QUTUB MINAR, MENARA KEMENANGAN BERUKIR AYAT SUCI AL QURAN
Posted in
Labels:
India
|
at
15:36
Puluhan sopir bajaj (rickshaw) menyambut saya dan teman ketika keluar dari Stasiun
Metro (kereta api bawah tanah) Qutab Minar. Mereka menawarkan jasanya untuk
mengantar kami ke Qutub Minar yang katanya berjarak 3 km dengan tarif yang
seragam, Rs 50,00 (sekitar Rp 10.000,00). Iseng-iseng saya menawar Rs 30,00
kepada salah satu sopir bajaj, tapi dia tidak mau. Kami pun pura-pura tidak
butuh dan terus berjalan ke arah jalan raya. Ternyata sopir bajaj tadi mengejar
kami dan menurunkan harganya menjadi Rs 40,00. Karena tak tahan dengan udara
yang panas dan sinar matahari yang menyengat, saya pun menerima tawarannya.
Saat itu, India memang sedang memasuki musim panas. Suhu udara berkisar antara
36 - 38 derajat Celcius, sehingga tidak nyaman untuk berjalan kaki di siang
bolong. karena akan membuat kami cepat lelah dan haus. Jadi, cara paling nyaman
untuk mencapai Qutub Minar adalah dengan naik bajaj.
Stasiun Metro Qutub Minar |
Pilihan kami untuk naik bajaj menuju Qutub Minar
ternyata sangat tepat. Pasalnya, perjalanan menuju kompleks situs peninggalan
Islam ini melewati jalan rusak dan berdebu. Selain itu, juga tak ada penunjuk
arah/rambu-rambu sama sekali. Kalau berjalan kaki, tentu kami akan kebingungan
dan harus bertanya ke warga setempat.
Tiba di kompleks Qutub Minar, suasana sangat ramai.
Saya dan teman langsung menuju pintu gerbang yang berada di kiri jalan untuk
membeli tiket masuk. Anehnya, loket penjualan tiket ternyata berada di seberang
jalan, satu kompleks dengan tempat parkir. Alhasil, kami pun harus balik dan
menyeberang jalan, menuju loket penjualan tiket.
Tiket masuk kami dapatkan dengan mudah tanpa perlu
ngantri karena loket untuk turis asing sedang kosong. Harga tiket untuk turis
asing Rs 250,00 (sekitar Rp 50.000,00) per orang, dan untuk turis lokal (India)
hanya Rs 20,00. Sebenarnya saya jengkel dengan perbedaan harga tiket yang
sangat jauh tersebut, tapi tidak kaget lagi. Hampir semua tempat wisata di
India memang memberlakukan diskriminasi tarif masuk yang sangat besar terhadap
turis asing. Bahkan di Taj Mahal harga tiket masuknya Rs 750,00 untuk turis
asing dan Rs 20,00 untuk turis lokal.
Mughal Garden |
Setelah mendapat tiket, kami segera masuk ke
kompleks Qutub Minar. Sebuah taman asri yang bernama Mughal Garden menyambut kami di sebelah kanan jalan. Nampak
beberapa turis lokal duduk-duduk santai di atas rumput hijau taman tersebut. Ada
juga anak-anak yang berlarian di sana. Tak jauh dari Taman Mughal, berdiri
Masjid Mughal yang mungil. Meski sudah berusia ratusan tahun, masjid yang dibangun pada era Kekaisaran Mughal tersebut
masih terlihat bagus dan masih digunakan untuk sholat hingga saat ini.
Ala'i Darwaza |
Kami terus berjalan mendekati Qutub Minar tapi kami
tidak langsung menuju ke sana. Kami mampir dulu ke sebuah bangunan kecil
berbentuk kotak/kubus dengan kubah di atasnya. Bangunan yang berada di sebelah
selatan Qutub Minar tersebut bernama Ala’i Darwaza yang
tak lain adalah pintu gerbang memasuki area Masjid Quwwat-ul-Islam dan Qutub
Minar. Dinding bangunan ini terbuat dari batu bata merah dengan kombinasi batu
marmer putih yang dihiasi ukiran bunga, geometris, dan kaligrafi Al Qur’an.
Sayangnya ornamen ini sudah banyak yang terkelupas dimakan usia sehingga
mengurangi keindahan bangunan tersebut.
Madrasah Alauddin |
Kami bergerak ke tempat yang lebih tinggi di
sebelah barat. Di sana terdapat bangunan Madrasah Alauddin. Bangunan tanpa atap
ini tampak eksotis karena dindingnya terbuat dari batu alam yang dibiarkan
terbuka tanpa dilapisi semen. Pintu dan lorongnya yang berbentuk melengkung
seperti kubah juga membuatnya sedap dipandang mata. Tak heran kalau banyak
pengunjung banyak yang memanfaatkan tempat ini untuk berfoto.
Di depan bangunan Madrasah Alauddin ada sebuah
taman dengan bunga-bunga dan beberapa pohon peneduh yang rindang. Selain
sebagai tempat bersantai, taman ini juga menjadi lokasi strategis untuk
mengamati dan memotret Qutub Minar karena dari tempat ini Qutub Minar yang
berdiri menjulang setinggi 72,5 meter terlihat dengan jelas tanpa terhalang
bangunan lain. Adanya reruntuhan bangunan di sekitarnya, justru semakin
menambah eksotisme Qutub Minar yang sudah berusia ratusan tahun.
Qutub Minar
(Minar : kata yang berasal dar Bahasa Urdu yang berarti menara) merupakan
sebuah menara yang terbuat dari batu bata merah dengan ketinggian mencapai 72,5
meter. Menara ini dibangun atas perintah Sultan Qutub-Ud-Din
Aibak pada tahun 1193 sebagai tanda kemenangan atas Raja Hindu di Delhi. Qutub Minar dibuat dari batu bata merah dengan
bentuk tabung yang
semakin mengecil di bagian atasnya. Diameter dasarnya 14,32 meter dan diameter atasnya mengecill
menjadi 2,75 meter. Menara bata merah tertinggi di dunia ini terdiri dari lima
lantai/tingkat dengan ketinggian yang berbeda-beda. Tiga lantai pertama terbuat
dari bata merah seluruhnya sedangkan dua lantai teratasnya terbuat dari bata
merah dengan hiasan/aksen batu marmer putih. Setiap lantainya dilengkapi dengan
balkon yang melingkar dengan ornamen yang berbeda setiap lantainya,
tetapi masih mengadopsi gaya khas Mughal. Dinding
luar menara ini dihiasi Kaligrafi ayat suci Al Qur’an yang sangat indah.
Sementara itu, di dalam menara terdapat 379 anak tangga untuk mencapai puncak. Dulunya, pengunjung bisa menaiki Qutub Minar
hingga puncak. Namun, setelah terjadi kecelakaan di dalam menara yang menewaskan
puluhan pengunjung pada tahun 1981, Pemerintah India melarang
pengunjung menaiki Qutub Minar menara.
Berdiri paling tinggi di antara bangunan-bangunan lain di
sekitarnya membuat Qutub Minar sering tersambar petir. Selain itu, menara ini juga pernah diguncang gempa bumi berskala besar
beberapa kali. Kejadian tersebut mengakibatkan kerusakan di
beberapa bagian Qutub Minar tapi hebatnya Qutub Minar masih tetap
berdiri kokoh hingga saat ini. Hal ini terjadi
karena menara ini dibangun di
atas fondasi batu yang
kuat dan susunan bata merah di menara juga sangat rapat, rapi, dan nyaris
tanpa cacat. Dengan berbagai
keistimewaan yang dimilikinya, tak heran kalau Qutub Minar dinobatkan
sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (World
Heritage Sites) oleh UNESCO.
