SEPENGGAL CERITA DARI TANAH RAI HAWU
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
17:21
Setelah tertunda beberapa kali karena berbagai
kendala (sibuk, cuaca buruk, kehabisan tiket pesawat, dan lain-lain), akhirnya
jadi juga saya berkunjung ke Pulau Sabu. Tanggal 8 Januari 2014, bersama rekan
kantor (atasan) saya terbang ke Sabu untuk urusan pekerjaan dengan pesawat Susi
Air. Inilah pengalaman pertama saya terbang dengan pesawat super mungil yang kapasitas
penumpangnya hanya 12 orang. Rasanya, ngeri-ngeri sedap.
Mungkin belum banyak yang mendengar nama Pulau Sabu
selain Warga Nusa Tenggara Timur. Padahal pulau yang letaknya di antara Pulau
Timor dan Pulau Sumba, NTT ini mempunyai banyak nama. Setidaknya, pulau kecil
ini mempunyai empat nama, yaitu Sabu, Sawu, Savu, dan Rai Hawu. Sabu adalah nama
resminya dalam Bahasa Indonesia. Sawu merupakan namanya pada zaman penjajahan
Belanda. Savu merupakan namanya dalam Bahasa Inggris. Sedangkan Rai Hawu
merupakan nama pulau tersebut dalam bahasa setempat (Bahasa Sabu).
Sejak tahun 2010, Pulau Sabu bersama dengan tetangganya,
Pulau Raijua, mendapat otonomi khusus sebagai sebuah kabupaten baru dengan nama
Kabupaten Sabu Raijua. Dulunya, Sabu Raijua hanyalah sebuah kecamatan yang
masuk ke dalam administrasi Kabupaten Kupang, yang ibu kotanya berada di Kupang,
Pulau Timor. Setelah menjadi kabupaten, Sabu Raijua memilih "kota kecil" Seba
sebagai ibu kotanya. Seba yang berada di pinggir pantai ini menjadi gerbang
masuk ke Pulau Sabu karena di kota ini terdapat sebuah pelabuhan dan sebuah
bandara perintis yang hanya bisa didarati pesawat kecil semacam Cessna.
Karena letaknya yang terpencil di tengah lautan, untuk
mencapai Pulau Sabu butuh perjuangan tersendiri. Sarana transportasi untuk
mencapai Sabu ada tiga, yaitu ferry, kapal cepat, dan pesawat. Ferry bisa anda
pilih bila Anda punya banyak waktu karena perjalanannya memakan waktu
sekitar 14 jam (bisa lebih lama, tergantung cuaca) dan jadwal keberangkatan
dari Kupang hanya dua kali seminggu. Kapal cepat menghabiskan waktu sekitar 4
jam tapi jadwalnya juga terbatas, dua kali seminggu. Pilihan lainnya yang paling cepat adalah
dengan pesawat super mini milik maskapai Susi Air (satu-satunya maskapai yang
melayanai penerbangan Kupang-Sabu-Kupang) dengan kapasitas penumpang hanya 12
orang. Karena waktu kami terbatas, jelas kami memilih pesawat untuk mencapai
Sabu. Tiket pesawat kami beli seminggu sebelumnya dengan harga yang lumayan
menguras kantong. Namun, mau tak mau harus kami beli karena tak ada pilihan
lain.
Perjalanan ke Sabu dengan pesawat imut Cessna Grand Caravan 208 memberi
pengalaman tersendiri. Karena terbatasnya tempat, tidak ada pramugara/pramugari
yang ikut terbang di dalam pesawat. Prosedur keselamatan seperti cara memakai
sabuk pengaman dan pelampung dijelaskan oleh kru pesawat di depan tangga masuk pesawat, sesaat sebelum penumpang
naik pesawat. Di dalam pesawat, penumpang duduk dengan formasi 1-2, yaitu 1
penumpang di sebelah kiri dan 2 penumpang di sebelah kanan. Antara ruang kokpit
dan ruang penumpang tidak ada sekat/pemisah sama sekali, sehingga kami bisa
melihat semua aktivitas yang dilakukan pilot dan co pilot. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan indah karena
pesawat terbang rendah. Pantai, laut, dan pulau-pulau kecil terlihat dengan
jelas, menjadi hiburan tersendiri bagi para penumpang. Alhasil, perjalanan Kupang-Sabu
sekitar 1 jam jadi tak terasa.
