TRAVELING ON A WHEELCHAIR



Siapa pun orangnya, saya yakin tidak ada yang berkeinginan (bahkan sekedar membayangkan) jalan-jalan menggunakan kursi roda, kecuali Anda memang pengguna kursi roda. Begitu juga dengan saya. Tak pernah sedikit pun terbersit di benak saya, bahwa saya akan mengalami kejadian jalan-jalan menggunakan kursi roda. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Tak disangka-sangka, saya terpaksa mengalami kejadian traveling on a wheelchair. Tragisnya lagi, saat itu saya bepergian seorang diri. Sungguh mengenaskan bukan? Kalau ingin tahu lebih, lanjut, cerita lengjkapnya di bawah ini.

Di Hari Minggu yang kelabu, saya berencana balik ke Bali setelah libur di rumah sekitar lima hari. Duh, rasanya males banget melakukan perjalanan di tengah cuaca mendung gini!. Enakan bermalas-malasan di rumah. Entah baca buku, nonton TV/film atau main-main sama keponakan yang lucu. Kalau belum beli tiket pesawat, saya pasti bakal menunda perjalanan.

Karena pesawat saya malam, saya berencana berangkat dari rumah agak siangan. Perjalanan dari rumah saya (di Pati) sampai Surabaya memakan waktu sekitar enam jam. Nah, sebelum berangkat, saya berniat memetik rambutan yang ada di samping rumah. Sejak kemarin, saya sudah tergiur dengan rambutan yang merah membara itu tapi belum bisa memetiknya karena cuaca hujan mendung nggak jelas. Makanya, pagi itu saya berniat memetiknya sekalian buat bekal ke Bali.

Berbekal galah dan kantong plastik, saya segera memanjat pohon rambutan yang berada di samping rumah setelah memasang tangga. Satu per satu, buah rambutan pun berpindah dari pohon ke dalam kantong plastik saya. Karena saat itu rambutannya sedang berbuah lebat dan banyak yang sudah matang, saya bisa memetik rambutan dengan mudah dan cepat. Sesekali, saya mencicipi rambutan yang rasanya sangatmanis tersebut.

Setelah rambutan di cabang utama mulai habis, saya pindah ke cabang yang menjalar di atas genteng rumah. Di cabang tersebut, terlihat banyak rambutan yang sudah merah menggoda. Karena keasyikan memetik rambutan, tanpa sengaja saya menginjak genting yang kayu penyangganya lapuk karena kehujanan beberapa hari terakhir. Bisa ditebak, kayu penyangga genting patah dan saya terjatuh ke tanah dengan sukses meski sempat gelantungan di tangga.

Tetangga yang kebetulan melihat saya jatuh, segera menolong saya. Saya pun segera bangun karena malu dan saat itu badan saya tidak ada yang terasa sakit. Nggak lucu kan, diketawain orang gara-gara jatuh dari pohon rambutan? Untungnya, badan saya tak ada yang terluka (hanya lecet-lecet sedikit) tapi kaki kanan saya seperti terkilir. Pergelangan kaki saya terasa rada ngilu. Saya segera masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan rambutan yang masih berserakan.

Mengetahui saya jatuh, Ibu saya pun khawatir kalau saya keseleo/terkilir. Beliau segera mencari tetangga yang bisa memijat, untuk memijat kaki saya. Dan untungnya, saat itu sang tetangga sedang berada di rumah sehingga saya tak perlu menunggu lama untuk dipijat. Setelah dipijat, kaki saya terasa lebih enak dan saat itu tidak ada tanda-tanda bengkak. Namun, sang pemijat memperingatkan bahwa kemungkinan kai saya akan membengkak.

Karena habis jatuh, ortu dan kakak-kakak meminta saya membatalkan perjalanan hari itu, dan menundanya untuk keesokan harinya. Karena tiket pesawat sudah terlanjur saya beli dan besok saya harus masuk kantor, saya memutuskan untuk tetap berangkat ke Bali hari itu. Sayang juga kalau tiket promo itu hangus. Selain itu, belum tentu saya bisa mendapat tiket murah untuk keesokan harinya.