Tak jauh dari Qutub
Minar, tepatnya di sebelah timur laut, berdiri Masjid Quwwat-ul-Islam. Masjid tertua di Delhi ini juga tak kalah unik dengan
Qutub Minar. Masjid ini dibangun
dengan model terbuka (hanya sisi timur/depan yang diberi dinding) dengan ratusan pilar batu berjajar rapi sebagai
tiang penopang masjid. Uniknya, pilar-pilar tersebut dihiasi ukiran bercorak
Hindu. Maklum, dulunya masjid ini adalah Kuil Agama Hindu.
Ketika Islam masuk ke Delhi, beberapa bagian
kuil dihancurkan dan sebagian dipertahankan, termasuk pilar-pilar tersebut.
Berjalan ke
utara, kami tiba di sebuah bangunan yang terbuat dari bata merah tanpa atap. Di
dalam banguna itu terdapat sebuah makam dengan batu nisan terbuat dari batu marmer
putih yang tak lain adalah makam Sultan Shamsud-Din Iltutmish, menantu Sultan Qutub-ud-Din Aibak.
Yang membuat saya terkagum-kagum, dinding bangunan makam tersebut dihiasi
ukiran dengan detil yang rumit dan kaligrafi ayat-ayat Al Quran yang indah. Di
dinding sebelah barat makam terdapat sebuah mihrab yang terbuat dari batu
marmer putih, beda dengan dinding bangunan lainnya yang terbuat dari bata
merah. Menariknya lagi, seluruh bagian mihrab tersebut dihiasi ukiran dan
kaligrafi ayat suci Al Quran yang sangat cantik.
Di ujung utara
Kompleks Qutub Minar
terdapat sebuah bangunan
yang belum jadi bernama Ala’i Minar. Bangunan
setinggi 24,5 meter ini dibangun oleh Ala-ud-Din Khalji
pada abad ke-12. Konon, bangunan ini akan dibuat menara
dengan tinggi dua kali lipat Qutub Minar. Namun, pembangunan tersebut terhenti
karena Ala-ud-Din Khalji meninggal dunia ketika Ala’i minar mulai dibangun.
Alhasil, hanya fondasi menara yang sudah
jadi. Andai saja Ala’i Minar selesai dibangun pasti menambah keindahan kompleks Qutub Minar.
Menuju ke sana
Untuk mencapai
Qutub Minar, Anda harus terbang ke New Delhi, ibu kota India. Dari Jakarta
tidak ada penerbangan langsung ke New Delhi. Biasanya pesawat akan transit dulu
di Singapura, Kuala Lumpur atau Bangkok sebelum terbang ke New Delhi.
Selanjutnya, dari New Delhi Anda bisa naik taksi menuju Qutub Minar. Kalau
ingin lebih hemat, dari pusat Kota New Delhi Anda bisa naik Metro (kereta bawah
tanah) jalur kuning (jurusan Huda City
Center) dan turun di Stasiun Qutab Minar. Kemudian,naik bajaj hingga tiba
di Qutub Minar.
Things to Know
- Untuk mengunjungi India, Warga Negara Indonesia harus memiliki Visa India. Namun, sekarang sudah ada fasilitas Visa on Arrival yang bisa Anda dapatkan di bandara-bandara Internasional di India, atau kalau mau lebih praktis Anda bisa mengurus Electric Tourist Visa (e-TV) secara on line.
- Waktu terbaik mengunjungi India adalah dari Bulan November sampai Maret saat India memasuki musim dingin. Saat memasuki musim panas, cuaca di India sangat panas dengan suhu udara bisa mencapai 45 derajat Celcius.
- Bila Anda mengunjungi India saat musim panas, jangan lupa bawa masker karena kota-kota di India sangat berdebu.
- Waktu terbaik mengunjung/memotreti Qutub Minar adalah sore hari karena kompleks situs ini akan terkena sinar matahari dari arah barat sehingga Anda bisa mendapatkan pencahayaan yang baik untuk foto Anda.
- Qutub Minar merupakan situs peninggalan peradaban Islam. Karena itu, kenakan busana yang sopan dan menutup aurat.