Kampung Namata
Setelah urusan pekerjaan beres, tiba saatnya untuk
menjelajah Pulau Sabu. Saya beruntung mendapat seorang kenalan yang asli Sabu
dan bersedia menjadi pemandu (guide) saya
selama di Sabu. Jadi, saya terbebas dari urusan tersesat atau kebingungan
menanyakan arah jalan kepada penduduk setempat. How lucky I am! Thanks for Pak Nico!
Mengawali petualangan di Sabu, Pak Nico mengajak
saya ke sebuah desa adat/tradisional yang bernama Kampung Namata. Kampung kecil
ini berada di sebuah bukit yang dikelilingi hutan. Letaknya tak jauh dari Kota
Seba, tapi akses jalan menuju ke sana tidak mudah. Awalnya, kami melewati jalan
beraspal. Kemudian, kami masuk kampung, melewati jalan tanah, tanpa
rambu-rambu/penunjuk arah sama sekali. Selanjutnya, kami harus menyeberangi
sungai kecil yang tidak ada jembatannya. Untunglah, debit air sungai sedang
kecil sehingga kami tak kesulitan menyeberanginya. Setelah melewati sungai,
jalan semakin menanjak karena harus mendaki bukit hingga kami tiba di Kampung
Namata. Kalau tidak ditemani Pak Nico, saya pasti kesulitan menemukan Kampung
Namata.
Kami disambut seorang ibu, ketika tiba di Kampung
Namata. Setelah Pak Nico menjelaskan maksud kedatangan kami, saya disuruh
mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya. Setelah itu, saya bebas keliling
Kampung Namata yang tak seberapa besar.
Ada dua hal yang menarik perhatian saya di Kampung
Namata. Yang pertama adalah sebuah lingkaran besar di tanah lapang dan
batu-batu besar di dekatnya. Yang kedua adalah rumah adat Kampung Namata yang
atapnya menjuntai sampai hampir menyentuh tanah. Menurut penjelasan Pak Nico,
lingkaran itu adalah tempat warga Kampung Namata mengadakan upacara adat.
Sedangkan batu-batu besar tersebut merupakan batu-batu megalitikum yang sudah
berusia ratusan tahun. Rumah adat Kampung Namata dan kampung-kampung adat
lainnya di Sabu bentuknya hampir sama dan disebut Emu Rukoko. Rumah adat ini
bentuknya unik seperti perahu terbalik, dengan atap terbuat dari daun lontar.
Bentuk rumah yang seperti perahu terbalik bukan tanpa alasan. Filosofinya
adalah Warga Sabu merupakan nelayan yang biasa menggunakan perahu saat
menangkap ikan di laut.
Cium Hidung ala Sabu (Hengedo)
Ada satu budaya/tradisi unik yang tidak bisa
dijumpai di belahan dunia mana pun selain di Pulau Sabu, yaitu budaya cium
hidung yang dalam Bahasa Sabu disebut Hengedo. Cium hidung ini dilakukan oleh
dua orang Suku Sabu, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara saling
menggesekkan ujung hidung selama sekitar 3 detik. Awalnya saya sedikit heran melihat
Pak Nico menggesekkan hidung dengan seorang ibu yang menyambut kedatangan kami di
Kampung Namata. Ternyata itu adalah cium hidung ala Sabu. Cium hidung ini akan
dilakulkan oleh dua Orang Sabu yang bertemu di mana pun, untuk menunjukkan rasa
persaudaraan. Selain itu, cium hidung juga bermakna sebagai tanda perdamaian. Bila
ada dua orang berselisih, dan kemudian berciuman hidung maka masalahnya
dianggap selesai. Budaya yang unik memang. Belakangan, saat berada di Kupang (sepulang dari Sabu), saya sering melihat budaya cium hidung tersebut. Saat di
mal, bank, toko buku, dan tempat-tempat umum lainnya, secara tak sengaja saya
melihat dua orang saling menggesekkan ujung hidungnya. Saya jadi tidak heran
lagi melihatnya dan saya jadi bisa menebak bahwa dua orang tersebut berasal
dari Sabu.
