JELAJAH CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS
Posted in
Labels:
East Nusa Tenggara
|
at
10:47
Berpose di pohon eukaliptus yang berumur 100 tahun lebih |
Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal akan
alamnya yang gersang dan udaranya yang panas. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya curah hujan dan tanahnya yang dipenuhi batu-batu
karang. Namun di balik panas dan gersangnya Pulau Timor, tersimpan berbagai
keindahan alam yang menakjubkan. Salah satunya adalah Cagar Alam Gunung Mutis. Di
kawasan cagar alam ini, kita bisa melihat hutan hijau yang luas dengan
pepohonan yang menjulang tinggi dan aneka satwa endemik khas Timor.
Secara
administratif, Cagar Alam Gunung Mutis berada di wilayah Kecamatan Fatumnasi
dan Kecamatan Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) serta Kecamatan
Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Ada beberapa pintu masuk menuju
cagar alam ini tapi yang paling dekat dan paling mudah dijangkau adalah melalui
Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Desa ini jaraknya sekitar
143 km dari Kupang atau 33 km dari Soe, ibu kota Kabupaten TTS.
Perjalanan
menuju Desa Fatumnasi membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Dari Kupang ke Soe,
kondisi jalan bagus dan mulus karena merupakan ruas jalan negara. Namun, kita
harus tetap waspada karena di beberapa tempat jalan berkelok-kelok naik turun
bukit. Kadang jalan menyempit karena berada di bibir jurang, kadang jalan
menanjak dan menurun terjal. Lengah sedikit bisa fatal akibatnya.
Pertigaan ke arah Kapan di Soe |
Dari
pertigaan di Kota Soe, kita belok kiri menuju Kapan, ibu kota Kecamatan Mollo
Utara. Kondisi jalan masih cukup bagus tapi mulai menyempit dan terdapat
kerusakan di beberapa titik. Jalan semakin berkelok-kelok dan mendaki karena Kota
Kapan terletak di dataran tinggi. Parahnya, kita akan menjumpai beberapa
persimpangan jalan tanpa rambu-rambu/penunjuk arah sehingga mengharuskan kita
bertanya kepada penduduk setempat agar tidak tersesat. Namun, pemandangan di
kanan kiri jalan sangat menarik. Salah satu titik paling menarik adalah Kilo 12
yang berjarak 12 km dari Kota Soe. Di tempat ini, kita bisa melihat panorama
gunung, bukit, jurang dan lembah yang berpadu dengan indah. Orang-orang yang
melintasi rute ini biasanya berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah sambil
menikmati pemandangan indah atau berfoto narsis. Saya juga tak mau ketinggalan
untuk singgah sejenak dan mengabadikan panorama cantik di Kilo 12.
Pemandangan menarik yang saya jumpai di perjalanan menuju Fatumnasi |
Setelah
melewati Kota Kapan, kondisi jalan berubah jadi buruk. Semakin menjauh dari
Kapan, kondisi jalan semakin parah. Aspal menghilang berganti menjadi jalan
tanah berbatu dengan batu-batu yang besar dan tak beraturan. Keahlian
berkendara jelas sangat dibutuhkan di medan seperti ini. Karena membawa sepeda
motor matic yang sebenarnya tidak
cocok untuk jalan off road, beberapa
kali saya berhenti untuk mendinginkan mesin setelah melewati tanjakan terjal.
Saya juga berhenti ketika melihat pemandangan yang menarik. Panorama di
sepanjang jalan menuju Fatumnasi memang indah. Mulai dari hutan pinus, bukit
marmer, hingga padang sabana dengan sapi dan kuda yang sedang merumput.
Setelah
berkendara hampir dua jam dari Soe, akhirnya saya tiba di Desa Fatumnasi. Desa
yang dihuni Suku Dawan (salah satu suku asli Pulau Timor) ini, berbatasan
langsung dengan Cagar Alam Gunung Mutis. Udara di Fatumnasi terasa sejuk karena
desa ini terletak tepat di kaki Gunung Mutis. Fatumnasi berasal dari kata Fatum
dan Nasi. Fatu artinya batu dalam Bahasa Dawan, dan Nasi konon katanya banyak
batuan di desa ini yang bentuknya mirip beras. Saya langsung menuju kediaman
Bapak Mateos Anin, tokoh adat paling terkenal di Fatumnasi. Pak Anin memiliki Homestay sederhana bernama “Lopo Mutis”,
satu-satunya penginapan di Fatumnasi yang kerap menjadi jujugan para turis dan
peneliti yang ingin menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis atau mendaki Gunung
Mutis. Selain itu, Pak Anin dan anaknya juga sering menjadi guide bagi para turis untuk menjelajah
Cagar Alam Gunung Mutis atau mendaki Gunung Mutis.
