SEPENGGAL CERITA DARI TANAH RAI HAWU




Setelah tertunda beberapa kali karena berbagai kendala (sibuk, cuaca buruk, kehabisan tiket pesawat, dan lain-lain), akhirnya jadi juga saya berkunjung ke Pulau Sabu. Tanggal 8 Januari 2014, bersama rekan kantor (atasan) saya terbang ke Sabu untuk urusan pekerjaan dengan pesawat Susi Air. Inilah pengalaman pertama saya terbang dengan pesawat super mungil yang kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Rasanya, ngeri-ngeri sedap.

Mungkin belum banyak yang mendengar nama Pulau Sabu selain Warga Nusa Tenggara Timur. Padahal pulau yang letaknya di antara Pulau Timor dan Pulau Sumba, NTT ini mempunyai banyak nama. Setidaknya, pulau kecil ini mempunyai empat nama, yaitu Sabu, Sawu, Savu, dan Rai Hawu. Sabu adalah nama resminya dalam Bahasa Indonesia. Sawu merupakan namanya pada zaman penjajahan Belanda. Savu merupakan namanya dalam Bahasa Inggris. Sedangkan Rai Hawu merupakan nama pulau tersebut dalam bahasa setempat (Bahasa Sabu).

Sejak tahun 2010, Pulau Sabu bersama dengan tetangganya, Pulau Raijua, mendapat otonomi khusus sebagai sebuah kabupaten baru dengan nama Kabupaten Sabu Raijua. Dulunya, Sabu Raijua hanyalah sebuah kecamatan yang masuk ke dalam administrasi Kabupaten Kupang, yang ibu kotanya berada di Kupang, Pulau Timor. Setelah menjadi kabupaten, Sabu Raijua memilih "kota kecil" Seba sebagai ibu kotanya. Seba yang berada di pinggir pantai ini menjadi gerbang masuk ke Pulau Sabu karena di kota ini terdapat sebuah pelabuhan dan sebuah bandara perintis yang hanya bisa didarati pesawat kecil semacam Cessna. 

 

Karena letaknya yang terpencil di tengah lautan, untuk mencapai Pulau Sabu butuh perjuangan tersendiri. Sarana transportasi untuk mencapai Sabu ada tiga, yaitu ferry, kapal cepat, dan pesawat. Ferry bisa anda pilih bila Anda punya banyak waktu karena perjalanannya memakan waktu sekitar 14 jam (bisa lebih lama, tergantung cuaca) dan jadwal keberangkatan dari Kupang hanya dua kali seminggu. Kapal cepat menghabiskan waktu sekitar 4 jam tapi jadwalnya juga terbatas, dua kali seminggu. Pilihan lainnya yang paling cepat adalah dengan pesawat super mini milik maskapai Susi Air (satu-satunya maskapai yang melayanai penerbangan Kupang-Sabu-Kupang) dengan kapasitas penumpang hanya 12 orang. Karena waktu kami terbatas, jelas kami memilih pesawat untuk mencapai Sabu. Tiket pesawat kami beli seminggu sebelumnya dengan harga yang lumayan menguras kantong. Namun, mau tak mau harus kami beli karena tak ada pilihan lain.

Perjalanan ke Sabu dengan pesawat imut Cessna Grand Caravan 208 memberi pengalaman tersendiri. Karena terbatasnya tempat, tidak ada pramugara/pramugari yang ikut terbang di dalam pesawat. Prosedur keselamatan seperti cara memakai sabuk pengaman dan pelampung dijelaskan oleh kru pesawat di depan tangga masuk pesawat, sesaat sebelum penumpang naik pesawat. Di dalam pesawat, penumpang duduk dengan formasi 1-2, yaitu 1 penumpang di sebelah kiri dan 2 penumpang di sebelah kanan. Antara ruang kokpit dan ruang penumpang tidak ada sekat/pemisah sama sekali, sehingga kami bisa melihat semua aktivitas yang dilakukan pilot dan co pilot. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan indah karena pesawat terbang rendah. Pantai, laut, dan pulau-pulau kecil terlihat dengan jelas, menjadi hiburan tersendiri bagi para penumpang. Alhasil, perjalanan Kupang-Sabu sekitar 1 jam jadi tak terasa.