Bukit Lede Pemulu
Dari Kampung Namata, Pak Nico membawa saya masuk ke
tengah Pulau Sabu, menuju salah satu titik tertinggi pulau ini. Kami melewati
jalan utama yang membelah Pulau Sabu tapi kondisi jalannya sebagian besar sangat
buruk. Jalan aspal yang cukup mulus hanya kami jumpai di dalam kota. Begitu
keluar kota jalan mulai rusak, aspal jalan mulai terkelupas di sana-sini. Di
beberapa ruas jalan, aspal sudah hilang sama sekali menyisakan jalan tanah berbatu-batu
besar. Kelihaian dalam mengendarai sepeda motor, jelas sangat diperlukan di
medan seperti ini.
Anehnya, kondisi jalan tak sepenuhnya rusak.
Sebagian ruas jalan bagus, sebagian rusak parah kemudian jalan bagus lagi. Di
beberapa tempat, kami melihat jalan sedang diperbaiki. Nampak aspal dan
alat-alat berat di pinggir jalan. Mendekati tujuan kami, Bukit Lede Pemulu, kondisi
jalan kembali bagus, dengan aspal jalan yang cukup mulus.
Saya terkesima begitu tiba di puncak Bukit Lede Pemulu.
Panorama menawan Pulau Sabu, terbentang 360 derajat di sekeliling saya. Mulai
dari bukit-bukit hijau, telaga kecil dengan puluhan kerbau, pantai selatan
Pulau Sabu yang berpasir putih, dan laut biru yang mengelilingi Pulau Sabu. Memotret
dari sudut manapun, Anda akan mendapatkan foto yang menawan. Bukit Lede Pemulu,
merupakan sebuah bukit yang berada di perbatasan Desa Loborai dan Desa Mehona,
Kecamatan Sabu Liae. Bukit ini merupakan salah satu titik tertinggi di Pulau
Sabu, yang ditandai dengan adanya sebuah menara Built Transmission System (BTS) salah satu operator provider GSM terkemuka di
Indonesia.
Pantai Napae
Ketika matahari mulai condong ke barat, Pak Nico
mengajak saya kembali ke Kota Seba untuk menyambangi Pantai Napae. Saya yang
penggemar berat pantai, langsung mengiyakan ajakan Pak Nico. Sejak tadi pagi,
saya memang penasaran dengan pantai-pantai yang ada di Sabu.
Pantai Napae berada di dalam Kota Seba, tepatnya di
sebelah barat Pelabuhan Seba. Sebenarnya ada akses jalan khusus menuju Pantai
Napae tapi kami memilih akses jalan dari Pelabuhan Seba karena jaraknya cukup
dekat, hanya sekitar 300 meter. Selain itu, kami juga ingin melihat matahari
terbenam (sunset) dari Dermaga Seba
setelah mencumbui Pantai Seba.
Pantai Napae merupakan salah satu pantai kebanggaan
Warga Sabu (Seba khususnya), karena pantainya cukup indah dan letaknya masih di
dalam Kota Seba. Pantai ini cukup bersih, dengan
pasir berwarna putih kecoklatan dan laut biru jernih. Kontur Pantai Napae juga
landai dan ombaknya tidak begitu besar sehingga aman untuk berenang ataupun
bermain-main pasir. Di pantai ini sudah dibangun beberapa lopo-lopo (sebutan
masyarakat setempat untuk gazebo), dengan bentuk bangunan yang unik, mengadopsi
rumah adat Sabu (Emu Rukoko). Namun, meski letaknya di kota, pantai ini sangat
sepi. Sore itu, kami hanya melihat empat orang anak kecil yang sedang asyik bermain
di pantai. Turis merupakan barang langka di pantai ini.