Setelah mandi dan makan, saya diantar kakak ke halte bus, untuk menunggu bus jurusan Surabaya. Tak perlu menunggu lama, Bus Patas jurusan Surabaya yang saya tunggu datang juga. Saya segera naik bus dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Awalnya, kaki saya tak terasa sakit. Namun, lama-kelamaan, kaki saya mulai terasa sakit dan membengkak. Perjalanan Pati - Surabaya yang memakan waktu lima jam lebih, membuat kaki saya semakin membengkak besar.

Tiba di Terminal Purabaya, Sidoarjo, kaki saya membengkak besar dan saya kesulitan berjalan. Untunglah halte Bus DAMRI jurusan Bandara Juanda, berada di dekat tempat penurunan penumpang bus antar kota antar provinsi yang saya naiki. Dengan pincang dan tertatih-tatih, saya pun berjalan menuju halte Bus DAMRI dan segera naik. Orang-orang pun memperhatikan cara jalan saya yang aneh. Sebenarnya saat itu saya merasa malu diperhatikan banyak orang. Namun, rasa sakit di kaki saya membuat saya melupakan rasa malu tersebut.

Begitu sampai di Bandara Juanda, masih dengan kaki pincang dan tertatih-tatih saya berjalan menuju kounter check in salah satu maskapai pemerintah yang saya naiki. Melihat saya berjalan dengan pincang, salah seorang petugas check in menawari saya untuk memakai kursi roda. Pastinya saya menerima tawaran tersebut. Seumur-umur, saya belum pernah naik kursi roda dan tidak pernah terbersit sedikit pun di benak saya bahwa saya akan mengalami kejadian naik kursi roda. Sebelum mengambilkan kursi roda untuk saya, petugas tersebut meminta saya menandatangani Surat Pernyataan bermaterai yang intinya menyatakan bahwa saya sakit tapi bisa melanjutkan perjalanan dengan pesawat dan tidak akan menuntut ke maskapai bila ada sesuatu terjadi berkaitan dengan penyakit/kaki saya.

Selesai check in, petugas mendorong saya dengan kursi roda ke ruang tunggu keberangkatan yang berada di lantai dua. Kami menggunakan lift untuk menuju lantai dua. Sebenarnya saya malu, didorong pakai kursi roda. Orang yang tak melihat kaki saya, mungkin bertanya-tanya, “Masih muda dan segar bugar, kok naik kursi roda?”  Namun, karena saya memang sudah benar-benar tak bisa berjalan, saya membuang jauh-jauh rasa gengsi dan malu tersebut. 

Saat boarding, saya didahulukan daripada penumpang lain. Karena lokasi pesawat cukup jauh dari ruang tunggu, penumpang harus naik bus terlebih dahulu. Saya yang menggunakan kursi roda, diantar menggunakan mobil khusus sampai ke depan tangga pesawat. Saya merasa seperti orang penting, diantar dengan mobil khusus hingga tiba di depan pesawat. 

 Ketika tiba di Bandara Ngurah Rai, Bali, mobil penjemput dan seorang petugas dari maskapai telah siaga di depan tangga pesawat untuk menjemput saya. Dengan dibantu petugas tersebut, saya naik ke mobil penjemput. Setelah tiba di terminal kedatangan, saya pindah ke kursi roda dan kemudian didorong oleh petugas maskapai hingga tiba di lokasi penjemputan penumpang. Di sana, teman saya sudah siap menjemput saya. 

Saya tak menyangka, pelayanan maskapai pemerintah yang terkenal sering delay ini sangat baik. Tanpa saya minta, mereka menawari saya kursi roda, mendorong kursi roda saya dan mengantar jemput saya dengan mobil khusus sampai di depan pesawat/gedung terminal. Saya benar-benar terkesan dan berterima kasih atas pelayanan maskapai ini yang sangat memuaskan. Semoga traveling on wheelchair ini tidak akan pernah terulang lagi dalam kehidupan saya. (edyra)***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

0 Response to "TRAVELING ON A WHEELCHAIR"

Post a Comment