TEN THOUSAND BUDDHAS MONASTERY, HONGKONG
Posted in
Labels:
Hongkong
|
at
15:46
Di antara Patung Budha Emas di Ten Thousand Buddhas Monastery
Hongkong terkenal
sebagai surga belanja di Asia. Di berbagai sudut kota ini, bertebaran mal dan
pusat perbelanjaan yang siap menguras isi dompet turis dari berbagai penjuru
dunia. Namun, Hongkong bukan hanya tempat belanja. Selain mal dan pasar, kota
ini juga mempunyai berbagai tempat menarik yang layak untuk dikunjungi. Salah
satunya adalah The Ten Thousand Buddhas
Monastery (Biara Sepuluh Ribu Budha).
Tempat yang satu ini memang tidak populer di kalangan turis karena Pemerintah Hongkong
sengaja tidak memasukkannya ke dalam brosur-brosur wisata. Biro perjalanan di
Indonesia juga tidak ada yang memasukkan nama biara ini ke dalam daftar tempat
kunjungan wisata di Hongkong. Saya pun baru mengetahuinya dari internet,
setelah iseng-iseng googling mencari
informasi tempat-tempat wisata di Hongkong yang sepi turis.
Baru mendengar
namanya saja, saya langsung tertarik. Apalagi setelah melihat foto-foto ribuan
Patung Budha berwarna emas di biara tersebut dan mengetahui lokasinya yang
tidak jauh dari pusat kota Hongkong. Saya semakin mantap untuk memasukkan Ten Thousand Buddhas Monastery ke dalam
daftar tempat yang akan saya kunjungi di Hongkong.
Po Fook Hill Garden, kompleks pemakaman di bawah Ten Thousand Buddhas Monatery
Ternyata, keterangan
internet tidak bohong. Ketika saya dan teman tiba di Ten Thousand Buddhas Monastery, tak ada turis yang berkunjung
selain Warga Hongkong yang akan beribadah dan sejumlah buruh migran Indonesia
(TKI) yang sedang jalan-jalan di sana. Rambu-rambu atau petunjuk arah ke tempat
ini hanya ada satu dan sengaja dibuat tidak mencolok, tidak seperti petunjuk
arah ke tempat-tempat wisata populer lainnya di Hongkong. Saking minimnya
petunjuk arah, kami mengalami sedikit kesulitan mencari tempat ini dan sempat
nyasar ke Po Fook Hill Garden, kompleks pemakaman yang berada tepat di bawah Ten Thousand Buddhas Monastery. Untunglah,
setelah bertanya ke beberapa penduduk setempat, kami berhasil menemukan tempat
ini.
The Ten Thousand Buddhas Monastery merupakan
sebuah Biara Budha yang terletak di lereng Bukit Po Fook, Desa Pai Tau, Distrik
Sha Tin, New Territories, Hongkong. Biara
ini mulai dibangun oleh Biksu Yuet Kai pada tahun 1949 dan baru selesai tahun
1957. Meski statusnya merupkan tempat ibadah dan masih digunakan sampai
sekarang, biara ini terbuka untuk umum dan turis. Untuk mencapai Ten Thousand Buddhas Monastery, dari
hotel kami di daerah Tsim Sha Tsui, kami naik MTR (jaringan kereta bawah tanah di
Hongkong) jalur biru muda (east rail
line) dan turun di Stasiun Sha Tin. Dari Stasiun East Tsim Sha Tsui di daerah Kowloon/Tsim Sha Tsui, butuh waktu
sekitar 30 menit untuk mencapai Stasiun Sha Tin. Keluar dari Stasiun Sha Tin,
kami harus berjalan kaki sekitar 300 meter hingga tiba di gerbang Ten Thousand Buddhas Monastery yang
letaknya cukup tersembunyi. Selanjutnya, kami harus mendaki ratusan tangga
hingga tiba di lokasi altar utama biara.
Gerbang Ten Thousand Buddhas Monastery
Di gerbang biara,
kami sudah disambut jajaran Patung Budha Emas di kanan kiri jalan. Saya jadi
makin semangat untuk segera menjelajahi biara ini. Beberapa meter dari gerbang,
jalan berubah menanjak dan badan jalan terbagi menjadi dua. Sebelah kiri jalan
semen rata untuk pengunjung yang memakai kursi roda dan sebelah kanan untuk
pengunjung umum. Salut untuk Pemerintah Hongkong yang tetap memperhatikan kaum diffable.
Patung Budha Emas di kanan kiri jalan di Kompleks Ten Thousand Buddhas Monastery
Melihat jalan yang
menanjak dengan ratusan anak tangga, saya jadi sedikit heran. Tumben Pemerintah
Hongkong tidak menyediakan eskalator atau lift
di tempat seperti ini. Padahal di tempat-tempat umum lainnya di Hongkong
(misalnya di Stasiun MTR, bandara, dan pusat perbelanjaan), eskalator atau lift bisa kita temukan dengan mudah. Bahkan,
untuk mempermudah mobilitas warganya dari daerah Central ke daerah MidLevel yang
di atas bukit, Pemerintah Hongkong membangun eskalator outdoor terpanjang di dunia yang panjangnya mencapai 800 meter
lebih. Namun, mau tak mau kami harus mendaki anak tangga yang konon jumlahnya
mencapai 431 itu. Ratusan Patung Budha Emas yang berjejer di kanan kiri jalan, seakan
memberi semangat kepada kami untuk melanjutkan perjalanan. Jadinya, saya
berjalan sambil memotret-motret patung tersebut. Setiap kali melihat patung
yang unik/lucu, saya berhenti untuk memotretnya.
Patung Budha Emas dengan aneka pose dan ekspresi wajah
Setelah mendaki
ratusan tangga, kami bertemu pertigaan. Belok kiri menuju teras bawah di mana
terdapat kuil utama dan Pagoda 9 Tingkat sedangkan belok kanan dan mendaki
menuju teras atas. Kami memilih untuk menuju teras atas lebih dahulu. Dari
pertigaan tersebut, kami harus mendaki 69 anak tangga untuk sampai di teras
atas yang merupakan tempat tertinggi di biara ini. Di kanan kiri jalan (anak
tangga) menuju teras atas juga dihiasi puluhan Patung Budha Emas.
Patung Dewi Kwan Im dan Kuil Utama di teras bawah
Patung Manjushri di teras bawah
Panorama dari teras
atas sangat indah. Distrik Sha Tin dengan gedung-gedung apartemen yang padat
terlihat jelas di bawah sana. Selain Patung Budha, di teras atas terdapat
beberapa bangunan yaitu Amitabha Hall,
Avaloteskesvara (Kwun Yam) House, Cundi House, Ksitigarbha House, Jade
Emperor Hall, Paviliun YueXi, dan Naga-Puspa
Court. Semua bangunan berwarna merah dengan hiasan berupa ukiran/Patung
Budha berwarna emas, dua warna keberuntungan yang dipercaya Etnis Tionghoa. Yang
menarik perhatian kami adalah Patung Dewi Kwan Im (Kwun Yam) di ujung timur. Patung
berwarna putih tersebut berdiri di sebuah kolam dengan air terjun buatan di
belakangnya. Sayangnya saat itu air terjunnya sedang tidak dinyalakan. Di bawah
patung ini terdapat sebuah kolam lagi yang berisi puluhan kura-kura. Di lereng
bukit di dekatnya, bertebaran Patung-Patung Budha Emas dengan ukuran sekitar 30
- 50 cm.
Pagoda 9 Tingkat di teras bawah
Selanjutnya kami
turun ke teras bawah yang merupakan bagian utama Ten Thousand Buddhas Monastery. Di teras ini terdapat Kuil Utama (Ten Thousand Buddhas Hall) yang di
dalamnya tersimpan 12.800 Patung Budha berukuran kecil. Sayangnya, selain
pemeluk Agama Budha dilarang masuk ke dalam Kuil Utama. Selain Kuil Utama, ada
juga Paviliun Avalokitesvara (Dewi
Kwan Im), Paviliun Samantabhadra,
Paviliun Manjushri, Galeri 18 Arhat,
Naga-Puspa Hall, dan Pagoda 9
Tingkat. Bangunan paling menarik dan paling fotogenik adalah Pagoda 9 Tingkat
berwarna merah dengan ornamen warna emas dan putih di bagian atapnya. Pagoda
cantik ini juga dihiasi puluhan Patung Budha Emas di jendela dan di sekelilingnya.
Saya menaiki pagoda ini hingga puncak, melalui tangga melingkar yang sempit.
Dari puncak pagoda, saya bisa melihat pemandangan indah di sekitar biara.
How to Get There
Cara termudah dan tercepat mencapai Ten
Thousand Buddhas Monastery
adalah dengan kereta bawah tanah (MTR). Anda bisa naik MTR jalur timur (east rail line) dari Stasiun East Tsim Sha Tsui di daerah
Kowloon/Tsim Sha Tsui dan turun di Stasiun Sha Tin. Kemudian keluar melalui
Exit B dan jalan kaki sekitar 300 meter
hingga tiba di gerbang Ten Thousand
Buddhas Monastery.(edyra)***
ADORABLE ADONARA
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
09:55
Santai sejenak di Pantai Watotena
Nama pulau ini terdengar indah di telinga.
Kenyataanya, pulau kecil ini memang
indah. Adonara nama pulau yang saya maksud. Sayangnya, keindahan Adonara
belum terdengar gaungnya, tidak seperti dua tetangganya (Flores dan Lembata)
yang sudah cukup terkenal. Saya yakin, belum banyak yang mengenal pulau ini
selain masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Begitu juga dengan saya. Saya baru
mengenal Adonara setelah tinggal di Kupang dan bertemu banyak orang yang
berasal dari pulau ini. Perbincangan dengan orang-orang Adonara membuat saya penasaran
dengan pulau ini. Apalagi teman saya yang asli Adonara, siap menjadi guide dan menemani saya keliling Adonara
kapan pun saya mau. Tentu saja, saya makin penasaran dibuatnya.
Berbekal informasi yang minim tentang Adonara, awal
Mei kemarin saya nekad berkunjung ke sana. Saya meluangkan waktu sehari penuh
untuk menjelajah Adonara, dari ujung barat hingga ujung timur. Di luar dugaan,
ternyata saya menemukan banyak keindahan dan keunikan di Adonara yang belum
pernah saya dengar sebelumnya. Mulai dari pantai perawan, laguna cantik, gunung
berapi yang masih aktif hingga sentra tenun ikat yang belum dikenal banyak
orang.
Sekilas tentang Pulau Adonara
Adonara adalah pulau kecil di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur, tepatnya di sebelah timur Pulau Flores. Letak geografis Adonara
sangat unik karena dikelilingi tiga pulau, yakni Flores di sebelah barat, Solor
di sebelah selatan, dan Lembata di sebelah timur. Secara administrasi, saat ini
Adonara masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di
Larantuka, Flores. Mengapa saya bilang saat ini? Pasalnya sebentar lagi Adonara
akan dimekarkan menjadi sebuah kabupaten tersendiri, terpisah dari kabupaten
induknya, Flores Timur. Dengan wilayah yang cukup luas (terbagi dalam delapan
kecamatan) dan sumber daya alam yang melimpah (terutama perikanan dan kelautan),
Adonara memang layak menjadi kabupaten tersendiri. Dengan menjadi kabupaten, Adonara
diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dari dua tetangganya, Flores dan
Lembata.
Menuju Pulau Adonara
Untuk mencapai Adonara, dari Kupang saya harus
terbang dulu ke Larantuka, kota terdekat dengan Adonara yang berada di ujung
timur Pulau Flores. Dari Larantuka, saya melanjutkan perjalanan ke Adonara dengan
perahu menyeberangi Selat Lewotobi hingga tiba di Pelabuhan Tobilota, Adonara. Dalam
perjalanan ini saya tidak sendiri karena ditemani Kak Edys, teman yang berasal dari
Adonara. Kami membawa sepeda motor dari Larantuka, agar lebih mudah dann
leluasa menjelalajah Adonara.
Perjalanan berperahu dari Larantuka ke Tobilota di
pagi hari sangat menyenangkan. Cuaca cerah, langit biru bersih, dan laut tenang
tanpa arus ataupun gelombang. Di atas perahu, mata saya dimanjakan oleh
panorama Kota Larantuka yang sangat menawan. Coba bayangkan! Sebuah kota berada
di antara laut dan gunung. Di depan Larantuka terhampar Selat Lewotobi yang
berwarna biru, dan tepat di belakangnya berdiri menjulang Gunung Ile Mandiri
yang puncaknya sering tertutup awan. Alhasil, tercipta panorama kota yang luar
biasa indah, di mana laut dan gunung berpadu dengan harmonis.
Pelabuhan Tobilota,
Gerbang Masuk Adonara dari Arah Barat
Lima belas menit kemudian, perahu merapat di
Dermaga Tobilota, Adonara. Sambil menunggu sepeda motor kami diturunkan dari
perahu, saya dan teman jalan-jalan di sekitar pelabuhan untuk memotret panorama
sekitar pelabuhan. Pelabuhan Tobilota merupakan pelabuhan kecil di ujung barat Adonara.
Meski kecil dan fasilitasnya sederhana, pelabuhan ini ramai sepanjang hari
karena merupakan salah satu pintu masuk utama Adonara dari arah barat. Setiap
harinya, dari pagi hingga malam, perahu-perahu motor hilir mudik dari Pelabuhan
Tobilota ke Pelabuhan Larantuka dan sebaliknya, mengangkut orang, sepeda motor,
dan aneka macam barang. Dengan tarif yang cukup murah, hanya Rp 5.000,00 per
orang dan Rp 15.000,00 per sepeda motor, perahu-perahu tersebut hampir selalu
penuh muatan.
Jalan sempit di Pulau Adonara
Dari Tobilota, petualangan di Adonara kami mulai.
Kami berencana mengelilingi Adonara dengan rute berlawanan arah jarum jam, dari
sisi barat, selatan, timur hingga utara pulau. Karena itu, saya mengarahkan
sepeda motor ke arah kanan/selatan, menyusuri pantai barat dan selatan Adonara.
Jalan aspal yang mulus tapi sempit, menyambut kami begitu keluar dari
pelabuhan. Lebarnya hanya sekitar 2 meter, dengan kondisi aspal yang cukup
mulus. Namun, aspal yang mulus hanya beberapa kilometer saja panjangnya, seolah
menjadi ucapan selamat datang di Pulau Adonara. Semakin menjauh dari pelabuhan,
jalan mulai rusak, aspal terkelupas di sana-sini. Di beberapa ruas jalan, aspal
sudah hilang sama sekali berganti menjadi jalan tanah berbatu. Kondisi jalan
mulai berkelok-kelok, naik turun bukit. Topografi Adonara memang
berbukit-bukit. Jadi, jangan harap, ada jalan lurus di pulau ini selain di
kota. Bagi yang biasa berkendara di Jawa mungkin akan kaget melihat jalan berkelok-kelok
seperti di Adonara. Namun tidak bagi saya yang sudah beberapa kali berkendara
di Flores, di mana kondisi jalannya lebih ekstrim, meliuk-liuk seperti ular
membelah gunung dan lembah.
Pulau Solor dilihat dari Adonara
Panorama indah yang kami temui sepanjang jalan,
memberi hiburan tersendiri bagi kami. Bukit-bukit hijau, laut biru, dan Pulau
Solor yang membentang di seberang pulau, membuat kami lupa sejenak akan jalan
rusak yang kami lalui. Beberapa kali kami berhenti untuk menikmati keindahan
alam Adonara dan mengabadikannya dengan kamera kesayangan saya.
Lamahala Jaya
dan Waiwerang
Setelah hampir dua jam berkendara, kami tiba di Desa
Lamahala Jaya yang berada di pesisir selatan Adonara. Jarak Tobilota - Lamahala
Jaya yang hanya 26 km harus kami tempuh selama hampir dua jam karena jalan yang
buruk dan berkelok-kelok penuh tanjakan dan turunan curam. Tidak seperti
desa-desa sebelumnya yang sepi dan penduduknya jarang-jarang, Desa Lamahala Jaya
sangat ramai dan semarak. Rumah-rumah penduduk sangat padat dan berhimpitan.
Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan dan pedagang. Tak heran
kalau toko-toko/warung-warung kecil berjajar sepanjang jalan, dan perahu-perahu
bertebaran di pantai. Di desa ini terdapat sebuah masjid yang cukup besar
karena seluruh Warga Lamahala Jaya beragama Islam. Lokasi desa yang berada di
pinggir pantai dengan kontur tanah yang miring dan berbukit-bukit, membuat Desa
Lamahala Jaya terlihat sangat unik. Bila dilihat dari laut, rumah-rumah Warga Desa
Lamahala Jaya yang bertengger di tepi pantai seperti mengapung di atas laut.
Kota Waiwerang dilihat dari pelabuhan ferry
Lepas dari Lamahala Jaya ,kami tiba di Waiwerang, ibu
kota Kecamatan Adonara Timur, sekaligus ‘kota’ terbesar di Adonara. Kota inilah
yang digadang-gadang akan menjadi ibu kota Kabupaten Adonara. Sama seperti
Lamahala Jaya, Waiwerang juga berada pinggir pantai dengan kontur tanah yang miring.
Rumah-rumah penduduk berjajar dan berhimpitan di pinggir pantai hingga ke arah
bukit. Karena statusnya sebagai ibu kota kecamatan, fasilitas hidup di
Waiwerang lebih lengkap dibandingkan Lamahala Jaya. Selain toko dan warung, di
kota ini juga terdapat kantor-kantor pemerintah, bank, puskesmas, penginapan,
dan pelabuhan ferry. Kak Edys mengajak saya mampir ke pelabuhan agar bisa
melihat panorama Kota Waiwerang secara keseluruhan.
Pantai Watotena
Berada di pulau kecil seperti Adonara, tak afdol
rasanya bila tidak mengunjungi ke pantainya. Salah satu pantai paling terkenal
dan paling indah di Adonara adalah Pantai Watotena. Nama pantai ini sebenarnya
adalah Neren Watotena tapi Warga Adonara biasa menyebutnya Pantai Watotena
saja. Pantai Watotena terletak di Desa Bedalewun, Kecamatan Ile Boleng. Dari
Kota Waiwerang, pantai ini hanya berjarak 11 km atau sekitar 20 menit
berkendara.
Pantai Watotena yang indah dan sepi
Tiba di Pantai Watotena, kami disambut debur ombak
dan pasir putih yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Air laut yang hijau
kebiruan benar-benar menyejukkan mata kami yang sejak pagi hanya melihat perbukitan
dan jalanan yang rusak. Suasana pantai sangat sepi, tak ada pengunjung maupun
pedagang asongan. Kami hanya melihat sebuah sepeda motor diparkir di pinggir
pantai, tanpa ada pemilik/pengendaranya. Mungkin pemiliknya sedang melipir atau
berenang di pantai.
Sisi kiri Pantai Watotena yang eksotis dengan hiasan batu-batu magma
Pantai Watotena sangat menawan. Dengan pasir putih
bersih dan air laut bergradasi hijau biru, membuat siapa saja jatuh cinta
terhadap pantai ini. Panorama di sekitar pantai juga sangat menarik. Anda bisa
melihat Pulau Lembata di sebelah timur, Pulau Solor di sebelah barat daya, dan
Gunung Ile Boleng yang menjulang tinggi di sebelah utara. Selain pasir putih
dan laut biru, daya tarik pantai ini adalah batu-batu magma aneka bentuk dan
formasi yang menghiasi bibir pantai. Kehadiran batu magma hitam yang diduga
berasal dari letusan Gunung Ile Ape tersebut semakin mempercantik Pantai
Watotena. Apalagi di atas batu-batu magma tersebut telah dibangun beberapa lopo-lopo
(sebutan gazebo dalam bahasa setempat) sebagai tempat melepas lelah dan
menikmati keindahan pantai. Sayangnya Pantai Watotena kurang terawat. Lopo-lopo
sudah banyak yang rusak dan banyak botol air mineral bertebaran di pinggir
pantai. Akses jalan dari jalan raya utama menuju pantai juga sangat buruk,
berupa jalan tanah berbatu. Jalan tersebut juga hasil swadaya masyarakat
setempat, bukan dari pemerintah daerah. Seharusnya pemerintah daerah setempat lebih
memperhatikan Pantai Watotena, agar semakin banyak dikunjungi wisatawan dan
menambah pendapatan daerah.
Pantai Deri yang berpasir coklat kehitaman
Pantai Deri
Dari Pantai Watotena kami bergerak ke ujung timur Adonara,
menuju Pantai Deri. Pantai berpasir coklat kehitaman ini berada di Desa Deri,
Kecamatan Ile Boleng. Pantai Deri merupakan salah satu pantai kebanggaan Warga Adonara.
Dari pantai ini, Anda bisa melihat Pulau Lembata di sebelah timur dengan jelas.
Di Pantai Deri sudah dibangun beberapa fasilitas untuk kenyamanan pengunjung,
di antaranya gerbang masuk ke pantai, toilet, dan sejumlah lopo-lopo. Sayang
berbagai fasilitas tersebut kondisinya tak terawat. Lopo-lopo sudah banyak yang
rusak, toilet juga sudah tak berfungsi. Sama seperti Pantai Watotena, suasana
di Pantai Deri juga sangat sepi tanpa ada pengunjung. Pedagang makanan dan
minuman juga tak ada. Menurut Kak Edys, pantai ini hanya ramai pengunjung pada
Hari Minggu dan hari-hari libur. Di hari-hari lainnya, pasti akan sepi
pengunjung. Apalagi sejumlah fasilitas di Pantai Deri sudah banyak yang rusak,
sehingga membuat pengunjung makin malas menyambangi Pantai Deri.