- Sediakan waktu minimal dua jam untuk menjelajah dan memotret Qutub Minar karena kompleks situs bersejarah ini cukup luas serta mempunyai banyak bangunan eksotis dan fotogenik.***
LOVELY ISLAND CALLED LEMBATA
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
12:04
Menikmati semilir angin rumput savana di Bukit Wolor Pass |
Saya harus mengetuk-ngetuk pintu terminal
kedatangan Bandara Wunopito, Lewoleba untuk masuk ke dalamnya. Gara-gara
keasyikan memotret panorama menawan di sekitar bandara, saya terkunci sendirian
di luar gedung terminal sementara penumpang lainnya sudah masuk ke dalam gedung
terminal sejak tadi. Untunglah, tak lama kemudian seorang petugas keamanan
berbaik hati membukakan pintu untuk saya sambil berkata, “Maaf Mas. Saya kira
sudah tidak ada penumpang lagi, makanya pintu saya kunci.” Saya pun tersenyum
sambil melangkah masuk ke dalam terminal kedatangan yang tak seberapa luas. Baru
kali ini saya merasakan terkunci di luar terminal bandara. Rupanya, inilah
“kejutan” Selamat Datang ala Lembata bagi saya. Hmmm, sebuah kejutan yang unik.
Bandara Wunopito dengan panorama yang menawan |
Lovely Airport
Bandara Wunopito yang merupakan salah satu
gerbang masuk Pulau Lembata hanyalah bandara perintis tapi panorama di sekitar
bandara juara. Lokasi bandara berada persis di pinggir pantai berpasir putih
dengan laut biru bening. Di kejauhan nampak Gunung Ile Boleng yang berdiri
gagah di Pulau Adonara. Dengan landas
pacu hanya sepanjang 1.200 meter, bandara ini hanya bisa didarati pesawat jenis
Cassa, Cessna, maupun Fokker. Gedung terminalnya sangat mungil, tanpa ada troli
maupun conveyor belt. Setiap harinya
hanya ada satu pesawat jenis Fokker 50 yang mendarat maupun terbang dari Bandara
Wunopito. Tak heran kalau setelah semua penumpang masuk/keluar dari gedung
terminal, petugas bandara segera mengunci semua pintu terminal. Kalau ada
penumpang yang melipir seperti saya
pasti akan terkunci di luar gedung terminal. Jangan harap ada taksi ataupun bus
untuk mencapai pusat kota. Satu-satunya alat transportasi yang ada hanya ojek.
Untung pusat kotanya hanya berjarak 3 km dari bandara. Jadi, naik ojek pun
nyaman-nyaman saja, seperti yang saya lakukan pagi itu untuk mencapai hotel
yang berada tak jauh dari Pelabuhan Lewoleba.
Lembata at a Glance
Kalau Anda belum pernah mendengar nama Pulau
Lembata, saya maklum tapi sedih juga. Soalnya pulau ini cukup mungil dan
letaknya jauh di belantara Nusa Tenggara Timur, tepatnya di sebelah timur Pulau Adonara dan di sebelah
barat Pulau Pantar. Pada zaman penjajahan Belanda pulau ini dikenal dengan nama
Pulau Lomblen. Namun, sejak tanggal 1 Juli 1967 namanya diubah menjadi Lembata.
Dulunya Lembata hanyalah sebuah kecamatan dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Flores Timur yang beribu kota di Larantuka. Namun, sejak tanggal 7 Maret 1999
Lembata menjadi sebuah kabupaten baru dengan Lewoleba sebagai ibu kotanya. Meski
krang terdengar gaungnya di Indonesia, Lembata sangat terkenal ke berbagai
penjuru dunia berkat tradisi berburu paus yang dilakukan Warga Desa Lamalera
secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu dan masih berlanjut hingga
kini. Selain itu, Lembata juga menyimpan berbagai pesona alam yang menarik,
mulai dari gunung berapi yang masih aktif, padang savana yang luas, pantai berpasir
putih nan perawan hingga alam bawah laut yang menakjubkan.