Sunset di Dermaga Seba
Menjelang senja, kami kembali ke Pelabuhan Seba
untuk melihat sunset. Suasana di Pelabuhan
Seba lumayan ramai sore itu. Banyak Warga Sabu yang datang ke area pelabuhan,
baik untuk sekedar nongkrong maupun mandi/berenang di pantai. Aktivitas bongkar
muat barang di dermaga juga masih berlangsung. Sementara Pak Nico
ngobrol-ngobrol dengan temannya, saya mencari spot yang tepat untuk memotret sunset.
Dermaga Seba yang menjorok panjang ke arah barat laut, menjadikan lokasi ini tempat yang
tepat untuk memotret sunset. Dari dermaga
ini, matahari akan terlihat terbenam ke Laut Sabu dengan latar belakang Pulau
Raijua yang tampak samar-samar di kejauhan. Sore itu saya sangat beruntung,
karena langit bersih tanpa awan sehingga saya bisa menyaksikan detik-detik matahari
tenggelam dengan sempurna.
Sunset indah dari Dermaga Seba
Pantai Bo’do
Keesokan harinya, saya mengunjungi Pantai Bo’do seorang
diri, dengan mengendarai sepeda motor pinjaman dari Pak Nico. Saya mengakses Pantai
Bo’do dari Pantai Napae karena dua pantai ini letaknya berdampingan, hanya
dipisahkan oleh muara sungai yang dangkal. Saat itu, debit air sungai sedang
kecil, sehingga saya bisa menyeberanginya dengan mudah. Bahkan saya melihat,
seorang Warga Sabu mengendarai sepeda motor menyeberangi muara sungai tersebut.
Pantai Bo’do berpasir putih kecoklatan seperti
Pantai Napae. Keunikan pantai ini tak lain berkat adanya sebuah benteng tua yang
terbuat dari tumpukan batu karang. Untuk mencapai benteng ini, saya harus
sedikit mendaki karena letaknya di atas bukit kecil, di pinggir pantai. Dari benteng
ini, nampak Pantai Napae dan Dermaga Seba di kejauhan. Seperti pantai-pantai
lainya di Sabu, suasana di Pantai Bo’do juga sangat sepi dan masih alami. Tak ada
kafe, restoran ataupun warung. Semuanya masih alami, tanpa sentuhan komersial
seperti pantai-pantai di Bali.
Pantai Wuihebo
Karena masih ada waktu lumayan panjang sebelum
terbang kembali ke Kupang, Pak Nico mengajak saya mengunjungi sebuah pantai
lagi. Namanya Pantai Wuihebo. Untuk mencapai pantai ini, kami harus melewati
jalan tanah berbatu sejauh 4 km, dari jalan utama Trans Sabu.
Pantai Wuihebo merupakan pantai berpasir putih yang
indah. Pantai ini berbentuk melengkung, membentuk sebuah tanjung di ujung kiri.
Pantai yang banyak ditumbuhi pohon lontar ini bisa terlihat dengan jelas dari
Dermaga Seba. Pada bulan-bulan tertentu (Juni-September), ombak di pantai ini
cukup besar sehingga cocok untuk lokasi selancar (surfing). Turis-turis asing penggemar surfing (paling banyak dari Australia) akan berdatangan ke Pantai
Wuihebo di bulan-bulan tersebut. Namun, saat saya datang pantai sangat sepi. Tak
ada pengunjung lain selain kami berdua.