Sayangnya,
saat itu Pak Anin sedang pergi ke Soe. Saya disambut Pak Stefan, yang tak lain
adalah anaknya Pak Anin. Beliau juga sering mengantar turis yang ingin
menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis dan mendaki Gunung Mutis. Sudah tak
terhitung lagi berapa kali dia mendaki gunung tertinggi di Pulau Timor yang
berketinggian 2.427 meter di atas permukaan laut tersebut, sehingga hafal betul
rutenya.
Sebenarnya
saya juga ingin mendaki Gunung Mutis tapi tidak jadi karena waktu saya
terbatas. Selain itu, saya juga tidak membawa bekal yang cukup. Jadi, saya
memutuskan menunda keinginan mendaki Gunung Mutis. Sebagai gantinya, saya akan
menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis dan melihat Gunung Mutis dari titik
terdekatnya saja bersama Pak Stefan yang dengan senang hati akan menemani saya.
Ume Kebubu |
Sebelum
menjelajah Cagar Alam Gunung Mutis, saya jalan-jalan keliling kompleks rumah
Pak Anin ditemani dua orang cucu Pak Anin sementara Pak Stefan pulang ke
rumahnya untuk ganti baju. Di kompleks rumah Pak Anin terdapat beberapa
bangunan, yaitu aula/pendopo untuk menerima tamu dan turis, rumah utama, 4
rumah untuk kamar tamu (homestay),
dan tiga buah rumah adat khas Timor dengan atap terbuat dari ilalang berbentuk
kerucut. Rumah ini biasa disebut Ume
Kebubu dalam Bahasa Dawan. Semua Warga Desa Fatumnasi mempunyai Ume Kebubu
selain rumah utama karena dulunya rumah asli warga desa ini memang Ume Kebubu.
Sekarang, Ume Kebubu dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat menyimpan bahan
makanan. Namun, di tempat Pak Anin, salah satu Ume Kebubu dimanfaatkan sebagai
kamar tempat menginap para turis. Kata Pak Stefan, banyak turis asing yang ingin
merasakan sensasi tidur di dalam Ume Kebubu.
Gerbang Cagar Alam Gunung Mutis di Desa Fatumnasi |
Begitu
Pak Stefan siap, kami segera berangkat menuju Cagar Alam Gunung Mutis. Ternyata
pintu gerbang Cagar Alam Gunung Mutis hanya berjarak sekitar 1 km dari kediaman
Pak Anin. Di dekat gerbang tersebut terdapat kantor pengelola cagar alam yang
sekaligus berfungsi sebagai tempat pembayaran retribusi pengunjung. Namun, saat
itu tidak ada satu pun orang di sana.
Deretan pohon eukaliptus di Cagar Alam Gunung Mutis |
Sekawanan sapi merumput di Cagar Alam Gunung Mutis |
Memasuki
wilayah Cagar Alam Gunung Mutis, suasana sangat sepi. Tak ada pengunjung lain selain
kami berdua. Sesekali hanya terdengar lenguhan sapi dan ringkikan kuda di
kejauhan. Saat itu, kami memang melihat sekawanan sapi dan kuda yang tengah
merumput di bawah pohon eukaliptus. Pohon-pohon tersebut menjulang tinggi
puluhan meter karena banyak yang sudah berumur ratusan tahun. Bila angin
bertiup, aroma harum akan keluar dari daun-daun eukaliptus tersebut. Tanaman
eukaliptus (Eucalyptus Urophylla)
yang dalam bahasa setempat disebut Ampupu
memang vegetasi dominan di Cagar Alam Gunung Mutis. Selain eukaliptus, tanaman
lainnya adalah cendana, rotan paku-pakuan, dan berbagai jenis lumut. Saya tidak
menyangka di Indonesia ada hutan eukaliptus seluas ini. Saya kira eukaliptus
hanya ada di Australia, Selandia Baru, dan negara-negara empat musim lainnya.
Bonsai Alam di Cagar Alam Gunung Mutis |
Di
antara kerimbunan pohon eukaliptus, terdapat sekumpulan pohon yang menarik
perhatian saya. Penduduk setempat menyebutnya bonsai alam. Tanaman ini
bentuknya memang seperti bonsai, tapi dalam ukuran yang lebih besar. Tingginya
sekitar dua hingga tiga meter dengan cabang-cabang pohon meliuk-liuk ke
samping, seolah ingin menggapai tanaman lain. Seluruh batang dan cabangnya
ditumbuhi lumut. Uniknya, meski batang tanaman ini besar, daunnya berukuran
sangat kecil. Bonsai alam ini merupakan salah satu daya tarik Cagar Alam Gunung
Mutis yang memikat para turis dan peneliti dari berbagai negara.
Kondisi jalan di dalam Cagar Alam Gunung Mutis |
Kami
berjalan semakin jauh ke dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sesekali kami
berpapasan dengan penduduk setempat yang pulang dari ladang. Jalanan semakin
buruk dan rusak. Kadang jalanan penuh batu-batu besar, kadang penuh akar-akar
tanaman. Untuk mencari jalan yang lebih baik, kadang Pak Stefan memilih keluar
dari jalan utama dan memilih lewat jalan setapak di antara pepohonan eukaliptus.
Bahkan, beberapa kali saya harus turun dari motor karena takut jatuh, saking
buruknya jalan. Sambil berjalan, biasanya saya memotret-motret aneka tanaman
dan bukit-bukit batu dengan formasi unik yang banyak terdapat di cagar alam
ini.
Bukit Batu dengan formasi unik di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis |
Jalan tanah berbatu di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis |
Setelah
berjibaku dengan medan off road di
tengah hutan, akhirnya kami tiba di sebuah tempat dengan hamparan sabana yang
luas dan puncak Gunung Mutis di kejauhan. Tampak kawanan sapi dan kuda yang
sedang merumput di kejauhan, tapi jumlahnya tidak banyak. Menurut Pak Stefan,
biasanya pagi hari kita bisa menjumpai sapi dan kuda dalam jumlah yang banyak.
Saat matahari sudah bersinar terik, hewan-hewan tersebut lebih memilih untuk
merumput di tempat yang rindang. Tempat ini namanya Pohong Gunung dan merupakan
titik awal pendakian ke puncak Gunung Mutis. Para pendaki biasanya memarkir
kendaraannya di sini, kemudian berjalan kaki sekitar dua sampai tiga jam menuju
puncak Gunung Mutis. Meski tidak mendaki, saya senang berada di Pohong Gunung.
Melihat padang sabana yang sangat luas dan Gunung Mutis yang menjulang tinggi
di hadapan sudah menyejukkan mata saya. Mungkin suatu hari nanti saya akan kembali
untuk mendaki puncak Gunung Mutis.
Puncak Gunung Mutis dilihat dari Pohong Gunung |
Menuju ke
sana
Cagar Alam Gunung Mutis berada di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan dan
Kabupaten Timor Tengah Utara, tapi gerbang yang paling mudah dijangkau
berada di Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS. Jaraknya sekitar
33 km dari Soe (ibu kota Kabupaten TTS) atau 143 km dari Kota Kupang. Untuk
mencapai Desa Fatumnasi, kita harus terbang dulu ke Kupang. Dari Kupang, kita
bisa melanjutkan perjalanan ke Fatumnasi dengan menyewa kendaraan (lama
perjalanan sekitar empat jam) atau naik kendaraan umum (bus) sampai Kota Soe,
terus naik angkot sampai Kota Kapan dan lanjut naik ojek sampai Fatumnasi atau bisa
juga naik ojek langsung dari Soe sampai Fatumnasi dengan lama perjalanan
sekitar dua jam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 November 2015 at 23:53
nice posting agan,, tapi kurang foto pendakian ke gunung nya please visit tkp ane gan ada foto pendakiannya
21 April 2016 at 11:40
Ini pas bulan panas ya mas Edyra? Aku rencana Mei ini biasanya pas lagi bagus2nya view perbukitan apalagi kalo pagi-pagi
21 April 2016 at 13:55
Aku ke sana November 2014. Kapan mau mendaki mas? Ikutan dong!
17 November 2016 at 15:55
bener bener keren nihh
Paket Wisata Dieng