Gunung Ile Ape dilihat dari Pantai Wunopito, Lewoleba |
Lovely
Mountain
Seperti pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Lembata
juga mempunyai sebuah gunung berapi yang masih aktif hingga kini, yaitu Gunung
Ile Ape. Gunung setinggi 1.450 meter di atas permukaan
laut ini terlihat jelas dari berbagai sudut Kota Lewoleba, membuat saya penasaran untuk mendekatinya.
Bukan, bukan untuk mendakinya tapi sekedar melihatnya dari dekat. Sebenarnya
tidak butuh waktu lama untuk mendaki Gunung Ile Ape. Kata teman-teman yang
pernah mendaki Gunung Ile Ape, hanya butuh waktu 3 - 4 jam untuk mencapai
puncak gunung ini dari desa terdekat. Sejauh ini, ada dua jalur untuk memulai
pendakian ke gunung yang juga disebut Lewotolok oleh Warga Lembata ini, yaitu
via Desa Jontona di Kecamatan Ile Ape Timur atau via Desa Lewotolok di
Kecamatan Ile Ape. Keduanya menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Namun,
karena keterbatasan waktu dan tidak ada persiapan pendakian, saya memutuskan
untuk tidak mendaki Gunung Ile Ape dalam kunjungan ke Lembata kali ini. Saya
hanya mengelilingi gunung ini dan memandanginya dari dekat.
Rumah-rumah penduduk bertengger di tebing dekat laut di Kawasan Ile Ape |
Gunung Ile Ape berada di bagian semenanjung
Pulau Lembata yang biasa disebut “Kepala Burung” oleh Warga Lembata. Semenanjung
ini terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Ile Ape dan Kecamatan Ile Ape
Timur. Semenanjung yang berada di bagian barat laut Pulau Lembata ini sangat
menarik karena dikelilingi Teluk Waienga di sebelah timur, Laut Flores di
sebelah utara, dan Teluk Lewoleba di sebelah barat. Saya dan teman mengelilingi
Semenanjung Kepala Burung berlawanan arah jarum jam, yaitu dari sisi selatan,
timur, utara dan barat. Banyak hal menarik yang kami temui saat mengelilingi
semenanjung ini. Mulai dari pantai berpasir hitam, pantai berbatu-batu, sumber
belerang yang telah mengering, kampung adat dengan rumah-rumah unik, hingga perkampungan
penduduk yang bertengger di tebing curam, di pinggir laut. Sepanjang perjalanan
tersebut, Gunung Ile Ape berdiri gagah di dekat saya dan puncaknya pun terlihat
dengan jelas. Kadang di depan, kadang di sebelah kiri, kadang di sebelah kanan.
Dari berbagai sudut, gunung ini terlihat menarik dan sayang untuk tidak
dipotret. Tak terhitung berapa kali saya meminta teman saya untuk menghentikan
kendaraannya agar saya bisa memotret. Untunglah dia sabar menuruti keinginan
saya. Ada satu fakta menarik tentang Kawasan Ile Ape, yaitu seluruh sumber air di kawasan ini mengandung belerang karena
letaknya berada di dekat gunung api yang masih aktif. Alhasil, warga pun harus
membeli air minum untuk keperluan memasak sehari-hari.
Lovely
Hills
Kontur Pulau Lembata sebagian besar
berbukit-bukit. Menariknya lagi bukit-bukit tersebut ditumbuhi rerumputan dan
semak-semak membentuk savana yang luas. Ada dua bukit yang harus kita datangi
saat mengunjungi Lembata, yakni Bukit Wolor Pass dan Bukit Doa Watomiten. Kedua
bukit tersebut letaknya berdekatan, tepatnya berada di Desa Bour, Kecamatan
Nagawutung. Di hari kedua kunjungan saya di Lembata, saya dan teman menyambangi
kedua bukit tersebut.
Bukit, savana, dan laut biru dilihat dari Bukit Wolor Pass |
Bukit pertama yang kami jumpai dalam
perjalanan dari Kota Lewoleba adalah Bukit Wolor Pass. Bukit yang berjarak
sekitar 15 km dari Lewoleba ini berada persis di pinggir jalan raya yang menuju
Kecamatan Nagawutung. Jadi, kita tak akan kesulitan menemukannya walaupun tak
ada satu pun rambu-rambu atau petunjuk arah yang menunjukkan jalan ke Bukit
Wolor Pass. Di bukit ini sudah dibuat semacam pelataran untuk memudahkan
pengunjung melihat pemandangan sekitar. Ada juga beberapa lopo-lopo (gazebo)
yang bisa kita manfaatkan untuk berlindung dari teriknya matahari Lembata.
Pemandangan dari bukit ini tak perlu ditanyakan lagi. Mulai dari bukit-bukit
yang tinggi menjulang, savana luas membentang, pantai berpasir putih dengan
laut biru jernih, hingga Gunung Ile Boleng yang tinggi menjulang di Pulau
Adonara. Saya sampai tak bisa berkata-kata dibombardir panorama menakjubkan di
sekeliling saya. Yang bisa saya lakukan hanya bersyukur dan mengabadikan
panorama menawan tersebut dengan kamera kesayangan saya.
Sekitar 4 km di sebelah barat Bukit Wolor Pass
terdapat Bukit Doa Watomiten. Namun, tidak seperti Bukit Wolor Pass, untuk
mencapai puncak bukit ini kita butuh perjuangan. Kita harus berjalan mendaki
sekitar 1 km karena jalan menuju puncak bukit masih berupa jalan tanah berbatu
yang tak memungkinkan kendaraan melewatinya. Bukit Doa Watomiten merupakan
kawasan wisata rohani dan tempat ziarah bagi umat Kristiani. Di kawasan bukit
ini telah dibangun 14 pos (stasi) lengkap dengan patung-patung untuk prosesi
Jalan Salib. Pos-pos tersebut melambangkan kesengsaraan Yesus mulai dari
penangkapan, penyiksaan, penyaliban sampai pemakaman. Di puncak bukit terdapat Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi tujuh
meter. Pada saat kedatangan saya, Kawasan Bukit Doa Watomiten belum sepenuhnya
jadi. Nantinya akan dibangun seribu patung yang juga mencerminkan wisata rohani
di dasar laut tak jauh dari bukit tersebut. Pembangunan seribu patung tersebut
sudah dimulai dari sekarang dan diharapkan selesai pada tahun 2019.
Pantai Waijarang saat sedang surut |
Lovely
Beaches
Lembata merupakan sebuah pulau kecil sehingga
kita bisa menemukan pantai di mana-mana. Menariknya lagi, selain cantik pantai-pantai
di Lembata juga masih perawan, belum “dirusak” oleh berbagai bangunan komersial
seperti hotel, kafe maupun restoran. Pantai pertama di Lembata (selain pantai
di dalam kota) yang saya dan teman kunjungi adalah Pantai Waijarang. Pantai ini
terletak di Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan dan berjarak sekitar 14 km dari
Lewoleba. Pantai Waijarang berpasir putih dengan air laut biru jernih. Garis
pantainya cukup panjang dan kontur pantainya landai sehingga aman untuk
berenang ataupun bermain air. Dari pantai ini, Gunung Ile Boleng yang berada di
Pulau Adonara terlihat dengan jelas. Pantai Waijarang juga sudah dilengkapi
dengan beberapa fasilitas seperti : lopo-lopo, toilet dan tempat parkir yang
cukup luas. Tak heran kalau pantai ini selalu ramai dikunjungi Warga Lewoleba di
akhir pekan dan hari-hari libur.