Kampung Namata
Setelah urusan pekerjaan beres, tiba saatnya untuk menjelajah Pulau Sabu. Saya beruntung mendapat seorang kenalan yang asli Sabu dan bersedia menjadi pemandu (guide) saya selama di Sabu. Jadi, saya terbebas dari urusan tersesat atau kebingungan menanyakan arah jalan kepada penduduk setempat. How lucky I am! Thanks for Pak Nico!

Mengawali petualangan di Sabu, Pak Nico mengajak saya ke sebuah desa adat/tradisional yang bernama Kampung Namata. Kampung kecil ini berada di sebuah bukit yang dikelilingi hutan. Letaknya tak jauh dari Kota Seba, tapi akses jalan menuju ke sana tidak mudah. Awalnya, kami melewati jalan beraspal. Kemudian, kami masuk kampung, melewati jalan tanah, tanpa rambu-rambu/penunjuk arah sama sekali. Selanjutnya, kami harus menyeberangi sungai kecil yang tidak ada jembatannya. Untunglah, debit air sungai sedang kecil sehingga kami tak kesulitan menyeberanginya. Setelah melewati sungai, jalan semakin menanjak karena harus mendaki bukit hingga kami tiba di Kampung Namata. Kalau tidak ditemani Pak Nico, saya pasti kesulitan menemukan Kampung Namata.

 

Kami disambut seorang ibu, ketika tiba di Kampung Namata. Setelah Pak Nico menjelaskan maksud kedatangan kami, saya disuruh mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya. Setelah itu, saya bebas keliling Kampung Namata yang tak seberapa besar.

 

Ada dua hal yang menarik perhatian saya di Kampung Namata. Yang pertama adalah sebuah lingkaran besar di tanah lapang dan batu-batu besar di dekatnya. Yang kedua adalah rumah adat Kampung Namata yang atapnya menjuntai sampai hampir menyentuh tanah. Menurut penjelasan Pak Nico, lingkaran itu adalah tempat warga Kampung Namata mengadakan upacara adat. Sedangkan batu-batu besar tersebut merupakan batu-batu megalitikum yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah adat Kampung Namata dan kampung-kampung adat lainnya di Sabu bentuknya hampir sama dan disebut Emu Rukoko. Rumah adat ini bentuknya unik seperti perahu terbalik, dengan atap terbuat dari daun lontar. Bentuk rumah yang seperti perahu terbalik bukan tanpa alasan. Filosofinya adalah Warga Sabu merupakan nelayan yang biasa menggunakan perahu saat menangkap ikan di laut.

Cium Hidung ala Sabu (Hengedo)
Ada satu budaya/tradisi unik yang tidak bisa dijumpai di belahan dunia mana pun selain di Pulau Sabu, yaitu budaya cium hidung yang dalam Bahasa Sabu disebut Hengedo. Cium hidung ini dilakukan oleh dua orang Suku Sabu, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara saling menggesekkan ujung hidung selama sekitar 3 detik. Awalnya saya sedikit heran melihat Pak Nico menggesekkan hidung dengan seorang ibu yang menyambut kedatangan kami di Kampung Namata. Ternyata itu adalah cium hidung ala Sabu. Cium hidung ini akan dilakulkan oleh dua Orang Sabu yang bertemu di mana pun, untuk menunjukkan rasa persaudaraan. Selain itu, cium hidung juga bermakna sebagai tanda perdamaian. Bila ada dua orang berselisih, dan kemudian berciuman hidung maka masalahnya dianggap selesai. Budaya yang unik memang. Belakangan, saat berada di Kupang (sepulang dari Sabu), saya sering melihat budaya cium hidung tersebut. Saat di mal, bank, toko buku, dan tempat-tempat umum lainnya, secara tak sengaja saya melihat dua orang saling menggesekkan ujung hidungnya. Saya jadi tidak heran lagi melihatnya dan saya jadi bisa menebak bahwa dua orang tersebut berasal dari Sabu.

Bukit Lede Pemulu
Dari Kampung Namata, Pak Nico membawa saya masuk ke tengah Pulau Sabu, menuju salah satu titik tertinggi pulau ini. Kami melewati jalan utama yang membelah Pulau Sabu tapi kondisi jalannya sebagian besar sangat buruk. Jalan aspal yang cukup mulus hanya kami jumpai di dalam kota. Begitu keluar kota jalan mulai rusak, aspal jalan mulai terkelupas di sana-sini. Di beberapa ruas jalan, aspal sudah hilang sama sekali menyisakan jalan tanah berbatu-batu besar. Kelihaian dalam mengendarai sepeda motor, jelas sangat diperlukan di medan seperti ini.

 

Anehnya, kondisi jalan tak sepenuhnya rusak. Sebagian ruas jalan bagus, sebagian rusak parah kemudian jalan bagus lagi. Di beberapa tempat, kami melihat jalan sedang diperbaiki. Nampak aspal dan alat-alat berat di pinggir jalan. Mendekati tujuan kami, Bukit Lede Pemulu, kondisi jalan kembali bagus, dengan aspal jalan yang cukup mulus.  

 

Saya terkesima begitu tiba di puncak Bukit Lede Pemulu. Panorama menawan Pulau Sabu, terbentang 360 derajat di sekeliling saya. Mulai dari bukit-bukit hijau, telaga kecil dengan puluhan kerbau, pantai selatan Pulau Sabu yang berpasir putih, dan laut biru yang mengelilingi Pulau Sabu. Memotret dari sudut manapun, Anda akan mendapatkan foto yang menawan. Bukit Lede Pemulu, merupakan sebuah bukit yang berada di perbatasan Desa Loborai dan Desa Mehona, Kecamatan Sabu Liae. Bukit ini merupakan salah satu titik tertinggi di Pulau Sabu, yang ditandai dengan adanya sebuah menara Built Transmission System (BTS) salah satu operator provider GSM terkemuka di Indonesia. 

Pantai Napae
Ketika matahari mulai condong ke barat, Pak Nico mengajak saya kembali ke Kota Seba untuk menyambangi Pantai Napae. Saya yang penggemar berat pantai, langsung mengiyakan ajakan Pak Nico. Sejak tadi pagi, saya memang penasaran dengan pantai-pantai yang ada di Sabu.

 

Pantai Napae berada di dalam Kota Seba, tepatnya di sebelah barat Pelabuhan Seba. Sebenarnya ada akses jalan khusus menuju Pantai Napae tapi kami memilih akses jalan dari Pelabuhan Seba karena jaraknya cukup dekat, hanya sekitar 300 meter. Selain itu, kami juga ingin melihat matahari terbenam (sunset) dari Dermaga Seba setelah mencumbui Pantai Seba.

Pantai Napae merupakan salah satu pantai kebanggaan Warga Sabu (Seba khususnya), karena pantainya cukup indah dan letaknya masih di dalam Kota Seba. Pantai ini cukup bersih, dengan pasir berwarna putih kecoklatan dan laut biru jernih. Kontur Pantai Napae juga landai dan ombaknya tidak begitu besar sehingga aman untuk berenang ataupun bermain-main pasir. Di pantai ini sudah dibangun beberapa lopo-lopo (sebutan masyarakat setempat untuk gazebo), dengan bentuk bangunan yang unik, mengadopsi rumah adat Sabu (Emu Rukoko). Namun, meski letaknya di kota, pantai ini sangat sepi. Sore itu, kami hanya melihat empat orang anak kecil yang sedang asyik bermain di pantai. Turis merupakan barang langka di pantai ini.
  
Sunset di Dermaga Seba
Menjelang senja, kami kembali ke Pelabuhan Seba untuk melihat sunset. Suasana di Pelabuhan Seba lumayan ramai sore itu. Banyak Warga Sabu yang datang ke area pelabuhan, baik untuk sekedar nongkrong maupun mandi/berenang di pantai. Aktivitas bongkar muat barang di dermaga juga masih berlangsung. Sementara Pak Nico ngobrol-ngobrol dengan temannya, saya mencari spot yang tepat untuk memotret sunset. Dermaga Seba yang menjorok panjang ke arah barat laut, menjadikan lokasi ini tempat yang tepat untuk memotret sunset. Dari dermaga ini, matahari akan terlihat terbenam ke Laut Sabu dengan latar belakang Pulau Raijua yang tampak samar-samar di kejauhan. Sore itu saya sangat beruntung, karena langit bersih tanpa awan sehingga saya bisa menyaksikan detik-detik matahari tenggelam dengan sempurna.

 
Sunset indah dari Dermaga Seba

Pantai Bo’do
Keesokan harinya, saya mengunjungi Pantai Bo’do seorang diri, dengan mengendarai sepeda motor pinjaman dari Pak Nico. Saya mengakses Pantai Bo’do dari Pantai Napae karena dua pantai ini letaknya berdampingan, hanya dipisahkan oleh muara sungai yang dangkal. Saat itu, debit air sungai sedang kecil, sehingga saya bisa menyeberanginya dengan mudah. Bahkan saya melihat, seorang Warga Sabu mengendarai sepeda motor menyeberangi muara sungai tersebut.

 Benteng Bo'do di pinggir Pantai Bo'do

Pantai Bo’do berpasir putih kecoklatan seperti Pantai Napae. Keunikan pantai ini tak lain berkat adanya sebuah benteng tua yang terbuat dari tumpukan batu karang. Untuk mencapai benteng ini, saya harus sedikit mendaki karena letaknya di atas bukit kecil, di pinggir pantai. Dari benteng ini, nampak Pantai Napae dan Dermaga Seba di kejauhan. Seperti pantai-pantai lainya di Sabu, suasana di Pantai Bo’do juga sangat sepi dan masih alami. Tak ada kafe, restoran ataupun warung. Semuanya masih alami, tanpa sentuhan komersial seperti pantai-pantai di Bali.

Pantai Wuihebo
Karena masih ada waktu lumayan panjang sebelum terbang kembali ke Kupang, Pak Nico mengajak saya mengunjungi sebuah pantai lagi. Namanya Pantai Wuihebo. Untuk mencapai pantai ini, kami harus melewati jalan tanah berbatu sejauh 4 km, dari jalan utama Trans Sabu. 

 

Pantai Wuihebo merupakan pantai berpasir putih yang indah. Pantai ini berbentuk melengkung, membentuk sebuah tanjung di ujung kiri. Pantai yang banyak ditumbuhi pohon lontar ini bisa terlihat dengan jelas dari Dermaga Seba. Pada bulan-bulan tertentu (Juni-September), ombak di pantai ini cukup besar sehingga cocok untuk lokasi selancar (surfing). Turis-turis asing penggemar surfing (paling banyak dari Australia) akan berdatangan ke Pantai Wuihebo di bulan-bulan tersebut. Namun, saat saya datang pantai sangat sepi. Tak ada pengunjung lain selain kami berdua.