Perempuan Adonara sedang menenun
Desa Redontena, Sentra Tenun
Ikat Adonara
Dari keterangan Kak Edys, saya baru tahu kalau
Adonara ternyata mempunyai tenun ikat seperti pulau-pulau lain di wilayah NTT.
Pasalnya selama ini saya belum pernah melihatnya. Untuk melihat tenun ikat Adonara,
Kak Edys mengajak saya mampir ke rumah saudaranya di Desa Redontena. Desa yang berada di Kecamatan
Kelubagolit ini, merupakan sentra tenun ikat terbesar di Adonara. Hampir semua
perempuan di Desa Redontena bisa menenun karena sejak kecil sudah diajarai cara
menenun. Biasanya, sejak kelas IV atau V SD, anak-anak perempuan di Desa
Redontena mulai belajar menenun. Saudaranya Kak Edys yang bernama Kak Avin mulai
belajar menenun sejak kelas IV SD. Setiap harinya, dia meluangkan waktu untuk
menenun di sela-sela kesibukannya. Kak Avin dengan senang hati menunjukkan
seperangkat alat tenun miliknya yang diletakkan di teras belakang rumah. Saya
beruntung, saat itu adiknya Kak Avin sedang menenun selembar kain. Jadi saya
bisa melihat proses menenun secara langsung. Kak Avin juga menunjukkan
sarung-sarung cantik hasil tenunannya kepada saya. Motif tenun ikat Adonara ternyata
cukup sederhana, berupa garis-garis horizontal dengan diselingi motif
geometris. Walau motifnya sederhana tapi tetap indah karena warna-warnanya
menarik. Untuk menyelesaikan selembar kain, biasanya dibutuhkan waktu sekitar
satu minggu tergantung kerumitan motifnya. Kain-kain tersebut dijual dengan
harga mulai Rp 140.000,00 hingga jutaan rupiah tergantung jenis benang dan
motif kain. Yang termahal adalah kain tenun yang terbuat dari benang sutra,
biasanya dijual dengan harga di atas Rp 1.000.000,00.
Tenun ikat khas Adonara
Danau Kotakaya
Persinggahan terakhir saya di Adonara adalah Danau
Kotakaya. Danau kecil ini berada di pesisir barat laut Adonara, tepatnya di
Desa Adonara, Kecamatan Adonara. Untuk menuju danau ini, dari jalan raya utama,
kami harus belok ke kiri melewati jalan tanah berbatu sekitar 1,5 km hingga
tiba di sebuah perkampungan nelayan dengan rumah-rumah sederhana tak jauh dari
danau.
Langit mendung gelap saat kami tiba di Desa
Adonara. Kami disambut segerombolan anak-anak yang sedang bermain bola di
lapangan dekat danau. Saya pun mendekati mereka, untuk ngobrol-ngobrol sejenak.
Melihat saya menenteng kamera, anak-anak tersebut meminta saya memotretnya.
Saya pun menuruti kemauan mereka. Ketika saya tunjukkan hasil foto, mereka
tersenyum dengan gembira.
Danau Kotakaya yang berair asin
Setelah bercengkerama dengan anak-anak, saya dan
Kak Edys bergerak menuju danau. Kami berjalan di pinggiran danau yang sudah
dipagari dengan tembok rendah. Danau Kotakaya sebenarnya adalah laguna karena
letaknya di dekat pantai. Tak heran kalau danau ini berair asin. Suasana Danau
Kotakaya cukup asri berkat banyaknya tanaman bakau (mangrove) yang tumbuhi di
berbagai sudut danau. Sayangnya, hujan turun saat kami sedang asyik berkeliling
danau. Mau tak mau kami harus menyudahi acara keliling danau dan mencari tempat
berteduh hingga hujan reda.
Kunjungan ke Danau Kotakaya menjadi penutup
petualangan kami di Pulau Adonara. Dari danau tersebut, kami meluncur ke
Pelabuhan Tanah Merah untuk menyeberang kembali ke Larantuka. Sebenarnya masih
banyak tempat menarik di Adonara tapi kami tak bisa mengunjungi semuanya dalam
sehari. Semoga suatu hari nanti saya bisa kembali ke Adonara!
How to Get There
Untuk mencapai Pulau Adonara, Anda harus terbang
dulu ke Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Selanjutnya, dari Kupang Anda bisa
terbang dengan pesawat Trans Nusa (www.transnusa.co.id) menuju Larantuka di
Pulau Flores atau Lewoleba di Pulau Lembata, tetangganya Adonara. Dari
Larantuka, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Adonara dengan perahu sekitar 15
menit hingga tiba di Tobilota/Tanah Merah, Adonara Barat. Selain itu, dari
Larantuka Anda juga bisa langsung menuju Waiwerang, Adonara Timur dengan naik
perahu/kapal cepat. Kalau dari Lewoleba, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke
Waiwerang dengan perahu/kapal cepat. Lama perjalanan menuju Waiwerang baik dari
Larantuka maupun Lewoleba, sekitar 90 menit dengan perahu motor atau 45 menit dengan
kapal cepat, tergantung cuaca. (edyra)***
Where to Stay
Sampai saat ini, belum ada hotel yang representatif
di Pulau Adonara. Di Waiwerang, kota terbesar di Adonara, hanya terdapat
penginapan sederhana. Oleh karena itu, sebaiknya Anda menginap di Larantuka di
mana terdapat banyak pilihan hotel/penginapan. Berikut beberapa hotel di
Larantuka yang bisa Anda pilih sebagai tempat menginap.
Hotel Asa
Jl. Soekarno-Hatta, Weri, Larantuka
Telp. (0383) 2325 018
Tarif : mulai Rp 450.000,00
Hotel
Lestari
Jl.
Yos Sudarso No. 3, Larantuka
Telp. (0383) 2325 517
Tarif : mulai Rp 200.000,00
Hotel
Kartika
Jl. Niaga No. 4, Postoh, Larantuka
Telp. (0383) 21888
Tarif : mulai Rp 85.000,00
KELEBBA MAJA, THE WONDER OF NATURE FROM SAVU ISLAND
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
09:36
Menikmati keindahan Kelebba Maja
Tebing berukir indah berwarna gradasi merah marun, pink, coklat, dan kelabu itu tampak
jelas dari jalan raya, terutama di sisi sebelah kanan, karena tertimpa sinar
matahari. Pilar-pilar batu berwarna merah muda dengan puncak berbentuk mirip jamur
berwarna merah tua juga tampak seksi menggoda. Rasanya bahagia tak terkira bisa
menemukan salah satu keajaiban alam yang letaknya sangat tersembunyi ini.
Perjuangan berat untuk mencapai tempat ini terbayar lunas begitu saya bisa
melihat dengan mata kepala sendiri tebing dan pilar-pilar batu yang sangat
mempesona ini. Saya ingin segera mendekati, menyentuh, dan mencumbunya. Namun,
saya masih harus bersabar, karena lokasi itu berada nun jauh di bawah sana.
Saya masih harus berjalan menuruni bukit, menyusuri jalan setapak beberapa
ratus meter di antara tanaman berduri, dengan rute yang berliku-liku dan tak
begitu jelas. Untunglah saya bersama Pak Nelson yang sudah paham betul rute
jalan menuju tempat itu. Jadi tak perlu
khawatir akan tersesat. Memang, tak ada jalan pintas menuju surga.
Kelebba Maja, nama tempat yang saya maksud. Tempat
ajaib ini berada di Pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Saya mengetahui nama tempat ini dari Pak Nelson, pegawai Dinas Pariwisata
Kabupaten Sabu Raijua, pada saat kunjungan kedua ke Pulau Sabu. Perkenalan saya
dengan tempat ini, berawal dari foto-foto yang saya lihat di laptop milik teman
yang asli Sabu, bernama Pak Nico. Anehnya, beliau tidak tahu nama tempat
tersebut. Pak Nico hanya tahu nama desa di mana Kelebba Maja berada tapi tidak
tahu persis letaknya di sebelah mana. Saat kunjungan pertama ke Pulau Sabu tidak
sempat mampir ke tempat ini karena keterbatasan waktu. Karena itulah, saya
penasaran setengah mati. Saya pun bertekad, suatu hari nanti harus mengunjungi
tempat ini, saat berkunjung ke Sabu lagi.
Empat bulan kemudian, tak disangka-sangka saya
berkesempatan mengunjungi Pulau Sabu lagi. Tentunya, saya mengangendakan waktu
khusus untuk mengunjungi Kelebba Maja. Saya pun langsung menghubungi teman lama
(Pak Nico), untuk menemani saya ke sana. Asyiknya, Pak Nico siap mengantar saya
mengunjungi Kelebba Maja. Namun, dia
sudah agak lupa jalan menuju Kelebba Maja karena hanya sekali mengunjungi
tempat itu dan itu pun sudah lama sekali. Tak apalah, yang penting ada teman
yang menemani saya mengunjungi tempat impian.
Jalan rusak dengan pemandangan menarik menuju Kelebba Maja
Tepat jam 08.30 pagi, di Hari Minggu yang cerah,
saya dan Pak Nico berangkat dari Kota Seba. Kami naik sepeda motor, Pak Nico
yang menjadi pengendaranya. Pak Nico mengarahkan kendaraan melewati jalan utama
yang membelah Pulau Sabu dan menghubungkan Kota Seba dengan Kecamatan Liae dan Kecamatan
Hawu Mehara. Meski namanya jalan utama, jangan Anda bayangkan jalannya bagus
dan mulus seperti jalan-jalan di Pulau Jawa. Sekitar 12 km pertama, kondisi
jalan masih lumayan bagus, dengan aspal yang cukup mulus. Setelah melewati
Bukit Lede Pemulu (salah satu titik tertinggi di Sabu, kondisi jalan mulai
rusak, aspal jalan banyak yang terkelupas di sana-sini. Padahal jalan mulai
berkelok-kelok, naik turun bukit.
Sampai di pertigaan jalan Desa Ledeke, Pak Nico
membelokkan kendaraan ke arah kanan. Karena tidak ingat persis lokasi Kelebba
Maja yang berada di Desa Raerobo, Pak Nico bertanya arah jalan menuju ke sana,
kepada sekelompok orang yang duduk-duduk di pinggir jalan. Sayangnya, mereka tak
ada yang tahu keberadaan tempat tersebut. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Selanjutnya, beberapa kali kami bertanya lokasi Kelebba Maja kepada beberapa
orang yang kami temui di jalan, semuanya kompak menjawab tidak tahu lokasi
tersebut. Mereka hanya tahu arah jalan menuju Desa Raerobo tapi tidak tahu letak
Kelebba Maja.
