TAK ADA BUAYA DI PULAU BUAYA
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
16:27
Ada banyak pulau bernama Buaya di Indonesia. Baik di
Indonesia barat, tengah maupun timur. Namun, yang akan saya ceritakan berikut
ini adalah Pulau Buaya yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT),
tepatnya di Kabupaten Alor.
Perkenalan pertama saya dengan Pulau Buaya berawal
dari tayangan acara petualangan (traveling)
di televisi beberapa tahun silam. Tayangan tersebut menunjukkan keindahan Pulau
Buaya yang dikelilingi pasir putih dan laut biru jernih, yang membuat saya
tergoda untuk mengunjunginya. Namun, saya harus memendam keinginan mengunjungi
Pulau Buaya karena lokasinya sangat jauh dari Jakarta (tempat saya tinggal
waktu itu), yang pastinya butuh waktu dan biaya yang lumayan untuk bisa
mengunjunginya.
Hari berganti, waktu berlalu. Seiring dengan
kesibukan yang meningkat dan banyak destinasi wisata baru, saya mulai lupa
dengan Pulau Buaya. Hingga akhirnya saya mengunjungi Alor. Namun, saat
kunjungan pertama ke Alor saya tidak sempat mampir ke Pulau Buaya karena
keterbatasan waktu. Akhirnya saya memutuskan bahwa kunjungan ke Alor
berikutnya, saya harus mengunjungi Pulau Buaya yang selama ini menjadi impian
saya.
Pantai
Baolang dengan sumber air tawar
Untuk mengunjungi Pulau Buaya, dari Kota Kalabahi
saya dan teman naik sepeda motor menuju Pantai Baolang, pantai terdekat dengan
Pulau Buaya. Dari pantai ini, kami akan melanjutkan perjalanan dengan perahu
motor menuju Pulau Buaya. Pantai Baolang berjarak sekitar 20 km dari pusat Kota
Kalabahi atau sekitar 30 menit berkendara. Setiap hari, ada kendaraan umum
(angkot) dari Kalabahi menuju Pantai Baolang.
Dari Pantai Baolang, Pulau Ternate dan Pulau Buaya
terlihat dengan jelas karena jaraknya cukup dekat. Karena itu, di Pantai Baolang dibangun sebuah
dermaga untuk memudahkan perahu dari Pulau Buaya dan Pulau Ternate berlabuh dan
bongkar muat barang. Secara visual, tampilan Pantai Baolang kurang menarik.
Pantainya berpasir hitam dengan taburan batu kerikil yang menutupinya. Ada juga
hutan mangrove di dekatnya. Namun, ada hal unik yang menarik perhatian saya di
pantai ini. Tak lain adalah adanya sumber air tawar yang berada persis di
pinggir pantai. Awalnya saya tak percaya kalau air yang keluar di antara pasir
dan kerikil di tepi Pantai Baolang tawar. Namun, setelah saya mencicipinya
ternyata airnya memang tawar dan segar. Mata air di Pantai Baolang ini memang
menjadi sumber air andalan bagi pulau Buaya dan Pulau Ternate yang tidak punya
sumber air tawar. Setiap pagi dan sore, Warga kedua pulau tersebut akan datang
dengan perahu lengkap dengan jerigen untuk mengambil air. Mereka juga biasa
mandi di pantai dengan air tawar tersebut. Pagi itu, saya juga melihat seorang
pemuda sedang mandi di sumber air tawar tersebut.
Menuju Pulau
Buaya
Untuk mencapai Pulau Buaya saya menumpang perahu penduduk.
Setiap pagi dan sore selalu ada perahu menuju Pulau Buaya dan kembali ke
Baolang karena warga mengambil air dari pantai tersebut. Perjalanan perahu dari
Pantai Baolang menuju Pulau Buaya cukup singkat. Dalam waktu 15 menit, perahu
sudah berlabuh di Pulau Buaya.
Pantai berpasir putih dan laut hijau toska (turquoise) sebening kristal menyambut
kedatangan saya dan teman di Pulau Buaya. Di depan pulau, tampak Pulau Ternate
yang seperti gunung menyembul di tengah laut. di sebelah barat tampak Pulau
Pantar dengan pasir putihnya. Sementara di laut, terlihat beberapa anak sedang
berenang dan bermain air dengan riang. Sungguh sambutan yang sangat
menyenangkan bagi saya, membuat saya semakin tak sabar untuk menjelajah pulau
ini.
