pulau Perumaan) dan mereka harus menginap di rumah saudara/kerabat di pulau tersebut karena tidak mungkin tiap hari bolak-balik antar pulau karena jaraknya cukup jauh. Anak-anak tersebut biasanya berangkat ke Pulau Dambila/Perumaan Senin pagi dan kembali ke Pangabatang Sabtu siang. Bayangkan! Anak kelas IV SD harus berpisah dari orang tuanya setiap hari dan hanya bisa bertemu orang tua tiap akhir pekan. (Edyra)***


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments