TRAVEL KALEIDOSKOP 2016
Posted in |
at
08:08
Januari : Sumba Timur
Februari : Malaysia dan Filipina
Maret : Jakarta, Singapura, dan Pati
April : Pulau Pangabatang
Mei : Pulau Alor, Buaya, dan Pantar
Juni : Kupang
Juli : Pati, Air Terjun Tedunan
Agustus : Pulau Semau, Pulau Sukun, Larantuka, Pulau Adonara, dan Kepulauan Meko
September : Pati, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Teluk Melano, Sarawak (Malaysia Timur)
Oktober : Pati
November : Pulau Lembata, Larantuka, Pulau Adonara, dan Kepulauan Meko
Desember : Pati dan Jakarta
AMAZING SUNRISE AND SUNSET 2016
Posted in |
at
07:57
PESONA PANTAI PASIR JINGGA DI PULAU ADONARA
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
07:49
Pantai Pasir Jingga biasa disebut
Pantai Pasir Merah (Pantai Wera Mean dalam bahasa setempat) oleh Warga Adonara
dan sekitarnya. Pantai cantik ini terletak di Desa Boleng, Kecamatan Ile
Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dari Kota
Waiwerang, pantai ini bisa ditempuh dalam waktu 30 menit berkendara.
Seperti namanya, keunikan Pantai Pasir Jingga terletak pada warna pasirnya yang unik. Tidak seperti pasir pantai kebanyakan yang berwarna hitam atau putih, pasir di Pantai Pasir Jingga berwarna jingga (orange). Di pantai ini bertaburan batu-batu magma berwarna hitam, letusan dari Gunung Ile Boleng yang berdiri gagah tak jauh dari pantai.
PANTAI LAMARIANG, SATU-SATUNYA PANTAI BERPASIR MERAH DI INDONESIA
Posted in |
at
17:03
Terkagum-kagum dengan keunikan Pantai Lamariang |
Sejauh ini ada tiga pantai pasir merah yang dikenal
publik di dunia, yaitu : Pantai Kokkini di Pulau Santorini, Yunani; Pantai
Kaihalulu di Hawaii, Amerika Serikat dan Pantai Rabida di Pulau Rabida,
Kepulauan Galapagos, Ekuador. Ketiga pantai unik tersebut
letaknya sangat jauh dari Indonesia sehingga butuh biaya yang mahal untuk mengunjunginya. Namun, jangan sedih
dulu! Pasalnya, Indonesia juga punya pantai berpasir merah yang belum diketahui
banyak orang. Namanya Pantai Lamariang, lokasinya berada di Pulau Lembata, Nusa
Tenggara Timur (NTT).
Pantai Lamariang dengan pasirnya yang berwarna merah marun |
Perkenalan
saya dengan Pantai Lamariang berawal dari kunjungan pertama saya ke Lembata
tahun kemarin. Waktu itu,
saya mendapat informasi dari tukang ojek yang mengantar saya keliling Lembata
bahwa ada sebuah pantai berpasir merah di pulau yang terkenal dengan tradisi
perburuan pausnya itu. Bahkan
tukang ojek tersebut juga sudah menunjukkan lokasi pantai eksotis itu
dari kejauhan. Sayangnya, saat
itu saya tidak bisa mengunjungi Pantai
Lamariang karena sudah kesorean dan
cuaca mendung. Alhasil, saya pun kecewa berat dan harus memendam impian untuk
mengunjungi pantai berpasir merah itu.
Gradasi warna air laut yang sangat cantik di Pantai Lamariang |
Setelah
setahun berlalu, akhirnya kesempatan untuk menyambangi Lembata kembali
pun tiba. Betapa gembiranya saya.
Saya pun mengagendakan waktu khusus untuk mengunjungi Pantai Lamariang yang
sudah saya impikan sekian lama. Tempat-tempat menarik lainnya di Lembata
saya kesampingkan, demi melihat keunikan Pantai Lamariang.
Pasir berwarna merah marun di Pantai Lamariang |
Untuk
mengunjungi Pantai Lamariang, saya menyewa sepeda motor dari hotel tempat saya
menginap di Kota Lewoleba karena
tidak ada kendaraan umum menuju pantai ini. Dari Lewoleba, saya tinggal mengarahkan
kendaraan ke arah timur melintasi Jalan Trans Lembata menuju daerah Ile Ape. Pantai Lamariang terletak
di Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Pantai istimewa ini berada tak jauh dari Kampung Adat
Lamariang yang terkenal dengan ritual Pesta Kacangnya. Dari Lewoleba
pantai ini berjarak sekitar 19 km atau sekitar 30 menit berkendara.
Hamparan belerang tak jauh dari Pantai Lamariang |
Lokasi Pantai Lamariang sekitar dua ratus meter
dari jalan raya. Setelah memarkir sepeda motor di bawah pohon, saya pun
berjalan kaki melewati tanah lapang dengan hamparan belerang, menuju pantai idaman
saya. Suasana sangat sepi ketika
saya tiba di Pantai Lamariang. Tak ada satu pun pengunjung lain selain saya.
Sejauh mata memandang, yang saya lihat adalah pantai berpasir merah marun yang
membentang luas. Saya sampai ternganga dibuatnya. Saya pun mencoba mengambil segenggam pasirnya, agar bisa
saya lihat lebih dekat. Konon, pasir Pantai Lamariang yang berwarna merah
tersebut karena mengandung besi. Bukan hanya warna pasirnya yang unik, gradasi warna air laut di Pantai
Lamariang juga istimewa. Tidak
seperti pantai kebanyakan yang airnya berwarna hijau kebiruan, warna air laut
di Pantai Lamariang bergradasi jingga/oranye, hijau, dan biru. Warna air laut yang unik ini
tak lain berkat aliran sungai belerang dari Gunung Ile Ape yang mengalir ke pantai. Sungai belerang
yang berwarna kuning bercampur dengan pasir pantai yang berwarna merah marun
membuat air laut di Pantai Lamariang berubah warna menjadi jingga. Semakin ke tengah air laut berubah
warna menjadi hijau toska dan biru karena pantulan warna langit.
Gunung Ile Ape yang berdiri gagah terlihat jelas dari Pantai Lamariang |
Pesona Pantai Lamariang tak berhenti di situ. Gunung
Ile Ape yang berdiri gagah juga terlihat jelas dari pantai cantik tersebut. Tak
pelak kehadiran gunung berapi yang masih aktif tersebut semakin mempercantik
Pantai Lamariang. Anda pun bisa berfoto dengan latar belakang pantai dan
gunung, di waktu yang sama. Tak hanya itu, tak jauh dari pantai berpasir merah yang
hanya ada satu-satunya di Indonesia itu juga terdapat tanah lapang cukup luas dengan
taburan bebatuan dan belerang yang berwarna kuning cerah. Di tanah lapang
tersebut terdapat dua sumur belerang dengan warna air hijau lumut. Biasanya
para pengunjung tak lupa berfoto di sumur cantik tersebut. Namun, Anda harus
berhati-hati saat berfoto. Sumur belerang tersebut memang terlihat indah ketika
cuaca sedang cerah, tapi juga sangat berbahaya. Kadar keasaman airnya sangat tinggi
sehingga bisa menghancurkan benda apa pun yang tercebur di dalamnya.
Sumur Belerang di dekat Pantai Lamariang |
Dengan
segala keunikan dan keindahannya, Pantai Lamariang sangat berpotensi untuk
menjadi objek wisata andalan di Pulau Lembata selain atraksi penangkapan paus
di Desa Lamalera yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Sayangnya, hingga
detik ini tak ada perhatian sedikit pun dari pemerintah daerah setempat. Akses
jalan masih kurang bagus dan tak ada satu pun
rambu-rambu/petunjuk arah yang menunjukkan arah jalan menuju Pantai
Lamariang. Informasi di media massa tentang pantai Lamariang juga sangat minim,
bahkan bisa dibilang tidak ada. Biasanya pengunjung yang datang ke Pantai
Lamariang hanya mendengar keberadaan pantai ini dari mulut ke mulut saja,
termasuk saya. Semoga ke depannya ada perhatian dari Pemerintah Derah Lembata
agar pantai istimewa ini dikenal orang dari berbagai penjuru dunia. (Edyra)***
ISLAND HOPPING IN MEKO ISLANDS
Posted in |
at
17:27
Menikmati air laut sebening kristal di sekitar Nuha Pasir Putih |
Matahari berada tepat di atas ubun-ubun ketika saya tiba di Dusun Meko. Sinarnya terasa begitu
menyengat, Suasana kampung kecil di ujung timur laut
Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini terasa lengang. Tak banyak warga
yang kelihatan selain ibu-ibu dan anak-anak kecil yang sedang bersantai di
bawah kolong rumah panggung atau di teras rumah. Kaum pria hanya terlihat satu
dua orang saja. Sepertinya mereka sedang beristirahat di dalam rumah atau
masih melaut karena sebagian besar warga Dusun
Meko memang berprofesi sebagai nelayan.
Dusun Meko yang letaknya terpencil dan tersembunyi |
Saya langsung mengarahkan kendaraan ke
tempat yang teduh di pinggir pantai. Kebetulan di sana ada dua orang bapak-bapak yang sedang bersantai di sebuah bale-bale, di bawah pohon
waru yang cukup rindang. Tempat tersebut memang sangat tepat
untuk berlindung dari teriknya matahari Adonara yang begitu menyengat. Hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi, juga memberikan kesejukan tersendiri. Apalagi dari tempat itu terlihat Pulau Keroko, Pulau Watupeni, dan Pulau Pasir Putih, tiga di antara lima
pulau yang ada di gugusan Kepulauan Meko, yang sebentar lagi akan saya
sambangi. Saya jadi makin tak
sabar untuk segera menginjakkan kaki di pulau-pulau cantik tersebut.
Saya menyapa bapak-bapak tersebut dan memperkenalkan diri, untuk membuka
obrolan dengan mereka. Setiap mengunjungi tempat baru, saya mempunyai kebiasaan
ngobrol dengan penduduk setempat untuk mengakrabkan diri sekaligus mencari
informasi tentang tempat tersebut. Dari obrolan tersebut, biasanya saya mendapat
informasi tentang hal-hal menarik di tempat tersebut yang belum diketahui
banyak orang. Bahkan, biasanya mereka tak segan-segan membantu kita, bila
membutuhkan pertolongan. Begitu juga saat bapak-bapak tersebut tahu bahwa saya
ingin mengunjungi Kepulauan Meko. Bapak tersebut segera memanggil temannya yang mempunyai perahu dan biasa mengantarkan turis ke Kepulauan Meko. Nama pemilik perahu tersebut adalah Pak Ismail. Setelah ada kesepakatan harga sewa perahu, Pak Ismail mengajak saya ke rumahnya yang berada tepat di sebelah
barat masjid. Dia mememinta saya menunggu sebentar, sementara dia menyiapkan perahu.
Jalan tanah yang menantang menuju Dusun Meko |
Saya pun
duduk-duduk di bale-bale yang ada di depan rumah Pak
Ismail. Saya bersyukur bisa tiba dengan selamat di Dusun Meko, mengingat
perjalanan panjang yang telah saya lewati. Untuk mencapai Dusun Meko yang merupakan desa
terdekat dengan Kepulauan Meko, bukan perkara yang
mudah. Dari Pelabuhan Pantai Palo, Larantuka di ujung
timur Pulau Flores, saya harus menyeberang dengan perahu motor menuju Tanah
Merah di ujung barat Pulau Adonara. Selanjutnya saya harus berkendara membelah
Pulau Adonara dari ujung barat hingga ujung timur, menempuh jarak sekitar 50 km menuju Dusun Meko. Jarak 50 km sebenarnya tidak terlalu jauh, jika
kondisi jalan bagus. Namun, karena jalan di Pulau Adonara banyak yang rusak,
jarak tersebut harus saya tempuh dalam waktu hampir dua jam. Ada dua ruas jalan
terparah yang harus kita
lewati. Pertama, ruas jalan dari Desa
Kolilanang menuju Desa Hinga. Jalannya menurun curam dan berkelok-kelok dengan lubang menganga di
sana-sini. Di beberapa tempat, aspal sudah hilang sama sekali, berganti
jalan tanah berbatu. Ruas jalan kedua yang juga parah adalah setelah pertigaan
Desa Pledo menuju Dusun Meko. Jalannya membelah ladang/perkebunan warga tanpa ada satu
pun perkampungan warga
di kanan kirinya. Jalan sepanjang 2 km ini
berupa lannya berupa jalan tanah tanpa aspal, dengan permukaan yang tidak rata.
Parahnya lagi kontur jalannya menanjak dan menurun dengan tanah yang
berdebu saat musim kemarau. Saat musim hujan, jalan tersebut pasti akan sangat
licin dan susah dilewati kendaraan bermotor. Kondisi jalan membaik 2 km terakhir
mendekati Dusun Meko karena sudah disemen berkat swadaya Warga Meko.
Kepulauan Meko dilihat dari Dermaga Dusun Meko |
Setelah perahu
siap, Pak Ismail segera mengajak saya berangkat. Sayangnya air laut sedang
surut saat itu, sehingga perahu kandas jauh di tengah
laut. Kondisi Pantai Dusun Meko yang landai, juga membuat laut surut cukup jauh. Untung sekarang sudah ada dermaga di Dusun Meko. Jadi, saya tidak
perlu susah-susah berjalan melewati pantai berlumpur untuk mencapai perahu.
Kepulauan Meko masuk dalam wilayah Dusun Meko, Desa Pledo, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur. Kepulauan ini terdiri dari lima pulau kecil, dengan urutan dari yang terjauh dari
Dusun Meko sebagai berikut : Pulau Ipet, Konawe, Pasir Putih, Keroko,
dan Watupeni. Saya mengajak Pak Ismail untuk mengunjungi pulau terjauh terlebih dahulu.
Perairan dangkal di Kepulauan Meko yang berwarna hijau toska (aquamarine) |
Perjalanan menuju Pulau Ipet sangat menyenangkan. Kami
melewati perairan dangkal yang tenang tanpa gelombang. Asyiknya lagi, air laut
lautnya sangat bening dengan gradasi warna yang sangat cantik, mulai dari hijau
toska (turquoise), biru muda hingga
biru tua. Saking beninggnya, terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang bisa
terlihat jelas dari atas perahu. Apalagi saat perahu memasuki selat sempit di
antara Pulau Ipet dan Pulau Konawe. Seluruh perairannya berwarna hijau toska,
menyejukkan mata. Saya sampai terpana dibuatnya, hingga tak terasa perahu
mendekati ke Pulau Ipet yang tertutup rumpun pohon bakau
(mangrove) yang rimbun.
Mangrove yang rimbun di Pulau Ipet |
Hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai Pulau Ipet yang sering disebut Pulau Kelelawar oleh warga setempat. Seperti julukannya,
pulau ini memang habitat kelelawar. Pulau yang 90 persen wilayahnya dikelilingi
tanaman mangrove ini, memang habitat kelelawar. Di siang hari, biasanya mereka akan
tidur bergelantungan di dahan pohon mangrove dan baru akan keluar/terbang mencari makan di malam hari. Kata Pak Ismail, biasanya sekitar jam 6
sore mereka baru beterbangan mencari makan. Jumlahnya bisa mencapai ribuan saat
itu. Karena kami datang di siang bolong, kelelawar tersebut pun sedang
tidur. Sialnya, mereka memilih pohon mangrove yang jauh di tengah pulau, agar tidak
terganggu kedatangan manusia. Saya pun harus menerobos kerimbunan mangrove dan
memanjat salah satu pohon untuk bisa memotretnya.