Bukit berwarna pink kecoklatan di Desa Ledeke
Kami tetap melanjutkan perjalanan meski tidak tahu
dengan pasti rute jalan menuju Kelebba Maja, sambil sesekali berhenti untuk
motret ketika melihat pemandangan menarik. Salah satunya, kami berhenti di
dekat sebuah bukit cantik yang berada di pinggir jalan Desa Ledeke. Bukit
dengan lekuk-lekuk indah tersebut, menarik perhatian saya karena berwarna merah
muda kecoklatan (peach). Bukit ini
rada mirip dengan Kelebba Maja, namun minus pilar-pilar batu berpayung. Di
Pulau Sabu memang banyak tanah yang berwarna peach seperti itu. Belakangan, setelah saya keliling pulau Sabu,
saya menjumpai beberapa tempat dengan tanah berwarna merah peach.
Setelah mengambil gambar bukit cantik tersebut,
kami segera melanjutkan perjalanan kembali. Rute yang kami lewati menanjak
dengan kondisi jalan yang tidak terlalu bagus. Tiba di sebuah pertigaan dengan
jalan tanah, Pak Nico membelokkan sepeda motor ke arah kiri. Rute yang kami
lewati lebih menantang. Jalan berkelok-kelok naik turun bukit, dengan kondisi
jalan berubah-ubah, mulai dari jalan tanah, jalan berbatu hingga jalan yang di-paving (semen) di kanan kiri. Bahkan
beberapak kali kami harus menyeberangi sungai kering tanpa jembatan. Panorama
di kanan kiri jalan sangat menarik. Mulai dari rumah-rumah penduduk berdinding
bambu dan beratap ilalang, bukit-bukit gersang dengan sapi dan kuda yang
merumput, hingga laut biru di kejauhan. Sayangnya, kami tidak bisa menemukan
Kelebba Maja yang kami cari-cari. Bertanya kepada penduduk juga tidak ada yang
tahu. Kami pun kembali ke Seba dengan kecewa. Kelebba Maja yang saya mimpikan
sejak lama, tak ketemu juga.
Savana dengan kuda-kuda merumput yang kami temui di jalan saat menuju Kelebba Maja
Saat duduk-duduk santai di hotel, selesai makan
siang, saya mendapat SMS dari Pak Kettu Makaba, penjaga Gua Lie Madira yang
saya temui kemarin. Dia menanyakan, apakah saya sudah jadi mengunjungi Kelebba Maja.
Saya jawab belum, karena tidak berhasil menemukannya. Pak Kettu pun ikut
prihatin karena saya gagal menemukan Kelebba Maja. Saya minta tolong kepada
Pak Kettu, kalau ada temannya yang tahu pasti lokasi Kelebba Maja, agar mau
mengantarkan saya ke sana. Dia meminta waktu sebentar, untuk menghubungi
temannya dari Dinas Pariwisata Kabupaten Sabu Raijua, yang tahu lokasi Kelebba
Maja. Setelah itu akan menghubungi saya lagi.
Beberapa saat kemudian, Pak Kettu menghubungi saya
lagi. Dia berhasil menghubungi Pak Nelson,
temannya dari Dinas Pariwisata Kabupaten Sabu Raijua. Namun, dia tidak
berani memastikan apakah Pak Nelson bisa mengantarkan saya ke Kelebba Maja atau
tidak karena Pak Nelson masih ada acara dengan teman-teman kantornya. Setelah
acara selesai, Pak Kettu akan mengajak Pak Nelson menemui saya di hotel.
Jam 14.45 Pak Kettu datang ke hotel bersama
Pak Nelson. Setelah berkenalan, Pak Nelson bertanya kepada saya, kapan akan
kembali ke Kupang. Saya pun menjawab besok, makanya kalau bisa hari ini harus
mengunjungi Kelebba Maja. Pak Nelson pun iba melihat saya dan bersedia mengantarkan
saya ke Kelebba Maja. Namun, beliau meminta waktu sebentar untuk ganti baju dan
mengambil air minum di rumahnya.
Tak lama kemudian Pak Kettu dan Pak Nelson
menjemput saya di hotel. Mereka mengajak berangkat segera agar tidak
kemalaman di jalan. Pasalnya kondisi jalan menuju Kelebba Maja tidak bagus. Namun,
beliau akan membeli sirih pinang dulu untuk sesaji di Kelebba Maja. Kelebba
Maja memang masih disakralkan Warga Sabu karena tempat itu merupakan lokasi untuk
menyelenggarakan berbagai upacara adat (misalnya upacara meminta hujan) dan
tempat pemujaan Dewa Maja, salah satu dewa yang dipercaya Orang Sabu.
Tepat pukul 15.15 kami meninggalkan Kota Seba
menuju Kelebba Maja. Rute yang kami lalui persis sama seperti yang tadi pagi
saya lewati bersama Pak Nico. Namun, setelah melewati sungai yang tanpa
jembatan di sebuah desa yang berada di lembah (saya tidak tahu namanya karena
tidak ada plang nama desa), kami berjalan lurus terus (sementara tadi pagi, saya
dan Pak Nico belok kanan hingga menemui jalan raya yang beraspal). Rupanya
kesalahan kami tadi pagi adalah di pertigaan desa yang saya tidak tahu namanya.
Dari pertigaan desa tersebut, Kelebba Maja hanya tinggal beberapa kilometer
lagi, tapi kondisi jalan semakin buruk, berupa jalan tanah berbatu yang
menanjak terjal tanpa aspal sama sekali.