Disambut Keramahan
Warga
Kami segera turun dari perahu dan berjalan menuju
perkampungan penduduk yang berada persis di pinggir pantai. Di Pulau Buaya
hanya ada satu desa yang lokasinya terpusat di bagian selatan pulau yang
menghadap ke Pulau Ternate. Seperti umumnya penduduk pulau kecil, Warga Pulau
Buaya juga sangat baik dan ramah kepada pendatang/turis seperti kami. Baru saja
kami melangkah menuju kampung, beberapa warga menyapa kami dengan ramah. Bahkan,
seorang Bapak bernama Alimudin mengajak kami mampir ke rumahnya. Tentu saja
kami tak menolaknya.
Dari obrolan bersama Pak Alimudin dan anak-anaknya,
kami mendapat banyak informasi tentang Pulau Buaya. Ternyata penduduk pulau ini
cukup padat. Saat ini (2016) jumlah penduduk Pulau Buaya mencapai 1300 orang
lebih, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Berbeda dengan penduduk pulau-pulau
lain di NTT yang sebagian besar beragama Kristen/Katolik, penduduk Pulau Buaya semuanya
beragama Islam. Di pulau ini terdapat sebuah masjid yang menjadi pusat ibadah
warga, yaitu Masjid Al Ijtihad.
Jelajah
Pulau Bersama Anak-Anak
Setelah ngobrol-ngobrol sejenak dengan Pak
Alimuddin dan anak-anaknya, saya dan teman berniat menjelajah Pulau Buaya. Tujuan
kami adalah Pantai Obi Singa yang berada di bagian selatan (belakang) pulau. Ada
dua cara untuk mencapai Pantai Obi Singa yang lokasinya cukup jauh dari Kampung
Pulau Buaya, yaitu berjalan kaki atau naik perahu. Kami memilih untuk berjalan
kaki agar bisa melihat keindahan daratan
Pulau Buaya.
Dalam perjalanan menuju Pantai Obi Singa, kami
ditemani anak-anak Pulau Buaya. Mereka diajak oleh anaknya Pak Alimuddin untuk
menemani kami menjelajah Pulau Buaya. Tentunya kami sangat senang karena perjalanan
jadi lebih seru dengan canda tawa anak-anak tersebut. Anak-anak Pulau Buaya memang
biasa menemani turis/pendatang yang mengunjungi Pulau Buaya. Bila mereka
melihat turis berkunjung ke Pulau Buaya, tanpa diminta mereka dengan senang
hati akan menemani turis tersebut.
Ternyata lokasi Pantai Obi Singa lumayan jauh dari Kampung
Pulau Buaya. Kami harus berjalan melewati perkampungan penduduk, ladang/kebun
warga, dan padang rumput (savana) yang cukup luas. Perjalanan cukup menguras
tenaga karena saat itu matahari bersinar terik dan tak ada angin bertiup. Selain
itu, jalur yang kami lewati juga naik turun dan tak banyak pohon tinggi. Jadi sebentar-sebentar
saya berhenti untuk minum agar tidak dehidrasi.
Setelah 30 menit berjalan, akhirnya kami tiba di
Pantai Obi Singa. Saya bersorak gembira melihat pantai berpasir putih terbantang
luas di hadapan. Debur ombak yang berkejaran dan beningnya air laut yang menyejukkan
mata seolah menghapus segala rasa lelah saya. Pantai Obi Singa memang
mempesona. Garis pantainya cukup panjang, bibir pantainya dihiasi pasir putih dan
bebatuan hasil pecahan karang. Asyiknya lagi, pantai ini masih alami (tanpa ada
bangunan apa pun) dan sangat sepi. Saat itu, tak ada pengunjung lain selain
rombongan kami.
Puas menikmati keindahan Pantai Obi Singa, kami
berjalan ke arah barat menyusuri tepian pantai. Ternyata kami menemukan banyak
pantai cantik di sepanjang jalan. Karakter pantainya bermacam-macam, ada yang berpasir
putih, ada yang berbatu-batu, ada pulau yang dihiasi tebing-tebing curam. Namun,
ada kesamaan pantai-pantai tersebut, yaitu airnya sangat bening dengan warna
bergradasi hijau kebiruan. Di sebuah pantai yang dihiasi karang-karang terjal
dan sedikit pasir putih, anak-anak berhenti untuk mandi dan bermain air. Saya pun
tak melewatkan berenang-renang bersama anak-anak tersebut. Rasanya senang
sekali bisa bermain di pantai yang indah bersama anak-anak pulau yang polos dan
ceria.
Usai bermain bersama anak-anak di pantai, saya dan
teman berniat kembali ke Kampung Pulau Buaya dan selanjutnya menuju Pulau
Pantar. Namun, kali ini kami tidak melewati jalan yang sama dengan saat
keberangkatan tadi. Anak-anak mengajak kami melewati jalur lain agar kami bisa
melihat sisi lain Pulau Buaya, tepatnya bagian moncong pulau. Ternyata jalur yang
harus kami lewati cukup jauh. Medannya juga naik turun dan belak-belok sehingga
sangat menguras tenaga. Namun kami tak menyesal karena kami jadi lebih tahu
suasana Pulau Buaya. Kami juga bisa membuktikan bahwa di Pulau Buaya memang tak
ada buaya. Dinamakan Pulau Buaya karena bentuk fisik pulau tersebut memang
mirip buaya. Dilihat dari berbagai sudut, pulau ini berbentuk seperti buaya
dengan moncongnya berada di sebelah barat.
How to Get There
Pulau Buaya berada di wilayah Kabupaten Alor,
NTT. Untuk mencapai pulau ini, dari Jakarta (Jawa) Anda harus terbang dulu ke
Kupang, kemudian terbang ke Alor. Dari Kalabahi (ibu kota Kabupaten Alor) lanjutkan
perjalanan dengan angkot, ojek atau bisa juga menyewa kendaraan menuju Desa
Baolang, desa terdekat untuk menyeberang ke Pulau Buaya. Selanjutnya, Anda bisa
ikut perahu penduduk atau menyewa perahu nelayan untuk menyeberang ke Pulau
Buaya. Saat cuaca bagus, dalam waktu 15-20 menit Anda akan tiba di Pulau Buaya.
(Edyra)***DI BALIK KEINDAHAN PULAU PANGABATANG
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara,
Fascinating Flores
|
at
16:12
Pulau Pangabatang yang mungil dan indah |
Pulau Pangabatang adalah sebuah pulau mungil yang
terletak di Teluk Maumere, sebelah utara Pulau Flores. Secara administratif,
pulau ini masuk ke dalam wilayah Desa Perumaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten
Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Pangabatang terkenal akan keindahan
pantai dan alam bawah lautnya. Tak heran kalau pulau mungil ini ramai
dikunjungi turis di akhir pekan atau hari libur. Apalagi setelah Pulau
Pangabatang menjadi lokasi syuting acara jalan-jalan di salah satu stasiun
televisi swasta nasional. Jadi semakin banyak turis yang datang, baik turis
lokal maupun turis asing. Sayangnya,
kebanyakan turis hanya menjelajah bagian timur dan selatan pulau yang jauh dari
pemukiman penduduk. Memang bagian tersebut sangat indah, karena terdapat sebuah
tanjung dengan pasir putih yang memanjang ke tengah laut saat laut surut dengan
air laut biru muda (turquoise). Sangat
jarang turis yang menyempatkan diri mampir ke perkampungan penduduk yang ada di
ujung barat pulau sehingga tidak tahu keadaan yang sesungguhnya Pulau
Pangabatang.
Tanjung pasir putih di ujung timur Pulau Pangabatang |
Ketika pertama kali mengunjungi Pulau Pangabatang,
saya juga seperti turis kebanyakan yang hanya menjelajah bagian timur pulau.