Selanjutnya, kami
menuju Pulau Konawe yang letaknya tepat di samping/sebelah barat Pulau Ipet.
Pulau ini juga dikelilingi laut dangkal berwarna hijau toska. Bagian timur
pulau yang berhadapan dengan Pulau Ipet dipagari mangrove yang lebat, sedang di
bagian utara terdapat pantai berpasir putih yang menawan. Pantai yang tak seberapa panjang
itu terlihat eksotis karena dihiasi taburan
batu-batu hitam di beberapa tempat. Kami mendarat di
pantai cantik tersebut agar bisa melihat keindahan Pulau Konawe dari dekat.
Pantai cantik di Pulau Konawe |
Pulau Konawe
disebut juga Pulau Kambing oleh warga setempat karena dulunya sering dimanfaatkan
sebagai tempat penggembalaan kambing. Kontur tanah di pulau ini berbukit-bukit, dengan taburan batu-batu yang
cukup besar di bagian tengahnya. Cukup banyak pepohonan rindang di Pulau Konawe,
termasuk di pinggir pantai sehingga bisa dimanfaatkan pengunjung untuk berteduh
dari sengatan matahari. Di pantai tersebut, pengunjung bisa berenang, berjemur,
bermain pasir atau bermalas-malasan sambil membaca buku. Menurut Pak Ismail, Pantai
Konawe merupakan salah satu pantai favorit turis asing di Kepulaun Meko untuk
berjemur dan berenang. Pasirnya yang putih bersih dan air lautnya yang bening
berkilauan memang mampu memikat siapa saja yang mengunjunginya. Namun, saya
tidak berenang di pantai tersebut karena saya ingin berenang di sekitar Pulau
Pasir Putih yang berada tak jauh dari Pulau Konawe.
Sekarang tiba saatnya untuk mengunjungi Pulau Pasir Putih (Nuha Pasir Putih
dalam bahasa setempat) yang sejak tadi begitu menggoda saya. Nuha Pasir Putih
merupakan pulau pasir putih (gosong) mungil yang menjadi daya tarik utama (highlight) di Kepulauan Meko. Pulau
imut ini dikelilingi lautan dangkal berair jernih dengan warna hijau toska. Di
pulau ini tak ada satu pun pohon/tanaman yang bisa tumbuh karena permukaannya
berupa pasir putih bukan tanah. Bentuk dan ukuran/luas pulau ini berubah-ubah
sesuai musim dan arah angin. Bisa berbentuk bundar, oval, persegi panjang atau
bulan sabit. Hari itu, Nuha Pasir Putih berbentuk batang panjang dengan kedua
ujung meruncing mirip pedang. Lokasi pulau ini tepat berada di tengah-tengah
Kepulauan Meko, sehingga menawarkan pemandangan menakjubkan 360 derajat. Di
sebelah timur nampak Pula Lembata dengan Gunung Ile Ape yang berdiri gagah, di
sebelah selatan nampak Pulau Ipet dan Konawe, di sebelah barat nampak Pulau
Adonara, dan di sebelah utara nampak Pulau Keroko serta Watupeni yang terlihat
menyatu. Saat cuaca cerah juga terlihat Pulau Komba yang letaknya jauh di
tengah Laut Flores.
Selain diberkahi tampilan fisik yang unik dan panorama sekitar yang
mengagumkan, Nuha Pasir Putih juga mempunyai atraksi menarik. Pulau cantik ini
sering disinggahi sekumpulan burung dara laut (Thalasseus bergii), di saat-saat tertentu. Dan rupanya, Dewi
Fortuna berpihak pada saya hari itu. Ketika perahu saya bergerak mendekati Nuha
Pasir Putih, saya melihat ratusan burung dara laut berkerumun di pulau
tersebut. Saya berteriak kegirangan menyaksikan pemandangan langka yang selama
ini hanya bisa saya saksikan di televisi. Saya pun meminta Pak Ismail untuk
mempercepat laju perahu agar segera tiba di Nuha Pasir Putih. Sayangnya, saat
perahu merapat ke pulau, burung-burung tersebut mulai beterbangan. Saya pun
berusaha mendekatinya, agar bisa memotretnya dari dekat. Namun, burung-burung
tersebut malah kompak terbang meninggalkan pulau sehingga saya harus puas
memotretnya dari kejauhan.