Gula Sabu, Oleh-oleh Khas Sabu yang
Unik dan Lezat
Usai mengunjungi Pantai Wiuhebo, Pak Nico berniat mengantarkan
saya ke bandara. Namun, sebelum ke bandara saya diajak kembali ke rumah Pak
Nico untuk mengambil sesuatu. Rupanya Pak Nico telah menyiapkan oleh-oleh khas
Sabu untuk saya. Oleh-oleh tersebut berupa satu jerigen Gula Sabu. Betapa beruntungnya
saya bertemu orang sebaik Pak NIco di Sabu. Sudah ditemani jalan-jalan keliling
Sabu, masih diberi oleh-oleh segala. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan
Pak Nico.
Bicara tentang Gula Sabu, mungkin belum banyak yang
tahu selain Warga NTT. Maklum, gula ini tidak dapat dijumpai di tempat lain di
Indonesia (bahkan di dunia) selain di Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Tak heran
kalau dinamakan Gula Sabu atau “Donahu Hawu”
dalam Bahasa Sabu. Gula ini cukup unik, berbentuk cairan yang sangat
kental dan lengket serta berwarna coklat tua. Kalau dilihat sepintas
mirip madu tapi cairannya lebih kental dan pekat. Gula
Sabu merupakan makanan alternatif Warga Sabu selain beras dan jagung di tengah
kondisi geografis Pulau Sabu yang rawan kekeringan. Jika terjadi gagal panen tanaman
palawija dan persediaan bahan makanan menipis, maka Gula Sabu dimanfaatkan
sebagai makanan pengganti beras dan jagung untuk bertahan hidup. Gula Sabu
terbuat dari nira buah lontar/siwalan (Borassus
flabellifer) yang direbus selama beberapa jam hingga mengental. Cara menikmati Gula Sabu adalah dengan meminumnya
langsung atau menyeduhnya dengan air, lalu meminumnya seperti minum teh atau
kopi. Di pasaran, Gula Sabu biasanya dijual dalam botol-botol air
mineral atau dalam jerigen. Gula Sabu diyakini mempunyai banyak manfaat untuk
kesehatan, antara lain adalah sebagai obat
penghilang panas dalam dan pereda sakit maag.
Getting There
Untuk mencapai Pulau Sabu, Anda harus terbang dulu
ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada tiga pilihan moda transportasi
menuju Sabu. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Susi Air (www.fly.susiair.com). Ini
adalah cara tercepat dan termahal mencapai Sabu tapi dengan jadwal yang pasti. Susi
Air terbang ke Sabu setiap hari tapi kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Jadi
Anda harus memesan tiket jauh-jauh hari agar kebagian tiket. Pilihan kedua
dengan kapal cepat yang berangkat dari Pelabuhan Tenau, dengan lama perjalanan
sekitar 4 jam. Sayangnya kapal cepat ini hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu
hari Senin dan Jumat beragkat dari Kupang dan kembali ke Kupang keesokan
harinya (Selasa dan Sabtu). Pilihan terakhir
adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan
sekitar 14 jam. Ferry ini juga hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu Hari
Senin dan Jumat. Bagi Anda yang memiliki waktu banyak, Anda bisa memilih kapal
cepat atau ferry. Namun, Anda yang memiliki waktu terbatas, satu-satunya cara
adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***
Where to Stay
Hotel Rai
Hawu
Jl.
Trans Sabu Km. 13, Desa Eilode, Kecamatan Sabu Tengah, Kab. Sabu Raijua
Telp. : (0380) 8155 550
www.raihawuhotel.com
Tarif : mulai Rp
650.000,00
Mana Homestay
Jl. Simpang Tiga Tenihawu,
Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Telp : 0821 4526
6407, 0812 4644 8095
Tarif : mulai Rp
200.000,00
Penginapan Maryo
Jl.
Seba, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota
Seba
Telp : (0380) 861 011, 0812 3655 4666
Tarif : mulai Rp 100.000,00
Penginapan Makarim
Jl. Masjid
An Nur, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota
Seba
Tarif : mulai Rp 100.000,00
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
28 May 2016 at 23:09
mantap..