Pantai Wadumea dilihat dari kejauhan
Tak berapa lama kemudian, kami tiba di sebuah jalan
dengan pemandangan yang menakjubkan. Dua pantai berpasir putih nampak di kejauhan
(di sebelah selatan) dan tebing berukir dengan lekuk-lekuk yang unik dan warna-warni
cantik di sebelah kiri jalan, nun di bawah sana. Pak Nelson yang memimpin
perjalanan, memarkir sepeda motornya di tempat yang agak lapang di sebelah kiri
jalan. Dia memberi tahu bahwa kami telah tiba di Kelebba Maja, tempat yang saya
impikan selama ini. Saya bersorak kegirangan seperti anak kecil yang mendapat
mainan baru. Bagaimana tidak gembira, bila tempat yang selama ini kita cari dengan
susah payah, akhirnya ketemu juga. Namun, tebing-tebing warna-warni dengan
pilar-pilar batu bak cendawan itu berada jauh di lembah bawah sana. Kami masih
harus menuruni tebing dengan jalan setapak yang tak begitu jelas karena jarang
dikunjungi orang.
Kelebba Maja dilihat dari kejauhan
Setelah Pak Kettu menaruh sesaji, berupa sirih
pinang di dekat sebuah pohon, kami segera berjalan menuruni bukit. Kelebba Maja
bukan tempat wisata sembarangan. Tempat ini masih dianggap keramat oleh Warga
Sabu karena merupakan tempat untuk pemujaan terhadap Dewa Maja dan tempat untuk
menyelenggarakan berbagai upacara adat. Turis ataupun pengunjung yang ingin
mengunjungi Kelebba Maja harus diitemani pemandu/Warga Sabu.
Kelebba Maja, salah satu keajaban alam di Indonesia
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, menyusuri
jalan setapak yang penuh pohon berduri di kanan kirinya, akhirnya kami
benar-benar tiba di Kelebba Maja. Pilar-pilar batu dengan warna-warni menarik benar-benar
di depan mata saya. Lagi-lagi, Pak Kettu menaruh sirih pinang, di sebuah pilar
batu berbentuk mirip cendawan. Setelah itu, beliau mempersilakan saya menjelajah
dan memotret tempat tersebut.
Pilar-pilar batu bertopi mirip jamur di Kelebba Maja
Berada di lembah dengan tebing-tebing berukir
cantik penuh warna dan pilar-pilar batu mirip jamur di hadapan, membuat saya
takjub. Sesaat saya bengong, tak bisa berkata-kata. Saya seperti tak percaya
dengan pemandangan bak di negeri dongeng, yang ada di depan saya. Saya
benar-benar bersyukur bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri, salah satu
keajaiban alam yang dimiliki Indonesia ini. Mungkin Tuhan sedang tersenyum saat
menciptakan Kelebba Maja, sehingga tercipta pahatan alam yang begitu
menakjubkan. Sambil memotret-motret, saya berdoa dalam hati, semoga Kelebba
Maja tetap alami seperti ini dan bebas dari tangan-tangan jahil yang merusak
keindahannya.
Tebing berukir warna-warni di Kelebba Maja
Sedang asyik-asyiknya memotret, Pak Kettu memanggil
saya untuk segera meninggalkan Kelebba Maja karena hari sudah sore. Bahkan Pak
Nelson sudah berjalan cukup jauh meninggalkan kami. Saya pun menuruti
kemauannya, walau dengan berat hati. Sambil berjalan, saya terus
memotret-motret tebing dan pilar-pilar batu nan unik tersebut. Sebenarnya, saya
belum puas dan masih ingin berlama-lama mengagumi keindahan Kelebba Maja.
Namun, melihat matahari yang semakin condong ke barat dan mengingat jalan
panjang (dan tidak bagus) yang harus saya tempuh untuk kembali ke hotel, terpaksa
saya meninggalkan Kelebba Maja. Kelak, saya pasti akan merindukan tempat ini.
Sambil berjalan mendaki bukit menuju jalan raya, dalam hati saya berjanji, saya
pasti akan kembali ke Kelebba Maja.
How to Get There
Untuk mengunjungi Kelebba Maja di Pulau Sabu, Anda
harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Selanjutnya dari Kupang ada tiga pilihan
moda transportasi menuju Sabu. Pilihan pertama adalah dengan pesawat Susi Air
(www.susiair.com). Ini adalah cara tercepat dan termahal mencapai Kota Seba
(Sabu) tapi dengan jadwal yang pasti. Susi Air terbang ke Sabu setiap hari tapi
kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Jadi Anda harus memesan tiket jauh-jauh
hari agar kebagian tiket. Pilihan kedua dengan kapal cepat yang berangkat dari
Pelabuhan Tenau, dengan lama perjalanan sekitar 4 jam. Sayangnya kapal cepat
ini hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu hari Senin dan Jumat beragkat
dari Kupang dan kembali ke Kupang keesokan harinya (Selasa dan Sabtu). Pilihan
terakhir adalah dengan ferry yang berangkat dari Pelabuhan Bolok, dengan lama
perjalanan sekitar 14 jam. Ferry ini juga hanya beroperasi seminggu dua kali,
yaitu Hari Senin dan Jumat. Bagi Anda yang memiliki waktu banyak, Anda bisa
memilih kapal cepat atau ferry. Namun, Anda yang memiliki waktu terbatas,
satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pesawat. Selanjutnya dari Kota
Seba, Anda bisa mencari pemandu (guide)
yang bisa mengantarkan Anda ke Kelebba Maja. (edyra)***
Subscribe to:
Posts (Atom)