Gula Sabu, Oleh-oleh Khas Sabu yang Unik dan Lezat
Usai mengunjungi Pantai Wiuhebo, Pak Nico berniat mengantarkan saya ke bandara. Namun, sebelum ke bandara saya diajak kembali ke rumah Pak Nico untuk mengambil sesuatu. Rupanya Pak Nico telah menyiapkan oleh-oleh khas Sabu untuk saya. Oleh-oleh tersebut berupa satu jerigen Gula Sabu. Betapa beruntungnya saya bertemu orang sebaik Pak NIco di Sabu. Sudah ditemani jalan-jalan keliling Sabu, masih diberi oleh-oleh segala. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Pak Nico. 

 

Bicara tentang Gula Sabu, mungkin belum banyak yang tahu selain Warga NTT. Maklum, gula ini tidak dapat dijumpai di tempat lain di Indonesia (bahkan di dunia) selain di Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Tak heran kalau dinamakan Gula Sabu atau “Donahu Hawu” dalam Bahasa Sabu. Gula ini cukup unik, berbentuk cairan yang sangat kental dan lengket serta berwarna coklat tua. Kalau dilihat sepintas mirip madu tapi cairannya lebih kental dan pekat. Gula Sabu merupakan makanan alternatif Warga Sabu selain beras dan jagung di tengah kondisi geografis Pulau Sabu yang rawan kekeringan. Jika terjadi gagal panen tanaman palawija dan persediaan bahan makanan menipis, maka Gula Sabu dimanfaatkan sebagai makanan pengganti beras dan jagung untuk bertahan hidup. Gula Sabu terbuat dari nira buah lontar/siwalan (Borassus flabellifer) yang direbus selama beberapa jam hingga mengental. Cara menikmati Gula Sabu adalah dengan meminumnya langsung atau menyeduhnya dengan air, lalu meminumnya seperti minum teh atau kopi. Di pasaran, Gula Sabu biasanya dijual dalam botol-botol air mineral atau dalam jerigen. Gula Sabu diyakini mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain adalah sebagai obat penghilang panas dalam dan pereda sakit maag.  

Getting There
Untuk mencapai Pulau Sabu, Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada tiga pilihan moda transportasi menuju Sabu. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Susi Air (www.fly.susiair.com). Ini adalah cara tercepat dan termahal mencapai Sabu tapi dengan jadwal yang pasti. Susi Air terbang ke Sabu setiap hari tapi kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Jadi Anda harus memesan tiket jauh-jauh hari agar kebagian tiket. Pilihan kedua dengan kapal cepat yang berangkat dari Pelabuhan Tenau, dengan lama perjalanan sekitar 4 jam. Sayangnya kapal cepat ini hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu hari Senin dan Jumat beragkat dari Kupang dan kembali ke Kupang keesokan harinya (Selasa dan Sabtu).  Pilihan terakhir adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan sekitar 14 jam. Ferry ini juga hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu Hari Senin dan Jumat. Bagi Anda yang memiliki waktu banyak, Anda bisa memilih kapal cepat atau ferry. Namun, Anda yang memiliki waktu terbatas, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pesawat. (edyra)***

Where to Stay
Hotel Rai Hawu
Jl. Trans Sabu Km. 13, Desa Eilode, Kecamatan Sabu Tengah, Kab. Sabu Raijua
Telp. : (0380) 8155 550
www.raihawuhotel.com
Tarif : mulai Rp 650.000,00

Mana Homestay
Jl. Simpang Tiga Tenihawu, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Telp : 0821 4526 6407, 0812 4644 8095
Tarif : mulai Rp 200.000,00

Penginapan Maryo
Jl. Seba, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Telp : (0380) 861 011, 0812 3655 4666
Tarif : mulai Rp 100.000,00

Penginapan Makarim
Jl. Masjid An Nur, Kelurahan Mebba, Kec. Sabu Barat, Kota Seba
Tarif : mulai Rp 100.000,00


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

1 Response to "SEPENGGAL CERITA DARI TANAH RAI HAWU"

  1. Unknown says:
    28 May 2016 at 23:09

    mantap..

Post a Comment