Meski ditinggalkan
burung dara laut, saya tak kecewa karena masih banyak hal menarik yang bisa
saya lakukan di Nuha Pasir Putih. Mulai dari jalan-jalan keliling pulau,
berenang hingga snorkeling. Hal
pertama yang saya lakukan di Nuha Pasir Putih adalah jalan-jalan keliling pulau
sambil merekam keindahan sekeliling pulau yang luasnya tak seberapa itu.
Kemudian saya menikmati keindahan bawah laut Nuha Pasir Putih dengan snorkeling. Tempat snorkeling yang cukup menarik berada di sebelah selatan pulau. Di spot tersebut cukup banyak ikan yang
saya lihat, meski turumbu karangnya sebagian besar sudah rusak. Yang paling
menyenangkan saya bisa berjumpa dengan ikan favorit saya yaitu ikan badut atau
yang biasa disebut Nemo (Amphiprion
ocellaris), yang masih banyak di sana. Mereka berenang-renang malu-malu di antara
anemon, membuat saya gemas ingin menangkapnya.
Panorama menakjubkan dari Pulau Keroko |
Puas
menikmati keindahan Nuha Pasir Putih, kami berlayar menuju Pulau Keroko. Sama
seperti pulau-pulau lainnya, pulau berbentuk bukit kecil ini juga dikelilingi
lautan dangkal berwarna hijau toska. Di bagian selatan pulau ini terdapat
pantai berpasir putih yang dihiasi batu-batu hitam seperti di Pulau Konawe. Di
pantai inilah biasanya para pengunjung mendarat saat laut sedang pasang. Dari
pulau ini Kampung Meko terlihat jelas karena letaknya cukup dekat.
Pulau Watupeni yang menyatu dengan Pulau Keroko saat laut surut |
Tepat di
sebelah utara Pulau Keroko, terdapat Pulau Watupeni. Pulau ini juga berbentuk
bukit tapi tidak punya pantai berpasir putih. Di sekeliling Pulau Watupeni terhampar
bebatuan beragam ukuran yang seakan membentengi pulau. Ketika air laut sedang
surut, Pulau Watupeni menyatu dengan Pulau Keroko, sehingga kita bisa berjalan
kaki mencapainya seperti yang saya lakukan sore itu. Namun, saya tak
berlama-lama di Pulau Watupeni karena Pak Ismail sudah memanggil saya untuk
segera kembali ke Dusun Meko.
Seiring
matahari yang makin condong ke barat, perahu segera bergerak meninggalkan Pulau
Keroko. Dengan berat hati, saya pun harus berpisah dengan pulau-pulau cantik di
Kepulauan Meko. Kelak pasti saya akan merindukan pulau-pulau mungil tersebut.
Makanya saya berdoa kepada Tuhan agar diberi kesempatan sekali lagi untuk bisa
mengunjungi Kepulauan Meko suatu hari nanti.
How
to Get There
Kepulauan
Meko berada di timur laut Pulau Adonara, Nusa
Tenggara Timur. Untuk
mencapai Kepulauan Meko, Anda harus terbang dulu ke Kupang, terus lanjut
terbang ke Larantuka, Flores Timur. Dari Larantuka, Anda bisa naik ojek atau
menyewa kendaraan untuk dibawa menyeberang dengan perahu ke Pelabuhan Tanah
Merah, Pulau Adonara. Dari Tanah Merah yang berada di ujung barat Adonara, Anda
harus melanjutkan perjalanan menuju Dusun Meko, Desa Pledo yang berada di ujung
timur laut Adonara. Selanjutnya, Anda bisa menyewa perahu dari Dusun Meko
hingga tiba di Kepulauan Meko.
Subscribe to:
Posts (Atom)