Kegiatan yang saya lakukan hanyalah snorkeling
dan bermain-main di pantai tanpa mampir ke perkampungan penduduk. Namun, karena
saya masih penasaran dan belum puas dengan Pulau Pangabatang ini, saya datang
lagi mengunjungi pulau cantik ini satu tahun kemudian. Tak tanggung-tanggung,
dalm kunjungan kedua kali ini, saya menginap semalam di sana. Karena di Pangabatang
tak ada hotel atau penginapan, saya menginap di rumah penduduk (kenalannya
teman), namanya Pak Sartono. Sayangnya saat itu, Pak Sartono sedang melaut
sehingga saya tidak bisa bertemu beliau. Namun, istri, anak dan adik Pak
Sartono mau menerima kedatangan saya dengan tangan terbuka meski kami belum
pernah ketemu/kenal sebelumnya. Bahkan anak dan adik beliau mau menemani saya
keliling pulau dan bermain-main di pantai. Tetangga beliau yang tak lain adalah
Kepala Dusun Pulau Pangabatang (Pak Ba’ding) juga menemani saya ngobrol-ngobrol
di rumah Pak Sartono. Dari mereka, saya mendengar banyak cerita dan fakta
menarik sekaligus miris tentang Pulau Pangabatang yang belum diketahui banyak
orang. Berikut beberapa fakta tentang Pulau Pangabatang yang mungkin belum Anda
ketahui.
Air laut sebening kaca berwarna hijau toska di sebelah barat Pulau Pangabatang |
Dimiliki
Seseorang
Pulau Pangabatang dimiliki oleh seseorang (saya tak
bisa menyebutkan namanya) yang tinggal di Maumere. Untungnya pemilik pulau ini
adalah Warga Negara Indonesia asli (bukan orang asing) dan beliau baik hati
mengizinkan pulaunya ditinggali penduduk tanpa memungut bayaran sepeser pun.
Jadi, Warga Pulau Pangabatang stastusnya adalah numpang di pulau tersebut.
Pemukiman penduduk di Pulau Pangabatang tergenang air laut saat pasang |
Tergenang
saat pasang
Pulau Pangabatang memiliki daratan yang luasnya
hanya sekitar hektar dengan kontur pulau yang datar. Hanya bagian tengah pulau
terdapat bukit batu dengan ketinggian tak sampai 10 meter di atas permukaan
laut. Anehnya, pemukiman penduduk berada
di ujung barat pulau yang permukaannya datar dan rendah. Alhasil, saat air laut
pasang, pemukiman tersebut akan tergenang air laut dengan ketinggian sampai
selutut orang dewasa.
Tidak ada
listrik
Sampai dengan tahun 2016, PLN belum masuk ke
Pangabatang. Untuk penerangan di malam hari, warga mengandalkan genset yang
dimiliki beberapa orang di sana. Listrik tersebut menyala dari jam 18.00 -
22.00 setiap harinya.
Tidak ada
sumber air tawar
Seperti kebanyakan pulau kecil lainnya, di
Pangabatang juga tidak ada sumber air tawar. Jadi, untuk keperluan makan dan
minum, warga Pangabatang harus mengambil air dari daratan Pulau Flores atau
mengandalkan air hujan yang ditampung di bak-bak penampungan. Untuk keperluan
mandi dan mencuci sehari-hari, penduduk mengambil air dari sumur di pulau yang
airnya payau. Ada tiga buah sumur di Pangabatang tapi semua airnya payau.
Tidak punya
toilet
Sebagian besar warga Pangabatang belum memiliki
kamar mandi dan toilet yang layak. Kamar mandi hanya beruba bilik sederhana
tanpa ada toilet. Beberapa rumah yang letaknya persis di bibir pantai memiliki
toilet dengan pembuangan langsung di laut. Yang tidak punya toilet, mereka
biasa buang air besar di hutan bakau (mangrove) di bagian selatan kampung. Pada
kunjungan kedua saya di Pangabatang, di sana sedang dibangun sarana MCK (WC
Umum) bantuan dari pemerintah.
Belum ada
sekolah
Sampai saat ini, di Pangabatang belum terdapat
sekolah “yang sebenarnya”. Di pulau tersebut hanya terdapat satu Sekolah Dasar
dari kelas I sampai kelas III. Bagi murid yang naik ke kelas IV harus
melanjutkan sekolah di pulau tetangga (Pulau Dambila dan Pulau Perumaan) dan
mereka harus menginap di rumah saudara/kerabat di pulau tersebut karena tidak
mungkin tiap hari bolak-balik antar pulau karena jaraknya cukup jauh. Anak-anak
tersebut biasanya berangkat ke Pulau Dambila/Perumaan Senin pagi dan kembali ke
Pangabatang Sabtu siang. Bayangkan! Anak kelas IV SD harus berpisah dari orang
tuanya setiap hari dan hanya bisa bertemu orang tua tiap akhir pekan.
(Edyra)***
Subscribe to:
Posts (Atom)