Pantai Mingar yang cantik dan masih alami |
Dari Pantai Waijarang kami melanjutkan
perjalanan ke Pantai Mingar. Pantai ini berada di ujung barat daya Pulau
Lembata, tepatnya di Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung. Jaraknya sekitar
35 km dari Lewoleba. Perjalanan ke Pantai Mingar sangat menantang karena jalan
menuju pantai ini sebagian besar rusak parah. Di beberapa tempat aspal jalan sudah hilang sama sekali tinggal
menyisakan jalan tanah berbatu-batu besar. Parahnya lagi, kami juga harus
menyeberangi sungai tanpa jembatan. Untungnya Lembata sedang memasuki musim
kemarau sehingga debit air di sungai cukup kecil. Namun, segala perjuangan kami
untuk mencapai Pantai Mingar terbayar lunas begitu kami tiba di sana. Pantai
berpasir putih bersih dengan air laut biru muda menyambut kedatangan kami.
Garis pantainya sangat panjang dan hamparan pasir putihnya sangat luas. Di
ujung barat nampak Tanjung Naga dan Pulau Suwanggi yang mungil di seberangnya.
Yang perlu diperhatikan, ombak di Pantai Mingar cukup besar karena pantai ini
menghadap ke Laut Sawu. Pada musim-musim tertentu, ombak di pantai ini sangat
besar sehingga cocok untuk olahraga selancar (surfing). Saat itulah, turis-turis dari berbagai negara mendatangi
Pantai Mingar untuk berselancar di sana.
Sunset menakjubkan di Pelabuhan Lewoleba |
Lovely
Sunset
Salah satu kegiatan yang tak pernah saya
lewatkan jika sedang berada di pulau kecil yang dikelilingi banyak pantai
adalah melihat panorama matahari terbenam (sunset).
Asyiknya, ada banyak tempat menarik untuk melihat detik-detik tenggelamnya sang
surya di Lembata. Salah satunya adalah di Pelabuhan Lewoleba. Di kompleks
pelabuhan ini, tepatnya di bagian timur telah dibangun beberapa lopo-lopo dan
dermaga yang menjorok ke tengah laut. Tempat ini biasanya dipadati warga
setempat di sore hari menjelang matahari terbenam, tak terkecuali sore itu. Ada
yang berenang, ada yang duduk-duduk di dermaga, dan ada pula yang membawa
kamera dan tripod untuk mengabadikan sunset
seperti saya. Matahari terbenam di Pelabuhan Lewoleba memang menakjubkan karena
kita tidak hanya melihat matahari dan laut. Dari tempat ini, kita akan melihat bulatan
bola matahari berwarna jingga perlahan-lahan tenggelam ke cakrawala memendarkan
warna kuning keemasan di lautan. Panorama ini dipercantik dengan kehadiran Gunung Ile Boleng yang berdiri menjulang, kapal yang berjajar di dermaga dan aktivitas
warga setempat. Saya pun tak henti-hentinya menekan tombol rana kamera untuk
mengabadikan panorama menawan tersebut.
How
to Get There
Untuk
mencapai Pulau Lembata Anda harus terbang dulu ke Kupang, NTT. Kemudian lanjut
naik pesawat menuju Lewoleba. Bila Anda punya banyak waktu longgar, Anda juga
bisa naik kapal fery dari Kupang menuju Larantuka yang memakan waktu sekitar 15 jam. Dari
Larantuka, Anda bisa naik kapal cepat (dua jam) atau fery (4 jam) menuju
Lewoleba. Sayangnya ferry ini hanya berangkat seminggu 3 kali dari Kupang,
yaitu Hari Selasa, Kamis dan Minggu.(Edyra)***
Where
to Stay
Hotel Rejeki
Jl.
Trans Lembata, Lewoleba
Telp. : (0383) 41028
Tarif
: Mulai Rp 100.000,00
Hotel Olympic
Jl.
Trans Lembata, Lewoleba
Tarif
: Mulai Rp 250.000,00
New An Nisa Beach Hotel &
Restaurant (satu-satunya hotel di pinggir pantai di Lewoleba)
Jl.
SGB Bungsu, Lewoleba
Telp
: (0383) 41052
Tarif
: Mulai Rp 100.000,00
Subscribe to:
Posts (Atom)